Pendahuluan
Buku ini ditulis oleh David J. Hesselgrave. Beliau adalah mantan misionaris yang melayani di Jepang selama dua belas tahun. Sekarang beliau menjabat sebagai guru besar misi dan direktur daei School of World Mission and Evangelism di Trinity Evangelical Divinity School.
Sekilas isi buku
Buku ini terdiri dari sembilan bagian yang terdiri dari empat puluh lima bab. Setiap bagian membahas sebuah topik. Ke-sembilan bagian itu adalah: Komunikasi dan misi, Komunikasi dan kultur, Pandangan-pandangan dunia - cara-cara memahami dunia, Proses-proses kognitif - cara-cara berpikir, Bentuk-bentuk linguistik - cara-cara mengekspresikan gagasan, Pola-pola perilaku - cara-cara bertindak, Struktur-struktur sosial – cara-cara mempengaruhi, Pengaruh media – cara-cara menyalurkan berita, Sumber-sumber motivasional – cara-cara memutuskan.
Bagian I: Komunikasi dan Misi
Bagian pertama mengangkat isu tentang pentingnya komunikasi dalam hidup manusia, oleh karenanya tugas seorang misionari secara fundamental adalah komunikasi karena komunikasi adalah kegiatan dasar manusia sekaligus menjadi permasalahan yang fundamental. Komunikasi adalah sebuah hal yang sederhana namun ketika dipelajari secara formal akan menjadi rumit dan kompleks. Hal inilah yang menjadi tantangan bagi misionari. Agar misionari dapat bekerja secara efektif dalam masyarakat yang dilayaninya, mau tidak mau komunikasi (lintas budaya) harus dipelajari dan dianalisa dengan baik.
Bagian II: Komunikasi dan Kultur
Bagian ini mengemukakan bahwa tugas misionaris adalah mengkomunikasikan Kristus secara lintas budaya. Dalam menyampaikan pesan dari Alkitab, ada hambatan-hambatan mengenai budaya. Kebudayaan adalah sebuah konsep yang inklusif, yang mencakup semua cara di mana orang-orang merasakan dan mengatur potensi utama, gagasan-gagasan, dan nilai-nilai dalam masyarakat tertentu. Untuk menyampaikan pesan Alkitab secara benar sulit karena harus memikirkan adanya tiga budaya yang berbeda yaitu budaya Alkitab, budaya misionaris, dan budaya masyarakat yang dilayaninya. Hal ini menjadi semakin rumit karena dalam tiap-tiap budaya itu sendiri ada tiga faktor yaitu sumber berita (S), berita atau pesan itu sendiri (M), dan penerimanya atau responden (R). Jadi untuk memahami satu budaya ada tiga hal yang dipertimbangkan (S,M,R), sehingga untuk memahami tiga budaya (budaya Alkitab, budaya diri sendiri, dan budaya penerima) ada sembilan hal yang harus dipikirkan (3x3).
Dalam kerumitan di atas, ada tiga hal yang meringankan yaitu sebenarnya dalam perbedaan budaya tetap ada kesamaan dengan budaya kita, sebagian orang punya poensi besar untuk menyesuaikan diri dengan budaya lainnya, dan Roh Kudus yng menjadi pengawas tugas dari misi-misi akan membantu kita.
Bagian III: Pandangan-pandangan dunia – cara-cara memahami dunia
Bagian tiga membahas pandangan-pandangan dunia yang bermacam-macam dan bagaimana cara-cara untuk memahaminya dan kemudian mengkomunikasikan Kristus secara lintas budaya kepada masing-masing budaya tersebut. Ketika komunikasi lintas budaya dilakukan, kita harus sadar bahwa kita tidak sekedar berada dalam satu bangsa yang baru melainkan dalam satu dunia yang baru. Karenanya diperlukan sebuah usaha keras untuk memahami dunia baru itu dan barulah mengkomunikasikan Kristus dengan pemahaman yang baru akan dunia yang baru tersebut.
Bagian IV: Proses-proses Kognitif - cara-cara berpikir
Bagian ini menginformasikan pentingnya untuk mengetahui apa yang kita ketahui tentang berpikir dan bagaimana perbedaan kultural akan menyebabkan berbedanya proses kognitif dan cara-cara manusia untuk berpikir. Dalam masyarakat yang berbeda, tipe-tipe pemikiran kultural dan prioritas-prioritas dalam pemikiran kultural juga berbeda. Misionaris harus menyesuaikan cara pikirnya karena target atau responden dari budaya lain mungkin mempunyai prioritas sendiri dalam berpikir. Harus disadari bahwa cara berpikir responden dalam batas tertentu adalah berasal dari dunia sehingga mengkomunikasikan kebenaran Alkitab memerlukan kepatuhan dan intervensi Allah yang akan mencerahkan pikiran responden.
Bagian V: Bentuk-bentuk linguistik – cara-cara mengekspresikan gagasan
Bagian lima mengulas pentingnya mempelajari bahasa asli responden dalam komunikasi lintas budaya. Pentingnya bahasa untuk komunikasi menjadi jelas ketika kita mulai belajar dan menyelidiki susunan-susunan yang rumit dari relasi kebudayaan antara bahasa dan yang lain. Hanya dengan mempelajari relasi ini, kita akan menjadi lebih baik dalam menganalisa kebudayaan responden. Dengan semakin baiknya pemahaman akan bahasa asli, maka kita akan lebih baik dalam memahami budaya responden.
Bagian VI: Pola-pola perilaku – cara-cara bertindak
Bagian ini meneliti tentang pola-pola perilaku (non verbal) dari responden. Untuk memahami dan mengkontekstualisasi perilaku lebih memerlukan perhatian dan kemampuan daripada bahasa verbal. Perilaku dipengaruhi oleh norma-norma yang berlaku dalam masyarakat responden sehingga misionari mempunyai tanggung jawab untuk berperilaku menurut standar-standar Alkitab dan hati nurannya, untuk menyesuaikan diri dengan pola-pola perilaku yang diangap benar dalam budaya responden, dapat membedakan antara norma-norma superkultural dan kultural. Sehingga adakalanya misionari harus menolak beberapa pola perilaku budaya responden yang bertentanan dengan Alkitab (misalnya sinkretisme).
Ada tujuh aspek yang berhubungan dengan perilaku, yaitu karakteristik fisikal, bahasa tubuh, perilaku menyentuh, ruang berbicara, waktu berbicara, bagaimana menyampaikan bahasa, dan artefak-artefak dan lingkungan sekitar.
Dengan kesadaran dan kehati-hatian akan masalah non-verbal, diharapkan menghasilkan sebuah internalisasi pola perilaku dari kebudayaan baru dan pola perilaku kristen yang relevan secara kultural. Jadi misionari harus berusaha untuk memahami, menyesuaikan, dan menggunakan pola perilaku asli untuk tujuan Kristus tanpa berkompromi dengan prinsip Alkitab.
Bagian VII: Struktur-struktur sosial – cara-cara mempengaruhi
Perbedaan dalam struktur sosial suatu masyarakat mempengruhi cara-cara berkomunikasi. Dimensi sosial komunikasi suatu budaya tertentu berdasarkan pada dua faktor fundamental yaitu ‘world view-nya’ dan adanya pengharapan tertentu akan cara berinteraksi anggota masyarakat tersebut. Sebagai akibatnya terjadi proses enkulturasi dan sosialisasi. Setiap masyarakat memiliki pola-pola interaksi yang implisit dan eksplisit dengan persamaan dan perbedaan lintas budaya tertentu. hal inilah yang menjadi tantangan bagi misionars untuk memahami dan menggunakan pengetahuan itu untuk memberitakan Injil. Tanpa memahami hal ini, komunikasi yang dilakukan dapat disalah-terima maksudnya oleh responden.
Bagian VIII: Pengaruh Media – cara-cara menyelurkan berita
Media mempunyai peran yang penting dalam komunikasi. Menurut Sarnoff, media bersifat netral karena baik atau buruknya ditentukan oleh bagaimana mereka digunakan. Sedangkan ketika sebuah berita telah dipengaruhi (encoded), maka media sudah menjadi tidak netral lagi.
Dalam kaitannya dengan penginjilan, penulis menggaris-bawahi kesalahan masa lalu yang lebih ‘mengkomunikasikan model kekristenan barat’ daripada kekristenan Alkitabiah. Sedangkan masa kini ada kecenderungan untuk melakukan kesalahan dengan hanya ‘memperkenalkan Kristus’ tanpa menanam gereja sama sekali. Kemudian penulis menyatakan bahwa misionaris harus sadar akan ‘berita’ dari penemuannya dalam masyarakat responden. Misionari sebenarnya juga mengekspor media dengan ‘berita-beritanya’ versi mereka kepada responden sehingga hanya dengan memahami fakta ini akan membuat misionari akan mampu mengontrol sebagian proses perubahan ekstra-kristen dan menolong respondennya pada saat mereka mengalaminya.
Bagian IX: Sumber-sumber motivasional – cara-cara memutuskan
Bagian penutup membahas sebuah topik yang membahas sumber-sumber motivasional. Dari perspektif responden, masalah pokok dalam komunikasi dinyatakan dalam satu pertanyaan “Mengapa saya harus meninggalkan cara-cara tradisional bangsaku dan berbalik dari siapa saya dahulu dan memberikan kepercayaan dan kesetiaan kepada Kristus?.” Sedangkan dari pihak misionaris permasalahan pokok dapat diringkas dalam tiga pertanyaan:
• Apakah saya mempunyai tanggung-jawab meyakinkan responden untuk meninggalkan cara tradisional dan bertobat kepada Kristus?
• Apakah saya mempunyai hak untuk melakukannya?
• Apakah saya mempunyai sumber-sumber untuk melakukannya?
Penulis buku menyatakan bukan hanya diizinkan untuk meyakinkan responden, melainkan misionaris juga harus berperan sebagai agen perubahan bagi perbaikan masyarakat melalui komunikasi yang persuasif. Dengan pendekatan yang persuasif, responden diyakinkan karena alasan kepentingan mereka bukan kepentingan misionaris. Oleh karenanya misionaris perlu memahami sumber-sumber motivasional responden agar dapat melakukan komunikasi yang persuasif.
Sebagai penutup, penulis sekali lagi menyatakan bahwa segala ilmu penting tapi pertobatan adalah karya Roh Kudus sehingga ilmu pengetahuan harus menempatkan dirinya sebagai pelayan kebenaran.
Kesimpulan
Buku ini sungguh sebuah karya besar dari Dr. Hesselgrave. Latar belakang pendidikan dan pengalamannya sebagai misionaris telah memberikan sebuah insight yang tajam dan mencerahkan yang dituangkan dalam buku ini.
Sungguh, memberitakan Injil tidak hanya sekedar memberitakan melainkan mengkomunikasikan. Mengkomunikasikan Injil juga tidak hanya sekedar mengkomunikasikan karena ada berbagai macam hal yang rumit yang terlibat dalam proses komunikasi. Tanpa mengecilkan peran Roh Kudus, sebuah komunikasi yang baik dan persuasif akan membuat sebuah perbedaan dalam penginjilan. Memang hanya Roh Kudus yang membuat manusia bertobat, tapi Roh Kudus senang bekerja melalui hamba-hamba-Nya yang melayani sepenuh hati dengan segala aspek hidupnya.
Wednesday, November 11, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment