Wednesday, November 11, 2009

Missiologia

Pendahuluan
Buku ‘Missiologia’ karya Dr. Arie de Kuyper tersaji secara sistematis dan ringkas sehingga mudah diikuti alur pemikirannya. Buku dibuka dengan sebuah pendahuluan yang menyajikan informasi singkat dan sejarah singkat ilmu penginjilan. Pada bab kedua kita mendapati dasar Alkitabiah baik dalam Pejanjian Lama maupun Perjanjian Baru bagi penginjilan. Bab ketiga meninjau sejarah penginjilan, sedangkan bab keempat menyajikan teori-teori penginjilan dan bab terakhir memberikan metode-metode dalam penginjilan.

Isi Buku
Di bagian awal buku ini memberikan beberapa pertanyaan penting: Mengapa harus ada perkabaran Injil?, siapa yang melakukannya?, kepada siapa penginjilan dilakukan?, dengan cara seperti apa? dan apa sesungguhnya tujuan penginjilan. Semua pertanyaan ini secara otomatis dijawab oleh isi buku ini sendiri.

Dasar Alkitabiah

Perjanjian Lama
Dalam PL belum ada perintah untuk melakukan penginjilan kepada bangsa-bangsa lain karena fokus PL adalah pemilihan Israel. Walaupun demikian Allah berjanji bahwa Abraham akan manjadi berkat bagi semua kaum di muka bumi (Kej. 12:3). Dapat dikatakan bahwa pemilihan Abraham adalah sebuah lembaran baru yang dibuka oleh Tuhan bagi persiapan keselamatan bangsa Israel dan bangsa-bangsa lainnya. Demikian juga Mzm 67:2 menyatakan rencana keselamatan: ‘supaya jalan-Mu dikenal di bumi, dan keselamatan-Mu di antara segala bangsa.’ Bahkan kitab Yunus dan Rut sangat jelas menunjukkan bahwa keselamatan bukan hanya bagi diri sendiri.
Di bagian lain Allah juga memakai para nabi untuk memberitakan keselamatan secara eskatologis misalnya pada Yes. 45:22-24. Rencana keselamatan itu akan dipenuhi oleh keturunan Daud seperti ditujukkan banyak sekali ayat-ayat dalam PL misalnya Zak 9:9, Yes. 9:6, Dan. 7:13-14 dll. Jadi keselamatan secara universal, eskatologis dan mesianik ada dalam PL dan dapat disimpulkan bahwa Israel berperan sebagai perantara di dalam rencana Allah untuk menyelamatkan bangsa-bangsa lain.

Masa Transisi PL dan PB
Sementara itu ada suatu masa ‘tansisi’ di mana PL telah selesai ditulis dan Kristus belum datang (masa di antara PL dan PB). Pada masa itu perkabaran Injil lebih banyak bersifat proselitisme dengan dua cara yaitu berusaha menarik orang asing yang tinggal (menetap) di Israel masuk ke agama mereka. Cara yang kedua adalah orang Israel yang berada (menetap) di luar negaranya (diaspora) berusaha menarik orang asing untuk masuk ke agama Yahudi. Motif utama proselitisme adalah untuk mendapatkan jasa secara pribadi. Adapun syarat yang harus dipenuhi adalah sunat, baptisan proselit dan persembahan kurban. Di sini dapat disimpulkan bahwa orang Yahudi tidak mengabarkan Injil melainkan hanya menarik orang masuk ke agama mereka sendiri. Hal ini dikecam sangat keras oleh Yesus dalam Mat 23:15 sehingga dikatakan bahwa perkabaran Injil adalah kebalikan proselitime.

Perjanjian Baru
Titik tolak dalam PB adalah pengharapan eskatologis kepada pertobatan bangsa-bangsa lain dan inti berita Injil adalah maklumat Yesus tentang kerajaan sorga yang telah dekat (Mat. 4:17). Satu hal yang menarik, Yesus sendiri (dan para rasul) pertama-tama melakukan penginjilan di antara bangsa Israel setelah itu barulah Dia melakukannya kepada bangsa lain, bahkan Amanat Agung-Nya dalam Mat 28:18-20 diperintahkan kepada murid-murid setelah kematian dan kabangkitan-Nya.
Injil Markus mencatat kegiatan penginjilan dalam tiga bagian: a. 1:14-8:26 pekerjaan Yesus masih di Israel. b. 8:27-10:45 terutama terbatas kepada para murid. c. 10:46-16:18 kepada para orang kafir.
Injil Matius ditujukan kepada jemaat kristen asal Yahudi sehingga terasa sekali panggilan untuk memberitakan Injil kepada umat Yahudi. Demikian pula Mat 24:14 (dan Mat 28: 18-20) adalah perintah untuk memberitakan Injil ke seluruh dunia.
Injil Lukas tidak mencatat perintah Yesus untuk memberitakan datangnya Kerajaan sorga semasa Ia hidup, namun dari Luk. 24:46-49 kita mendapati beberapa hal yaitu: PI adalah penggenapan janji-janji PL, seruan untuk bertobat dan penawaran pengampunan dosa, para murid dipanggil menjadi saksi, Yerusalem adalah titik tolak PI dan PI tidak dapat dilakukan tanpa pernyertaan Roh Kudus.

Masa setelah kebangkitan Kristus (jemaat mula-mula) di mulai dengan pemberitaan Injil kepada orang Yahudi dan proselit. Setelah itu barulah Barnabas dan Paulus diutus untuk mengabarkan Injil kepada orang Yahudi, proselit dan orang kafir. Sulit untuk dibantah bahwa seorang tokoh penting dalam penginjilan pada masa itu adalah Paulus. Dia melakukan PI sampai Asia Kecil, Yunani dan Roma (melalui Yerusalem) dan Paulus mempunyai beban khusus kepada orang-orang kafir yang tidak bersunat.
Setelah kematian Petrus dan Paulus, dimulailah masa konsolidasi dan pembangunan gereja walau berada di bawah ancaman penganiayaan oleh Roma. Hal ini kelihatan dalam surat-surat Kolose, Efesus, Ibrani, Wahyu dan surat-surat am. Injil Yohanes mencatat bahwa kehidupan jemaat lebih ditekankan pada kegiatan PI terhadap dunia.

Dari PB dapat disimpulkan bahwa Kristus sendirilah dasar dari PI. Secara sentrifugal Injil diberitakan sebagai persiapan gerakan sentripetal pada akhir zaman. Dari penyelidikan Alkitab dapat disimpulkan beberapa motif PI yaitu: alasan ketaatan pada perintah Kristus, alasan eskatologis akan janji Allah dan pengharapan akan penggenapannya, alasan kasih, alasan pneumatologis, alasan soteorologis dan alasan diakonis.

Peninjauan Sejarah PI
Sejarah PI merupakan bagian dari sejarah gereja dan dibagi dalam beberapa periode yang berbeda-beda. Setiap penulis buku mempunyai sedikit perbedaan dalam menentukan periode tersebut. Dr. Arie de Kuyper membaginya dalam:
1. Gereja Lama. Perluasan agama Kristen pada abad-abad pertama merupakan gerakan kaum awam secara langsung dengan kesaksian hidup sehari-hari.
2. Abad Pertengahan. Pada tahun 325 kristen menjadi agama utama negara sehingga PI adalah peluasan negara kristen dan non –kristen disebut kafir. Pada peiode ini PI mencapai Eropa Barat, Utara, Timur dan Asia. Pada abad ke-7 Islam muncul dan mengakibatkan hilangnya sebagian besar kekristenan di Timur Tengah dan Afrika Utara.
3. Reformasi dan Pietisme (1517-1800). Masa Reformasi adalah masa pembaruan gereja sehingga PI maupun kegiatan misioner lainnya terabaikan. Pada abad ke-17 penjajahan Inggris dan Belanda ke luar Eropa diikuti oleh para misionaris untuk melakukan PI di negara jajahan.
4. Zaman Modern. Tokoh PI modern, William Carey (misionaris pertama di India) memelopori timbulnya berbagai lembaga PI yang mengirim banyak misionaris ke Asia dan Afrika seperti Robert Morrison, Hudson Taylor dll. Gerakan PI pada abad ke-19 menghasilkan gerakan menuju pendewasaan dan penyatuan Gereja-gereja, sedangkan ciri-ciri periode terakhir adalah: a. Perhatian kepada Gereja. Gereja adalah alat bagi PI; b. Perhatian pada Oikumene dengan menyadari bahwa dunia adalah satu daerah PI; c. Perhatian kepada agama lain yang harus diperhadapkan dengan Injil; d. Perhatian kepada local social setting; e. Perhatian terhadap kaum awam sebagai pekabar Injil part-timer.

Pembentangan Secara Sistematis
Secara klasik tujuan PI dengan pengharapan eskatologis adalah:
a. Pertobatan orang kafir.
b. Penanaman Gereja.
c. Kemuliaan dan pernyataan kasih karunia Ilahi.
Subyek PI adalah Allah sendiri dan Gereja adalah alat-Nya. Di mana ada PI, di situpun ada Gereja yaitu persekutuan orang percaya yang mengutus, tapi lebih dari itu: memberi diri diutus ke dalam dunia. Sedangkan obyek PI adalah segenap umat manusia di dunia tanpa terkecuali. Jadi dalam hal ini orang Yahudi juga merupakan target PI karena Allah telah mengadakan perjanjan-Nya yang kekal dengan mereka.
Sebuah obyek PI yang sangat relevan dengan Indonesia adalah umat Islam (dan juga agama-agama lain). Dalam hal ini PI mempunyai dua aspek yaitu komunikasi dan konfrontasi. Komunikasi maksudnya usaha untuk memahami, bersimpati, dan mengasihi mereka sehingga hanya bila kehidupan kristen nampak menarik akan menarik mereka. Sedangkan konfrontasi tidak diartikan sebagai perkelahian namun bila ada komunikasi tentng kepercayaan, di situlah Injil berkonfrontasi dengan dunia Islam.
Dalam PI, masalah teologis dan metode PI saling berkaitan dengan erat dalam dua hal yaitu:
a. Titik tolak, yaitu diri sendiri dan cara hidup utusan Injil sendiri yang menjadi titik tolak Injil terhadap dunia sekitarnya.
b. Akomodasi. PI harus mengakomodasi konteks pendengar tanpa mengurangi isi Injil sama sekali.
Dalam keadaan tertentu kadang pelayanan dilepaskan dari PI seperti misalnya terhadap umat Yahudi, Islam, negara komunis. Seharusnya PI dan pelayanan tidak dapat dipisahkan karena merupakan dua segi dari satu panggilan.Gereja seharusnya merupakan kesatuan aksi dari bersaksi dan beraksi, kebenaran dan keesaan.

Metode PI
Ada banyak metode-metode PI, tapi metode tersebut harus sesuai dengan tujuan dari PI itu sendiri (soteriocentris, ecclesiocentris dan theocentris-eschatologis). Berikut beberapa metode:
1. Kesaksian perorangan.
Setiap orang kristen wajib untuk bersaksi bukan berkotbah. Kita harus memakai strategi ang wajar, tidak terlalu banyak berbicara tapi kesaksian hidup pribadi yang dapat dilihat orang lain sangat penting.
2. Jemaat yang misioner.
Jemaat yang misioner di mulai dari rumah tangga, tempat kerja dan Gereja lokal. Kesaksian terbaik adalah ketika persekutuan cinta kasih dalam jemaat tampak dari luar.
3. Comprehensive approach.
Maksudnya pendekatan yang mencakup semua bidang kehidupan: sosial, pendidikan, medis dll (tidak hanya teologi).
4. Dialog/komunikasi.
Gereja harus menjadi ‘daging’ di dunia berdosa seperti teladan Kristus. Gereja harus memberitakan kabar baik, menjadi terang dan melayani di dunia (bukan melayani dunia). Inilah bentuk komunikasi dengan dunia. Di dalam persekutuan orang-orang kudus, komunikasi menjelma sebagai persekutuan (dengan) Roh Kudus. Gereja dipanggil untuk membagikan persekutuan itu dengan orang lain sambil melibatkan diri dalam kehidupan sehari-hari beserta segala problemnya, barulah Gereja dapat mengkomunikasikan berita Injil.

No comments: