Monday, May 5, 2008

Timeless Calling and Grace (2), Let's Unleash Our Masks

Matius 12:33 ‘Jikalau suatu pohon kamu katakan baik, maka baik pula buahnya; jikalau suatu pohon kamu katakan tidak baik, maka tidak baik pula buahnya. Sebab dari buahnya pohon itu dikenal’.

Hukum yang terutama: Markus 12: 30-31 ‘Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama daripada kedua hukum ini’.


Pada bagian pertama kita melihat betapa jujurnya Alkitab mencatat berbagai kelemahan manusia baik nabi, rasul maupun hamba Tuhan sepanjang masa. Memang dalam sejarah dunia tidak ada manusia yang sempurna dan ‘the real hero’ dalam Alkitab bukanlah Abraham, Samuel, Petrus ataupun Paulus melainkan hanya Allah saja. Boleh-boleh saja kita mengidolakan seorang hamba Tuhan, tetapi kekaguman itu harus disertai dengan kesadaran bahwa: ‘hamba Tuhan bukanlah superman’ dan selalu ada sisi-sisi kelemahan manusiawi yang harus dimaklumi dan dijadikan tanda awas bagi kita agar tidak diulangi.

Pohon vs Buah
Malam ini kita belajar dari perjalanan hidup Bob Pierce. Bob Pierce adalah pendiri World Vision, lembaga bantuan dan pembangunan Kristen terbesar yang melayani lebih dari 50 juta orang per tahun di lebih dari 100 negara di seluruh dunia. Rekan-rekannya berkata: ‘Ia adalah seorang yang tidak kenal lelah dalam memenangkan jiwa-jiwa’, ‘saya belum pernah bertemu dengan orang yang lebih ber-belas-kasihan dari dia’, ‘Ia benar-benar seorang Samaria Kristen yang secara harafiah menyerahkan nyawanya untuk orang-orang ‘kecil’ yang miskin di dunia’.
Di balik image yang ‘sempurna’ tsb, bagimana sebenarnya seorang Bob Pierce di mata keluarganya?. Pada kenyataannya dia mengabaikan keluarganya sendiri, sebagai contoh ketika seorang putrinya akan mencoba bunuh diri, dia menelpon ayahnya yang berada di Timur Jauh dan memintanya untuk segera pulang. ‘Saya hanya ingin merasakan tangan ayah memeluk saya’ kata anaknya. Bahkan istrinya juga memohon agar ia pulanh tapi Bob Pierce tidak menuruti permintaan keluarganya dan malah memesan tiket ke Vietnam. ‘Saya sudah menduga bahwa ia tidak akan pulang,’ kata anaknya. Beberapa tahun kemudian ia benar-benar berhasil bunuh diri. Hubungan Bob Pierce dengan istrinya dan anaknya yang lain sangat tegang dan mereka tidak saling berbicara bertahun-tahun dan pada usia 64 tahun, pada tahun terakhir hidupnya dia hidup terasing dari keluarganya. Semua kisah ini ditulis oleh putrinya yang bernama Marilee Pierce Dunker dalam sebuah buku yang berjudul ‘Man of Vision, Woman of Prayer’.

Contoh kedua adalah Ray Mossholder, seorang yang terkenal sebagai bapa dari pelayanan pernikahan Kristen. Bukunya yang berjudul ‘Pernikahan Plus’ menjadi best seller di mana-mana dan melalui pelayanannya melalui radio dan TV telah menyelamatkan lebih dari 11.000 pasangan dari perceraian. Bayangkan, 11.000 pasangan yang artinya: satu tahun ada 365 hari, bila 11.000/365= 30,14 Artinya bila sebuah perkawinan diselamatkan dari perceraian setiap hari tanpa putus sepanjang tahun, butuh lebih dari 30 tahun untuk menyamai ‘rekor’ Ray Mossholder.
Pelayanannya berakhir pada bulan Januari 2002 ketika ia menuntut cerai istri yang telah dinikahinya selama 40 tahun sekaligus mengumumkan rencananya untuk menikahi wanita lain. Pernyataan yang sangat menyedihkan ketika ia mengakui bahwa ‘ia munafik ketika berbicara tentang betapa indahnya pernikahan kami dulu. Apa yang saya ajarkan sebagai kebenaran, entah mengapa, tidak dapat saya terapkan dalam pernikahan kami’.
Ketika pertama saya membaca kisah-kisah di atas, terus terang saya merasa shock dan berpikir kok bisa ya?....kenapa bisa begitu?........apa yang keliru? Bukankah hal ini seakan-akan bertentangan dengan ucapan Kristus dalam Matius 12:33 yang menyatakan bahwa ‘dari buahnya pohon itu dikenal’, jadi buah ditentukan oleh buahnya. Buah mangga pasti berasal dari pohon mangga, buah jeruk pasti berasal dari pohon jeruk, simple sekali bukan?. Tetapi ketika kita melihat pada Bob Pierce dan Ray Mossholder kita menjadi heran, orang-orang ini besar, mempunyai buah yang sangat baik di luar, tetapi ternyata pohon hatinya dingin luar biasa. Saya merasakan (bagaimana dengan saudara?) di zaman posmo hari ini semakin manusia pandai untuk memakai topeng untuk menutupi hatinya yang asli. Kalau menurut saudara, mengapa orang memakai banyak topeng? Saya pikir paling tidak ada 3 hal: karena ia sukar menerima dirinya sendiri, ia tidak merasa aman bila dirinya yang asli terlihat orang lain, karena pengajaran yang tanpa sadar diturunkan turun-menurun dan social pressure misal tradisi untuk berbasa-basi mengakibatkan orang yang tidak berbasa-basi dianggap sombong.
Memang harus kita akui ada sebuah jurang yang dalam antara hati Tuhan dengan hati manusia, antara kehendak Tuhan dengan kehendak daging manusia. Lalu apakah berarti ayat di atas keliru? Tidak, karena pada dasarnya bagaimana pandainya kita menutupi hati kita yang asli dan menipu seribu atau sejuta manusia tapi sekali-kali tidak pernah mampu menipu Yesus. Amin?

Pengetahuan Cognitive vs Hati
Pada poin pertama kita melihat bagaimana orang kristen bisa hidup dengan tidak konsisten dan memakai berbagai macam topeng yang berbeda untuk situasi yang berbeda. Pertanyaan yang kita renungkan dalam poin yang kedua adalah bagaimana sebenarnya kehendak Tuhan:
Hukum yang terutama: Markus 12: 30-31. Ayat ini sungguh dahsyat karena merupakan tuntutan sekaligus tuntunan Tuhan yang sangat jelas:
Mengasihi Allah dengan segenap keberadaan diri kita.
Segenap keberadaan diri meliputi Rasio, Hati dan Kemauan. Tuhan ingin agar setiap orang kristen dapat mengintegrasikan dan mengaplikasikan tiga hal ini dalam hidupnya. Kita akan melihat hal ini nanti.
Mengasihi sesama seperti diri sendiri.
Hal ini terdengar mudah tapi sebenarnya begitu kompleks. Sebelum mengasihi orang lain kita harus lebih dahulu dapat menerima diri sendiri dan mengasihinya. Kita akan membicarakan hal ini dalam poin terakhir nanti.

Kata kasih begitu famaliar, begitu mudah untuk diucapkan (bagi yang pacaran) dan begitu mudah pula untuk diingkari (kalau ingin putus). Ada yang namanya kasih Eros, Philia dan Agape. Secara gampang Eros adalah nafsu, Philia adalah kasih seorang ibu pada anaknya dan Agape adalah kasih Tuhan kepada umat-Nya. Eros dan Philia adalah kasih yang bersyarat (practical love) sedangkan Agape adalah kasih yang tidak bersyarat (essensial love). Dapatkah kita mengasihi Allah dan sesama dengan kasih yang tak bersyarat?
Dalam bukunya ‘Improving Your Serve’, Charles Swindoll menceritakan pengalamannya bertemu dengan seorang mahasiswa seminari bernama Aaron (bukan nama sebenarnya). Aaron menceritakan sebuah pengalaman yang fantastis dimana Tuhan membentuknya dalam kesulitan. Pada suatu hari di musim semi dia berdoa agar Tuhan membuka kesempatan baginya untuk dapat bekerja sebagai staf di sebuah gereja atau organisasi kristen. Hari berganti, minggu berganti sampai musim panas tiba. Aaron menghadapi kenyataan bahwa ia memerlukan pekerjaan apapun. Ia memeriksa lowongan kerja dan satu-satunya pekerjaan yang ia dapatkan adalah sebagai supir bus di kota Chicago.
Sekelompok anak nakal melihat supir muda ini dan mulai memanfaatkannya. Beberapa hari berturut-turut mereka naik bis tanpa membeli karcis dan selama perjalanan mengganggu dan mengejek Aaron dan penumpang yang lain. Suatu hari Aaron merasa tidak tahan lagi dan ketika dia melihat seorang polisi maka ia berhenti dan melaporkan kejadian tersebut. Polisi tersebut memerintahkan mereka untuk membayar atau turun dari bis. Mereka membayar........hanya sayangnya, polisi tsb turun dan bis dan mereka tidak. Setelah beberapa belokan.....mereka serentak menyerang Aaron. Ketika siuman, aaron mendapati bajunya penuh darah, dua giginya rontok, mukanya bengkak dan semua uangnya hilang. Malam itu Aaron terbaring terlentang dan rasa marah, bingung dan kecewa. Ia melewati malam yang panjang bergumul dengan Tuhan. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Di manakah Tuhan? Dengan tulus saya mau melayani Dia dimanapun dan apapun pekerjaannya........dan inikah balasan yang saya dapat?
Hari senin pagi Aaron memutuskan untuk menuntut penjahat-penjahat tsb. Dengan bantuan polisi yang telah melihat mereka dan beberapa orang yang bersedia menjadi saksi maka penjahat-penjahat kejam tsb digiring ke penjara lokal. Dalam beberapa hari sidang dilaksanakan. Di dalam ruang pengadilan gerombolan penjahat tsb melotot penuh kemarahan pada Aaron, tiba-tiba saja Aaron diserang oleh suatu pemikiran baru. Bukan kepahitan tapi rasa kasih. Kuasa Roh Kudus membuatnya tidak lagi membenci melainkan mengasihani mereka. Mereka perlu pertolongan, bukan kebencian tapi apa yang harus saya lakukan atau katakan?
Setelah dakwaan selesai dibacakan, tiba-tiba Aaron mengejutkan semua orang di ruang sidang. Ia berdiri dan mohon izin untuk berbicara. ‘Yang mulia, tolong hitung berapa hari hukuman yang harus mereka jalankan-dan saya mohon engkau membiarkan saya masuk penjara untuk menggantikan mereka’.
Sang hakim terperanjat dan tidak tahu harus berbuat apa, demikian juga dua orang pengacara yang ada terbengong-bengong. Aaron memandang kepada gerombolan penjahat itu (yang matanya melotot dan mulutnya ternganga), ia tersenyum dan berkata dengan tenang: ‘itu karena saya mengampuni kalian’.
Sang hakim setelah menenangkan dirinya berkata dengan tegas: ‘anak muda, engkau tidak beres. Hal seperti ini tidak pernah terjadi’. Aaron menjawab dengan tenang: ‘Oh, ya, pernah, yang mulia.......ya, pernah. Hal itu terjadi kira-kira 20 abad yang lalu ketika seorang manusia dari Galilea membayar hukuman yang seharusnya ditanggung oleh umat manusia’. Selanjutnya selama 3-4 menit ia menjelaskan bagaiman Yesus mati bagi kita dan membuktikan cinta dan pengampunan-Nya.
Permohonan Aaron tidak dikabulkan, tetapi ia mengunjungi penjahat-penjahat tsb di penjara dan membawa sebagian besar dari mereka kepada Kristus.

Saudara, kasih yang ditunjukkan oleh Aaron adalah kasih yang tak bersyarat, kasih yang memberi dengan mengorbankan diri. Ketika menulis ini, saya melakukan internalisasi dan mendapati betapa kasih saya sungguh bersyarat dalam sebagian besar hubungan saya dengan sesama dan Tuhan. Ide kasih tak bersyarat terdengar mulia tapi jujur saya harus mengakui justru dari sepanjang hidup saya, orang yang paling sering saya merasa marah, jangkel sampai ada waktu-waktu tertentu rasanya sudah tidak tahan lagi, orang itu adalah.......seorang wanita dimana 14 tahun yang lalu saya bersumpah dihadapan Tuhan untuk mencintainya dalam suka dan duka. Saya sudah menjadi orang kristen hampir 20 tahun dan Yesus tidak banyak merubah karakter saya. Jujur, dalam 2 tahun terakhir ini saya bergumul dengan Tuhan karena ada kekecewaan dalam hidup saya seperti yang dialami oleh Aaron, padahal justru 2 tahun terakhir ini saya serius belajar teologi. Apa yang salah sehingga orang yang mengerti teologi, pohon dan buahnya tidak sinkron?. Melalui proses pergumulan yang panjang dan melelahkan Tuhan mulai singkapkan melalui sebuah buku yang ditulis oleh Rev. Peter Scazzero ‘Gereja Yang Sehat Secara Emosional’. Dia menulis bahwa kesehatan emosional dan kesehatan spiritual tidak terpisahkan sehingga tidak mungkin kita menjadi matang secara rohani, tanpa matang secara emosional.
Maksudnya apa?
Manusia yang dicipta dalam gambar Allah mempunyai berbagai aspek seperti fisik, sosial, emosional, intelektual dan spiritual. Untuk menjadi seorang yang matang secara spiritual haruslah kita menjadi matang secara emosional dan intelektual, tidak bisa hanya salah satunya saja. Hal ini membawa implikasi seseorang yang mempunyai pengetahuan teologi secara mendalam belum tentu matang secara emosional dan berubah karakternya.

Dunia Eksterior vs Interior
Rev. Peter Scazzero menulis 6 prinsip yang perlu digumuli agar kita bertumbuh menjadi sehat secara rohani dengan mengintegrasikan dan mengaplikasikan rasio dan emosi. Karena keterbatasan waktu saya membagikan 2 prinsip:

Melihat ke bawah permukaan.
Dunia eksterior adalah kehidupan kita ber-relasi dengan orang-orang di sekitar kita, sedang dunia interior adalah apa yang terjadi di dalam diri kita. Bila diibaratkan gunung es maka dunia eksterior hanyalah sebagian kecil sedangkan dunia interior yang tidak kelihatan sangatlah besar. Ingat bahwa Titanic-pun tenggelam setelah menabrak bagian gunung es yang tidak kelihatan itu. Kalau diilustrasikan dengan kue lapis maka saya yang saudara lihat sekarang ini adalah lapis pertama (eksternal). Jadi lapis pertama adalah apa yang saya tampilkan di luar, yang saya ingin saudara lihat pada diri saya. Apakah saudara pernah kenal dengan orang yang di luar lembut sekali tapi ternyata di rumah menjadi macan? Nah, itulah lapis kedua yang merupakan sebagian besar diri kita yang asli. Siapa yang bisa lihat? Biasanya orang rumah bukan? istri, anak, mertua, pembantu, supir. Lapis ketiga adalah dosa atau kelemahan yang sangat memalukan sehingga istripun tidak boleh tahu. Terus siapa yang tahu? Ya cuma diri sendiri, Tuhan dan setan. Lapis keempat kitapun kita tidak tahu atau mati-matian berusaha melupakannya sehingga hanya Tuhan dan setan yang tahu. Sebagai contoh trauma dan luka batin sejak kecil yang tidak disadari. Contoh YC
Saudara, kehidupan rumah tangga kira-kira berada pada lapis keberapa?
Pada suatu malam yang bersalju ada sepasang pastor dan suster yang tersesat dan kemalaman di jalan. Di tengah kebingungan mereka melihat sekilas cahaya dari sebuah motel. Akhirnya mereka memutuskan untuk bermalam di motel tsb tetapi malang ternyata hanya tersisa sebuah kamar dengan sebuah tempat tidur. Dengan jiwa besar pastor berkata: suster, silahkan tidur di ranjang, saya akan tidur di kantong tidur. Begitu merebahkan badannya sang suster berkata: pastor rasanya dingin sekali. Dengan penuh kasih pastor bangkit dan menyelimuti suster. Begitu pastor membalikkan badan, suster berkata: pastor rasanya masih dingin. Kembali pastor mengambil sebuah selimut dan menyelimuti suster. Kali ini sebelum pastor membalikkan badan suster memanggil: pastor...dengan menghela nafas pastor berkata: masih dingin kan? Sang suster tidak menjawab hanya mengangguk. Pastor berkata: suster, tempat ini jauh dari mana-mana dan tidak ada yang kita kenal dan mengenal kita. Maukah jika kita berlaku seperti suami-istri malam ini saja? Suster menjawab: ya.....kalau untuk malam ini saja saya setuju. Pastor berkata dengan nada marah: elu ya sekali lagi ngomong dingin, ambil sendiri tuh selimut. Bawel amat sih, lu nggak tau gua capek, besok masih banyak kerjaan. Saudara, inilah realita kehidupan suami-istri bukan? Kenapa kita bisa kasar pada pasangan kita? Kan orang sendiri sehingga kita merasa aman untuk menunjukkan diri kita yang asli. Inilah lapis kedua dari kue lapis hati kita.
2. Hancurkan kekuatan dari masa lalu.
Dalam dunia yang sudah jatuh dalam dosa, setiap anak bertumbuh menjadi dewasa pasti mempunyai ‘riwayat’ luka batin. Luka batin yang tersimpan di bawah permukaan sering dilupakan karena dianggap setelah menerima Kristus hal ini akan beres dengan sendirinya. Tidak, tidak, saudara, the old nature is still inside. Justru kita harus mengenali dan meng-counternya dengan Firman Tuhan hari demi hari sehingga natur berdosa itu menjadi semakin lemah dan RK di dalam semakin kuat.
Biasanya untuk melihat ‘kekotoran’ diri adalah sebuah hal yang sangat sulit untuk dilakukan karena siapa sih yang suka mengorek dan melihat kekotoran diri sendiri?. Lalu siapa yang sanggup membersihkan kotoran dalam diri kita? C.S Lewis menggambarkan hal ini dengan indahnya dalam bukunya The Chronicles of Narnia: Eustace berubah menjadi seekor naga karena egois, keras kepala dan tidak percaya. Dia ingin berubah menjadi manusia lagi tapi tidak bisa. Akhirnya seekor singa (yang menggambarkan Yesus) membawanya ke mata air untuk membasuh diri, tetapi karena ia adalah seekor naga, ia tidak dapat melakukannya. Singa itu menyuruhnya untuk melepaskan kulitnya. Dengan kesakitan Eustace berhasil melepas satu lapis kulitnya tetapi segera ia menyadari tenyata masih ada lapisan kulit yang tersisa di dalam tubuhnya. Kembali ia berjuang melepaskan kulitnya dengan penuh kesakitan sampai akhirnya ia menyerah.
Singa itu kemudian berkata: ‘engkau harus mengizinkan aku untuk melepaskannya’. Eustace berkata: ‘aku takut terhadap cakarnya, tapi saya benar-benar putus asa, jadi saya membiarkan dia melakukannya’. Bukaan pertama yang dikerjakannya begitu dalam, begitu sakitnya, saya pikir cakarnya telah menembus jantung saya. Akhirnya kulit itu berhasil dilepaskan, kulit yang paling tebal dan gelap. Kemudian ia memegang dan melempar saya ke dalam air. Rasanya sakit sekali, tetapi hanya sebentar, setelah itu rasanya nikmat sekali dan saya mendapati diri saya kembali menjadi manusia.

Malam ini saya mengajak kita semua untuk merenungkan hidup kita. Adakah kita hidup dengan memakai topeng yang berlapis-lapis? siapakah manusia yang paling sering kita marahi, jengkeli, omeli? Apakah dia adalah istrimu? Izinkan saya berbagi dengan saudara: ketika saya merasa marah pada istri, cepat-cepat kaitkan itu pada Yesus. Maksudnya kami ini yang sama-sama manusia berdosa saja sulit untuk saling menerima kekurangan. Yesus yang tidak berdosa mau mencintai saya yang berdosa, yang kotor dan najis tanpa syarat, masakan saya tidak mau belajar untuk menerima kekurangan istri dan belajar untuk mencintainya tanpa syarat. Jelas ini adalah hal yang sangat sulit tapi inilah panggilan Tuhan pada kita, pria-pria pemimpin dalam rumah tangga untuk melayani istri kita terlebih dahulu. Untuk merubah lapisan kedua, ketiga dan keempat bukan masalah mudah dan hanya melalui pergumulan yang berat bersama Roh Kudus secara terus menerus yang dapat merubah karakter kita. Ini bukan sesuatu yang instan dan cepat. Ketika karakter kita sudah mengkristal dan membatu tidak ada jalan lain kecuali menggantinya dengan pohon yang baru yang dimulai dari benih, tumbuh kecil, terus disirami. Tidak bisa hari ini ditanam besok sudah besar. Mari kita berdoa.
Sola Gracia, ‘Pelayanan saya adalah perubahan dalam hidup yang dapat disaksikan orang lain, perubahan hidup itulah yang saya gunakan untuk melayani orang lain’ (Peter Scazzero)
On His Grace, Hendra, 300408
Bibliografi:
Charles Swindoll, Improving Your Serve
Peter Scazzero, Gereja yang Sehat Secara Emosional
Yohan Candawasa, kotbah
Buletin Parakaleo, Dep. Psikologi STTRII