Wednesday, November 11, 2009

Adoniram Judson, Suluh Allah di Birma

Pendahuluan

Kehidupan Adoniram Judson sungguh bagaikan kombinasi antara sebuah kebun bunga yang indah dengan sebuah hutan belantara yang ganas. Kesombongan masa muda, transformasi hidup, panggilan, badai kehidupan yang mengambil ke-dua istrinya dan beberapa anaknya, kesetiaan dan cintanya pada Kristus sampai ia menyerahkan nyawanya sungguh sebuah kisah yang sangat menggetarkan dan mengharukan. Keteladanan Adoniram Judson kiranya dapat menjadi kerinduan yang membakar hati setiap anak Tuhan yang membaca kisahnya, terutama di masa kini di mana kata ‘pengorbanan’ hanyalah menjadi sekedar kata-kata kosong tanpa makna. Untuk mendapatkan gambaran secara jelas, penulis memutuskan untuk membagi kisah hidup Adoniram Judson dalam beberapa bagian.

1. Asal Usul.
Kakek Adoniram Judson, William Judson adalah seorang Puritan warga negara Inggris yang pindah ke Amerika Serikat pada 1634 untuk mendapatkan kebebasan beragama. William mempunyai tiga orang anak yaitu Joseph, Jeremiah, dan Joshua. Dari ketiga bersaudara itu, Joseph-lah yang memperanakkan Adoniram Judson, yang kelak menjadi pendeta gereja Kongregasional. Adoniram menikah dengan seorang wanita yang bernama Abigail Brown pada 23 November 1786. (1). Pada 9 Agustus 1788 lahirlah anak pertama mereka yang diberi nama sama dengan ayahnya, Adoniram Judson di sebuah kota kecil bernama Malden di Massachusetts (2). Pada 21 Maret 1791, lahirlah Abigail Brown Judson. Kebahagiaan keluarga kecil ini mendapatkan ujian ketika dua minggu kemudian Adoniram senior mendapatkan kenyataan pahit diberhentikan sebagai pendeta di Malden. Setelah menunggu lebih dari satu tahun, pada 26 Desember 1792 Adoniram senior diterima untuk melayani di kota Wenham. Pada 28 Mei 1794, Adoniram junior mendapatkan seorang adik laki-laki yang bernama Elnathan dan seorang adik perempuan, Mary yang meninggal enam bulan setelah kelahirannya. Lima tahun kemudian (1799), Adoniram senior mengundurkan diri sebagai pendeta di Wenham dan melayani sebagai misionaris di Braintree, beberapa mil sebelah selatan kota Boston. Dua tahun kemudian Adoniram senior mendapat panggilan untuk menggembalakan jemaat di Plymouth (3).

2. Masa Kecil.
Adoniram Judson junior adalah seorang anak yang sangat cerdas. Pada umur tiga tahun dia sudah mulai belajar membaca dan mengejutkan ayahnya yang baru pulang dari sebuah perjalanan ketika mendengar Adoniram kecil membaca sebuah pasal dari Alkitab (4).

(1) Pitman, E. R. Ann H. Judson: Pahlawan Misi Wanita di Birma. Hal. 5.
(2) Judson, Edward. Adoniram Judson: A Biography. Tersedia di http://www.wholesomewords.org/missions/judson/judsontoc.html; Internet; diakses pada 20 Oktober 2008.
(3) Anderson, Courtney. To the Golden Shore: The Life of Adoniram Judson. Michigan: Zondervan Publishing House, 1972. hal. 9-25.
(4) Harrison, Eugene Myers. Adoniram Judson: Apostle of the Love of Christ in Burma. Tersedia di http://www.reformedreader.org/rbb/judson/ajbio.htm; Internet; diakses pada 20 Oktober 2008.
Selain cerdas, Adoniram juga sangat kritis, tekun dan mempunyai harga diri yang tinggi. Ketika berumur tujuh tahun ia diajarkan bahwa dunia beredar mengelilingi matahari. Dalam pikirannya ada sebuah pertanyaan yang tidak dapat dijawabnya: apakah matahari itu bergerak atau tidak. Beberapa hari kemudian dia mencari jawabnya dengan berbaring terlentang menatap matahari. Ketika ayahnya menemukannya, kedua matanya membengkak dan hampir buta. Kejadian lain yang menarik adalah suatu hari seorang penduduk kota tetangga memberinya sebuah soal yang sangat sulit beserta janji hadiah $ 1 bila Adoniram berhasil memecahkannya. Hari itu juga dia mengurung diri di kamarnya dan besok paginya ketika dipanggil keluar dari ‘pengasingannya’ untuk menemani adiknya bermain, dia patuh pada orang tuanya walau dengan hati yang enggan. Di tengah permainan, tiba-tiba berteriaklah Adoniram: ‘itulah dia, saya sudah menemukannya’. Sambil berteriak, dia merobohkan mainan adiknya dan berlari ke kamarnya untuk mencatat jawabannya. Sebenarnya hal itu bukan hanya masalah uangnya tapi kehormatannya sebagai bintang pelajar yang paling diperdulikannya.
Di sekolah, guru-gurunya tercengang akan kemampuannya yang tinggi. Adoniram selalu menyapu habis kemenangan pada setiap kontes intelektual yang ada. Karena kepandaiannya, Adoniram bercita-cita tinggi untuk mencapai ketenaran dan kemuliaan duniawi sepeti Homer dan Alexander the Great. Jadi walau dibesarkan dalam keluarga kristen yang baik, dan diam-diam ayahnya ingin agar anaknya mengikuti jejaknya sebagai pendeta, Adoniram junior sama sekali tidak tertarik pada pelayanan bahkan dia tersenyum sinis akan ‘kurangnya’ imajinasi ayahnya akan kemampuannya (5).

3. Masa-masa Universitas.
Pada usia enambelas tahun, Adoniram mulai kuliah di Providence College (sekarang Universitas Brown). Masa tahun 1803 krisis iman kepercayaan yang dipicu oleh Perancis menyerbu Amerika dan universitas-universitas terkemuka seperti Yale dan Providence-pun merasakan dampak yang sangat besar akan gelombang skeptisisme tersebut. Adoniram sendiri juga tidak lepas dari pengaruh buruk itu. Pertemanannya dengan Jacob Eames, seorang persuasif ulung dan tidak beriman membawanya ke labirin kesangsian akan kebenaran firman Allah. Walaupun Adoniram lebih cerdas, namun soal kepercayaan terhadap Tuhan, ia mengakui terpikat oleh ide-ide skeptis Jacob Eames. “Jacob, saya setuju dengan kamu. Alkitab ternyata tidak berbeda dengan kitab suci agama lain. Yesus hanyalah seorang manusia moralis. Dia hanyalah seorang yang baik. Tidak lebih” adalah respon Adoniram kepada Jacob dalam satu perdebatan panjang (6).
Masa kuliah berhasil diselesaikan oleh Adoniram hanya dalam kurun waktu tiga tahun. Ayahnya begitu bangga melihat anaknya menerima ijazah kehormatan sebagai juara dan mendengarnya berpidato secara memukau tanpa mengetahu bahwa anaknya telah tejerumus pada paham deisme.


(5) Boreham, F. W., Adoniram Judson’s Life Text. Tersedia di http://www.wholesomewords.org/missions/bjudson11.html; Internet; diakses pada 20 Oktober 2008.
(6) Assa, Rudy N., Tokoh-tokoh Kristen yang Mewarnai Dunia. Yogyakarta: Penerbit Andi, 2002. hal. 4-5.
4. Melarikan Diri Dari Hadapan Allah.
Pasca kelulusannya, dalam usia 19 tahun Adoniram kembali ke rumah orang tuanya di Plymouth. Tahun 1807 Adoniram junor membuka sebuah akademi swasta dan mengajar selama hampir satu tahun.
Selama itu dia juga menulis dan menerbitkan dua buah buku, ‘The Elements of English Grammar’, dan ‘The Young Lady’s Arithmetic’. Kehidupan kristiani di rumah orang tuanya dan gereja tentu bukan lingkungan yang kondusif bagi kehidupan ateisnya. Hal ini membuat Adoniram terpaksa berperilaku munafik di hadapan orang tuanya. Setiap hari minggu dia harus pergi ke gereja dengan hati yang jengkel sehingga akhirnya dia merasa tidak tahan lagi. Apalagi ketika ayahnya menawarkan padanya untuk melayani sebagai pendeta. Pertengkaran yang sengit terjadi dan berakhir ketika Adoniram junior mengatakan bahwa dia tidak percaya pada Alkitab dan keilahian Yesus. Segera setelah menutup akademinya, Adoniram berniat pergi mengembara ke New York, sebuah kota yang di cap amoral oleh gereja konggregasional.

5. Dipanggil dan Dikirim.
Setelah puas menikmati kota New York, Adoniram meneruskan petualangannya ke arah barat sebab ia sudah berjanji pada dirinya untuk tidak pulang ke rumah ayahnya. Pada suatu hari dia menginap di sebuah penginapan, namun hanya tersisa sebuah kamar yang besebelahan dengan kamar yang ditempati oleh seseorang yang sedang sakit keras. Sepanjang malam Adoniram mendengar suara-suara kesakitan dan rintihan ketakutan dari kamar sebelahnya. Tetapi bukan hal itulah yang mengganggunya melainkan sebuah pertanyaan apakah orang itu sudah siap menghadapi kematian. Merasa malu akan pikiran itu, Adoniram berpikir apa yang akan dikatakan oleh Jacob akan ‘kelemahan’ pikirannya itu. Malam itu, berapapun keras Adoniram bergumul, tetap pikirannya selalu kembali kepada orang yang sekarat di sebelah kamarnya itu.
Pagi harinya dia segera mencari pemilik penginapan untuk menanyakan kabar orang di sebelah kamarnya.
‘Dia sudah meninggal’ sahut pemilik penginapan.
‘mati!’
‘Ya, dia sudah meninggal, orang yang malang’
‘Tahukah anda, siapakah orang itu?’
“Oh ya, dia adalah seorang anak muda dari Providence College; namanya Jacob Eames’
Mendengar jawaban itu Adoniram terpana dan kata-kata: mati, kematian, terhilang terngiang-ngiang terus di dalam kepalanya. Dia tahu bahwa Alkitab benar, dia merasa kebenarannya dan dia merasa putus asa. Dalam perasaan yang bergejolak dia membatalkan niatnya melarikan diri dan memutuskan untuk pulang ke rumah ayahnya.
Adoniram tiba di Plymouth pada 22 September 1808 dan bulan depannya dia masuk ke Theological Instution di Andover. Dia dapat diterima di sana dengan sebuah pengecualiaan karena Adoniram bukanlah kandidat pendeta. Tanggal 2 Desember 1808 adalah hari istimewa karena Adoniram Judson mendedikasikan dirinya kepada Allah dan 28 Mei 1809 menggabungkan diri dengan gereja ayahnya di Plymouth (7).


(7) Judson, Edward. Adoniram Judson: A Biography. Tersedia di http://www.wholesomewords.org/missions/judson/judsontoc.html; Internet; diakses pada 20 Oktober 2008.
Adoniram mulai menggumulkan dengan serius panggilan sebagai misionaris setelah membaca khotbah Dr. Claudius Buchanan yang melayani di India. Khotbah itu berjudul ‘Bintang di Timur’ yang diambil dari Matius 2:2. Dr. Buchanan menceritakan kemajuan pengkabaran Injil di India dan khotbah itu sungguh memercikkan bara api dalam hati Adoniram.
Dalam pergumulannya, enam bulan kemudian dia mengambil keputusan untuk menjadi misionaris bersama beberapa orang teman seminarynya yaitu: Samuel Nott., Jr, Samuel J. Mills, Jr., James Richards, Luther Rice, dan Gordon Hall.
Oleh karena keinginan mereka untuk menjadi misionari di luar negeri inilah maka American Board of Foreign Missions dibentuk menjadi wadah bagi para misionaris. Walaupun demikian, masalah keuangan menjadi sebuah persoalan bagi organisasi yang masih bayi ini sehingga Adoniram dikirim ke Inggris untuk menghimpun dana bantuan di London Missionary Society (LMS) . Dalam perjalanan, kapal yang ditumpangi Adniram diserang dan ditawan oleh kapal Perancis. Jadi dia harus melarikan diri dari penjara di Perancis untuk sampai di London. Dalam perjalanan ke Amerika, Adoniram memutuskan bahwa perjalanan misi seharusnya dibiayai oleh orang kristen Amerika daripada bergabung dengan LMS (8).

6. Ann Hasseltine & Jalan Berliku Menuju Birma.
Ann Hasseltine dilahirkan di Bradford, Massachusetts pada tahun 1789. dia adalah gadis yang bersemangat, gembira, dan berbakat. Umur enam belas tahun menerima Allah dengan segenap hatinya. Selepas Bradford Academy, dia mengajar di sekolah selama beberapa waktu. Adoniram dan Ann menikah 5 Februari 1812, keesokan harinya Adoniram dan teman-temannya ditabiskan di Salem, dan 13 hari kemudian menaiki kapal Caravan menuju Calcutta, India. Perjalanan panjang menuju India ditempuh dalam waktu empat bulan. Adoniram memanfaatkan waktu dengan belajar Alkitab dalam bahasa aslinya dan menerjemahkan Perjanjian Baru dari bahasa Yunani ke bahasa Inggris. Dalam proses tersebut, Adoniram mendapat pencerahan dan meyakini bahwa iman seharusnya ditindak-lanjuti dengan baptisan dan baptisan itu penting. Keputusan ini bukanlah sebuah keputusan yang mudah karena statusnya sebagai misionaris konggragasional dan pada waktu itu gereja Baptist belum mempunyai lembaga misionari.
Pada 6 September 1812 akhirnya mereka tiba di India dan dibaptis oleh asisten William Carey yaitu pendeta William Ward. Kabar bahwa Adoniram menjadi pengikut Baptist menimbulkan kegairahan pada gereja Baptist di Amerika sehingga dibentuklah the American Baptist Missionary Union.
Setelah beristirahat semalam di Calcutta, mereka meumpang sebuah kapal yang membawa mereka ke markas besar Misi Baptist Inggris di Serampore. Para misionaris Inggris berlindung di bawah pemerintah Denmark karena pemerintah Inggris sendiri menetang misi dan pekerjaan misi akibat pengaruh jahat dari perkumpulan dagang Inggris.


(8) Bradshaw, Robert I., The Life and Work of Adoniram Judson, Missionary to Burma. Tersedia di http://www.theologicalstudies.org.uk/article_judson.html; Internet; diakses pada 20 Oktober 2008.

Hal ini terbukti sepuluh hari setelah Adoniram tiba, pemerintah Inggris memerintahkan mereka untuk kembali ke Amerika. Kesulitan lain adalah karena dewan misi Amerika telah memerintahkan mereka untuk membuka sebuah misi di Birma, sebuah hal yang sulit dilakukan karena kelaliman pemerintah Birma, kesulitan bahasa dan kegagalan setiap usaha pemberitaan Injil di Birma yang dilakukan oleh orang lain sampai pada saat itu.
Akan tetapi rupanya keluarga Adoniram sudah bertekat untuk melayani Allah di ladang misi dan menolak untuk pulang ke Amerika dengan tangan hampa sehingga mereka berupaya untuk menumpang kapal Creole yang berlayar ke pulau France. Usaha ini kembali mendapat hambatan dari pihak berwenang yang menolak pemohonan surat-surat yang diperlukan agar dapat berlayar dengan kapal Creole. Dengan bantuan kapten kapal mereka menyelundup naik ke kapal, namun pihak berwajib mengejar dan memerintahkan mereka untuk turun. Habislah harapan mereka, tetapi atas ketetapan Allah, malam itu datanglah surat-surat yang diperlukan dan kapal Creole mengalami penundaan. Dari pulau France, keluarga Adoniram meneruskan perjalanan ke Madras dengan harapan dapat segera pergi ke Penang.
Kuatir diusir oleh pemerintah Inggris, mereka mencari kapal yang akan berlayar segera, namun hanya ada satu kapal yang akan berlayar ke Rangoon, Birma. Akhirnya setelah kira-kira perjalanan selama hampir satu tahun, keluarga Adoniram Judson tiba di Rangoon, Birma pada tahun 1813.

7. Masa-masa Awal Yang Sulit.
Setelah berada di Birma selama 6 bulan, Ann mengalami sakit sehingga harus berobat selama tiga bulan di Madras. Setelah sembuh Ann kembali ke Birma dan melahirkan anak sulungnya pada tahun 1815, tetapi pada waktu bayi itu berumur delapan bulan Tuhan memanggilnya.
Saat-saat awal di Birma digunakan keluarga Adoniram untuk belajar bahasa setemapat, suatu hal yang sangat sulit karena waktu itu belum ada buku tata-bahasa, kamus, maupun buku-buku lain yang dapat menolong.
Pada 20 Mei 1817, Adoniram menulis tata bahasa dari bahasa Birma, menterjemahkan Injil Matius, menulis traktat dll (9).
Dalam bulan November 1817, mereka mendapat bantuan dengan datangnya dua orang misionaris, yaitu pendeta Wheelock dan pendeta Coleman dari Boston. Dalam bulan Desember, Adoniram terpaksa meinggalkan Rangoon karena sakit. Keadaan menjadi pelik karena kapal yang ditumpanginya mengalami badai dan terpaksa mendarat kira-kira 300 km dari Madras. Selama di Madras, Adoniram tidak dapat menghubungi istrinya dan kesempatan pulang ke Birma baru terbuka pada tanggal 20 Juli tahun berikutnya, sehingga lebih dari enam bulan Ann tidak tahu apakah suaminya masih hidup atau sudah meninggal. Seakan penderitaan keluarga Adoniram belum cukup, pada waktu itu penganiayaan pada orang kristen mulai berlangsung disertai ancaman pembunuhan terhadap orang kristen.



(9) Royer, Galen B., Adoniram Judson: Burma’s First Misionary. Tersedia di http://www.wholesomewords.org/missions/bjudson3.html); Internet, diakses pada 20 Oktober 2008.

Setelah hampir enam tahun di Birma, Adoniram pertama kali berkhotbah dan dua bulan kemudian (27 Juni 1919) memetik petobat pertamanya yang bernama Maung Hau (atau Moung Nau dalam buku lain) diikuti beberapa orang lainnya. Tahun berikutnya kembali seorang petobat baru dibaptiskan diikuti beberapa wanita. Sayangnya di tahun 1821 kembali Ann sakit demam dan limpa sehingga harus berobat ke Amerika. Di Amerika penyakitnya bertambah parah disertai komplikasi yang mengakibatkan paru-parunya berdarah sehingga diragukan apakah Ann dapat kembali ke Birma. Waktu berlalu dan Ann menulis sebuah buku yang berjudul ‘Sejarah Misi Birma’. Berkat anugerah Tuhan, tahun 1823, Ann beserta dua orang misionaris lainnya dapat kembali ke Birma.
Sementara itu raja muda yang baru bersikap memusuhi agama kristen dan memerintahkan para misionaris untuk tinggal di kota Ava. Pada tahun 1824, raja Birma bermaksud untuk menyerang Benggala (India), sebagai akibatnya pemerintah Inggris mengirimkan 10.000 tentara di bawah komando Sir Archibald Campbell. Setelah berita kejatuhan kota Rangoon sampai di Ava, sebuah perintah dikeluarkan untuk memenjarakan semua orang asing tidak terkecuali pendeta Adoniram Judson (8 Juni 1824).

8. Penjara Dan Harta Dalam Sebuah Bantal.
Penjara yang ditempati Adoniram adalah sebuah bangunan yang menyedihkan keadaannya, tidak ada ventilasi, retak-retak, dan tidak pernah dibersihkan sejak dibangun. Itu adalah sebuah tempat yang mengerikan di mana Ann membawa bayi mereka yang baru lahir untuk bertemu dengan ayahnya untuk pertama kalinya. Ann adalah satu-satunya wanita kulit putih di Ava dan setiap hari ia membawakan makanan dan linen bersih untuk suaminya. Suatu hari, Ann bermaksud mengejutkan suaminya dengan membuat ‘mince pie’ kesukaan Adoniram. Tapi, melihat ‘mince pie’ itu Adoniram menangis tersedu-sedu, merasa terharu pada kesetiaan istrinya, dan tidak sanggup memakannya. Teman-teman penjaranya yang akhirnya menikmatu ‘mince pie’ spesial itu.
Setelah beberapa bulan, seekor singa di tempatkan dekat dengan penjara dan aumannya sangat mengganggu siang dan malam sampai singa itu mati.
Beberapa bulan kemudian Adoniram dipindahkan ke sebuah ‘death-prison’. Ketika Ann mendengar hal ini, dia langsung berangkat dengan bayi Maria ditangannya dan menempuh perjalanan panjang dengan ‘boat’ dan kereta kuda yang berguncang-guncang untuk sampai ke penjara yang menyedihkan itu. Ketika melihat istrinya, Adoniram menangis dan berkata: ‘mengapa kau datang?, saya harap kau tidak datang karena kamu tidak dapat tinggal di sini.’ Penjaga penjara yang kejam memberikan sebuah ruangan kecil yang separuhnya penuh dengan gandum. Ann tinggal di sana selama enam bulan berikutnya. (10)
Ada sebuah cerita yang sangat mengesankan ketika Adoniram akan dipindahkan ke penjara yang baru. Sebelum Adoniram dijebloskan ke penjara pertama kalinya, dia sudah menyelesaikan salinan Kitab


(10) Johnston, Julia H., Fifty Missionary Heroes Every Boy and Girl Should Know. New York: Fleming Revell Co., 1913. Dikutip oleh Ross, Stephen pada http://www.wholesomewords.org/children/heroes/hmrsjud.html; Internet, diakses pada 20 Oktober 2008.
Perjanjian Baru dalam bahasa Birma. Menyimpannya di rumah tentu bukan tindakan yang bijaksana mengngat rumah mereka sudah dua kali digeledah tentara kerajaan. Maka Ann menjahit sebuah bantal yang sengaja dibuat keras dan kumal agar tidak menarik perhatian penjaga. Di dalam bantal itu ia memasukkan naskah Kitab Perjanjian Baru berbahasa Birma. Selama sebelas bulan, Adoniram tidur dengan kepala bersandarkan bantal yang berisi buku itu. Siang malam ia menderita; namun ia mengucap syukur karena naskahnya yang berharga itu masih aman.
Tiba-tiba pada suatu hari semua tahanan disuruh berderet di halaman penjara untuk dipindahkan. Adoniram mohon dengan sangat agar ia boleh membawa serta bantalnya, sampai-sampai ia menangis dan tahanan lainnya mengejek dia. Namun penjaga yang bengis menyobek bantal itu, lalu membuangnya ke tempat sampah.
Adoniram dan para tahanan lainnya dipaksa berbaris sejauh enam belas kilometer di luar kota, di bawah terik matahari. Kaki mereka berdarah; mulut mereka kekeringan. Ada yang tidak tahan dalam perjalanan maut itu; ada yang meninggal sebelum tiba di tempat tujuan; ada juga yang jatuh pingsan di ujung jalan. Adoniram bertahan dan ia masih tetap terkurung di dalam penjara di luar kota itu selama tujuh bulan lagi.
Pada suatu hari, ada berita dari sang raja; Ia memerlukan seorang pengalih bahasa yang pandai berbahasa Inggris dan bahasa Birma. Maka Adoniram Judson dibebaskan dari penjara walau masih tetap dijaga dengan ketat.
Setibanya di ibu kota, yang pertama-tama ditanyakan Judson ialah kabar istri dan anaknya. Para penjaga memberitahu bahwa kedua orang itu masih selamat. Pertanyaan Judson yang kedua adalah mengenai bantalnya. Para penjaga tidak tahu dan tidak ambil pusing tentang benda yang mereka anggap tidak berharga itu.
Akhirnya, semua tugas yang dituntut sang raja itu selesai. Adoniram dengan keluarganya boleh kembali ke Rangoon. Di sana, mereka kembali menjumpai orang-orang Kristen Birma, yang selama masa perang itu masih tetap setia dengan imannya.
Salah seorang di antara ketiga petobat yang pertama-tama itu rupanya sangat senang bertemu kembali dengan gurunya. "Wah, kami kira Pendeta sudah meninggal! Lagipula tiada kubur tempat tinggal kami dapat pergi berkabung. Namun, aku masih tetap memelihara bantal itu, tempat kepala Pendeta pernah bersandar."
"Bantal?" tanya Adoniram hampir tidak percaya. "Bantal apa itu?"
"Ya, bantal kecil itu yang dipakai Pendeta waktu di penjara. Untung aku sempat menyelamatkannya dari tempat sampah sebagai kenang-kenangan, pada hari itu ketika Pendeta digiring keluar halaman penjara dalam perjalanan maut."
Dengan tangan gemetar Pdt. Judson menerima kembali bantal yang kotor dan sobek itu. Ia sengaja menyobek tutupnya, dan ... ternyata naskahnya masih utuh! Maka dengan semangat baru, Adoniram Judson mulai mengabarkan "isi bantal" itu kepada orang-orang Birma.
Baru pada tahun 1835, seluruh Alkitab itu selesai diterjemahkannya ke dalam bahasa Birma. Namun, Judson masih belum puas. Selama lima tahun ia mendalami lagi tulisan sastra bahasa Birma, baik prosa maupun puisi. Sering ia meminta pendapat para rekannya, baik utusan Injil maupun orang Kristen Birma. Akhirnya pada tahun 1840, ia merasa puas. Terjemahan Alkitab hasil karyanya yang diterbitkan pada tahun itu hingga kini masih tetap dibaca di gereja-gereja di negeri Myanmar.
Selama bertahun-tahun, Adoniram Judson berjuang mati-matian demi tugas penginjilan dan penerjemahannya itu, suatu gerakan Kristen besar mulai tampak di negeri Birma. Bahkan pada masa hidup Judson, sudah ada ribuan orang Birma yang percaya kepada Tuhan Yesus. Dan sekarang, lebih dari satu setengah abad kemudian, ada ratusan ribu orang Kristen di negeri Myanmar.
Siapa tahu, mungkin semuanya itu tidak akan terjadi ... seandainya tidak ada seorang ibu Amerika yang pandai menjahit serta seorang bapak bangsa Birma yang setia menyimpan bantal yang berisi buku, sampai saat ia menyerahkan kembali kepada pemiliknya! (11)
9. Sarah Hall Boardman.
Setelah menghadapi begitu banyak kesulitan, rupa-rupanya Tuhan belum selesai dengan Adoniram. Suatu hari Adoniram pergi ke kota Ava untuk suatu urusan dan di tengah perjalanannya, Ann diserang oleh demam tinggi. Selama dua hari menjelang kematiannya, Ann berbaring dengan tidak sadar dan tidak bergerak. Tanpa suami atau seorang teman misionaris di sampingnya dan di kelilingi oleh sekumpulan orang Birma yang menangis, Ann-pun pulang ke Sorga pada 24 Oktober 1826. Kepulangan Ann diiringi dengan kehormatan sipil dan militer dan sebuah tugu dikirimkan dari Boston untuk menandai tempat itu. Adoniram menerima kabar dan segera pulang, hanya untuk menemukan sebuah nisan di bawah pohon hopia (hope-harapan) di kellingi teralis yang kasar dan si kecil Maria yang berusia beberapa bulan berbaring di samping kubur ibunya. Enam bulan kemudian Maria menyusul ibunya dan jenazahnya di letakkan di samping ibunya.............
Bertahun-tahun kemudian, pengabar Injil yang setia itu dikaruniai sebuah keluarga baru. Setelah menduda selama delapan tahun, Adoniram menikahi Sarah Hall Boardman pada 10 April 1834, Sarah adalah seorang janda seorang misionaris yang bernama George Boardman. Istri keduanya itu melahirkan beberapa anak yang di antara mereka, di kemudian hari ada yang menjadi hamba Tuhan sama seperti ayahnya. Tetapi setelah hampir dua puluh tahun melayani Birma, pada tahun 1844 penyakit disentri menyerang Sarah sehingga memaksa keluarga Judson pulang ke Amerika. Ketika kapal berada di sekitar St. Helena, Tuhan memanggilnya dan tubuhnya dikuburkan di pulau itu, dengan sebuah batu sebagai penandanya.
(11) McGavran, Grace W., Stories of the Book of Books. Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 1991. hal. 22. diambil dari http://www.misi.sabda.org//bantal_yang_berisi_buku_myanmar_1819_1840; Internet; diakses pada 20 Oktober 2008.
10.Amerika dan Emilly Chubbuck.
Setelah 33 tahun meninggalkan tanah kelahirannya, Adoniram mendarat di Boston bersama ketiga anaknya dan menerima sambutan yang sangat meriah dari masyarakat Amerika. Ratusan keluarga menawarkan diri untuk menjadi tuan rumah baginya. Selama ini kisahnya telah menjadi tema ribuan khotbah dan pokok doa. Selama di Amerika Adoniram berpikir untuk mencari seorang penulis untuk menulis kisah istri keduanya, Sarah. Seorang penulis yang menarik perhatiannya adalah ‘Fanny Forester’ yang menulis buku yang berjudul ‘Trippings’.
Fanny Forester sebenarnya adalah nama samaran dari Emily Chubbuck yang secara kebetulan menjadi tamu dalam rumah yang ditinggali Adoniram. Seorang teman mempertemukan dan memperkenalkan keduanya dan Emily merasa senang mendapat kesempatan untuk menuliskan kisah wanita yang luar biasa itu. Rupa-rupanya hubungan kerja sama yang baik itu berlanjut menjadi hubungan secara pribadi yang serius dan akhirnya berakhir dengan sebuah pernikahan kudus pada tanggal 2 Juni 1846.
11.Pulang ke Rumah Bapa.

Pernikahan ketiga Adoniram dikuatirkan beberapa pihak akan mengganggu pelayanan misinya. Tetapi segala kekuatiran ini sirna pada bulan Juni 1846 ketika Adoniram dan Emily berlayar kembali ke Birma. Di ladang misi, Adoniram menyelesaikan kamus Birma-Inggris dan Emily menulis kisah Sarah Boardman Judson dan merawat anak-anak mereka.
Tiga tahun setelah pernikahannya, Adoniram menderita sebuah penyakit yang berat. Karenanya pada tahun 1850 dia berangkat ke Amerika untuk berobat dengan meninggalkan istri dan anak-anaknya. Rupanya kali ini tugas Adoniram di dunia, sebagai suluh Allah di Birma sudah selesai. Adoniram pulang ke Rumah Bapa pada 12 April 1850 dan dikuburkan di laut biru.
Emily sendiri baru mengetahui kabar kematian suaminya empat bulan kemudian. Mendengar berita itu, dia dan anak-anaknya pulang ke Amerika. Emily mendedikasikan dirinya untuk merawat orang tua dan anak-anaknya sampai tiba waktunya untuk pulang pada tahun 1854 di Hamilton, New York.
Sampai akhir hidupnya, pelayanan Adoniram Judson telah membawa 7.000 orang Birma dan Karen kepada Kristus, telah menterjemahkan seluruh Alkitab ke dalam bahasa Birma, menulis kamus bahasa Birma-Inggris, dan menulis buku tata bahasa Birma.

12.Review.
Sungguh sebuah kehormatan untuk dapat membuat makalah tentang Adoniram Judson. Kisah penderitaan dan kesetiaannya pada panggilan Kristus sungguh mengharukan dan menghancurkan hati penulis.
Boreham mengungkapkan bahwa Adoniram Judson mempunyai sebuah bagian Firman Tuhan yang menguatkan dirinya yaitu Efesus 3:17-19 “Sehingga oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu dan kamu berakar serta berdasar di dalam kasih. Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan. Aku berdoa, supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah.”

Selama melayani di Birma, Adoniram telah kehilangan Ann, Sarah dan tiga orang anaknya. Melampaui semua hal itu, tidak sekalipun imannya guncang pada kekayaan kasih Kristus yang sudah didapatnya.
Thomas Ranney bersaksi bahwa menjelang kematiannya Adoniram terus mengulangi kata-kata “Seperti Aku telah mengasihimu lebih dulu, begitulah kamu harus saling mengasihi satu sama lain”, dan kemudian sambil menangis gembira dia melanjutkan “Oh, kasih Kristus, kasih Kristus......”
Kemudian, karena kesulitan bernafas dia berhenti sejenak. Kemudian dia bergumam, ‘Oh kasih Kristus, kasih Kristus’, matanya berkobar-kobar dengan antusias dan air mata membasahi kedua pipinya. “The love of Christ, its breadth and length and depth and height”
Dan, setelah kehabisan tenaga untuk berkata-katapun, bibirnya menyuarakan kasih Kristus, kasih Kristus......

Beberapa hari sebelum meninggal, Adoniram berkata dengan kelegaan akan dikubur di laut. Dia berkata dengan rasa bebas, membandingkan akan perbedaan dikuburkan di laut dan di tanah yang gelap dengan kuburan yang sempit seperti yang dialami oleh istri dan anak-anaknya.
Laut biru yang luas seakan-akan menjadi simbol akan kasih Tuhan dan Penebusnya yang tak terbatas.
Penulis berdoa kiranya kasih Kristus yang sama kiranya juga membakar semua orang kristen di seluruh dunia.

On His Grace,
hendra

























Bibliografi

1. Pitman, E. R. Ann H. Judson Pahlawan Misi Wanita di Birma.
2. Judson, Edward. Adoniram Judson: A Biography. Tersedia di http://www.wholesomewords.org/missions/judson/judsontoc.html; Internet; diakses pada 20 Oktober 2008.
3. Anderson, Courtney. To the Golden Shore: The Life of Adoniram Judson. Michigan: Zondervan Publishing House, 1972.
4. Harrison, Eugene Myers. Adoniram Judson: Apostle of the Love of Christ in Burma. Tersedia di http://www.reformedreader.org/rbb/judson/ajbio.htm; Internet; diakses pada 20 Oktober 2008.
5. Boreham, F. W., Adoniram Judson’s Life Text. Tersedia di http://www.wholesomewords.org/missions/bjudson11.html; Internet; diakses pada 20 Oktober 2008.
6. Assa, Rudy N., Tokoh-tokoh Kristen yang Mewarnai Dunia. Yogyakarta: Penerbit Andi, 2002.
7. Bradshaw, Robert I., The Life and Work of Adoniram Judson, Missionary to Burma. Tersedia di http://www.theologicalstudies.org.uk/article_judson.html; Internet; diakses pada 20 Oktober 2008.
8. Royer, Galen B., Adoniram Judson: Burma’s First Misionary. Tersedia di http://www.wholesomewords.org/missions/bjudson3.html; Internet, diakses pada 20 Oktober 2008.
9. Johnston, Julia H., Fifty Missionary Heroes Every Boy and Girl Should Know. Nre York: Fleming Revell Co., 1913. Dikutip oleh Ross, Stephen pada http://www.wholesomewords.org/children/heroes/hmrsjud.html; Internet, diakses pada 20 Oktober 2008.
10. McGavran, Grace W., Stories of the Book of Books. Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 1991. hal. 22. diambil dari http://www.misi.sabda.org//bantal_yang_berisi_buku_myanmar_1819_1840; Internet; diakses pada 20 Oktober 2008.

No comments: