Pendahuluan
Penulis buku adalah Rev. Michael Kevin Shipman, D.Min. (Southeastern Baptist Theological Seminary). Setelah melayani sebagai gembala sidang di Amerika Serikat, beliau datang ke Indonesia pada tahun 1998 dan menjadi pengajar di STBI Semarang sejak tahun 2001.
Buku ini dibagi menjadi empat bagian di mana tiap bagian terdiri dari satu sampai tiga pasal dan ditutup dengan lima buah apendiks yang melengkapi penjelasan buku ini.
Bagian Satu: Peran Allah Dalam Pembaruan Pelayanan Mimbar
Bagian pertama terdiri dari tiga bab yaitu:
(1) Peran Allah dalam isi khotbah.
(2) Allah sebagai sumber kuasa bagi pengkhotbah dan jemaat.
(3) Pembaruan pandangan terhadap Firman Allah.
Bab pertama dibuka dengan sebuah pertanyaan mengapa kita berkhotbah?. Jawaban yang terpenting adalah untuk Allah sendiri, untuk meninggikan Allah sebagai alasannya, dasarnya, dan penyelesaian untuk semua seruan di dalamnya. Buku ini sangat kental sekali menekankan kemuliaan Allah sebagai tujuan utama berkhotbah. Hal ini sebenarnya bukan suatu hal yang baru karena Westminster Confession of Faith menyatakan bahwa tujuan hidup manusia adalah to glorifying God and enjoying God. Penulis hanya sekedar kembali mengingatkan dan menegaskan bahwa tujuan berkhotbah hanyalah semata-mata bagi kemuliaan Allah. Ada empat hal yang mendesak kita untuk berkhotbah yaitu keagungan sifat pribadi Allah, panggilan Allah, karya Allah dalam Kristus dan karya Allah yang menafsirkan kejadian masa kini, dan kehendak Allah yang mendesak pengkhotbah untuk berkhotbah.
Pada bagian kedua dalam pasal pertama, penulis menempatkan Allah sebagai pokok khotbah sehingga khotbah merupakan sebuah pembicaraan teologis sekaligus praktis. Hal ini membawa implikasi sebuah khotbah harus memberitakan watak (karakter) dan atribut Allah seperti kekudusan, kasih, hikmat, kuasa, kesetiaan, kemuliaan, kemaha-kuasaan, kemaha-tahuan dan kemaha-hadiran-Nya sebagai dasar khotbah sekaligus tujuan khotbah.
Hal ini selaras dengan apa yang pernah saya dengar dari Pdt. Benny Solihin, MTh (dosen homiletika SAAT, sedang study lanjut di Gordon Conwell) bahwa seharusnya setiap khotbah harus selalu di kaitkan dengan Kristus (Kristo-sentris).
Bab yang kedua menekankan pembaruan hubungan pengkhotbah (dan jemaat) dengan Roh Kudus. Fungsi Roh Kudus adalah untuk menginsafkan manusia akan hal-hal rohani seperti dosa, kebenaran, dan penghakiman. Roh Kudus bekerja melalui Firman Allah yang digumuli pengkhotbah selama proses persiapan khotbah. Roh Kudus mengiluminasikan pengkhotbah dan jemaat pada Firman Allah, mencerahkan (membuka) pikiran dan hati kita pada kebenaran Firman Tuhan yang tertulis. Jadi Allah adalah suber kuasa bagi pengkhotbah maupun jemaat. Ketika jemaat mengalami perubahan hidup setelah mendengar Firman Tuhan, itu adalah kuasa Tuhan melalui Roh Kudus dan pengkhotbah hanyalah sarana yang digunakan oleh Roh Kudus. Bagian ini juga membahas perbedaan antara pengurapan dan kepenuhan Roh Kudus, baptisan dan kepenuhan Roh Kudus pada halaman 33-42.
Bab yang ketiga menunjukkan pandangan-pandangan yang salah terhadap Alkitab sebagai Firman Tuhan yaitu pandangan modernisme dan post-modernisme. Pandangan modernisme dan post-modernisme menolak Alkitab sebagai Firman Tuhan dan di sisi lain kaum tradisionalis tidak mengkomunikasikan Alkitab sesuai dengan keadaan jemaat. Penulis menyatakan bahwa Alkitab benar diilhamkan oleh Roh Kudus sehingga benar-benar Firman Allah yang tidak bercacat dan khotbah bukanlah khotbah bila tidak berdasarkan Alkitab. Di sisi lain metode khotbah (pendekatan dan penyajian khotbah) haruslah senantiasa di ‘up to date’ dengan perkembangan zaman karena pengkhotbah mempunyai tanggung-jawab untuk menerapkan Alkitab.
Bagian Dua: Peran Pengkhotbah Dalam Pembaruan Pelayanan Mimbar
Bagian ini hanya terdiri dari satu bab yang membahas pembaruan seorang pengkhotbah.
Sebagai saluran tempat mengalirnya kebenaran Firman Tuhan, kehidupan pengkhotbah perlu diperbaharui. Keberhasilan pelayanan mimbar sangat terkait dengan Firman Allah dan konsistensi kehidupan pengkhotbah. Oleh karenanya seorang pengkhotbah haruslah orang yang sudah dilahirkan kembali, mengasihi Allah (dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan dengan segenap kekuatan) dan mengasihi jemaatnya (agar dapat menjangkau jemaat dan agar dapat hidup kudus).
Dalam prakteknya, ada beberapa rintangan yang mengancam kasih pengkhotbah terhadap Allah dan jemaatnya, yaitu keinginan daging, keinginan mata dan keangkuhan hidup.
Bagian yang paling menarik dari bagian dua adalah ketika penulis mengungkapkan kaitan antara sifat pengkhotbah dan hasil dari penyampaian khotbahnya, yaitu:
• Khotbah yang baik adalah khotbah yang sudah dipraktekkan lebih dahulu oleh pengkhotbahnya agar dapat disampaikan dengan keyakinan. Khotbah adalah ungkapan dari orang yng menyampikannya.
• Penerimaan pesan Allah tergantung pada kehidupan pribadi pengkhotbah. Jika pengkhotbah dihormati, pesannya akan didengar dengan baik. Namun, jika pengkhotbah tidak dihormati, pesannya tidak diterima jemaat.
• Watak (karakter) pribadi pengkhotbah yang baik mendorong jemaat untuk mendengarkan pesannya. Sebaliknya, watak yang kurang baik akan menghalangi proses komunikasi.
• Pandangan positif tehadap pelayanan dengan memandangnya sebagai berkat, sebagai kesempatan membuat pengkhotbah segar dan bersemangat.
• Kehidupan rohani pribadi ‘yang hidup’ cenderung menghidupkan jemaat. Saat teduh, doa, penguasaan diri dalam persiapan dan penyampaian Firman akan menentukan mutu keberhasilan pelayanan mimbar.
Bagian Tiga: Peran Khotbah Dalam Pembaruan Pelayanan Mimbar
Bagian tiga terdiri dari tiga bab yaitu:
(1) Perbaruilah pemahaman tentang filsafat berkhotbah.
(2) Perbaruilah usaha untuk memvariasikan khotbah.
(3) Pendekatan variatif dalam penyampaian khotbah.
Dalam bab pertama dari dari bagian tiga ini penulis menekankan bahwa filsafat berkhotbah haruslah benar secara alktabiah dan cukup dalam penerapan praktisnya. Sebuah khotbah yang alkitabiah didefinisikan sebagai ‘Sebuah penyampaian tafsiran yang benar dan penerapan yang tepat dari Firman Allah, dalam cara yang jelas dan sesuai dengan konteks hadirin, supaya para pendengar tahu apa yang diharapkan dari dia seorang pribadi dan tahu bahwa dia bisa taat pada Firman Allah dan mengikuti seruan pengkhotbah.’
Khotbah haruslah Alkitabiah dengan tujuan yang Alkitabiah dan dengan penerapan yang tepat serta dengan penyampaian yang sesuai dengan pengertian jemaat.
Bab kedua menekankan pentingnya usaha seorang pengkhotbah untuk memvariasikan dalam mempresentasikan khotbahnya. Variasi akan membuat khotbah lebih menarik dan dapat menjangkau pribadi yang berbeda-beda. Tetapi satu hal yang harus diingat bahwa bagaimanapun, kualitas lebih penting daripada variasi sehingga variasi tidak boleh mengorbankan kualitas. Variasi dapat berupa penyesuaian dalam gaya, penyampaian, perkataan, jenis khotbah dll. Penulis mengembangkan kategori variasi khotbah menurut tujuan target khotbah, menurut isi khotbah/teks, dan menurut akibat/efek khotbah.
Bab ini menarik karena saya menangkap bahwa penulis bukanlah pribadi yang ‘menghalalkan’ semua cara untuk mencapai tujuan seperti prinsip yang dianut oleh C. Peter Wagner. Secara pribadi saya setuju dengan penulis.
Bab terakhir dalam bagian ini menyajikan beberapa pola dasar dalam penyajian khotbah yang variatif. Ada empat gaya penyampaian khotbah yaitu secara naratif (menceritakan tafsiran teks secara naratif), monolog (khotbah disampaikan dengan berbicara dengan dirinya sendiri atau dengan Tuhan), dialog (jemaat aktif terlibat dan berinteraksi dengan pengkhotbah), dan khotbah pendek (khotbah yang mengunkapkan dan menerapkan satu segi kebenaran dari pokok Alkitab). Sedangkan menurut tipe khotbah ada khotbah ekspositori, tekstual, dan topikal.
Di sini penulis menyajikan ‘resep-resep’ pola dasar khotbah yang variatif dengan jelas. Bagaikan resep-resep masakan yang dimiliki seorang koki, bab ini menyajikan resep-resep khotbah yang variatif sehingga jadi atau tidaknya khotbah-khotbah yang variatif adalah tergantung pada sang pengkhotbah untuk mempraktekkan ‘resep-resep’ tersebut.
