Wednesday, December 12, 2007

Ketika Penderitaan tak Tertanggung & Allah tak Terpahami

Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara.
(Roma 8:28-29)

Ayat ke 28 mengatakan bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. Saudara, berdasarkan pernyataan tsb, perkenankanlah saya mengajukan dua buah pernyataan, tolong dijawab di dalam hati saja mana yang menurut saudara benar.
Pertama: ‘Karena Allah turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan dalam hidup saya, maka berarti hidupku pastinya jadi mudah dan lancar’; atau yang kedua: ‘Sekalipun Allah mereka-rekakan yang baik dalam hidup saya, hal itu tidak berarti hidupku menjadi mudah dan lancar’. Mari kita berdoa.
Saudara, sepintas ayat 28 kelihatannya mudah dipahami, Penekanannya adalah ‘Allah turut bekerja dalam segala sesuatu dalam hidup kita bagi kebaikan kita’. Ketika berada dalam keadaan yang baik dan lancar, kesehatan baik, anak-anak baik, bisnis lancar, o saudara sangat mudah untuk mengaminkan pernyataan Paulus tsb bukan?. Namun di sisi lain ketika hidup menjadi berat dan menekan, ketika semua rencana-rencana pecah berkeping-keping dan dunia rasa-rasanya terbalik menimpa kepala kita, bukankah dengan mudah pula kita mempertanyakan kebenaran ayat tersebut.
Berapa banyak di antara kita yang berpikir bahwa orang kristen yang baik dan benar kebal terhadap penderitaan dan malapetaka dan orang yang mati karena penyakit atau kecelakaan, adalah orang yang berdosa besar sehingga dihukum Tuhan. Kira-kira satu bulan sebelum pesawat Adam Air jatuh dan menewaskan semua penumpangnya, yang termasuk di dalamnya ada sekeluarga pendeta, ada sebuah kotbah di radio kristen di Surabaya: saya yakin...orang benar tidak akan terbunuh, tidak akan mati dalam kecelakaan pesawat. Bukankah Matius 7:11 mengatakan ‘Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya.’ Nah, bukankah asal kita meminta hal-hal yang baik kepada Allah pasti dikabulkan sesuai janji Allah sendiri?. Mari kita belajar apa sebenarnya yang dimaksud oleh Matius dengan kata “Baik” dalam perikop paralelnya dalam Lukas 11:13: “Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya."
Jadi ternyata saudara, yang dimaksud dengan ‘baik’ oleh Matius di jelaskan dengan gamblang oleh Lukas sebagai Roh Kudus. Tuhan berjanji memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya, bukan hal lainnya. Untuk hal-hal lainnya Tuhan tidak pernah berjanji untuk selalu mengabulkannya, walau saya percaya Tuhan pasti mengabulkan permintaan kita sepanjang hal itu sesuai dengan kehendak-Nya, sesuai dengan cara dan waktu-Nya. Amin saudara?. Tuhan tidak pernah berjanji langit selalu biru, hidup tanpa kesulitan dan penderitaan bagi orang kristen, bahkan dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak dapat terlepas dari yang namanya problem, masalah, kesulitan, sakit penyakit dan segala macam penderitaan yang lain. Ada seorang yang pernah berkata: hanya orang gila atau orang mati yang hidup tanpa pernah merasakan penderitaan. Jika demikian keadaannya muncul beberapa pertanyaan sbb: penderitaan orang kristen berasal dari mana? Apa maksud Tuhan dengan penderitaan, dan mengapa Allah kadang-kadang berdiam diri saja, seakan-akan tak perduli dengan penderitaan manusia?
Penderitaan hidup berasal dari mana?
Saudara, ternyata Alkitab banyak mencatat penderitaan yang dialami anak-anak Tuhan bahkan hamba-hamba Tuhan yang baik dan setia. Dengan mudah kita menemukan contoh seperti Yusuf yang dibuang ke dalam sumur, difitnah, masuk penjara, Stefanus yang mati dirajam karena memberitakan Firman Tuhan sampai Petrus yang mati syahid disalibkan secara terbalik. Nah, jika demikian faktanya, kita menjadi heran, sebenarnya penderitaan manusia berasal dari mana? Dalam menyikapi hal ini kita harus mengerti bahwa penderitaan yang kita alami berasal dari dua macam sumber, pertama adalah ujian dan yang kedua adalah pencobaan. Ujian berasal dari Tuhan dan kadang-kadang atau sering kali Dia memberikan berbagai ujian kepada manusia untuk membentuk karakter kita menjadi lebih baik. Pencobaan berasal dari iblis karena Tuhan tidak pernah mencobai manusia sedangkan iblis senantiasa mencobai manusia dengan maksud untuk menjatuhkan manusia. Contoh dalam Alkitab adalah ketika setan mencobai Yesus setelah Dia berpuasa 40 hari. Contoh pencobaan masa kini adalah narkoba dan seks bebas. Saudara, narkoba dan seks bebas adalah dosa yang menimbulkan efek kecanduan di mana setan cuma cukup menggoda kita sekali saja karena setelah itu kita jalan sendiri. Dosa ini seperti patung kucing yang tangan kanannya maju ke depan dan ke belakang. Saudara tahu itu kan? Untuk menggerakkan tangan itu, berapa kali yang dibutuhkan? Cuma sekali!! Setelah itu setan berkata: berikutnya udah nggak perlu di goda, tidak perlu dicobai lagi, dia sudah otomatis akan jalan sendiri!!.

Mengapa Tuhan mengijinkan penderitaan?
Ada banyak alasan mengapa Tuhan mengijinkan penderitan menimpa orang kristen, berikut tiga di antaranya:
· Membentuk karakter. Kesebelasan Indonesia baru saja gagal masuk babak semi final di Asian Games di Thailand. Kegagalan itu bukan sebuah kejutan bagi orang yang mengerti bagaimana melatih dengan benar. Kesebelasan Indonesia dipersiapkan hanya dalam beberapa bulan dan dari persiapan singkat tsb diharapkan sebuah keberhasilan. Dapatkah hal ini terjadi?. Demikian pula dengan karakter. Manusia yang tidak pernah melewati pergumulan apapun, yang tidak pernah menghadapi kemalangan dalam hidupnya, yang tidak pernah kehilangan apapun tidak akan pernah mempunyai sebuah karakter yang kuat.
Penderitaan melalui ujian diperlukan demi kebaikan kita untuk memproses, mentransformasi karakter kita agar semakin mirip dengan karakter Kristus. Max Lucado pernah menulis, "Tuhan mau menerima kita apa adanya, (tak perduli bagimana jahat, rusaknya diri kita) tapi Dia tak pernah mau membiarkan kita tetap seperti apa adanya; Artinya seperti yang dinyatakan pada ayat 29, Allah ingin kita makin bertumbuh menyerupai Yesus." Memang ujian bukanlah sesuatu yang enak untuk dijalani. Kita ingin dalam kehidupan sehari-hari tidak usah ada penderitaan, tidak usah ada ujian. Tetapi ingat saudara, seperti buah anggur yang tidak akan pernah menjadi minuman anggur kecuali digencet, diperas, seperti tanah liat yang akan pernah menjadi keramik yang indah tanpa dibentuk dan dibakar, demikian juga tanpa kesulitan karakter kita tidak akan pernah berkembang menjadi serupa dengan Kristus. Secara jujur kita tidak suka keluar dari comfort zone kita dan kita lebih suka kalau Tuhan berfungsi sebagai jin botol yang selalu memenuhi semua permintaan kita. Kesaksian pengemis. Dengan jujur saya mengaku kadang saya hanya mengejar berkat-Nya saja tanpa perduli pada Pribadi yang memberikan berkat tsb. Kadang kita berlaku seperti anak kecil yang menunggu hadiah yang dibawa ortunya tanpa perduli pada diri pemberinya sendiri. Itulah yang kadang kita lakukan, kita mendekati Tuhan untuk mendapatkan sesuatu dari-Nya dan kita tidak mendekati-Nya karena Diri-Nya sendiri.
· Kadang-kadang penderitaan diperlukan untuk menegur kita. Penderitaan adalah salah satu sarana yang dipakai Allah ketika kita menulikan hati dan pikiran kita terhadap teguran Allah. Ketika jalan kita melenceng dan kita menutup hati kita terhadap panggilan Tuhan, kadang Tuhan memakai penderitaan untuk memanggil kita pulang. Ketika James Baker ditangkap karena penyelewengan dan penipuan sehingga masuk penjara, maka semua teman-temannya meninggalkan dia bahkan juga istrinya. Ketika Billy Graham ditanya komentarnya akan James Baker, dia hanya mengucapkan sebuah kalimat singkat: memang dia pantas masuk penjara. Selama satu tahun lebih Billy Graham diam tidak berkomentar lebih lanjut. Suatu hari saat James Baker sedang mengepel lantai, seorang sipir memanggilnya dan mengatakan: ada seorang pengunjung. Jawabnya, aku tidak mau ketemu siapa-siapa. ‘apa kamu yakin? orang ini berbeda’ akhirnya dengan malas-malasan sambil membanting pelnya dia keluar ke ruang tamu. Ternyata pengunjungnya adalah Billy Graham; tanpa berkata sepatah katapun Billy Graham mengulurkan tangannya dan memeluk erat James Baker dan mereka berdua menangis bersama. Momen itulah adalah momen pertobatan sejati seorang James Baker, dan dari dalam penjara ia menulis sebuah buku: Saya Menyesal. Saudara, melalui penderitaan, Tuhan menyelamatkan James Baker.
· Melalui penderitaan, nama Tuhan dimuliakan.
Mungkin saudara bertanya, apa hubungan penderitaan dan kemuliaan Tuhan.
Kesaksian penginjil di India. Berhenti sampai kematiannya.
Saudara reaksi si anak sangat wajar dan manusiawi. Bagaimana mungkin Tuhan membiarkan hamba-Nya mati mengenaskan sedemikian rupa? Dia adalah orang yang taat yang bahkan meninggalkan kehidupan duniawinya yang nyaman di Amerika untuk menjadi misionaris. Lanjutan cerita.

Mengapa Allah seakan diam, tak perduli pada penderitaanku?
Ada dua hal yang ingin saya sampaikan kepada saudara:
· Matius 25: 40 mengatakan: ‘Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.’ Tuhan Yesus menyatakan bahwa Ia tetap hadir dalam penderitaan yang kita alami. Itulah sebabnya ketika Yesus menampakkan diri pada Saulus, Ia tidak berkata: Saulus, Saulus mengapa engkau menganiaya umat-Ku? Yesus berkata: Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku? Perkataan yang sama diulangi ketika Saulus bertanya: siapakah Engkau Tuhan? Yesus menjawab: ‘Akulah Yesus yang engkau aniaya’. Saudara, Yesus tidak pernah berubah dahulu, sekarang dan selamanya. Dalam setiap pergumulan dan jerit tangis kita, Dia ada di situ. Darah yang dicurahkan-Nya di bukit Golgota masih tetap tercurah bagi saudara dan saya. Penderitaan yang ditanggung-Nya di Kayu Salib masih tetap menyertai kita. Seorang teolog yang bernama R.C Sproul berkata: tidak pernah ada manusia yang diminta Allah untuk menderita lebih berat daripada penderitaan yang Ia timpakan kepada anak tunggal-Nya sendiri. Teolog lain, John Piper menulis bahwa penderitaan Yesus tuntas karena Dia melewati setiap pencobaan dan penderitaan, di mana penderitaan itu datang dengan intensitas kekuatan yang semakin dahsyat sampai akhirnya datang dengan kekuatan yang maksimal. Penderitaan Yesus terus bertambah karena Dia tidak pernah menyerah. Jika saja Ia menyerah maka penderitaan dan cobaan itu tidak akan pernah mencapai tingkat yang tertinggi. Inilah perbedaan Yesus dengan kita karena tidak ada seorangpun yang pernah bertahan terhadap siksaan seperti yang diterima-Nya di Kayu Salib dan keluar sebagai pemenang.
· Ketika kita menderita, ketika kita disakiti orang lain, marilah kita mengingat bahwa sebenarnya kita melakukan hal yang sama bahkan lebih berat kepada Yesus, setiap kali kita melakukan dosa. Apa maksudnya? kira-kira satu tahun yang lalu saya pernah difitnah oleh sorang saudara seiman. Dengan kejam tak berperasaan dia memfitnah saya dan keluarga saya. Ketika saya klarifikasi, semua yang dituduhkan terbukti fitnah belaka, tapi dia tidak mau mengaku salah secara gentelman ‘face to face’ melainkan hanya mengirim SMS yang isinya minta maaf kalau perkataannya menyingung saya. Kata-kata ini luar biasa saudara, artinya apa? Artinya jika saya tersinggung karena kata-katanya, ya sorry, tapi dia sendiri tidak merasa bersalah. Wah...wah saudara berhari-hari hati saya mau meledak, saya marah-marah, rasanya ingin balas, belum balas belum puas. Kalo mau balas gampang sekali karena istri saya tahu banyak rahasia-rahasia kemunafikan dia. Sampai beberapa lama kemudian Tuhan tegur saya melalui kotbah seorang pendeta yang mengatakan bahwa jika kita ingin tahu betapa sakitnya hati Yesus, ingatlah sebuah peristiwa yang paling menyakitkan dalam hidupmu, kalikan 100 kali, itulah rasanya hati Yesus yang kita sakiti melalui perbuatan kita yang berdosa. Dari penderitaan itu, Tuhan mengajar saya untuk mengampuni dan menyatakan bahwa saya tidak sendiri dalam penderitaan dan melalui penderitaan itu saya belajar memperdalam pengenalan pribadi akan Allah.

Saya tidak tahu apa penderitaan yang saudara alami saat ini tetapi ingatlah bahwa Yesus hadir dan perduli, Ia ikut merasakan dan menyertai penderitaan anak-anak-Nya. Serahkanlah semua penderitaan saudara dengan penyerahan diri secara total dan biarkan Allah bekerja karena Allah kita adalah Allah yang perduli dan mengerti. Memang jalan Tuhan yang tak terbatas sering kali tidak kita pahami dengan otak kita yang terbatas. Seperti James Baker yang ketika di penjara merasa semua pintu telah tertutup baginya, ternyata Allah membuka sebuah jendela baginya. Saudara, hari natal sudah menjelang, mari kita review kehidupan kita. Jika saat ini kita sedang menghadapi penderitaan dan kesulitan, mari kita renungkan apakah penderitaan kita timbul dari pencobaan iblis atau ujian dari Tuhan. Bila penderitaan itu timbul dari pencobaan sehingga menghasilkan dosa, cepat-cepat bertobat saat ini juga dan Tuhan pasti mengampuni apapun dosamu. Bila kesulitan timbul dari ujian, bertekunlah dalam ujian itu karena ketekunanmu akan menghasilkan buahnya pada waktunya. “Sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun”. (Yakobus 1 : 3-4).

Grace by grace,
Hendra, 101207

Bibliografi:
Yohan Candawasa, Menapaki Hari Bersama Allah & Dukaku Tempat Kudus-Mu
Yakub Susabda, Membawa Damai, Menjunjung Gelar
Tafsiran Alkitab Masa Kini 3, YKBK
Merrill C. Tenney, Survey Perjanjian Baru
Wahyu Pramudya (ed), Tribute to Dr. Jenny Wongka: Berjalan Bersama Allah
James M. Boice, Sure, I Believe, So What?

Sunday, October 28, 2007

Wenger, Zakat, and House, MD

Judul di atas pastilah terdengar aneh bagi saudara. Sejujurnya, bagi sayapun memang terdengar aneh, karena itu jangan terlalu diambil serius. Nikmati tulisan ringan ini sambil tersenyum, jangan sambil berkerut dahi.
Judul pertama yaitu “Wenger’ adalah Arsene Wenger, seorang berkebangsaan Perancis pelatih kesebelasan sepakbola Arsenal di Inggris sana. Sekitar sepuluh tahun yang lalu Wenger dikontrak Arsenal untuk meng-coach kesebelasan Arsenal yang ‘compang-camping’, lebih sering kalah daripada menang, yang lebih sering memalukan daripada membanggakan. Tantangan yang dihadapi Wenger jelas jauh dari mudah. Salah satu bintang impornya, Dennis Bergkamp pernah mengeluh kepada pers bahwa selama sesi latihan, mulut rekan-rekannya selalu ‘berbau naga’ (miras). Ya, dalam dunia olah raga profesional, bagaimana mungkin memenangkan sebuah trophy dengan pasukan drunken master?, bagaimana mungkin menyaingi Manchester United dengan Sir Alex dan the Theather of Dream-nya, Liverpool dengan Anfield-nya yang sangat angker (bisa buat shooting film Indo tuh) dengan puluhan ribu suporter yang super militan (ingat tragedy Heysel?) yang ‘extra joss’ selama 90 menit penuh meneriakkan dukungan dan menyanyikan lagu legendarisnya yang mendengar judulnya saja saya merinding: You’ll Never Walk Alone!!. Ruuuar biasa bukan? Apapun hasilnya, suporter selalu menyertai mereka dengan penerimaan tanpa syarat. Saya jadi berpikir mungkin composer lagu ini menyadur dari Amanat Agung kita? Who knows?
Dalam keadaan kejepit atau dengan sengaja menjepitkan diri, apa yang dilakukan Wenger? Alih-alih mengikuti tradisi, melatih sesuai text book, Wenger malah nekat ‘menulis’ text book-nya sendiri. Kenapa saya katakan nekat? Karena sebenarnya Wenger sendiri saat itu bukanlah pelatih yan top-top amat, CV-nya hanya melatih beberapa klub di Perancis dan team nasional Jepang yang prestasinya pas-pasan. Dengan perlahan tapi pasti Wenger mendobrak dan mengubah beberapa hal (sistem dan metode) yang fundamental dalam sepak bola Inggris secara khusus dan dunia secara umum al:
Sistem dan metode kepelatihan.
Wenger membawa beberapa orang-orangnya yang masing-masing mempunyai tugas sendiri-sendiri dalam team pelatih. Tiap-tiap pemain mempunyai program diet yang ketat, latihan berjalan secara sistematis dengan durasi yang pendek. Semua hal di atas adalah umum dilakukan hari ini, tetapi Wenger-lah sang pelopor.
Mengubah kultur sepakbola Inggris.
Wenger meninggalkan sistem Kick and Rush yang kuno menjadi permainan kolektif yang sarat dengan kreatifitas, kekuatan dan kecepatan. Citra Arsenal yang berantakan dengan permainan kasar ditransformasikan dengan permainan yang indah ditonton dan mematikan bagi lawan.
Berani untuk bertindak, membayar harga demi visinya.
Tentunya penjualan sang kapten nan-karismatis, Patrick Viera dan sang ‘magician’ Thiery Henry yang sampai membuatnya di cap ‘gila’ oleh para pengamat ahli sebenarnya menunjukkan kejeniusan visinya. Alih-alih bertopang pada pakem tradisi, dia berani melangkah keluar dari ‘rumah kura-kuranya’ dan mengambil resiko dengan mengandalkan sekumpulan young guns seperti Fabregas, Adebayor, Van Persie dll yang membuat mata dunia terbelalak dengan bibir mencibir dan ramalan akan doomsday-pun datang kepadanya. Sampai detik ini ternyata hasil yang di dapat Arsenal sangat di luar dugaan siapapun. Situs detik bahkan menulis dengan judul Arsenal berada dalam sorga langit ke tujuh.

Pemerhati sepakbola liga Inggris tentunya mahrum dengan kelihaian sang profesor, julukan bagi Wenger yang telah merubah Arsenal dari klub kelas dua di Inggris menjadi klub top dunia dalam waktu 10 tahun saja, dari klub mediocre di Inggris menjadi klub dengan keuntungan tertinggi di Inggris dan salah satu klub terkaya di dunia, dengan prestasi demi prestasi, trophy demi trophy, ....... Jasa Wenger bagi Arsenal dan dunia sepakbola mungkin dapat diilustrasikan sebagai jasa para reformator bagi kita.

Judul kedua sih umum sekali terutama di bulan Ramadan ini.
Pagi hari ini setelah mengantar anak ke sekolah, kami melihat banyak fakir miskin yang berkumpul di sebuah rumah menunggu jatah zakat. Yang menarik dari peristiwa ini adalah di tengah-tengah peminta zakat yang umumnya wanita dan anak-anak ada beberapa pedagang yang sangat luar biasa nalurinya!!. Ya, ada berbagai penjual seperti penjual es krim, bakso dan entah apa lagi. Mungkin pikiran mereka: para fakir miskin setelah mendapat uang zakat tentunya merupakan pasar potensial bagi dagangan mereka. Dan memang, siang hari sewaktu menjemput anak di sekolah, kami melihat sampah berserakan di halaman rumah yang memberikan zakat.
Para pedagang kecil itu secara tidak sadar telah melakukan suatu proses manajemen yang baik karena mereka mampu melihat peluang dan mengejarnya. Metode tunggu bola sontak berubah menjadi jemput bola, mereka mampu membaca perubahan jaman dan mereformasi ‘cara kerjanya’.

Judul yang ketiga tentunya asing tetapi bagi penggemar AXN tentunya paham bahwa dr. House adalah sebuah tokoh cerita serial TV. Dr. House adalah seorang dokter yang sangat pandai dan berani ‘mengekspolasi’ berbagai inovasi yang sering bertentangan dengan koleganya, berani mengambil resiko dalam metode pengobatannya yang jauh dari konvensional. Karakter dr. Gregory House sendiri digambarkan sebagai seorang yang egois, sinis, agak licik, pokoknya bukan karakter yang perlu dicontoh.
Dalam episode yang diputar kemarin malam, kami (saya dan istri) menonton bersama dan kebetulan sama-sama terkesan dengan sebuah kalimat. Ceritanya dr. House mepunyai pasien seorang anak kecil yang autis. Setiap kali mau diobati si anak selalu menjerit-jerit sehingga para asisten dr. House mengalami kesulitan. Dalam satu adegan digambarkan seorang asisten dokter akan membius si anak dengan cara memasang selang di mulutnya, si anak menolak dengan keras sampai menjerit-jerit. Semua bingung dan dr. House sebagai pemimpin maju mengambil alih dengan melakukan sebuah perbuatan yang sangat menarik: mula-mula dia memasang selang bius itu di mulutnya sendiri dan setelah itu memasangnya di mulut si anak. Setelah mengulanginya dua kali, ajaib!! Si anak berhenti menjerit dan mau memakai selang itu secara suka rela!!. Asistennya yang kagum bertanya mengapa begitu? Dr. House menjawab seenaknya: monyet makan stroberry. What??? Ya, seekor monyet tidak mau memakan stroberry sampai dia melihat monyet lainnya makan strobery itu!!.

Ok lah, cukup ngelanturnya, terus apa maksudnya menulis si Wenger, Zakat dan dr. House? Ya, Firman Tuhan berkata bahwa apa yang ada dalam hati manusia akan meluap keluar. Tak jarang kita mendapati para pemuka agama yang melakukan apa yang tidak dikotbahkannya dan tidak melakukan apa yang dikotbahkan dirinya sendiri. Bukannya sok suci karena memang saya jauh dari suci dan nama saya juga bukan suci. Pak Sucianto yang hamba Tuhan aja bukan orang suci kok apalagi saya!!. Setiap kisah di atas cukup mengesankan saya dan lagi-lagi saya memikirkannya dalam konteks pelayanan gerejawi.
Ada beberapa hal yang saya pikirkan:
Di balik kesuksesan Wenger, sebenarnya semua prinsip-prinsip yang benar (yang baik belum tentu benar, yang benar pasti baik walau harga yang harus dibayar mahal-bukan dari segi materi lho) sudah ada dalam Alkitab kita. Sayang masih ada gereja yang walau dari luar nampak seperti melayani Tuhan tetapi sebenarnya melayani dirinya sendiri, ada yang disetir oleh majelis, ada juga yang gembalanya menyetir majelis. Hierarki kepemimpinan yang dilakukan adalah semu karena ulah seorang manusia yang mengatur gereja seperti milik pribadinya. Ciri gereja seperti ini biasanya adalah: jumlah jemaat yang stagnan bahkan berkurang, SDM yang bermutu rendah, pelayanan yang dilakukan berjalan secara mekanis, tidak ada kegairahan dalam pelayanan dll. Menarik yang ditulis oleh Rick Warren dalam Purpose Driven Church: dalam ibadah minggu gereja Saddleback, lebih dari separonya adalah pengunjung yang berarti mereka ada di sana karena diundang oleh temannya yang merupakan jemaat. Di gereja kita jangan-jangan jumlah jemaat yang tercatat lebih dari 400 orang tapi hanya 100-an yang menghadiri ibadah?.
Berlindung dibalik seperangkat aturan dan tradisi. Mari kita intropeksi, apakah pelayanan kita benar sesuai dengan pinsip-prinsip Alkitab atau hanya melestarikan tradisi?. Gereja yang bertumpu pada tradisi akan mengalami status quo, tidak memiliki visi dan tujuan yang jelas dan tidak rela membayar harga. Bila kondisi ini berkelanjutan, tidak heran bila Tuhan memakai gereja lain untuk menjangkau umatNya.
Dunia telah lama dan semakin cepat dan jelas menantang nilai-nilai kristiani. Mau tidak mau, siap tidak siap saat ini kita telah berada dalam era post Christian mind di mana generasi muda banyak yang tidak mengenal Injil, sebuah hal yang berbeda dengan generasi sebelumnya. George Barna menunjukkan dalam risetnya bahwa seorang hamba Tuhan bukan lagi merupakan figur yang dihormati dan dipercayai. Dalam dunia yang berubah kadang kita masih melakukan strategi, metode, gaya dan cara seperti yang diperkenalkan beberapa puluh tahun yang lalu. Tak heran bila kita ketinggalan kereta. Kita lupa bahwa cara dan metode yang kita pakai sekarang memang merupakan cara dan metode yang cocok dengan konteks jaman dulu. Hal yang perlu direnungkan: apakah masih relevan dengan dunia yang sudah berubah sekarang ini?
Bila mereka yang bekerja untuk kesementaraan dapat melakukan berbagai inovasi, bagaimana dengan kita yang bekerja di ladang Tuhan, yang mendapat kehormatan bekerja dalam kekekalan?. Saya sungguh merasa ngeri ketika seseorang berkata kepada saya bahwa kekristenan sudah berada dalam titik nadir dan rasanya sebuah reformasi baru akan segera dilakukan Tuhan. Hal ini selaras dengan apa yang dicetuskan oleh Larry Crabb dalam bukunya ‘Shattered Dreams’. Quo Vadis Gereja?
Hendra, 271007

Sunday, September 23, 2007

Pelajaran dari seorang pengemis

Siang hari tadi kami sekeluarga bermaksud makan pagi sekaligus makan siang di sebuah rumah makan sepulang dari menjemput putri kami di sekolah. Ketika menunggu pesanan datang, seorang pengemis yang kurus dan kotor mendekati kami untuk meminta uang. Istri saya menyodorkan uang Rp. 500 kepadanya dan dengan semerta-merta ditolaknya dan dia meminta lebih banyak!!. Saat itu juga kami menjadi kesal dan berkata: ‘dikasi uang kok ndak mau’. Kemudian kami memutuskan untuk tidak memberinya uang lagi dan pengemis itu datang kepada orang lain, yang tidak memperdulikannya sama sekali. Setelah merengek beberapa lama tanpa mendapat hasil, pengemis itu kembali kepada kami dan mengulangi permintaannya selama beberapa lama. Akhirnya dengan sedikit rasa belas kasihan dan didominasi perasaan yang terganggu, saya memberinya uang Rp. 1.000. Apa yang kemudian terjadi? Ya, pengemis itu segera menyambar uang seribu itu dan ngeloyor pergi tanpa mengucapkan satu patah kata apapun juga. Dengan hati yang mengkal, saya menyindirnya dengan mengatakan ‘terima kasih ya’. Di luar dugaan, pengemis itu menjawab sambil terus berjalan, tanpa menoleh: ‘ya’. Mendengar jawaban itu saya merasa jengkel tetapi dengan cepat kejengkelan itu berubah menjadi rasa geli ketika istri saya berkata ‘isih kalah edane’ (masih kalah gilanya).

Dari peristiwa di atas, kami mendapat beberapa pelajaran sbb:
Ternyata ‘world view’ kami berbeda dengan ‘world view’ sang pengemis. Pada mulanya kami beranggapan uang Rp. 500 sudah cukup memuaskannya, ternyata bagi dia jumlah itu tidak mencukupinya. Hal ini menyadarkan kami ternyata dalam hidup sehari-hari secara sadar maupun tidak kita tidak terlepas dari mempergunakan ilmu psikologi dalam bertindak.
Kami berpikir bahwa ternyata apa yang dilakukan oleh sang pengemis secara tidak sadar kami lakukan juga dalam hubungan kami dengan Tuhan. Bukankah setiap hari Tuhan sudah memberikan berkat yang cukup bahkan berlebih kepada kami, tetapi sering kami merasa belum cukup sehingga doa kami setiap hari didominasi dengan permintaan-permintaan untuk memuaskan ego narcis kami?.
Mungkin setelah membaca tulisan di atas, ada di antara pembaca yang berkata: ‘setelah menyadari kesalahan kami, pasti Tuhan akan memberkati kami berlimpah’. Nah, pada kenyataannya, setelah peristiwa di atas, selama sehari penuh toko kami sepi sekali, memang orang keluar dan masuk tetapi tidak ada seorangpun yang beli; sungguh suatu hal yang sangat sangat jarang terjadi. Sore hari kami keluar naik mobil sambil memperbincangkan hal ini. Kami sungguh bersyukur karena sadar Tuhan memberikan peringatan kepada kami melalui peristiwa dengan pengemis tsb. Menjelang malam saya turun ke toko untuk menutup toko dan mendapati sebuah penjualan terjadi. Secara nilai memang bukan pejualan yang besar, hanya kira-kira sepertiga dari penjualan normal tetapi nilai pelajaran yang kami dapat jauh lebih tinggi dari nilai materinya. Sebuah nas terngiang dalam kepala saya ‘masakan kamu hanya mau menerima yang baik dari Tuhan tanpa mau menerima yang buruk?’, juga teringat sebuah kotbah dari pak Yohan dari Mat 15:21-28 yang mengatakan bahwa Tuhan lebih tertarik untuk membentuk kepribadian kita terlebih dahulu dari pada cepat-cepat menyelesaikan masalah kita dan akhirnya saya juga teringat bahan PA pak Robby Chandra tentang ‘dog and cat theology’ yang mengupas perbedaan karakter orang kristen yang diilustrasikan dari perbedaan sifat-sifat seekor anjing dan seekor kucing. Terima kasih Tuhan karena Kau masih mau memprosesku hari lepas hari. Soli Deo Gloria.....
Hendra, 150907 jameswidodo-heart.blogspot.com

Monday, August 20, 2007

Pelayanan konseling

Konseling Dalam Pelayanan Gereja Masa Kini


Yesus mendekati mereka dan berkata: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Mat 28:18-20)

Injil Matius yang dimulai dengan catatan silsilah Yesus Kristus, ditutup dengan kalimat perintah yang agung seperti tertulis di atas. Secara umum, gereja yang berpegang pada doktrin Reformed mengimplementasikan AA (Amanat Agung) sebagai mandat penginjilan dan mandat budaya.

Amanat Agung memerintahkan kepada kita semua untuk memuridkan-mandat penginjilan (menjadikan semua suku bangsa murid Kristus). Kata kerja lain (pergi, baptis dan mengajar) menjelaskan bagaimana memuridkan itu dilaksanakan. Dengan demikian pemuridan mempunyai arti membawa seluruh pribadi dengan seluruh aspek hidupnya temasuk aktifitas sosial, seni dan intelektual kepada kehendak Allah-mandat budaya (Holmes, hal. 46-47).

Jadi Kristus menghendaki semua anak Tuhan untuk memahami dan melaksanakan mandat penginjilan dan mandat budaya AA berdasarkan kuasaNya.
Di dalam dunia yang sudah jatuh dalam dosa, terutama dalam zaman post-modern sekarang ini, gereja dituntut untuk memancarkan sinar kemuliaan Kristus dengan melaksanakan tugas mandat penginjilan dan mandat budaya secara proporsional secara bersama-sama. Sudah bukan waktunya lagi sebuah gereja hanya berkonsentrasi melaksanakan hanya salah satu mandat dalam AA.
Bagaimana melakukan mandat penginjilan rasanya sudah umum dilakukan oleh berbagai gereja; bagaimana melakukan mandat budaya juga sudah mulai banyak digali terutama oleh gereja Reformed dan Injili. Walaupun demikian, ada sebuah hal yang rasanya luput dari perhatian kita yaitu kalimat terakhir Matius 28:20 ‘Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman’. Sebuah kalimat yang sangat indah dan menguatkan hati dan rasio karena Kristus sendirilah yang memberikan jaminan penyertaan seumur hidup kepada anak-anakNya. Pdt. Julianto Simanjuntak dengan lugas menterjemahkan kalimat di atas sebagai ‘sebuah ladang pelayanan konseling dalam AA’. Mengapa? Karena jaminan seumur hidup bagi kita telah diberikan sejak detik kita menerima anugerah keselamatan, hanya masalahnya Kristus sendiri sudah meninggalkan dunia fana dan bertahta di sorga. Jadi sudah menjadi tugas kita dengan kekuatan dari Roh Kudus untuk melaksanakan ‘mandat konseling’ bagi saudara-saudara kita. Tugas seorang konselor adalah seperti sebuah bengkel yang memperbaiki motor/mobil yang bermasalah kapanpun juga karena jaminan yang diberikan oleh Kristus kepada umatNya adalah jaminan seumur hidup. Jaminan ini adalah jaminan yang kekal bukan sekedar jaminan manusia atau institusi yang tidak bernilai kekal.

Berdasarkan tulisan di atas, penulis menyimpulkan bahwa pelayanan konseling adalah bagian integral dari mandat budaya yang bahkan mendapatkan penekanan khusus dalam pelaksanaannya pada masa-masa ini.


Konseling

“Rancangan di dalam hati manusia itu seperti air yang dalam, tetapi orang yang pandai tahu menimbanya” (Ams 20:5)

Bahasa asli ‘rancangan’ adalah tebuna, yang artinya sesuatu yang sangat rahasia, yang terkadang ada dalam alam tak sadar.
Orang tidak menyadarinya, namun melalui percakapan konseling hal itu dapat muncul di alam sadar (Pdt. Yakub Susabda)

Penulis percaya Allah menyingkapkan maksudNya pada waktuNya dan percaya bahwa waktu-waktu sekarang adalah masa-masa yang penuh kesempatan bagi perkembangan pelayanan konseling karena sepanjang sejarah belum pernah manusia mengalami hidup yang sedemikian rusak dan menyedihkan seperti hari ini.

Pentingnya pelayanan konseling dicetuskan oleh seorang pendeta yang bernama Anton Boisen. Kisah hidup Boisen yang selama belasan tahun mengidap skizofrenia menjadi pencetus kesadaran gereja akan pentingnya pelayanan konseling. Setelah sembuh, Boisen mengkritisi gereja dengan mengatakan: Jika orang kristen patah kaki, semua rumah sakit dapat mengobatinya, bahkan dengan biaya gereja. Lain halnya bila orang kristen mengalami ‘patah/sakit hati’, maka dia akan dikirim ke rumah sakit jiwa dan dilupakan untuk selamanya.
Dalam realita kehidupan, bukankah seperti yang pernah dikatakan John Calvin bahwa gereja adalah sekumpulan orang lemah, yang dipimpin oleh orang yang lemah pula. Bukankah perkataan ini mencerminkan kebenaran doktrin yang paling fundamental dari kekristenan?. Di hadapan Allah, kita semua adalah manusia berdosa yang hanya karena anugerah-Nya mendapatkan keselamatan dan setelah natur dosa kita dipulihkan, kita masih dapat (dan pasti) berbuat dosa sehingga proses penyucian harus kita jalani bersama Roh Kudus seumur hidup kita. Bukankah bertolak dari kebenaran doktrin ini kita dapat melihat signifikansi pelayanan konseling?. Begitu banyak orang kristen yang bergumul dengan dosa dan problem kehidupan di tengah gencetan dunia yang sudah jatuh dalam dosa ini. Bagi orang-orang kristen yang kita sebut sebagai saudara seiman, yang mengalami badai kehidupan, siapkah kita ber-empati dan menyingsingkan lengan baju?

Agar mendapatkan pandangan yang lebih jelas, pertama kita harus memahami perbedaan antara psikologi, psikiatri dan konseling. Menurut Pdt. Dr. Dwijo Saputro, psikologi adalah ilmu yang mempelajari suatu bidang yang menyangkut perilaku dan otak. Ilmu psikologi yang berhubungan dengan konseling adalah yang berhubungan dengan kesehatan mental, di mana dipelajari dasar-dasar bagaimana seseorang berperilaku, berpikir, memiliki emosi, mampu berelasi, berkembang dan memecahkan masalah yang ia hadapi sehari-hari.
Ilmu psikiatri adalah cabang dari ilmu kedokteran yang berkaitan dengan pengobatan, penyembuhan, gangguan masalah, penyakit yang berkaitan dengan perilaku yang berkaitan dengan otak.
Hal ini perlu dipahami karena banyak orang mencampur-adukkan istilah-istilah di atas sehingga menimbulkan kerancuan. Jadi memang ilmu konseling tidak dapat terlepas dari ilmu psikologi. Dalam melakukan pelayanan konseling di gereja, seorang konselor haruslah mengintegrasikan semua ilmu psikologi dan konselingnya dengan teologi. Hal ini bukan berarti menjadi teologi plus karena teologi dengan Alkitab sebagai kebenaran yang sejatilah yang menjadi filter dari ilmu psikologi.

Ada banyak sekali kisah-kisah nyata yang sangat memalukan dan memilukan yang dialami dan dilakukan oleh orang kristen, bahkan para hamba Tuhan. Selain pengalaman pribadi ber-relasi dengan hamba Tuhan, melalui milis konseling, penulis mendapat informasi bahwa banyak sekali hamba Tuhan yang hidupnya rusak, yang bergelut dengan dosa-dosa, ingin lepas tapi gagal terus dll. Sering kita lupa bahwa para pemimpin, hamba Tuhan juga adalah manusia berdosa seperti diri kita di mana merekapun hidup dalam dunia yang up-side-down, sehingga setiap manusia pasti mempunyai luka-luka jiwa yang harus disembuhkan terlebih dahulu sehingga mereka dapat melayani jemaat dengan jauh lebih baik.


Siapakah yang membutuhkan konselor?

Terus terang, selama beberapa bulan terakhir ini penulis bergumul dengan beberapa pertanyaan: Sejauh mana kehendak bebas orang percaya dikaitkan dengan pandangan doktrin Calvinis, mengapa antar orang percaya, yang mempunyai Roh yang sama pada prakteknya sering terjadi pertengkaran?, apakah segala sesuatu yang kita lakukan baik dan buruk sudah ditentukan oleh Allah berdasar Rom 8:28?. Puji Tuhan setelah beberapa kali ‘konseling’ dengan beberapa teman yang hamba Tuhan dan aktivis, penulis akhirnya mendapatkan pencerahan. Contoh ini adalah sebuah masalah yang berakhir happy ending. Pertanyaan berikutnya: bila seorang jemaat menghadapi masalah kehidupan praktis yang lebih berat, ke mana mereka akan bertanya? Beranikah mereka bertanya ke hamba Tuhan, apakah hamba Tuhannya siap, mau dan mampu memberikan pembimbingan atau hanya memberikan ayat dan mendoakannya tanpa involve ke dalam?
Persoalan akan menjadi lebih pelik bila ternyata sang hamba Tuhan-lah yang mempunyai banyak luka jiwa yang belum dibereskan sehingga alih-alih berkarakter seperti gembala, ia malah lebih berperan sebagai serigalanya. Hal ini akan menjadi kontra produktif dalam pelayanan bukan?.

Apakah semua masalah dapat diselesaikan dengan memberikan Firman Tuhan saja tanpa ada ‘prolog dan epilognya?’. Penulis berpendapat bahwa dalam ke-beragaman karakter manusia dan faktor kebebasan manusia, ada orang-orang tertentu yang cukup mendengar Firman Tuhan secara langsung dapat langsung merubah rasio dan hatinya sehingga mampu menyelesaikan masalah kehidupannya karena memang Firman itu mampu menembus dan membelah roh kita. Di pihak lain, ada kelompok manusia lain yang dengan keunikan pribadinya membutuhkan pendampingan dan pembimbingan secara pribadi atau kelompok. Bukankah anggota keluarga kandung saja dapat mempunyai karakter dan kebutuhan emosi yang berbeda, yang membutuhkan pendekatan yang berbeda pula?. Mereka-mereka inilah yang membutuhkan pendampingan ‘prolog dan epilog’, di mana pelayanan konseling mampu untuk mengisi celah ini.
Oleh karena itu marilah kita semua jangan buru-buru menghakimi karena pada dasarnya semua manusia mempunyai belief system yang mempengaruhi word view kita terhadap suatu masalah.
Sebuah contoh menarik:
Martin Luther pernah mengalami depresi. Keadaan ini dibahas bertahun-tahun oleh para ahli untuk mencari jawaban mengapa Luther bisa depresi. Ada beberapa jawaban yang berbeda-beda:
Kondisi emosi Luther sangat berat dan mencekam.
Sejarah hidup Luther penuh dengan trauma.
Luther bekerja terlalu keras, kurang istirahat dan tanggung jawab yang besar.
Karena serangan iblis.

Perbedaan jawaban ini karena memang manusia mempunyai word view yang berbeda karena berbagai sebab misal pendidikan, culture, pengalaman dll.
Ada orang yang punya pengalaman kenal dengan seorang hamba Tuhan yang emosional dan meminta dihormati agak berlebihan (dari world viewnya), ternyata hal ini dikarenakan perbedaan culture. Si hamba Tuhan berasal dari daerah yang menganggap seorang hamba Tuhan seperti ‘1/2 dewa’ sehingga di daerah asalnya dia sangat dihormati secara tidak pada porsinya. Secara tidak sadar hal ini sudah mendarah daging dalam dirinya sehingga ketika dia berada dalam lingkungan culture yang berbeda terjadi benturan.


Pro Kontra Pelayanan Konseling

Dalam realita, bidang psikologi dan konseling mendapat banyak hambatan dan tantangan dari berbagai pihak termasuk dari kalangan gereja sendiri. Ada yang curiga psikologi hendak mengambil-alih peran Firman Allah dll.
Bagi penulis ada beberapa hal yang harus dimengerti dalam menyikapi pro dan kontra pelayanan konseling, yaitu:
Kitab Yesaya sendiri menyebut Kristus sebagai Great Counsellor.
Pdt. Yakub Susabda dalam National Conference and Healing Conference 1 berkata bahwa konseling adalah talenta (bagi kristen dan non-kristen) dan spiritual gift khusus bagi iman kristen. Karunia untuk memberikan nasehat ada dalam 1 Kor 12:7-11; Roma 12 dan Efesus 4 memuat daftar karunia rohani, walau tidak lengkap, yang mencantumkan karunia konseling. Bukankah tujuan hidup orang percaya adalah menjadi serupa dengan Kristus?. Dalam konteks pembangunan tubuh Kristus, maka semua kegiatan gerejawi seperti kotbah, PD, PA, pembesukan dll adalah sarana dalam pembangunan tubuh Kristus. Jika demikian, mengapa kita mencurigai pastoral konseling hendak memainkan role ‘playing God?’.
Harus di akui memang ada perbedaan mendasar antara psikologi dan konseling duniawi dengan psikologi dan konseling kristen. Ilmu duniawi berangkat dari satu asumsi bahwa manusia itu pada dasarnya baik; sedangkan ke-kristenan berangkat dari suatu kepastian bahwa semua manusia dilahirkan dalam natur berdosa. Karena perbedaan ini maka tidak semua cara dan metode duniawi diterima oleh konselor kristen. Konselor kristen mempunyai sebuah tolok ukur yang sangat jelas, yaitu Alkitab (Wahyu Khusus, hanya dianugerahkan pada orang kristen). Filsuf kristen, Arthur Holmes dalam bukunya “Semua Kebenaran Adalah Kebenaran Allah” menjelaskan bahwa Allah memberikan wahyu umum kepada semua orang, kristen dan non-kristen. Dari wahyu umum, manusiapun dapat menemukan kebenaran-kebenaran yang tidak bersifat fundamental dan tidak dapat menyelamatkan diri, misalnya ilmu Aljabar yang ditemukan oleh non-kristen.

Dari argumen di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa ilmu psikologi dan konseling, juga semua ilmu-ilmu lain serta kebenaran-kebenaran dunia harus ditundukkan dan diperiksa oleh satu-satunya sumber otoritas, yaitu Alkitab. Penulis sangat percaya Alkitab tidak menulis semua kebenaran tetapi semua prinsip-prinsip kebenaran ada di dalam Alkitab. Psikologi yang ditundukkan dalam kebenaran prinsip-prinsip Firman Tuhan dapat menjadi helping tools yang sangat berguna bagi pelayanan gereja secara umum dan secara khusus bagi jemaat yang membutuhkan.


Pandangan yang keliru dalam pelayanan konseling

Beberapa pandangan yang salah dalam pelayanan konseling:
Semua hamba Tuhan pasti mempunyai talenta dan karunia konseling. Kadang kita lupa bahwa sebenarnya skill dasar dari hamba Tuhan dan konselor bertentangan dalam arti hamba Tuhan berbicara dan konselor mendengarkan, menganalisa dan membantu konseli menyadari kesalahannya sendiri dan kemudian mengambil keputusan yang benar.
Konselor hanya memberi nasihat dan mendoakan konseli. Hal ini sering dilakukan oleh beberapa hamba Tuhan yang sebenarnya belum pernah belajar konseling tanpa mau mengerti akar dari masalahnya.
Konselor hanyalah mencoba ‘mengobati’ masalah yang hanya bersifat kesementaraan. Konselor kristen haruslah selalu mengkaitkan pelayanannya dengan tujuan kekekalan.
Konselor mengajarkan tindakan-tindakan yang harus dilakukan oleh konseli. Konselor berperan sebagai tutor dan konseli sebagai muridnya. Konseling bukan ‘menggiring domba agar MAU masuk ke kandang, melainkan menuntun domba sedemikian rupa sehingga MASUK ke kandang dengan kesadarannya sendiri’.
Dari pengalaman pribadi saya mendapati bahwa masyarakat mengangap konseling hanya untuk manusia yang ‘agak gila’. Mungkin konseling adalah hal terakhir yang dipikirkan manusia ketika menghadapi suatu masalah pribadi. Ketika istri penulis berpikir untuk membawa anak kami ke seorang psikolog karena kami menganggap anak ini terlalu introvert, teman-teman dan gurunya kok memandang dengan pandangan yang agak aneh. Hal ini diperberat dengan lingkungan gereja yang juga ‘kurang celik arti penting konseling’. Rasanya kultur kita harus mengalami transformasi terlebih dahulu.


Keunikan pastoral konseling

Ada beberapa keunikan konseling pastoral dibanding sekuler sbb:
Konseling pastoral menempatkan orang dalam relasinya dengan Allah.
Menjadikan Allah sebagai realita. Dengan menyadari bahwa Allah adalah real, suatu kesadaran yang baru telah muncul dan siap dilanjutkan dalam tahap berikutnya.
Wilayah kerja dan kompetensi konselor pastoral adalah pertumbuhan spiritual. Membantu konseli menemukan keutuhan spiritual sebagai pusat pertumbuhan manusia secara utuh dengan bahasa yang eksplist dan tidak formal.
Menggunakan sumber-sumber agamis dalam konseling. Dalam hal ini pengetahuan akan teologi dan pengalaman hidup yang diubahkan dapat menjadi tools yang sangat berguna bila digunakan tepat guna dan tepat sasaran.
Membantu orang dalam belajar untuk hidup. Kata-kata yang sangat indah bagi saya. Memang manusia tidak ada yang ahli dalam semua bidang dan mempunyai kelemahan dibanyak bidang sehingga ini adalah proses seumur hidup. Hal ini selaras dengan proses penyucian diri bersama Roh Kudus.
Membantu orang dalam pengembangan kompetensi hubungan antar-pribadi. Inilah salah satu implementasi dari mandat budaya. Komunikasi adalah hal penting yang sering menentukan hubungan antar sesama.


Fungsi konseling pastoral

Sedangkan fungsi konseling pastoral adalah:
Penyembuhan.
Untuk mengatasi kerusakan dengan menuntun dan mengembalikan fungsi dan kondisi sebelumnya.
Penopangan.
Menolong konseli untuk bertahan dan melewati kesulitannya/problemnya.
Pembimbingan.
Membantu konseli untuk menentukan pilihan di antara berbagai alternatif.
Pendamaian.
Me-rekonstruksi ulang relasi manusia dengan sesama dan Allahnya. Hal ini di mulai dari pengakuan, pengampunan dan disiplin.


Kesimpulan

Diperlukan suatu integrasi ilmu psikologi, konseling dan teologi dengan teologi sebagai ‘ratunya’ yang menjadi dasar acuannya.

Integrasi adalah sinergi antara beberapa disiplin ilmu yang berlainan tanpa menghilangkan ciri ilmu masing-masing. Beberapa disiplin ilmu yang berlainan tersebut bersifat saling melengkapi untuk memberikan suatu world view yang lebih luas sehingga dapat memberikan pemahaman yang lebih utuh dalam melihat suatu fenomena.

Menurut penulis, Teologi adalah dasar atau jangkar yang paling esensial dalam memahami diri sendiri, orang lain dan Tuhan. Sedangkan psikiatri adalah cabang dari ilmu kedokteran yang berkaitan dengan pengobatan, penyembuhan penyakit yang berkaitan dengan perilaku. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku dan hubungan antara otak dan perilaku manusia sehari-hari, sedangkan konseling adalah ilmu yang berkaitan dengan kesehatan mental. Penulis percaya, Teologi memberikan ‘rambu-rambu’ dan batasan-batasan dalam penggalian dan penerapan ilmu psikologi dan psikiatri misalnya dalam hal etika. Tanpa dasar Teologi yang benar dan kokoh, seseorang yang belajar psikologi dan psikiatri dapat tergelincir dalam pemikiran yang antroposentris dan menomor-duakan Tuhan.

Integrasi diperlukan dengan Teologi sebagai dasarnya. Memang psikologi dan psikiatri dapat memberikan pencerahan tentang perilaku manusia, tetapi kita harus ingat bahwa inilah bagian dari wahyu umum yang diberikan Allah kepada semua umat manusia tanpa terkecuali. Kita harus akan ingat prinsip bahwa wahyu umum haruslah diperiksa dalam terang wahyu khusus (Alkitab). Jadi bagian-bagian ilmu yang bertentangan dengan Firman Tuhan harus kita copot berdasarkan iluminasi dari Roh Kudus. Saya rasa hal ini bisa menjadi relatif karena perbedaan dasar pemahaman doktrin (Teologi) seorang dengan lainnya. Jadi Teologi menentukan dasar, alasan bahkan batasan integrasi-nya dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya termasuk psikologi dan integrasi yang sehat didasarkan atas pandangan teologi yang sehat pula.

Sudah sepantasnya sebuah gereja mempunyai paling tidak seorang konselor, idealnya seorang konselor yang belajar di seminari (misal M.K.). Pada nyatanya, sedikit sekali kesadaran akan hal ini di kalangan gereja.


*) Ditulis oleh Hendra, sebagai refleksi seorang awam pembelajar Alkitab dan pembelajar konseling, sekaligus sebagai tugas akhir semester 1 program KKJJ di IKPT. Tulisan ini jauh dari sempurna bahkan mungkin ada kesalahan-kesalahan yang semoga tidak fatal, karenanya masukan dari saudara dinantikan.
**) Tulisan ini sebenarnya satu bagian integral dari satu topik Pelayanan Gereja Masa Kini. Bagian lain adalah refleksi penulis terhadap peran Kepemimpinan dalam Gereja (belum selesai).

Bibliografi

Dasar-dasar Teori dan Praktek Konseling, sebuah diktat pembelajaran konseling jarak jauh oleh IKPT (Institute konseling & parenting terapan) oleh Pdt. Julianto Simanjuntak dkk.
Pastoral Konseling jilid 1 & 2 oleh Pdt. Yakub Susabda
Perlengkapan Seorang Konselor, Pdt. Julianto Simanjuntak
Kotbah Chinese Philosophy, Pdt. Stephen Tong
Psikologi Yang Sebenarnya, W. Stanley Heath
Segala Kebenaran Adalah Kebenaran Allah, Arthur F. Holmes
Masa Penuh Kesempatan, Paul David Tripp
Konseling Krisis & Terapi Singkat, Pdt. Hadi P. Saharjo
Konseling Yang Efektif & Alkitabiah, Larry Crabb
Pengantar Konseling Alkitabiah, John Mac Arthur JR & Wayne A. Mack

Friday, June 1, 2007

Reverend, Can I Study Abroad? (3)

Dalam beberapa minggu terakhir sebenarnya ada banyak sekali kejadian yang mengganggu pikiran dan hati saya. Berikut beberapa di antaranya:

Beberapa hari yang lalu saya mendapat telpon dari ibu saya. Dia meminta saya untuk mengkopikan beberapa VCD kotbah, yang menurutnya sangat bagus. Ternyata sang pengkotbah adalah seorang kristen yang nota bene adalah anak seorang majelis sebuah gereja ‘tradisional’ yang kemudian menjadi pemimpin sebuah kelenteng di Jakarta dan setelah 25 tahun kemudian bertobat dan sekarang menjadi seorang hamba Tuhan. Ibu saya sendiri lahir bukan dari keluarga kristen dan menerima anugerah keselamatan kira-kira 20 tahun yang lalu. Selama ini dia beribadah di sebuah gereja’ tradisional’ dan sempat menjabat sebagai majelis dalam beberapa periode. Setelah melihat VCD-nya saya jadi ingat bahwa VCD yang sama pernah dipinjamkan kepada saya oleh seorang pemuda di gereja tempat saya beribadah, beberapa bulan yang lalu. Didorong rasa penasaran, saya melihat dan mendengarkan kotbahnya. Ternyata memang tidak jauh dari perkiraan saya sebelumnya: pemaparan doktrinnya cukup ‘kacau’ dan mencomoti ayat-ayat bukan untuk didalami dan dipaparkan maksudnya, melainkan ayat-ayat tsb digunakan untuk mendukung apa yang dia katakan. Yang lebih ngeri adalah dia berkata: manusia yang tidak melakukan semua perintah Alkitab tempatnya di neraka. Wah...wah... keras sekali dan ngawur doktrinnya karena kita diselamatkan semata-mata anugerah dan bukannya atas jasa perbuatan kita. Perjanjian kerja semasa PL telah terbukti gagal ditaati manusia dan bahkan seorang Paulus-pun mempunyai kelemahan, seorang Petrus juga punya kekurangan. Jadi siapakah kita selain manusia berdosa pengejar kenikmatan hidup?. Berpikir flash back, saya juga pernah mengalami suatu masa yang penuh keraguan tentang keselamatan pribadi karena mendengar kotbah-kotbah semacam itu.
Dalam beberapa bulan terakhir, kegiatan rohani di kota kami yang kecil sungguh booming. Secara latar belakang, kota kami adalah kota yang sangat terkenal dengan ‘kehijauannya’ dan seumur hidup saya, belum pernah terjadi ‘KKR dalam skala besar’ terjadi secara berurutan apalagi sampai empat kali. KKR yang pertama (kalo ndak salah ingat 2 bulan yang lalu) dibawakan oleh seorang hamba Tuhan dari Jakarta yang biasa mengisi acara di TV swasta dan suka sekali mengakhiri setiap kalimatnya dengan Haleluya. Selain acara KKR juga ada acara seminar tentang rumah tangga dengan membayar @ Rp. 50.000. Singkat cerita, ‘nama besar’ sang hamba Tuhan rupanya menjadi magnet bagi orang kristen dan bahkan katolik untuk hadir. Acara kedua adalah seminar tentang akhir jaman yang diadakan sebuah gereja. Tidak seperti biasanya, acara ini diselenggarakan selama beberapa hari pada pagi sampai siang hari yang tentunya sangat panas. Melihat dari jumlah mobil dan motor yang diparkir, rasanya secara kuantitas: sukses. Acara yang ketiga akan berlangung beberapa hari lagi, yaitu KKR kesembuhan yang akan dilayani oleh seorang hamba Tuhan dari Semarang (yang saya singgung pada tulisan ‘Reverend,... 1 dan 2). Satu hal: persiapan KKR ini bagus sekali karena dari akhir bulan lalu, posternya sudah terpasang di beberapa tempat umum. Acara yang ke-empat dilakukan oleh gereja katolik selang satu hari setelah acara ke-tiga!!. Saya bisa melihat bahwa rasanya persiapan untuk acara katolik ini terburu-buru dan reaktif. Kenapa? Karena selebaran yang ditempel kecil, tidak menarik dan black & white, yang kontras dengan poster besar yang full color dengan kalimat-kalimat bombastis yang secara ilmu marketing: excellent.
Seorang hamba Tuhan pernah berkata bahwa pada krisis ekonomi 97-98, gereja-gereja di Jakarta mendadak menjadi penuh. Saya pikir beberapa orang disadarkan dan mencari kehendak Tuhan, beberapa lainnya mencari berkat dari Tuhan dan beberapa lainnya ‘memaksa’ Tuhan untuk memberikan berkat tanpa perduli pada Tuhan-nya. Dalam konteks KKR beruntun di kota saya, mungkin sekali fenomena 97-98 terjadi lagi karena kehidupan ekonomi sulit dan sulit. Bila pemikiran saya ada benarnya, maka masalahnya apa peran saya dan saudara dalam hal ini? Apa peran gereja-gereja Injili dalam menyikapi hal ini?. Bukankah ini adalah sebuah peluang bagus untuk melakukan penginjilan dan kesempatan untuk melakukan pengajaran doktrin yang sehat.
Kemarin malam, mertua saya dan seorang karyawan saya berkomentar bahwa membaca koran (kompas lho, bukan pos kota) sekarang ini kok penuh dengan hal-hal yang mengerikan. Saya berpikir sebenarnya sih kejadian-kejadian seperti ibu membunuh anak-anaknya, anak kelas tiga SD (SD kristen lho!!) menganiaya temannya sampai meninggal, majikan menganiaya pembantu sampai mati dsb sebenarnya di satu sisi sangat mengagetkan dan mengganggu pikiran dan hati saya, tetapi di sisi lain sebenarnya ketika hal ini direnungkan lebih dalam menjadi tidak mengagetkan sama sekali. Mengapa? Karena memang Firman Tuhan sudah mengatakan bahwa di hari-hari terakhir akan terjadi hal-hal yang ‘mengerikan’ sehingga saya percaya saat ini kita memang hidup di jaman narcis di mana akal sehat sudah mati dan hati manusia telah menjadi sebuah monumen, sebuah fosil. Hal ini bukan terjadi hanya bagi orang non-kristen karena pada kenyataannya di dalam gerejapun terjadi hal yang sama. Saudara, dengan jujur saya katakan bahwa hal inipun terjadi pada diri pribadi saya. Melihat dan mendengar hal-hal ‘mengerikan’ memang mengganggu pikiran dan hati saya sehingga saya menulis ini, tetapi jujur belum pernah saya berbelas kasih sampai menangisi mereka, belum pernah saya menempatkan kaki saya dalam sepatu mereka yang sempit (kalo punya sepatu). Rasanya hanya sekali ketika tahun lalu saya masuk ke pedalaman Kalimantan dan hidup seperti mereka hidup selama beberapa hari. Kita hidup di mana rasio dan kebebasan telah menjadi ‘ilah’ sehingga akhirnya kebebasan tak terkendali akhirnya justru menjadi penjara bagi diri sendiri. Bukankah seorang yang mengandalkan rasio akan ‘kolaps’ ketika semua rasionya berlawanan dengan kenyataan hidup yang di alami?. Kita hidup dalam masa post-modern di mana standar moral adalah sekedar tidak saling ‘bergesekan’ satu sama lain sehingga sebuah nasehat tulus dan niat yang tulus akan dianggap sebagai serangan pada pribadi dan mengusik comfort zone. Kita hidup dalam masa di mana dibutuhkan banyak sekali pundak untuk menangis, telinga untuk mendengar, mulut untuk menghibur dan tangan untuk menolong. Saya percaya belum pernah konseling dibutuhkan lebih dari hari-hari ini dan belum pernah gereja (Kristus) dibutuhkan lebih dari saat ini. Pertanyaannya: siapkah, maukah kita berubah dan bayar harganya?

Hendra, 260507

Friday, May 18, 2007

Reverend, Can I Study Abroad? (2)

Sambung lagi ya…..
Ternyata pada hari rabu malam, channel 69 menayangkan ulang kotbah dan sebuah pujian dari sang pendeta ‘lokal’ dalam tulisan saya yang pertama. Jadi saya dan istri dengan cukup antusias mendengarkan berita yang disampaikan dari atas mimbar dari awal. Setelah beberapa ayat dibaca, mulailah dibahas dan anehnya yang dibicarakan tidak banyak menguraikan teks malahan melebar kemana-mana. Walaupun begitu ada sebuah visi yang disampaikannya membuat saya tercengang-cengang. Dikisahkan bahwa mereka tengah membangun sekolah yang bermutu bagus dengan uang sekolah yang sangat ringan. Dengan gedung sekolah yang masih dibangun, mereka telah menerima hampir 400 murid yang kebanyakan berasal dari jemaat. Apakah uang untuk membangun sekolah sudah tersedia? Ternyata sebagian besar belum, walaupun demikian mereka berani melangkah maju.
Di kota lain, sebuah gereja juga mempunyai sebuah sekolah dasar yang menggunakan bahasa pengantar Inggris sehingga anak sekolahnya lebih mahir berbicara dengan bahasa Inggris daripada Indonesia. Bila seorang anak absen, maka materi pelajaran akan dikirimkan melalui internet karena setiap anak murid mempunyai sebuah lap top pribadi!!.
Di kota yang lain saya mendengar sebuah sekolah sedang dibangun oleh sebuah gereja pula. Melihat besar dan sistem manajemen gereja tersebut, saya yakin sekolah tsb tentunya akan ‘menggemparkan’ pula. Sebagai informasi, ketiga sekolah tersebut berada di bawah pengelolaan gereja ‘tertentu’ dan berada di jawa tengah.

Saya tidak menentang sekolah yang dikelola gereja ‘tertentu’, juga tidak menentang gereja ‘karismatik’ yang umumnya berkembang dengan sangat pesat. Hanya saja saya berpikir kenapa hal itu relatif tidak terjadi dalam gereja-gereja ‘tradisional’?. Jika dalam tulisan pertama saya memikirkan dua hal, maka saat ini saya memikirkan hal yang ketiga yaitu: mungkin kita kurang berani untuk melangkah seperti mereka sehingga Allah ijinkan mereka untuk berkembang secara (relatif) pesat!!, lebih dari kita. Sampai di sini saya merenungkan sebuah ironi: kita yang belajar doktrin lebih banyak kadang kurang berani untuk melangkah (atau berani melangkah tapi mendapat tantangan dari dalam gereja sendiri karena mengganggu comfort zone beberapa orang?), sementara orang lain yang kurang belajar doktrin malah berani melangkah lebih dari kita.
Tentu saja hal ini bisa diperdebatkan panjang, bahkan saya sendiripun mempertanyakan motivasi dibalik keberanian mereka, karena saya sendiri pernah mempunyai pengalaman sbb: gereja saya dahulu (waktu di jakarta) pernah mengadakan acara pengumpulan dana untuk membeli sebuah mobil bagi hamba Tuhan pembantu. Singkat cerita acara sukses dan sebuah mobil dibeli. Hanya suatu saat saya melihat sendiri bahwa STNK mobil tersebut atas nama sang pendeta utama, bukan atas nama gereja. Saat ini sang gembala sudah meninggal dan menurut saudara saya yang masih beribadah di sana, yang menjadi gembala sekarang ini adalah istri sang gembala yang meninggal tsb!!!, yang setahu saya nggak pernah belajar teologi. Demikian juga saya tidak tahu bagaimana status kepemilikan sekolah-sekolah yang dikelola gereja ‘tertentu’ tsb? Jika atas nama gereja bagus sekali, bila atas nama pribadi: bahaya!!.

Kembali ke gereja-gereja tradisional.
Bulan lalu saya secara pribadi (bukan diutus gereja) mengikuti Youth Leader Meeting (YLM) yang diselenggarakan oleh SAAT. Jumlah pesertanya dibatasi sampai 100 orang saja dan datang tidak hanya dari pulau jawa saja. Berbagai acara yang kami ikuti sangat berkesan dan membuka wawasan karena ada acara sharing beberapa hamba Tuhan dan gereja.
Dari berbagai percakapan dengan hamba-hamba Tuhan dan aktivis gereja, saya mendapati suatu benang merah persoalan-persoalan klasik yang dihadapi di gereja masing-masing. Ada seorang hamba Tuhan yang adalah seorang alumnus sebuah universitas di Jerman, yang akhirnya menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan dalam usia yang tidak muda lagi. Saya sangat sedih mendapati untuk menghadiri YLM, dia menghadapi berbagai rintangan justru dari kalangan gereja sendiri. Permintaannya untuk mengikuti YLM ditolak oleh majelis yang tidak mau mengeluarkan uang. Ketika saya tanya: bagaimana bapak akhirnya bisa datang? Dia hanya tersenyum dan tidak mau menjawabnya..... Ada juga seorang hamba Tuhan yang mendapat rintangan untuk hadir dari pendeta (gembalanya) sendiri.....entah bagaimana jalan pemikiran gembala tsb........
Di balik semua cerita sedih di atas, tentu saja ada banyak hal positif seperti semangat pelayanan hamba-hamba Tuhan muda, kemauan untuk maju, untuk terus belajar, untuk berubah, untuk belajar mengkoreksi diri sendiri dll.
Saya pribadi sangat, sangat bersyukur karena banyak beban pemikiran saya tentang pelayanan ternyata mendapatkan affirmative yang positif dari pihak pembicara. Dari acara tersebut, saya menarik kesimpulan bahwa akhirnya Tuhan mengijinkan sebuah perubahan dalam cara, metode dan sarana pelayanan yang penting akan terjadi atau sedang berlangsung. Terus terang hal ini sangat menguatkan saya pribadi karena sebelumnya saya pernah demikian kecewa dan sempat menolak pelayanan sebagai liturgis dua kali selama beberapa bulan terakhir, bahkan sebenarnya saat inipun saya tidak melayani seperti bagaimana saya melayani tahun lalu. Saya bergumul dan akhirnya sadar bahwa waktu untuk perubahan adalah waktunya Tuhan dan saat ini tugas saya adalah belajar dan berdiam diri.
Dalam YLM 2007, saya menilai (ini pendapat pribadi lho!) perubahan dalam cara dan metode pelayanan itu sudah dimulai dari beberapa pembicara, di antaranya dosen SAAT sendiri sehingga saya pribadi percaya hal ini akan menghasilkan lulusan hamba-hamba Tuhan yang mempunyai visi dan misi (atau ‘tradisi?’) yang selaras dengan visi dan misi seminari tsb. Tentu saja ini bukan suatu hal yang mutlak dan takes time. Sebenarnya angin perubahan tidak dimulai dari YLM karena dalam SAAT Preaching Conference tahun lalupun angin perubahan sudah ditiupkan.

Saya mengakui bahwa topik perubahan dalam pelayanan gerejawi memang sangat menarik hati. Dasar pemikiran saya adalah dari pengamatan bahwa disadari atau tidak disadari, setiap denominasi atau gereja lokal mempunyai gaya dan ciri khas masing-masing di mana style tersebut akan ‘diwariskan’ kepada generasi penerus sehingga akhirnya menjadi tradisi. Hal ini OK saja sampai suatu saat menjadi tidak OK lagi ketika suatu perubahan jaman yang wajar terjadi di mana hal ini bersinggungan/bertentangan dengan tradisi gereja tsb. Ketika pergesekan antar generasi terjadi, biasanya golongan senior akan semerta-meta mempertahankan tradisi dan menolak perubahan yang diusung generasi muda. Sedihnya, legalisme seperti ini adalah hal yang biasa terjadi dalam berbagai gereja masa kini. Kita bisa begitu keras kepala dan mengkritik semua orang yang sedikit berbeda dengan kita tanpa mau melihat kelebihan mereka.
Sebagai orang kristen memang kita tidak berasal dari dunia ini, tetapi kan kita masih hidup di dunia?. Bagaimanakah cara terbaik untuk ‘menantang jaman?’. Apakah dengan frontal, maju tak gentar menabrak semua rintangan? Atau dengan hidup bergaul dengan mereka sehingga kita dapat diterima dan ada peluang untuk memberitakan doktrin yang benar? Bagaimana pendapat saudara?

Hendra, 180507

Thursday, May 3, 2007

Reverend, Can I “Study Abroad”??

Mohon maaf terlebih dahulu jika tulisan ini mengganggu comfort zone saudara. Tulisan ini hanya sekedar curahan hati yang jujur tanpa maksud mengkritik pihak-pihak tertentu. Ingat, ini tidak wajib untuk dibaca, pilihan ada ditangan kita!! Tulisan ini sengaja saya biarkan mengalir begitu saja sehingga mungkin pembaca akan agak kesulitan menangkap alurnya, jadi sorry ya....

Kemarin sore istri saya melihat tayangan indovision channel 69 dan kemudian menceritakannya kepada saya. Kebetulan yang sedang disiarkan adalah kotbah Joel Olsten, seorang gembala dari suatu gereja karismatik di Amerika. Sepanjang yang saya pernah saya dengar sebelumnya tentang Mr. Joel adalah: ayahnya seorang pendeta yang kemudian meninggal dunia dan ‘mewariskan’ gerejanya kepada anaknya. Akhirnya Joel Olsten berganti profesi dan menjadi pendeta. Saya pribadi beberapa kali sempat mendengarkan kotbahnya secara sebentar-sebentar karena saya kurang tertarik dan tahu doktrinnya kurang beres walau mengakui keahlian ‘ilmu homiletiknya’, bahasa tubuh dan wajahnya yang selalu tersenyum dan selalu memberitakan hal-hal yang penuh pengharapan dan positif.

Sore itu dia berbicara tentang suatu topik yang menarik yaitu tentang habit. Dia berkata bad habit sangat mudah untuk dimulai tetapi sangat sukar untuk dihentikan. Bad habit yang dilakukan terus menerus akhirnya akan membentuk karakter buruk seseorang dengan mengikis karakter baiknya. Sebaliknya good habit sangat sulit untuk dimulai walau akan berdampak baik untuk kita. Jadi yang perlu kita lakukan adalah bergerak maju dalam good habit walaupun sulit dengan minta pertolongan Tuhan.

Ini adalah sebuah renungan yang sangat baik bukan?

Malam harinya sambil melihat tayangan Arsenal vs Fulham, saya ingat ada kotbah di channel 69 oleh seorang pendeta dari Semarang. Lagi-lagi dari gereja karismatik ceritanya........ (kapan ya giliran pak Tong, pak Benny Solihin, pak Yohan, pak Robby Chandra). Jadi akhirnya saya pindah channel dan pas si pendeta berkata bahwa perasaan minder adalah sebuah belenggu dalam hidup manusia. Ada perasaan minder yang ‘baik’, yang hanya diam atau menghindar bila diganggu orang lain. Sampai di sini, saya sudah mau pindah channel lagi ketika perkataan si pendeta berikutnya mengejutkan saya: perasaan minder yang buruk diwujutkan dengan menekan, menghalangi orang yang mempunyai kemampuan di atas kita. Sebagai ilustrasi dia mencontohkan Pol Pot yang membantai orang-orang pandai (sarjana, profesor dll) karena dia sendiri tidak pernah sekolah, jadi dia tidak mau ada yang lebih pintar dari dirinya sendiri. Contoh kedua adalah kolonel Khadaffy. Perbuatan yang dilakukannya pertama kali sewaktu berkuasa adalah menurunkan pangkat semua jendral-jendral karena dirinya hanya seorang kolonel. Sampai di sini dengan hati yang kacau, saya mengganti channel.......karena saya sadar, memang semakin masuk ke dalam pelayanan, semakin saya melihat sendiri ‘sisi-sisi’ gelap para pelayan seperti misalnya kagak mau dengar pendapat orang lain, kita ngomong apa saja dibilang tukang kritik dll. (seperti yang dikatakan oleh pak Jeffry dalam “dosa dan pelayanan”). Tapi memang semakin lama melayani semakin saya didewasakan. Ternyata setelah direnungkan, apa yang telah saya keluarkan dalam pelayanan, Tuhan telah kembalikan lebih lagi (penekanannya bukan pada materi lho, walau Tuhan selalu memberkati dan mencukupkan saya) melalui wawasan berpikir, perubahan karakter, kesabaran dll. Jadi kesimpulannya: melayani ternyata mendapatkan!!.

Siang hari ini sambil menuliskan tulisan ini saya merenungkan dua kilasan kotbah yang saya dengar semalam. Ada beberapa poin yang memang kurang terorganisasi penulisannya:

  • Kelemahan dari karismatik adalah sedikitnya (atau nggak ada) hamba Tuhannya yang jebolan seminary yang sungguh-sungguh ketat seperti SAAT, Reformed, ITA, AA dll. Hal ini membawa konsekuensi Firman yang disampaikan tercampur-baur antara amanat teks (hasil eksegesis yang ketat) dan amanat diri sendiri. Hal ini umum terjadi dengan mencomot ayat-ayat dari sana-sini yang dapat mendukung tema yang akan dikotbahkan.
  • Harus diakui ke-lihaian (di luar faktor motivasi) mereka-mereka ‘meramu’ Firman dengan pergumulan jemaat masa kini sehingga dengan mudah jemaat akan berkata: Firman ini memang cocok dengan keadaan saya sekarang, kok bisa pas dengan pergumulan saya dll. Sampai akhirnya jemaat akan merasa Tuhan menjawab langsung melalui penyampaian Firman tsb.
  • Harus diakui mereka memang pandai memanfaatkan semua sarana yang ada untuk membuat jemaat merasa nyaman, merasa ini adalah komunitas saya yang cocok. Sarana ini dapat berupa tempat yang nyaman, penyambutan yang super ramah, musik yang membius kesadaran, pelayan-pelayan dan hamba Tuhan yang selalu tersenyum ramah dll.
  • Untuk saya pribadi contoh dua buah kilasan kotbah di atas dapat diterima dan bahkan memang harus disampakan oleh gereja. OK, sebelum diprotes, saya klarifikasikan: Jenis kotbah atau lebih baik disebut renungan yang semacam itu (yang berkaitan dengan hidup nyata jemaat) sebaiknya disampaikan gereja bukan melalui ibadah umum melainkan pada sesi pembinaan-pembinaan kaum awam. Maksud saya, gereja masa kini mempunyai ‘hutang’ atau kewajiban untuk memberikan lebih dari penguraian Firman Tuhan karena pada dasarnya pengetahuan tanpa implementasi adalah sia-sia. Hal ini seperti iman tanpa perbuatan yang mati adanya.
  • Karismatik bisanya lemah dalam pengetahuan tentang Firman tetapi kuat dalam ilustrasi dan implementasi. Sedangkan Injili kuat dalam Firman (ini juga nggak semua lho!), tetapi kadang lemah dalam ilustrasi dan implementasinya. Juga kurang menunjukkan rasa empatinya sementara banyak hamba Tuhan karismatik yang menunjukkan rasa empatinya. (seorang pendeta yang ketika berkotbah sangat kuat memancarkan empatinya sampai saya merasa tidak sedang mendengar kotbah melainkan seorang konselor berbicara adalah Pdt. Benny Solihin, dosen homiletik SAAT, tentunya juga pak Yakub dan pak Paul yang memang seorang konselor). Pak Benny pernah berkata: hamba Tuhan yang setelah lulus dari seminary kemudian tidak rajin belajar maka biasanya kotbahnyapun akan seperti itu-itu saja. Maksudnya (contoh) bila berkotbah tentang Roh Kudus maka, apapun temanya, akan selalu membicarakan Roh Kudus dari satu sisi yang dia ketahui walau sebenarnya nggak cocok dengan temanya.
  • Sedihnya, saya mendapati kenyataan, para aktivis di lingkungan saya, yang puluhan tahun melayani ternyata pengetahuan doktrinnya amburadul seperti cap cay, mungkin karena campur baur dengan karismatik? Apakah mereka selama ini tidak kenyang makan di rumah sendiri? Siapa yang bertanggung jawab? Saya nggak berani jawab deh..... Kalo di dunia tentara sih yang bertanggung jawab ya pemimpinnya. Itu di militer lho..... Tapi, jangan salahkan jemaat kalo jajan (study abroad) karena nggak kenyang makan di rumah sendiri.

Sampai di sini saya berpikir kenapa cukup banyak gereja karismatik bertumbuh sangat pesat? Atau yang Injili (walau dapat banyak kritik juga) misalnya Saddleback Church yang digembalakan oleh Rick Warren. Apakah pertumbuhan mereka itu wajar atau tidak? Adakah yang dapat kita pelajari dari Rick Warren? Saya setuju memang ajaran Rick Warren ada yang ‘miring-miring’, tapi mari kita geser fokus kita pada kebaikan dan kelebihannya yang dapat kita adopsi daripada hanya sekedar mengkritisinya. Udah capek mengkritisi, nggak dapat manfaat apa-apa. Rugi dobel kan?.

Yang jelas sebagai penganut Calvinis saya percaya Allah mengijinkan mereka bertumbuh luar biasa atau dengan kata lain semua ini sudah ditetapkan Allah dalam kekekalan. Pertanyaannya mengapa, mengapa gereja kita tidak seperti itu?

Apakah dengan pengajaran yang ketat berarti akan menghasilkan hanya (relatif) sedikit pertumbuhan? Saya pikir Tuhan sangat baik dengan terus memberi kesempatan bagi karismatik kesempatan untuk memperbaiki diri. Sebaliknya saya pikir Tuhan juga mau menunjukkan kepada kita pola, metode, sarana pelayanan yang baru melalui gereja karismatik. (dan juga Tuhan menegur kita yang keras kepala melalui pertumbuhan gereja karismatik). Mari kita berhenti sejenak mengkritisi gerakan karismatik, kita ambil pelajaran dari sana dan perbaiki diri sendiri.

Saya percaya 100% kita dapat mendapat pengajaran yang Injili dan ketat dan gereja akan bertumbuh dengan pesat bila kita mau membuka diri terhadap perubahan jaman. Kenapa saya yakin? Karena dalam Youth Leader Meeting yang diadakan oleh SAAT pertengahan April lalu saya mendengar sendiri sharing dari beberapa gereja yang tradisionalnya tradisional. Ternyata setelah mengadopsi beberapa metode pelayanan yang baru, gereja mereka bertumbuh pesat. Pengajarannya? Jangan ragu, Reformed Injili abis. Contoh metode yang dipakai adalah dengan membentuk komunitas daripada komisi, (lagi-lagi) musik kontemporer yang bermutu, aransemen yang baru dll. Memang ada orang yang fanatik hymn mengatakan: hymn sudah terbukti bertahan berabad-abad, lihat kontemporer setelah beberapa bulan kemana?. Ya jawabnya mudah: hymn terus dinyanyikan karena dibukukan dan tiap minggu kita nyanyinya pakai buku hymn tsb. Sementara kontemporer selalu berganti. Kalo mau kumpulin lagu kontemporer yang bermutu dan dibukukan dan dipakai tiap minggu, maka 100 tahun lagi ya masih terus dinyanyiin!!.

Tentu saja untuk berubah harga yang harus dibayar sangat mahal karena pada dasarnya semua manusia suka pada kenyamanan, sehingga ketika perubahan terjadi, akan sangat sakit bagi kita untuk mengikutinya. Pada waktu itu saya bertanya faktor apa yang menjadi pendorongnya (agent of change). Di jawab: diperlukan seorang pemimpin yang kuat, yang mempunyai visi dan dapat mengkomunikasikan visi tsb kepada majelis dan aktivis. Jadi jelasnya seorang pemimpin yang mau bekerja keras, yang mau membayar harganya. Sampai di kamar, saya berbincang-bincang dengan teman saya seorang hamba Tuhan. Saya mengemukakan kekaguman saya kepada sang pemimpin yang kuat tsb dan di jawab teman saya: pak ...... itu sebenarnya seorang phlegmatik lho!! Puji Tuhan, memang Allah berkuasa untuk memproses seorang phlegmatik menjadi seorang pemimpin yang kuat. Tinggal maukah kita bayar harganya?

Saya ingat tulisan dari ahli manajemen, Rhenald Kasali Phd diharian kompas bulan lalu sbb: Untuk melakukan perubahan, ada dua macam manusia: yang pertama, yang dengan dipaparkan akibatnya bila tidak berubah, menjadi takut dan kemudian didorong oleh rasa takutnya mampu mendorong dirinya untuk berubah. Jenis manusia yang kedua adalah manusia yang tidak mempan hanya dengan rasa takut. Jenis manusia ini baru akan berubah ketika rasa sakit datang menimpanya karena tidak mau berubah sebelumnya. Mudah-mudahan tidak ada jenis yang ketiga: yang tetap tidak mau berubah walau rasa sakit sudah dideritanya, karena bagi orang seperti ini mungkin hanya ada satu kemungkinan: mati seperti dinosaurus.

Saya berharap, kita semua termasuk jenis manusia pertama, yang mau berubah dengan melihat keadaan dunia masa kini, yang tidak menunggu tangan Tuhan turun atas diri kita............Mari kita bersama berlutut dan mohon Roh Kudus untuk merubah karakter kita.

Tuhan inilah hidupku

Tuhan inilah hidupku kuserahkan padaMU

Segala cita-citaku masa depanku menjadi milikMu

Jadikan api terangMu di tengah keg’lapan dunia

Membawa bangsa-bangsa kepadaMu

Tuhan ini kerinduanku

***

Bagimu Tuhan seluruh hidupku

Pakailah Tuhan bagi kemuliaanMu

Genapi seluruh rencanaMu

Sampai bumi penuh kemulianMu

Hendra, 020507

Monday, April 30, 2007

Inikah saatnya bagi Samaria Modern??

Suatu hari (260407) saya dan keluarga pergi ke Semarang dan mampir di sebuah Mall. Di dalam Mall saya mendengar tiga hal yang mengejutkan:

Di sebuah toko mainan anak-anak sewaktu mengantar anak bermain, saya mendengar sebuah lagu yang diputar dan dinyanyikan oleh seorang anak (kan memang toko mainan anak). Sekilas saya merasa lagu dalam irama rock tersebut adalah lagu yang saya kenal karena dahulu saya gemari. Setelah menyimak lebih lanjut, betapa terkejut dan lemasnya saya mendapati ternyata lagu tersebut adalah lagu dari grup AC/DC (Anti Christ/Devil Child) yang berjudul highway to hell.
Rupa-rupanya setan terus bekerja dengan keras dan mulai melakukan re-organisasi dan membidik ‘target potensialnya’ yang baru dari hulu (daripada dari hilirnya saja). Bagaimana dengan gereja? Apakah kita akan bekerja lebih keras lagi dan melindungi ‘aset potensial’ kita yaitu anak-anak sekolah minggu, remaja dan pemuda? Inikah waktunya bagi kita untuk mulai mengkonsep suatu pola pelayanan yang terpadu?
Agar anak-anak dan orang tuanya tahu dan mengakui kalau kita mengasihi anak-anak mereka seperti kita mengasihi anak-anak kita pribadi.

Melalui channel star world, saya mendengar American idol edisi terakhir mendapat 70 juta SMS dan telepon masuk untuk mendukung idol masing-masing. Saya melihat selama beberapa menit acara tersebut dan dengan berat hati harus mengakui bahwa acara tersebut dikemas dengan sangat baik, profesional dan megah. Sekilas saya menyadari ironi dari dunia ini yaitu manusia “duniawi” begitu suka menikmati entertainment (dan memang mau membayar harganya) lebih dari menikmati dan memuliakan Allah. Sementara, cukup banyak anak Tuhan yang mengaku mencintai Allahnya tetapi begitu sedikit yang concern terhadap kehidupan pelayanan, begitu sedikit yang bersungguh-sungguh berjuang untuk berjuang mendapatkan karakter Kristus yang berimplikasi terhadap perubahan hidupnya secara nyata dan menjadi kesaksian hidup tanpa berkata-kata bagi sesama. Inikah saatnya bagi saya untuk meninggalkan comfort zone dan membayar harganya?
Agar Allah tersenyum dan berkata: “engkau memang hamba yang baik”.

Istri saya menceritakan suatu talk show yang didengarnya di TV. Oprah Winfrey mewancarai dua orang janda yang suaminya menjadi korban teroris di WTC. Mereka membentuk sebuah yayasan yang membantu para janda di Afganistan yang suaminya mati dalam menjalankan profesinya. Apa profesi suami-suami janda Afganistan itu? Jawabannya sangat mengejutkan saya: Teroris, mereka-mereka yang membunuh orang-orang yang bahkan tidak mereka kenal apalagi bersalah kepada mereka. Dua orang janda korban WTC mengatakan bahwa dengan membantu para janda teroris ternyata membantu mereka untuk membebat luka mereka sendiri (dan tentunya mengampuni pembunuh suami mereka). Apakah mereka berdua adalah orang kristen? Saya tidak tahu, yang saya tahu mereka adalah orang Samaria modern dan sudah seharusnya kita sebagai orang kristen meneladani mereka...........Inikah saatnya saya berhenti berkata-kata dan membuktikannya dengan perbuatan? Agar jemaat tidak mengatakan kita munafik, hanya bisa berkata tanpa bisa melakukan apa yang kita katakan sendiri.

Lewat tiga peristiwa di atas kembali saya dingatkan akan kompleksitas dan beratnya pelayanan gereja dalam jaman ini. Sampai di sini saya jadi ingat tulisan C.S Lewis (Screwtape Letter) yang bunyinya kira-kira seperti ini: ‘musuh’ orang kristen seringkali tidak berada di luar gereja, melainkan di dalam gereja sendiri. setan tidak perlu berusaha keras menjatuhkan orang kristen di luar gereja, cukup membuat anggota gereja saling bertengkar sendiri.

Inikah saatnya saya berubah dengan mempersilahkan Yesus mengambil alih hidup saya?
Inikah saatnya kita sadar bahwa kita tidak sedang bersaing memperebutkan posisi dan membuat jejaring karena sebenarnya kita berada dalam team yang sama?
Inikah saatnya kita dapat bekerja sama dan saling mendukung, saling mendoakan, saling mengampuni?
Inikah saatnya kita membuang ego kita, me-review pelayanan dan minta ampun kepada Yesus sekali lagi?
Inikah saatnya kita, hamba Tuhan, majelis dan aktivis bergandeng tangan dalam melayani?

Agar darah yang dicurahkanNya di Kayu Salib tidak sia-sia.......Salvation is free, it’s cost of............(isi sendiri)


Bagaikan Bejana

Bagaikan bejana, siap dibentuk
Demikian hidupku ditanganMu
Dengan urapan kuasa RohMu
Ku dibaharui selalu

Jadikanku alat dalam rumahMu
Inilah hidupku ditanganMu
Bentuklah s’luruh kehendakMu
Pakailah sesuai rencanaMu

**
Ku mau s’pertiMu Yesus
Disempurnakan s’lalu
Dalam s’gnap jalanku
Memuliakan namaMu


Hendra, 26-29 April ‘07

Thursday, April 12, 2007

“Pelayanan Dunia Mengalahkan Pelayanan Gereja?”

Dalam beberapa bulan terakhir ini di kota saya yang kecil berturut-turut dibuka dua buah bank swasta nasional yang baru. Di tengah-tengah kelesuan ekonomi yang terus membelit ‘mesra’ bangsa kita ternyata tidak mengurangi laju ekspansi sektor perbankan dan sektor-sektor ekonomi yang lain. Sebagai akibat langsung dari keadaan ini, pertempuran habis-habisan memperebutkan kue yang semakin kecil oleh pemain lama plus pemain baru menjadi semakin nyata dan sengit hingga ‘mencucurkan air mata dan darah’. Bajak membajak karyawan menjadi hal yang biasa dan adu kekuatan dan adu program serta pelayanan menjadi hukum wajib bagi sektor perbankan.
Dampak langsung yang saya pribadi alami adalah perubahan dalam pelayanan bank terhadap nasabahnya, termasuk saya. Masih segar dalam ingatan jika kita pergi ke sebuah bank dua tahun atau tiga tahun yang lalu, saya harus membuka sendiri pintu bank tersebut di bawah tatapan mata sang satpam yang kurang bersahabat. Ucapan selamat datang? Boro-boro mendapatkan ucapan selamat datang, wong kasirnya aja rata-rata mahal senyum, mungkin karena harga odol ikut-ikutan mahal.
Bagaimana dengan hari ini? Wah, rasanya kita menjadi raja yang tak bermahkota jika masuk ke bank. Pintu dibukakan disertai senyum dan ucapan selamat datang plus ditanya apa yang bisa dibantu. Baru mengambil formulir, belum menulis apa-apa sebuah suara ramah mengatakan tanggal berapa hari ini dsb...dsb....
Terus terang pertama kali dan berkali-kali setelah itu saya selalu merasa rish diperlakukan sedemikian terhormat. Hari ini rasa itu mulai berkurang karena hal itu sudah menjadi SOP atau standart operation procedures setiap bank sehingga nasabah menjadi terbiasa menerima perlakuan istimewa.
Fenomena pelayanan istimewa sebenarnya bukan monopoli perbankan saja tetapi sudah menjadi kecenderungan yang menjurus kepada keharusan yang dilakukan oleh setiap sektor bidang usaha jasa dan industri dalam mempertahankan eksistensi mereka. Saya percaya semakin hari, fenomena ini akan terus berlanjut dengan inovasi-inovasi yang baru dan segar.

Saudara, dengan hati yang gentar dan sebenarnya sudah cukup lama saya menahan diri untuk tidak menulis tentang hal ini karena lagi-lagi apa yang saya tulis dapat disalah mengerti, menimbulkan kontroversi dan menyinggung hati yang membaca. Hari ini saya tidak dapat lagi menahannya karena cinta saya pada gereja Tuhan bukan karena ingin mengkritik.

Secara jujur saya harus mengatakan bahwa ‘pelayanan’ yang dunia tawarkan telah mengalahkan ‘pelayanan’ yang gereja berikan pada jemaatnya. Pelayanan yang saya maksud adalah cara dunia memperlakukan konsumennya dibandingkan dengan bagaimana gereja memperlakukan jemaatnya. Tentu saja jemaat bukanlah konsumen dan sebaliknya konsumen bukanlah jemaat. Dunia bertujuan mencari profit sedangkan gereja bertujuan mencari jiwa-jiwa yang terhilang. Perbedaan ini dapat diteruskan sampai panjang tetapi maksud saya adalah: bila dunia yang bertujuan kepada kesementaraan saja dapat ber-evolusi atau ber-revolusi dalam memperbaiki dirinya, apakah hari ini ada semangat yang minimal sama dalam gereja yang bertujuan kepada kekekalan? Bukankah sudah sewajarnya kita yang terus berproses secara progresif bersama Roh Kudus dalam proses penyucian menunjukkan buah-buah yang nyata?. Buah-buah pelayanan yang baik tentunya timbul dari pohon hati yang memproduk buah-buah tersebut sehingga bila pohon hati kita baik tentunya akan menghasilkan buah yang baik pula.

Kembali ke lap top, eh kembali ke pelayanan gereja, berapa banyak gereja-gereja Injili yang mengadopsi kemajuan jaman dengan melakukan pembaharuan-pembaharuan dalam cara, sistem, metode dan management modern? (tanpa mengkompromikan berita Injil) Terus terang saya tidak tahu, hanya dugaan saya jumlahnya kurang dari 15%. Berapa banyak yang hatinya terus berkobar dengan semangat reformasi yang dimulai/dipicu oleh Luther?, yang mau mengorbankan kenyamanan diri demi kemajuan?
Saya berharap pengalaman yang saya alami di lingkungan saya ini dibantah dan dimentahkan oleh saudara-saudara sekalian dengan memberi masukan: gereja kita progresif kok! Kagak status quo, gereja kita maju, pelayanan tambah bagus dll. Mudah-mudahan.......dan lebih senang lagi bila saudara-saudara mau sharing bagaimana proses perubahan berlangsung, apa hambatannya, bagaimana cara mengalahkan kenyamanan diri, bagaimana perbandingannya dibandingkan dahulu dll

Sampai di sini saya jadi ingat kotbah Pdt. Effendi S atau pak Tong (kalo ndak salah) yang menceritakan suatu hari ada seorang penginjil bertanya kepada Mahatma Gandhi: apa yang harus dilakukan agar ke-kristenan diterima oleh rakyat India? Gandhi menjawab: mudah sekali, jika semua orang kristen berperi-laku seperti ajaran Yesus. Gandhi sendiri batal menjadi orang kristen karena mendapat perlakukan yang rasialis pada hari dimana seharusnya ia mau menyerahkan diri kepada Kristus. Entah, sudah berapa banyak Gandhi-Gandhi yang telah saya kecewakan dengan perilaku dan ucapan saya selama ini, sementara sedikit sekali yang sudah saya lakukan bagi Yesus. Semoga Allah terus mengkoreksi motivasi pelayanan saya.

Hendra, 120407

Monday, April 2, 2007

Ini Aku, Utuslah Aku

Oleh: Pdt. Yohan Candawasa, 040207 di GKKK Solo

Mat 9: 35-38
Ada beberapa hal yang (mulai) menghilang dalam gereja:
1. Cara pandang/cara berpikir/cara ber-respon seseorang terhadap suatu masalah dapat berbeda sekali dengan cara pandang orang yang lain. Jadi untuk suatu hal yang sama, manusia bisa ber-respon dengan cara yang berbeda. Hal ini terjadi karena manusia melihat suatu hal berdasarkan tujuan tertentu, apakah untuk kepentingan yang melihat atau untuk kepentingan yang dilihat. Misalnya waktu akan menyebrang kita melihat mobil-mobil di kanan-kiri untuk kepentingan kita yang melihat (kita yang mendapat manfaat), bukan untuk kepentingan/kebutuhan yang dilihat. Sering kali cara pandang kita dalam segala hal hanya untuk kepentingan kita pribadi. Hal ini berbeda dengan cara pandang Yesus dalam Mat 9: 35-38 dimana Ia melihat orang banyak dan hati-Nya tergerak untuk berbelas kasih kepada mereka, untuk kepentingan orang banyak yang bagaikan domba tanpa gembala. Kita dapat melihat suatu hal yang sama tetapi dengan respon yang sama sekali berbeda dibandingkan dengan Tuhan Yesus. Yesus selalu melihat dalam konteks kebutuhan orang lain bukan kebutuhan diri-Nya sendiri. Kita harus belajar untuk melihat untuk kepentingan yang dilihat, mengikis egoisme kita.
2. Belas kasih bukan sekedar kasihan menjadi langka di dunia bahkan di gereja karena:
· Sibuk sehingga tidak punya waktu buat diri sendiri apalagi untuk orang lain. Jaman ini telah mengikis rasa belas kasihan kita kepada sesama.
· Harga belas kasih mahal. Contoh kisah orang Samaria yang menolong orang yang dirampok. Kita lihat dalam Luk 10: 33-35 berapa harga belas kasih orang Samaria. Saat ini rasa belas kasih telah menghilang bahkan di dalam gereja karena kita telah ‘membunuh’ belas kasih itu.
· Sejak kecil banyak anak-anak tidak dididik dengan belas kasih atau dikasihi sehingga mereka tumbuh dengan penuh luka jiwa dan kekosongan jiwa. Jaman ini adalah jaman Narcis dimana anak-anak bertumbuh dengan tidak mendapat hal-hal yang seharusnya didapatnya dan mendapat hal-hal yang tidak seharusnya ditanggungnya. Sebuah survey di sebuah sekolah Kristen di Solo mengatakan 80% remaja merasa keluarganya tidak memberi perhatian kepadanya. Orang tumbuh tanpa belas kasih akan sangat sukar untuk mengasihi orang lain. Kita lihat banyak orang datang ke gereja untuk memenuhi kebutuhan narcisnya untuk mendapatkan berkat dan berkat saja bukannya untuk pikul Salib dan berkorban. Berapa banyak kita mendengar kotbah yang menantang untuk berbelas kasih dan berkorban? Hari ini banyak gereja meneriakkan kita akan mendapat dan mendapat segala kebutuhan kita (egosentris), maka mana bisa kita memikirkan kepentingan orang lain. Kita diajar untuk mengejar dunia bukannya mengejar sifat-sifat Allah.

Ada sebuah kisah nyata tentang seorang hamba Tuhan di Taiwan yang secara berkala datang ke sebuah kuil. Ada kalanya dia cepat pulang tetapi ada kalanya pula dia tidak pulang sampai hari malam. Apakah yang dilakukan sang hamba Tuhan itu?
Ternyata dia hanya melihat orang-orang yang berlalu-lalang keluar masuk ke kuil tsb dan menggumulkan hatinya dihadapan Tuhan. Bila hatinya telah tersentuh dengan belas kasih hingga menangisi orang-orang berdosa tsb barulah dia pulang.............

3. Mat 9:35-38 menunjukkan sikap Yesus yaitu:
· Melihat orang banyak (melihat dengan mata)
· Ber-belas kasih kepada mereka (belas kasih dengan hati)
· Mengajak murid-muridnya berdoa untuk meminta penuai-penuai bagi domba-domba yang tak bergembala. Kita baca bahwa murid-murid-Nya setuju dengan-Nya, berarti mereka melihat sama dengan cara Yesus melihat dan berbelas kasih seperti Yesus berbelas kasih. Kita membaca dalam pasal 10 Allah menjawab doa murid-murid dengan mengutus mereka sebagai penuai. Jadi yang berdoa adalah sekaligus sebagai jawaban doanya. Siapkah kita diutus oleh Allah? Atau kita berdoa dan berharap orang lainlah yang diutus?

Hari ini apakah kita berdoa meminta karakter Yesus, meminta mata seperti mata Yesus, hati seperti hati Yesus, merelakan diri untuk melaksanakan jawaban doa atau apakah kita berdoa hanya untuk masalah pribadi kita? Tuhan rindu kita untuk meminta karakter yang serupa dengan karakter Yesus.

Brikanku Hati
Brikanku hati, sperti hatiMu
Yang penuh dengan belas kasihan
Brikanku mata, sperti mataMu
Memandang tuaian di sekelilingku
Brikanku tanganMu ‘tuk melakukan tugasMu
Brikanku kakiMu melangkah dalam rencanaMu
Brikanku, brikanku, brikanku hatiMu

Kotbah di atas diringkas oleh Hendra dan belum diperiksa oleh pengkotbah

Saturday, March 31, 2007

Suku Dayak Terancam Luar-Dalam, Jasmani-Rohani.

Awal Juli 2006 lalu, untuk pertama kalinya saya dan beberapa rekan mengikuti suatu misi pengInjilan ke pedalaman Kalimantan Barat. Team kami adalah salah satu dari sekitar 12 team yang mengunjungi cabang gereja-gereja suatu denominasi yang berjumlah sekitar 50 gereja. Misi ini dilakukan setiap tahun dan telah berjalan selama 5 tahun tanpa terputus.
Saudara, 50 buah gereja dalam satu sinode hanya di pedalaman Kalimantan Barat adalah suatu jumlah yang fantastis bukan?. Bukankah kita patut bersyukur kepada Allah dan ikut mendukung misi-misi semacam ini?. Saya meng-amin-kan pertanyaan di atas, hanya saja ada beberapa sisi lain kehidupan suku Dayak yang terlepas dari perhatian dari kebanyakan kita. Jadi tulisan ini tidak membahas bagaimana kesulitan perjalanan kami tetapi ada beberapa fakta yang menyedihkan yang dialami oleh saudara-saudara kita, suku Dayak. Saya berani mengatakan fakta karena semuanya saya dapatkan dari hasil pembicaraan saya dengan beberapa penduduk dan hamba-hamba Tuhan yang melayani di sana.

Terancam Luar-Dalam, Jasmani-Rohani
Secara jasmani.
Maraknya perkebunan kelapa sawit membawa dampak serius terhadap tanah milik suku dayak. Dalam beberapa tahun ini ternyata banyak perusahaan dari malaysia yang “berinvestasi” di Kalbar. Entah bagaimana caranya, dalam investasinya mereka “bekerja-sama” dengan penduduk lokal sebagai pemilik tanah sbb: Tanah pribadi rakyat seluas 7-10 hektar dibagi dengan pembagian, 2 hektar dikuasai pemilik tanah dan sisanya dikuasai oleh perusahaan malysia. Lebih sedihnya, untuk menanami tanahnya yang tinggal 2 hektar itu, pemilik tanah harus membayar bibit secara kredit ke perusahaan malaysia dan bila pada saatnya mereka gagal membayar kredit maka tanah yang tinggal 2 hektar tersebut akan disita pula.
Bila hal ini berlanjut terus, sulit untuk dibayangkan dampaknya bagi suku dayak. Dalam beberapa tahun mendatang, dalam pikiran saya akan banyak tenaga-tenaga dari malaysia masuk ke pedalaman Kalbar, berbaur dan terjadi kawin campur sehingga akibatnya terhadap perkembangan iman kristen dapat anda pikirkan sendiri.
Pada saat ini telah terjadi beberapa kasus perselisihan intern keluarga akibat seorang anak menolak bekerja-sama (menyerahkan tanahnya) dengan perusahaan malaysia sedangkan saudaranya menerima. Pihak mana yang menang? Coba kita pikirkan dan renungkan sendiri.

Secara rohani.
Saat ini tidak banyak gereja-gereja yang “membuka cabang” di pedalaman Kalbar. Jelas secara finansial ini adalah proyek rugi, proyek subsidi. Dalam satu gereja saya mendapati persembahan dalam ibadah hari minggu berkisar 10-20 ribu. Sang hamba Tuhan sendiri hanya mendapatkan gaji bulanan yang nilainya setara dengan harga 25 Kg gula pasir!! (Maaf, berapakah gaji pembantu di rumah kita?). Masih untung hamba Tuhan tersebut masih single. (Harga 1 Kg gula pasir adalah Rp. 10.000). Sebagai informasi, harga bahan kebutuhan pokok di pedalaman Kalbar selain beras, jauh lebih mahal dibandingkan dengan pulau jawa. Harga sayur 2-3 kali lebih mahal. Harga 1 liter bensin Rp. 7.000. Listrik belum ada kecuali melalui gen-set yang biasanya menyala hanya antara jam 18.00-21.00.
Ditempat lain seorang hamba Tuhan mendapatkan gaji setara dengan 35 Kg gula pasir. Padahal dia mempunyai seorang istri (yg lulusan seminari Teologi) dan 2 orang anak. Lebih sedihnya, fakta bahwa anak pertamanya yang berusia 13 tahun masih berada di kelas 3 SD. Mengapa? Apakah anak tersebut bodoh? Jawabnya TIDAK. Sang anak tiga kali tinggal kelas karena 2 kali gagal mengikuti ujian karena pas menjelang ujian, sang bapak dimutasikan ke tempat lain. Satu kali sang anak tinggal kelas karena jarak sekolah dan pastori sangat jauh sehingga sulit untuk dijangkau.
Ditempat lain, seorang hamba Tuhan yang menikah dengan hamba Tuhan lainnya mempunyai seorang anak yang terpaksa dilahirkan secara operasi dengan menghabiskan biaya Rp. 7.000.000. Terus terang saya tidak berani menanyakan kepada sang hamba Tuhan dari mana uang yang dibayarkan ke pihak rumah sakit.
Dengan keadaan kehidupan hamba Tuhan yang seperti itu, dapatkah kita menuntut banyak dari pelayanan mereka? Pada siang hari banyak hamba Tuhan yang bekerja di ladang untuk menunjang kehidupan mereka. Dengan kehidupan yang “keras” seperti itu, dapatkah pelayanan mereka maksimal? Dengan keterbatasan informasi dan sarana, dapatkah mereka meningkatkan mutu pelayanan mereka?. Saudara, ini bukanlah lagu Kisah sedih di hari minggu-nya koes plus, tetapi realita yang dialami oleh saudara-saudara kita hamba Tuhan yang menyerahkan hidupnya secara luar biasa tanpa pamrih. Pertanyaan saya hanya satu: apakah yang dapat saya perbuat untuk mereka, apakah yang saudara dapat lakukan untuk mereka?
Tulisan ini bukanlah bermaksud mem-provokasi atau dengan sengaja mendeskreditkan pihak-pihak tertentu sehingga bila ada pihak yang merasa dirugikan, dengan segala kerendahan hati saya memohon maaf yang sebesar-besarnya. Tulisan ini hanyalah bentuk keprihatinan saya akan nasib saudara-saudara kita di pedalamanan Kalbar. God Bless You….

Himne vs Kontemporer?, Piano vs Band? Bagaimana Konsep Alkitab?

Teologi penyembahan atau secara praktis dapat dikatakan sebagai pola ibadah dan musik gerejawi adalah suatu topic yang ‘cukup berbahaya’ untuk ditulis karena merupakan hal yang sensitive, yang gampang memicu perdebatan, baik debat kusir maupun debat secara intelek. Tulisan ini dibuat karena rasa penasaran penulis atas ke-absahan tata cara ibadah dan musik yang sesuai dan bertitik tolak dari kebenaran mutlak Alkitab. Rasa penasaran ini timbul setelah penulis membaca tulisan skripsi Ev. Fri Suhandy: Teologi penyembahan dan signifikansinya dalam ibadah raya.

Pokok Pemasalahan:
Liturgi (pola ibadah) termasuk penyembahan seperti apa yang Alkitabiah?
Musik dan alat musik yang seperti apa yang baik, yang seharusnya dimainkan di gereja?

Pola Ibadah
Perdebatan pola ibadah dapat mengakibatkan pertentangan dalam jemaat local. Ada sebagian yang berpendapat bahwa gaya kontemporer membawa pembaharuan yang segar, yang mampu menampung ekspresi dan aktualisasi jemaat sehingga menciptakan ibadah yang berjalan penuh dinamika penyembahan. Sementara itu sebagian berpendapat bahwa gaya tradisional adalah pola yang lebih sopan dan telah terbukti manfaatnya turun menurun sehingga merupakan pola penyembahan yang benar.
Untuk mendapatkan pola yang benar, acuan yang Alkitabiah haruslah menjadi penentu kebenaran. Ada dua acuan penting yang harus kita pahami sbb:
· Pusat dari penyembahan.
Pusat dari penyembahan adalah Allah sendiri karena Allah adalah subyek sekaligus obyek dari penyembahan kita. Allah adalah subyek karena tanpa anugerahNya kita tidak mungkin mengenal dan menyembah Dia; sebagai obyek karena penyembahan adalah respon kita terhadap Allah.
· Esensi dari penyembahan.
Alkitab tidak pernah mewajibkan jenis musik tertentu, karenanya kita harus mengerti apa esensi dari penyembahan. Esensi dari penyembahan dalam Alkitab hanyalah menyembah dalam roh dan kebenaran. (Ev. Fri Suhandy, Teologi penyembahan dan signifikansinya dalam ibadah raya)

Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa sesungguhnya pertentangan pahit gaya tradisional dan kontemporer ternyata telah keluar dari isu yang sebenarnya. Mempertahankan sebuah gaya atau pola dapat dengan mudah terjebak dalam pem-berhalaan suatu pola. Penyembahan yang benar tidak berdasarkan pola melainkan dari pusat penyembahan yang benar serta esensi dari penyembahan itu sendiri. Pola ibadah (dan juga musik) adalah suatu hal yang sekunder, suatu sarana yang mencoba mengatur agar suatu ibadah berjalan dengan sopan dan teratur.


Musik

Gaya Musik
Bagaimana pentingnya peran musik dalam suatu ibadah tidak perlu diragukan lagi; hanya sayangnya lagi-lagi pertentangan antara gaya tradisional dan kontemporer timbul dimana masing-masing pihak mempertahankan argument masing-masing.
Disatu pihak mengatakan bahwa musik yang baik adalah musik yang telah teruji selama berabad-abad, yang dimainkan hanya dengan piano dan organ. Musik jenis ini telah teruji memiliki kualitas yang tinggi, unggul serta sesuai dengan Firman Allah. Sementara pihak lain meng-klaim bahwa musik tradisional telah ketinggalan jaman dan tidak mampu mengekspresikan kebutuhan manusia modern. Mereka menggunakan segala macam alat musik untuk memainkan jenis musik kontemporer.
Jadi, sebenarnya jenis musik mana yang seharusnya dimainkan di gereja?
Saya pribadi percaya bahwa kedua macam musik di atas memenuhi syarat untuk dimainkan di gereja. Segala macam perdebatan sebenarnya hanyalah masalah selera saja dimana sebagian orang menyukai musik tertentu dan lainnya menyukai musik lainnya. Untuk membahas masalah ini lebih lanjut, kita harus sekali lagi menjadikan Alkitab sebagai acuan. Alkitab sendiri tidak pernah memberikan suatu perintah untuk hanya memainkan satu jenis musik tertentu. Bahkan bila kita ingin melakukan hanya yang tertulis di Alkitab tanpa melihat konteksnya maka kita hanya bisa menggunakan rebana, kecapi dan suling seperti yang ditulis dalam kitab mazmur atau mempergunakan lagu dan alat musik dari abad pertama daripada lagu himne yang umumnya dari abad ke 15-19. Sebenarnya lagu-lagu himne-pun tidak harus dimainkan dengan hanya piano karena sesungguhnya piano sendiri baru ditemukan pada tahun sekitar 1.700 dan baru sekitar tahun 1.800 piano berkembang. Hal ini membuktikan bahwa alat musik yang digunakan untuk mengiringi lagu himne sebelum tahun 1.800 adalah bukan piano. Sedangkan alat musik yang mirip dengan gitar telah populer selama 5.000 tahun ini dan drum yang paing kuno berasal dari tahun 3.000 sebelum masehi (sumber: Wikipedia).

Fungsi Musik Dalam Ibadah
Bila permasalahan ini kita tarik ke belakang secara histories maka kita akan terkejut mendapati bahwa puji-pujian himne yang kita agungkan ternyata merupakan pujian kontemporer pada saat pujian tersebut ditulis dan menuai badai kecaman keras dari kaum ‘tradisionalist’ pada masa itu.
Rick Warren dalam bukunya “Pertumbuhan Gereja Masa Kini” halaman 289 mengatakan: Lagu Martin Luther “Sebuah Kota Allah itu” menggunakan nyanyian popular pada jamannya. Charles Wesley menggunakan beberapa lagu dari rumah opera dan kedai minuman. Sementara John Calvin menyewa dua penulis lagu secular untuk melagukan teologinya. Ratu Inggris begitu marah sehingga dengan sinis menyebut lagu-lagu itu sebagai “lagu-lagu irama cepat Jenewa” dari John Calvin!!. Lagu Malam Kudus pernah dikritik oleh pemimpin musik di Katedral Mainz sebagai ‘ sesuatu yang hampa segala perasaan keagamaan dan kristiani’. Charles Spurgeon-pun memandang rendah lagu-lagu penyembahan kontemporer pada masanya – yaitu lagu yang sangat kita hormati sekarang. Pujian ‘Messiah’ yang digubah Handel dicap sebagai teater duniawi oleh tokoh-tokoh gereja pada jamannya.
John Frame menulis bahwa kecaman-kecaman ini terus berkembang sehingga nama-nama besar yang kita kenal sekarang seperti Fanny Crosby, Frances Havergal, Phillip Bliss, Ira Sankey dll mendapat kecaman karena gaya musik merekapun merupakan gaya kontemporer pada masa itu. Kritikan yang mereka terima adalah: terlalu popular, terlalu subyektif, tidak tepat secara doktrin, menjadi miskin atau jelek.

Jadi, apakah sebenarnya fungsi musik dalam ibadah? Menurut pemikiran saya musik adalah pengiring pujian sehingga musik tidak boleh lebih menonjol dan lebih keras daripada puji-pujiannya.
Rick Warren pernah menulis bahwa perbedaan yang timbul dari perbedaan budaya, karakter, kebiasaan akan menimbulkan pebedaan dalam mengapresiasi jenis musik tertentu. Walaupun demikian saya percaya bahwa musik adalah ‘bahasa universal’ sehingga pasti ada sedikit banyak kesamaan selera musik. Misalnya kita setuju bahwa musik rock bukanlah musik yang cocok untuk ibadah.

Syair
Tentu saja kita menyadari bahwa ada bahkan sangat banyak lagu kontemporer yang syairnya ‘ancur-ancuran’, yang bersifat antroposentris, yang berpusat pada diri manusia dan memberitakan sukses dan sukses yang instant tanpa mengisahkan proses dibalik sukses tersebut yang seharusnya menjadi hal yang terpenting. Banyak juga musik kontemporer yang cenderung ‘cengeng’ dan membuat pendengar untuk merasa ‘trenyuh’ dan mengasihani diri sendiri. Biasanya lagu seperti ini menulis Yesus pasti menolong, membuat kita kaya dsb tanpa menulis semua itu tergantung dari kehendak, cara dan waktu Allah yang berdaulat. Bukankah Allah kadang memakai segala kesulitan hidup kita untuk membentuk karakter kita??. Bukankah banyak sekali para nabi dan rasul yang hidup dalam kesulitan yang besar secara manusia waktu di dunia dan Allah membentuk mereka melalui kesulitan tsb. Apakah kita mengatahui bagaimana cara meninggalnya Petrus, Paulus dan para rasul lainnya? Apakah Allah tidak mengasihi mereka?
Di pihak lain kitapun harus jujur mengakui ada musik kontemporer yang baik, yang menyentuh pikiran dan hati. Jangan sampai kita menjadi munafik dengan melarang musik kontemporer yang baik dimainkan di gereja tetapi kita putar di mobil atau di rumah kita sambil bersenandung.
Jangan sampai selera musik yang berbeda menjadi batu sandungan untuk, katakan saja bagi para remaja dan pemuda sehingga gara-gara musik mereka undur dari Firman; jangan sampai setan menggunakan perbedaan selera musik untuk menggoda para remaja kita meninggalkan Firman Allah yang benar demi kepuasan selera musik belaka. Bukankah sudah ada banyak contoh dimana remaja dan pemuda rela meninggalkan ajaran yang benar demi kepuasaan selera musik mereka? Bukankah seharusnya kita merangkul dan membina pengertian mereka bukannya membiarkan mereka pergi karena mempertahankan selera kita?
Jiwa-jiwa muda yang belum mantap untuk mengerti dan membedakan berbagai ajaran Firman Tuhan sehingga mereka mengejar hal-hal yang sekunder seperti musik dan liturgy dan melupakan hal yang primer yaitu Firman Allah itu sendiri, selalu lebih mudah untuk diselewengkan oleh ajaran-ajaran yang tidak bertanggung-jawab, yang bersifat antroposentris. Saudara, jangan sampai bila nanti di surga kita ditanya Tuhan mengapa banyak pemuda remaja kok pengertian doktrinnya pada ngawur (karena lari ke gereja yang pengajarannya kurang ketat tapi bisa mengakomodasi selera musik mereka) gara-gara kita bersikukuh dengan gaya musik tradisional, gara-gara kita mengorbankan hal yang primer demi mempertahankan hal yang sekunder……….

Jadi, jenis musik apa yang harus kita mainkan di gereja?
Saya berpendapat bahwa konsep konstektual bisa menjadi jawabannya, artinya kita menempatkan musik itu sendiri sesuai dengan cara dan konteks musik itu sendiri.
Jadi jika kita memainkan lagu himne, mainkan dan nyanyikan sesuai dengan semangat yang sesuai, dengan alat musik yang mampu mengiringi dan men-jembatani (men-transformasi) semangat penulisnya kepada jemaat. Janganlah pujian “It is Well with My Soul”nya George Spafford dimainkan dengan irama rock seperti yang pernah saya dengar. Tahukah kita kisah tragis dibalik pujian itu dan bagaimana sang penulis mampu mengatasi kepedihannya dengan bergantung pada Allah?
Di pihak lain bila memainkan musik kontemporer yang dirancang untuk dimainkan dengan band, mainkan lagu itu dengan band, jangan hanya dengan piano saja. Jangan sampai kita memainkan lagu himne dengan irama katakan rock atau dangdut; demikian pula misalnya lagu kontemporer ‘Tetap Setia”-nya Sari Simorangkir atau Allah perduli-nya Jonatan Prawira sebaiknya dinyanyikan dengan penuh perasaan dan dengan tekanan-tekanan tertentu yang mengekspresikan perasaan dan jangan dinyanyikan dengan datar-datar saja tanpa kedalaman ekspresi yang kuat.
Akhir kata, semua yang kita nyanyikan adalah untuk kemuliaan Allah, baik menggunakan piano atau band, baik lagu himne maupun lagu kontemporer…… Alangkah indahnya bila ‘penggemar’ musik kontemporer mau belajar untuk mengerti betapa indah dan bermutunya lagu-lagu himne serta arti dan kisah luar biasa di balik penulisan lagu tersebut. Di sisi lain, alangkah bijaknya bila kitapun mau mencoba untuk mengerti selera musik yang berkembang saat ini dan tidak memaksakan selera kita. Alangkah lebih indahnya bila kita menulis lagu dengan syair yang doctrinal menggunakan alat musik masa kini. Bukankah pada akhirnya waktulah yang menguji karya-karya tersebut? Akankah bertahan melewati abad demi abad? Apakah karya tersebut terbuat dari jerami, kayu, atau emas murni? Bukankah penyembahan kita tidak tergantung pada musik dan kitapun dapat menyembah tanpa musik (bila terpaksa)? Bukankah kita menyembah dengan segenap hati dan pikiran kita di dalam roh dan kebenaran?

Sola Scriptura, Sola Gratia, Sola Fide, Soli Deo Gloria.