Bagian Empat: Peran Jemaat Dalam Pembaruan Pelayanan Mimbar
Bagian empat terdiri dari dua bab yaitu:
(1) Pelibatan jemaat untuk meningkatkan hasil khotbah.
(2) Pembaruan jemaat melalui perencanaan.
Pasal pertama dari bagian ini mengusulkan pelibatan jemaat dalam proses penyusunan khotbah. Mengingat usulan ini relatif baru dalam konteks Indonesia, penulis menyarankan agar dipertimbangkan dari konteks Timur (Indonesia). Dasar pemikiran usulan ini adalah untuk menolong pengkotbah untuk memahami keadaan jemaat secara pribadi dan di sisi lain isi khotbah dapat lebih dipahami dan digunakan secara efektif oleh jemaat. Pengkhobah dapat melibatkan jemaat dalam kelompok diskusi sebelum dan sesudah penyampaian khotbah.
Di Indonesia, dalam konteks gereja Baptis mungkin usulan ini lebih mudah diterima dan dilaksanakan walaupun semuanya akan kembali pada kemauan sang pengkhotbah. Namun dalam denominasi yang lain usul ini akan sulit dilaksanakan atau hanya dapat dilaksanakan secara terbatas. Satu hal yang sulit diterima adalah ide seorang awam berkhotbah pada hari Minggu. Dalam denominasi saya, hak untuk berkhotbah di hari Minggu adalah hak eksklusif seorang hamba Tuhan saja. Di luar itu, usul pelibatan jemaat sebelum dan sesudah penyusunan khotbah adalah usul yang sangat baik.
Pasal kedua membahas tentang pembaruan jemaat melalui perencanaan yang baik pelayanan mimbar oleh pengkhotbah. Ada dua pelayanan mimbar yang berdampak negatif yaitu keadaan yang terlalu formal dan keadaan tanpa perencanaan. Keadaan yang terlalu formal membuat rencana tidak dapat disesuaikan sehingga kebutuhan jemaat yang tiba-tiba tidak terselesaikan. Keadaan tanpa perencanaan membuat khotbah tidak melengkapi jemaat dalam tujuan gereja. Perencanaan yang baik memberi ruang bagi adanya penyesuaian bila ada kejadian besar yang penting terjadi. Misalnya kejadian 9/11 di Amerika Serikat yang memerlukan respon segera dari atas mimbar. Tidak dapat dibayangkan bila jemaat harus menunggu satu tahun untuk mendengar respon pengkhotbah.
Dasar untuk perencanaan pelayanan mimbar adalah mengacu pada tujuan gereja setempat yang seimbang, sesuai dengan realitas yang ada, menyelesaikan masalah jemaat, dan penyampaian penerapan yang tepat untuk jemaat. Jadi perencanaan yang baik harus berdasar pada pengenalan akan jemaat agar kebenaran Alkitab dapat dikomunikasikan dengan tepat dan menjawab masalah jemaat.
Penutup
Sebagai penutup ada tiga buah pertanyaan dari dosen yang harus dijawab. Jawaban atas ketiga pertanyaan tersebut sekaligus berfungsi sebagai kesimpulan dan penutup.
1. Apa yang paling menolong dari buku ini?
Bagi saya pribadi bab tujuh (Pendekatan variatif dalam penyampaian khotbah) yang paling bermanfaat. Hal ini dikarenakan ide pembaruan pelayanan mimbar bukan hal yang baru. pembaruan pelayanan mimbar sudah diuraikan dengan sangat baik dalam buku ‘Khotbah Alkiabiah yang Komunikatif dan Berwibawa.’ Dapat dikatakan bab tujuh ini memberkan dasar teori dan contoh aplikasinya sehingga sangat menolong saya dalam mempraktkkannya.
Hal kedua adalah: bagian empat yang membahas peran jemaat dalam pembaruan pelayanan mimbar memberikan perspektif baru bagi saya. Hal ini adalah hal yang baru bagi saya dan ide itu baik sekali untuk dilaksanakan.
2. Apa yang tidak begitu menolong dari buku ini?
Tidak ada isi buku yang tidak menolong, semua menolong dalam porsi yng berbeda-beda. Misalnya bagian satu yang membahas peran Allah dalam pembaruan pelayanan mimbar sudah saya ketahui secara umum. Di sisi yang lain, pengertian saya di perdalam pada bab dua yang membahas peran Roh Kudus. Jadi walaupun satu hal sudah diketahui, bukan berarti hal itu tidak menolong karena dalam proses belajar tidak ada pengetahuan yang sempurna dan selalu ada hal baru yang didapat ketika kita belajar.
3. Buku ini lebih baik kalau ada atau tidak?
Saya yakin pertanyaan ini salah. Pertanyaan yang benar adalah berapa banyak kekurangan buku-buku homiletika yang bermutu?. Jadi buku homiletika seperti ini selalu saya tunggu.
Wednesday, November 11, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment