Buku ini ditulis oleh dua orang penulis yaitu Norman Geisler, mantan guru besar apologetika di Dallas Theological Seminary yang sekarang menjabat dekan dari Liberty Center for Christian Scholarship dan Paul D. Feinberg, seorang guru besar teologi Alkitabiah dan sistematika di Trinity Evangelical Divinity School.
Pendahuluan
Buku ini dibagi menjadi lima bagian besar, di mana setiap bagian tersebut di bagi menjadi beberapa bab lagi. Lima bagian besar tersebut adalah: Pengantar filsafat, Apakah pengetahuan itu?, Apa arti realitas?, Apakah yang tertinggi?, dan Apakah arti baik atau benar?.
Bagian I: Pengantar Filsafat
Bagian pertama ini terdiri dari lima bab yang membahas apakah filsafat itu?, bidang-bidang ilmu dalam filsafat, metodologi dalam filsafat, alat-alat filsafat, dan tantangan terhadap filsafat.
Bab 1: Ada kesulitan utama dalam mendefinisikan filsafat, yaitu adanya perbedaan pendapat d antara para filsuf tentang apakah filsafat hanya berkaitan dengan analisis terhadap berbagai konsep dan pengertian, ataukah lebih dari itu? Dan apakah yang dimaksud dengan ‘lebih dari itu’ tersebut. Penulis memberikan definisi filsafat sebagai analisis kritis atas konsep-konsep dasar yang dipertanyakan oleh manusia, sekaligus diskusi normatif mengenai bagaimana pikiran dan tindakan manusia seharusnya berfungsi, dan juga gambaran tentang realitas itu sendiri.
Jadi manfaat belajar filsafat dapat dirangkum menjadi beberapa hal yaitu, memahami masyarakat, pembebasan dari prasangka dan kepicikan, nilai praktis, dan tantangan bagi orang kristen untuk memiliki iman yang matang berdasar akal sehat yang baik.
Bab 2: Filsafat mempunyai beberapa bidang yaitu bidang etika (moralitas) yang berhubungan dengan tindakan individu, filsafat sosial dan politik yang berhubungan dengan sekelompok orang, estetika yang berhubungan dengan anlisa atas ide-ide akan keindahan, citarasa, dan seni, logika yang merupakan kajian rasional, filsafat agama, sejarah filsafat, filsfat sejarah, filsafat ilmu pengetahuan, filsafat-filsafat yang lainnya, epistemologi (penyelidikan tentang asal mula dan sifat-sifat pengetahuan), metafisika yang mengkaji kualitas dan hubungan dari realitas, filsafat pemkiran, dan teori tindakan.
Bab 3: Filsafat mempunyai beberapa metodologi utama yang telah mengalami perubahan-perubahan dalam rangka mencapai tujuannya (berfilsafat). Metodologi filsafat dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1. Metode dari masa lampau, yaitu terdiri dari metode Socrates (interogasi), metode Zeno (Reductio ad Absurdum), metode Aristoteles (Deduksi).
2. Metode dalam dunia modern, yaitu terdiri dari metode induktif, kanon-kanon induksi Mill, dan metode ilmiah.
3. Metode kontemporer, yaitu terdiri dari metode eksistensial, metode fenomenologis, dan metode analitis.
Jadi adanya berbagai macam metode filsafat menunjukkan bahwa ada beberapa metode yang lebih cocok untuk jenis-jenis tertentu dari pencarian kebenaran.
Bab 4: Alat utama para filsuf adalah logika, yang berhubungan dengan aturan bagi argumentasi yang baik. Ada alat-alat yang dapat dipakai untuk menjawab masalah-masalah filosofis yang berada dalam bidang logika yang didefinisikan secara luas, yaitu sifat suatu argumen, bentuk-bentuk argumen (argumen secara induktif dan deduktif), kejelasan dalam definisi dan analisis terhadap konsep, metode ilmiah, dan silogisme deduktif.
Bab 5: Bagian pertama ditutup dengan pembahasan akan tantangan terhadap filsafat yang dibagi dalam dua bagian yaitu tantangan terhadap filsafat secara umum dan tantangan filsafat bagi umat kristen. Tantangan secara umum terdiri atas pengkajian filosofis, klarifikasi pemikiran, argumentasi, dan sistematika pengetahuan. Sedangkan tantangan bagi umat kristen filsafat memberikan tantangan secara negatif dan positif. Dasar Alkitabiah untuk filsafat adalah Ibrani 11:6; Kis. 17:11; Mat. 22:37; 1 Pet. 3:15; Flp. 1:7; Kis. 17:2.
Filsafat membantu pembentukan sistem kristen dan pembuktian kesalahan pandangan yang berlawanan dengannya. Filsafat mempunyai peran dalam teologi karena teologi sistematika disusun melalui bantuan filsafat, juga filsafat berperan dalam apologetika, berfungsi dalam polemik, dan dalam komunikasi. Jadi, tantangan filsafat bagi umat kristen adalah berupa cara bepikir kritis, jernih, tepat, dan komprehensif terhadap dunia. Tantang yang kedua adalah penggunaan filsafat dalam sistematisasi berbagai keyakinan ini dan dalam argumentasi untuk mempertahankan kekristenan.
Bagian 2: Apakah Pengetahuan Itu?
Bagian dua terdiri dari lima bab yang membahas dapatkah kita mengetahui?, bagaimanakah kita mengetahui?, mungkinkah kepastian itu?, bagaimana kita mengetahui dunia luar?, dan bagaimana keyakinan dibenarkan?.
Bab 6: Membahas tiga pokok bahasan yaitu bentuk-bentuk skeptisisme dan argumen-argumennya, argumen-argumen antiskeptis, dan manfaat skeptisisme.
Penulis menggolongkan skeptisisme menjadi lima kelompok yaitu skeptisisme sempurna, skeptisisme ringan, skeptisisme terbatas, skeptisisme metodologis dan irasionalisme. Skeptisisme sempurna menegaskan bahwa manusia tidak mempunyai pengetahuan apapun ataupun hanya memiliki pengetahuan dari pengalaman kita yang paling akhir (logika atau matematika). Sedangkan skeptisisme ringan menolak pengetahuan yang melampaui pengalaman yang ada. Skeptisisme terbatas mempertanyakan tipe-tipe pengetahuan tertentu, sedangkan Rene Descartes (skeptisisme metodologis) menyatakan skeptisisme bukan kesimpulan dari suatu argumen melainkn metode yang mengatasi keraguan itu. Irasionalisme dibangun berdasar skeptisisme fideistis.
Skeptisisme mempunyai kelemahan karena tidak bersifat konsisten, tidak memiliki arti, berlawanan dengan akal sehat, bertentangan dengan bahasa, dan bukan konsekuensi induksi. Jadi skeptisisme berguna sebagai penggerak utama dari epistemologi, untuk menganalisa pernyataan dari sang epistemolog.
Bab 7: Membahas sumber atau asal keyakinan dan pengetahuan kita. Keyakinan berasal dari kesaksian orang lain, intuisi, nalar, dan pengalaman sensoris. Sumber-sumber ini membawa kepada lima logika yang cocok untuk mengesahkan keyakinan tersebut, yaitu iman atau autoritarianisme (bersumber pada kesaksian orang lain), subyektivisme (pendapat bahwa oran yang mengetahui memiliki semacam hubungan langsung dengan hal yang diketahui, yaitu byek keyakinan), rasionalisme (anggapan bahwa sumber dan pembenaran keyakinan kita hanya dapat ditemukan dalam nalar), empirisme (menerangkan keyakinan dari segi pengalaman), dan pragmatisme (interpretasi ulang yang radikal atas sifat-sifat pengetahuan). Setiap metode di atas cocok untuk diterapkan pada jenis pengetahuan tertentu.
Bab 8: Salah satu hal yang paling penting dalam sejarah epistemologi adalah tentang pencarian akan kepastian. Bagian ini mengevaluasi jenis-jenis kepastian dan berbagai tipe pengetahuan yang berbeda yang mungkin memenuhi syarat sebagai pasti. Jenis-jenis kepastian adalah kepastian apodiktis yang menuntut kebenaran yang diperlukan di dalam obyek-obyeknya; kepastian psikologis dimana kepastian didasarkan pada orang yang mengetahui; kepastian konvensional; kepastian pragmatis; dan probabilitas. Sedangkan tipe-tipe pengetahuan seperti perintah-perintah moral, pengalaman indera, kesadaran diri, logika, dan matematika ternyata tidak disepakati oleh para filsuf bagi kepastian suatu jenis pengetahuan tertentu. Oleh karenanya, satu-satunya kepastian yang pasti adalah Kitab Suci.
Bab 9: Mempelajari tiga pandangan tentang sifat dan kemandirian dunia materiil dan orang yang mengetahuinya. Ada tiga pendapat tentang pokok ini yaitu realisme, dualisme, dan idealisme. Setidaknya ada dua bentuk realisme yaitu realisme primitif dan realisme akal sehat. Demikian juga dualisme dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu persepsi representatif yang mengenal dua tatanan eksistensi yang berbeda dan berdiri sendiri dan fenomenalisme yang berasal dari A. J. Ayer. Sedangkan idealisme dapat didefinisikan sebagai pandangan bahwa obyek materiil tidak mungkin lepas dari alam kesadaran. Pendapat ini dapa dibagi menjadi bentuk yang lebih lemah dan yang lebih kuat.
Bab 10: Bagian ini membahas bagaimana keyakinan dibenarkan. Para filsuf menyadari bahwa keyakinan dan kebenaran saja tidak cukup bagi pengetahuan. Setidaknya diperlukan tambahan bukti yang mendukung dan membenarkan keyakinan tersebut. Hal ini disebut logika atau struktur pembenaran epistemik. Dalam istilah umum terdapat dua logika alternatif (struktur pembenaran epistemik), fondasionalisme, dan koherenenisme (kontekstualisme).
Fondasionalisme berpendapat ada struktur pengetahuan yng kondisinya, walau mendukung keseluruhannya, tidak membutuhkan dukungan. Kontekstualisme adalah keyakinan bahwa tidak ada keyakinan yang terdahulu atau yang fundamental secara epistemologis dan pembenaran hanya keluar-masuk melalui jaringan keyakinan kita tanpa berhenti di manapun juga. Ada dua pandangan yang ditolak oleh epistemologi kristen yaitu relativisme dan agnotisisme tentang dunia nyata.
Bagian 3: Apa Arti Realitas?
Bab 11: Sebuah masalah yang selalu ada dalam filsafat adalah pandangan apakah realitas itu tunggal atau jamak atau keduanya?. Bila realitas itu tunggal, bagaimana menjelaskan keanekaragamannya yang nyata?; bila realitas itu jamak, bagaimana menjelaskan kesan tunggalnya?; bila relitas itu tunggal dan jamak, manakah yang paling mendasar? Yang tunggal atau yang jamak?.
Ada beberapa pandangan filsafat yaitu monisme (relitas itu tunggal tapi tidak jamak), pluralisme (realitas adalah jamak), dan Plotinus (kesatuan melebihi wujud). Pluralisme mendapat dukungan dari dua kelompok yang menyatakan bahwa realitas berbeda karena ‘non wujud’ (kaum atomis dan Platonis) dan kelompok kedua menyatakan bahwa realitas berbeda dalam wujud (pengikut Aristoteles dan Thomas Aquinas). Pandangan kristen adalah adanya tiga pribadi dalam Allah yang tunggal. Di sini terdapat pluralitas (pribadi) dan kesatuan hakikat.
Bab 12: Sebuah pertanyaan yang sederhana “Siapakah aku ini”? menimbulkan kebingungan yang paling dalam. Pertanyan sederhana ini mempunyai konsekuensi-konsekuensi filosofis yang paling penting karena terkait dengan moralitas, agama, metafisika dan hukum. Untuk menjawab pertanyaan ini ada dua teori yaitu teori-teori monistis dan teori-teori dualisme. Teori-teori monistis adalah materialisme (kita adalah tubuh kita), idealisme (istilah mental dan fisik punya arti berbeda tapi punya rujukan sama yaitu fenomena fisik) dan teori aspek-ganda (fisik dan mental adalah aspek lain dari sesuatu yang bukan fisik dan mental). Sementara itu, teori-teori dualisme membedakan arti mental dengan fisik, juga antara berbagai rujukan (denotasi) mereka. Ada lima bentuk teori dualistis yaitu interaksionisme (pikiran dan tubuh bersama merupakan pribadi manusia sekarang ini), paralelisme (hubungan pikiran dengan tubuh secara kausal), pre-established harmony (pikiran dan tubuh diciptakan sebagai mekanisme yang sempurna), occasionalism (ada perbedan besar antara pikiran dan tubuh) dan epifenomenalisme (interaksi kausal hanya berjalan satu arah, dari tubuh terhadap pikiran). Di tengah perdebatan tentang pikiran dan tubuh, umat kristen percaya bahwa manusia lebih dari sekedar materi karena Allah menghembuskan nafas-Nya ke dalam manusia dan manusia dicipta serupa dengan gambar Allah. Hanya masalah dikotomi dan trikotomi masih menjadi perdebatan di antara teolog kristen.
Bab 13: Membahas tentang kehendak bebas manusia. Ada beberapa pandangan filsafat tentang kebebasan manusia yaitu determinisme dan Indeterminisme. Determinisme adalah keyakinan bahwa semua kejadian diatur oleh hukum-hukum. Determinisme dibagi menjadi determinisme keras (menerima pendapat incompatible, bahwa kebebasan dan determinisme tidak mungkin serasi) dan lunak (perilaku manusia muncul karena kondisi-kondisi yang mendahuluinya).
Indeterminisme dibagi menjadi indeterminisme sederhana (kebebasan dan determinisme tidak sejalan), libertarianisme (tindakan kita itu timbul sendiri, bukan disebabkan oleh tindakan lan) dan teori dua tingkat (mempertahankan pendapat bahwa dalam pengertian tertentu keyakinan pada determinisme dan pada kehendak bebas berdiri sendiri). Semntara itu, orang kristen sangat dipenuhi oleh gagasan determinisme teologis yang percaya Allah menetapkan setiap kejadian dan keadaan dan manusia tidak dapat memilih atau mempengaruh nasib akhir dirinya sendiri.
Bab 14: Membahas tentang kekekalan, apakah ada kehidupan setelah kematian. Ada dua pihak yang saling bertentangan, pihak pertama menentang kekekalan dan pihak lainnya mendukung kekekalan.
Pihak yang menentang kekekalan adalah pendapat akan keuniversalan mortalitas manusia (semua manusia pasti mati, bersifat fana), analogi alam (argumen yang bersifat fisik dari David Hume), dan argumen dependensi tubuh-pikiran (ketika tubuh mati maka otak/pikiran-pun ikut mati, jadi aktivitas pikiran bergantung pada tubuh).
Pihak yang mendukung kekekalan ada tiga yaitu doktrin jiwa-kekal (jiwa tidak tergantung pada badan), doktrin rekonstruksi (setelah mati tubuh dibangkitkan dan pribadi kita direkonstruksi), dan doktrin pribadi-minimal (pribadi-minimal tidak bersifat materi sehingga dapat keluar dari tubuh yang mati). Kekristenan jelas mendukung kekekalan (Luk. 16; Yoh. 11).
Bab 15: Membahas apakah makhluk lain mempunyai pikiran dan perasaan seperti manusia. Argumen tradisional yang mendukung anggapan adanya pikiran-pikiran lan adalah argumen dari analogi. Argumen ini sudah banyak dikritik sehingga kita akan melihat alternatif lainnya. Alternatif yang paling signifikan adalah teori behaviourisme yang mengasumsikan semua sikap mental atau psikologis dapat direduksi menjadi perilaku fisik (secara kebetulan). Wittgenstein maju selangkah dengan menganggap hubungan mental dan perilaku sebagai hubungan yang logis. Teori ini dikembangkan lebih lanjut oleh P.F. Strawson dan John Wisdom.
Bab 16: Bab terakhir membahas topik apakah kebenaran itu?. Ada empat teori pokok tentang kebenaran yaitu teori koherensi yang menyatakan bahwa suatu pendapat benar bila konsisten dengan pernyataan-pernyataan lain dari sistem. Teori ini banyak mendapat sanggahan. Teori kedua adalah teori pragmatik tentang kebenaran dengan Sanders Peirce, William James dan James Dewey sebagai tokohnya. Teori ketiga adalah teori performatif tentang kebenaran. Teori keempat adalah teori korepondensi tentang kebenaran. Teori ini berpendapat kebenaran ada karena suatu bentuk korespondensi (kesesuaian) antara sebuah keyakinan dengan suatu fakta atau keadaan. Pendukung teori korepondensi adalah Aristoteles, G.E Moore, dan Alfred Tarski.
Bagian 4: Apakah Yang Tertinggi?
Bab 17: Bagian ini membahas kebenaran antara nalar dengan iman. Ada lima kategori dasar yaitu:
Pendapat pertama mengklaim penyataan (penyingkapan adikodrati oleh Allah) dapat dianggap sumber sah dari pengetahuan manusia. Pendukungnya adalah Soren Kierkegaard dan Karl Barth. Pendapat kedua menyatakan bahwa kebenaran dapat diketahui melalui nalar manusia. Tokohnya adalah Immanuel Kant dan Benedict Spinoza. Pendapat ketiga adalah nalar melebihi penyataan oleh Yustinus Martir dan Klemen dari Aleksandria. Pendapat keempat adalah penyataan melebihi nalar didukung oleh Tertullians dan Cornelius Van Til. Pendapat kelima menganggap ada hubungan antara penyataan dengan nalar. Pendukungnya adalah Agustinus dan Thomas Aquinas.
Bab 18: Pembahasan berikutnya adalah apakah yang dimaksud dengan Allah?. Ada lima cara berbeda untuk memandang Allah yaitu:
Pertama, Teisme yang menganut pandangan satu Allah yang bersifat transenden dan imanen. Kedua, Deisme yang menganggap Allah transenden tapi tidak imanen. Ketiga, Panteisme yang menganggap Allah imanen tapi tidak transenden. Keempat, Panenteism yang menganggap Allah berada di dalam dunia seperti nyawa ada dalam tubuh. Kelima, Finite godism menganggap Allah berada di luar alam semesta, tapi bukan pengendali tertinggi, alam semesta bukan ‘tubuh’ Allah.
Bab 19: Selanjutnya pembahasan maju dengan pembahasan tentang apakah Allah ada dan merupakan pemelihara alam yang baik. Ada dua pendapat yang menyatakan keberadaan Allah. Yang pertama jenis a posteriori, yang memberikan argumen dari akibat kepada penybab, dan lainnya jenis a priori, memberikan argumen dari gagasan tentang Allah. Sedangkan argumen yang menyatakan bahwa Alah tidak ada adalah argumen dari fakta adanya kejahatan, argumen yang meragukan sifat-sifat Allah dan argumen dari hakikat kebebasan manusia. Sebuah pandangan yang menyatakan tidak mungkin untuk mengetahui apakah Allah itu ada atau tidak disebut agnotisme. Dua macam agnotisme adalah tidak mengetahui dan tidak dapat mengetahui keberadaan Allah. Dari pembahsan di atas, kita mempunyai cukup alasan untuk percaya pada eksistensi Allah.
Bab 20: Membahas tiga pandangan pokok tentang arti bahasa keagamaan. Ada yang berpendapat istilah yang dipakai untuk Allah bermakna ganda (equivocal) dengan istilah yang dipakai manusia. Pendapat kedua menyatakan pembicaraan tentang Allah bermakna tunggal (univocal). Pendapat ketiga menyatakan pembicaraan tentang Allah bersifat analogis, dipakai dengan cara serupa. Kesimpulan yang didapat, pembicaraan tentang Allah harus berifat deskriptif da positif. Pembicaraan tentang Allah adalah pembicaraan dari Allah yang menuntut respon kita kepada Allah.
Bab 21: Kontroversi masalah kejahatan terhadap eksistensi Allah adalah pembahasan di bab 21. ada tiga cara pokok untuk menghubungkan Allah dengan kejahatan. Pertama, menerima realitas kejahatan dan menyangkal Allah (ateisme). Kedua, menerima Allah dan menyangkal realitas kejahatan (panteisme). Ketiga, menunjukkan hubungan antara Alah dan kejahatan. Pandangan pertama dan kedua tentu tidak dapat diterima. Sedangkan pandangan ketiga ada dua versi yaitu argumen dualisme pertama (kebaikan dan kejahatan dalam pertentangan abadi) dan argumen dualisme kedua adalah argumen yang menentang non-dualisme (terutama teisme) contohnya Finitisme mengklaim Allah tidak mungkin mengalahkan kejahatan, necessitarianism yang menyangkal kebebasan Allah untuk menciptakan, impossibilism yang menyatakan kemahatahuan-Nya bahwa kejahatan akan terjadi. Ketiga pandangan di atas tidak lepas dari tantangan serius. Hanya teisme yang menyatakan Allah yang baik dan berdaulat mengizinkan kejahatan untuk mendapatkan kebakan yang lebih besar.
Bab 22: Bab terakhir dari bagian empat membahas apakah kita dapat memiliki pengalaman dengan Allah atau pada sifat dan pembenaran agamawi. Pengalaman dan agama dapat dilihat secara umum dan secara khusus. Sedangkan pengertian agama sediri adalah satu kesadaran akan yang Transenden, artinya melampui dunia empiris dan yang tertinggi. Ada tujuh jenis Transendensi: Transendensi ke belakang, ke atas, ke luar, ke bawah, di dalam, ke depan, dan Transendensi siklis. Pengalaman agamawi berbeda dengan pengalaman moral dan pengalaman estetis. Ada beberapa filsuf yang mempertanyaka akan realitas dari Yang Transenden. Apakah itu hanya khayalan manusia?, apakah itu hanya pemenuhan keinginan manusia?, apakah hanya sesuatu yang ada di alam bawah sadar?.
Ada beberapa cara untuk menunjukkan realitas dari pengalaman agamawi yaitu argumen dari perjumpaan agamawi dan argumen dari kebutuhan agamawi.
Bagian 5: Apakah Arti Baik Atau Benar?
Bagian terakhir terdiri dari lima bab. Bab pertama bermaksud untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan yang benar atau yang baik.
Bab 23: Ada banyak teori-teori yang salng bertentangan tentang makna benar di antara para filsuf, yaitu:
Kuat adalah benar, moral adalah adat istiadat, yang menjadi ukuran adalah manusia, yang benar adalah yang berlaku bagi bangsa, yang benar adalah yang moderat, tidak ada yang benar, yang benar adalah yang mendatangkan kesenangan, yang benar adalah kebaikan terbesar untuk umat manusia, yang benar adalah apa yang diinginkan demi kebaikan itu sendiri, kebaikan tidak dapat didefinisikan, dan kebaikan adalah apa yang dikehendaki Allah.
Pandangan kristiani akan kebenaran berdasarkan pada fundamental sifat kasih dan keadilan Allah yang tidak berubah, di mana kehendak Allah tunduk pada sifat-Nya sendiri yang tidak berubah. Kebenaran sudah dinyatakan Allah melalui sarana wahyu umum (alam semesta dan hati nurani) dan wahyu khusus (Alkitab).
Bab 24: Pembahasan berikutnya adalah bagaimana kita mengetahui apa yang benar. Ada beberapa pendapat misalnya William James berpendapat bahwa pembenaran berdasarkan pada hasilnya, Kant: pembenaran berdasarkan sifat merusak-diri dari hal kebalikannya, Moore: pembenaran berdasarkan intuisi, Aquinas: pembenaran berdasarkan pembuktian sendiri, Hobbes: pembenaran berdasarkan rujukan kepada otoritas manusia, kekristenan, Yudaisme dan islam: pembenaran berdasarkan rujukan pada otoritas Ilahi.
Kekristenan sendiri terbagi menjadi dua yaitu yang berusaha membenarkan baik penyataan adikodrati maupun penyataan alamiah dan yang memberikan pembenaran hanya pada penyataan adikodrati (mengacu pada iman dan rasio).
Bab 25: Membahas hubungan antara aturan-aturan dengan hasil-hasilnya. Berkaitan dengan hal ini ada dua pendekatan, yang pertama memusatkan perhatian pada aturan (deontologis), dan yang kedua memusatkan perhatian pada pencapaian hasil (teleologis).
Menurut etika deontologis, ketaatan pada aturan akan menentukan hasil-hasil yang benar. Sedangkan kaum utilitarian menyatakan bahwa akibat jangka panjang menentukan apa yang benar dan apa yang salah. Kedua pendekatan ini mempunyai kelemahannya masing-masing sehingga sebuah etika yang komprehensif diperlukan. Sebagai orang kristen dituntut untuk menaati peraturan-peraturan Allah dan melakukan kebaikn tanpa melanggar norma etika.
Bab 26: Membahas keuniversalan prinsip-prinsip etika. Ada yang menganggap prinsip etika hanya berlaku secara lokal dan relatif, sedangkan ajaran kristen menegaskan hukum moral pokok Allah mengikat semua orang.
Relativisme bukan hal baru karena telah ada sejak dunia kuno dengan tiga gerakannya (prosesisme, hedonisme, skeptisisme), ke abad pertengahan (intentionalism, volunterisme, nominalisme), pada dunia modern (utilitarianisme, eksistensialisme, evolusionisme). Demikian juga relaivisme berlanjut dalam dunia kontemporer (emotivism-A.J. Ayers, subjectivisme-Satre, situasionisme-Fletcher). Pada tingkat ekstrem, semua pandangan di atas adalah suatu bentuk antinomian (orang yang tidak percaya akan hukum etika-misalnya Nietzsche).
Kebenaran adalah suatu nilai yang diperoleh melalui intuisi dan tidak dapat diterangkan dengan sesuatu yang lain. Ia adalah sesuatu yang harus diikuti dengan tindakan atau tujuan seseorang. Universal adalah suatu kewajiban yang mengikat semua orang pada segala zaman dan di semua tempat. Ada dua macam cara terhadap kewajiban yang bersifat universal yaitu utilitarian (kewajiban bersifat universal tapi tindakannya belum tentu merupakan nilai yang intrinsik dan universal) dan deontologis (kewajiaban bersifat unversal dan berdasar nilai intrinsik).
Bab 27: Bab terakhir membahas persoalan etika ketika ada kewajiban-kewajiban moral yang bertentangan. Ada tiga pendapat yaitu:
Pandangan alternatif-ketiga mengatakan dalam setiap pertentangan selalu ada solusi moral, selalu ada solusi bagi tiap dilema etika. Pandangan kejahatan yang lebih ringan dianut oleh orang-orang yang percaya pada norma-norma etika yang universal. Ada persoalan di mana kedua alternatif salah sehingga kita wajib memilih yang kesalahannya lebih ringan dan mengakui dosanya. Pandangan kebaikan-lebih besar artinya mentaati hukum yang lebih tinggi ketika sebuah konflik tidak dapat dihindarkan antara dua perintah Ilahi atau lebih. Pandangan inilah yang paling sesuai dengan ajaran Alkitab.
Kesimpulan Akhir
Buku ini memberikan wawasan secara luas akan pandangan-pandangan filsafat dari dunia awam maupun dari dunia kekristenan. Terlepas dari bahasa filsafat yang memang sulit dipahami, penulis telah berusaha keras untuk memberikan pandangan yang berimbang. Hanya saja, justru karena hal itulah maka penekanan pada filsafat dari pandangan kristen mendapat porsi yang lebih sedikit. Sebagai konsekuensi logis maka pandangan filsafat dunia justru mendapat porsi yang lebih besar sehingga judul buku (Filsafat Dari Perspektif Kristiani) menjadi kurang sesuai dengan isinya.
Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer
Pendahuluan
Buku ini ditulis oleh Dr. Jujun S. Suriasumantri yang memperoleh gelar doktor bidang perencanaan pendidikan dari Universitas Harvard. Sekarang beliau menjabat sebagai Guru Besar Filsafat Ilmu Program Pascasarjana UNJ.
Buku ini terdiri dari sepuluh bab yang dibagi lagi menjadi tiga puluh dua sub bab pembahasan.
Bab 1: Ke Arah Pemikiran Filsafat
Bagian ini membahas tentang ilmu dan filsafat. Ilmu adalah pengetahuan yang kita gumuli sejak SD sampai perguruan tinggi. Berfilsafat tentang ilmu berarti jujur pada diri sendiri tentang apakah yang sebenarnya kita ketahui tentang seluk beluk ilmu tersebut dan dengan rendah hati mengevaluasi semua ilmu yang kita ketahui.
Dengan demikian berfilsafat dapat diumpamakan sebagai seorang yang berpijak di bumi sambil melihat ke bintang-bintang. Dengan kata lain dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam alam semesta ini.
Filsafat mempunyai beberapa karakteristik dalam berpikir, yaitu: sifat menyeluruh (ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi ilmu lainnya), sifat mendasar (terbuka akan penggalian terus menerus akan kebenaran ilmu), dan sifat spekulatif (pengetahuan sekarang berawal dari spekulasi dan filsafat menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan). Jadi Filsafat yang memberkan landasan yang mantap bagi ilmu-ilmu untuk mengekspolari pengetahuan yang dapat diandalkan.
Pokok permasalahan yang dikaji oleh filsafat mencakup tiga segi: apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah (logika), mana yang dianggap baik, mana yang dianggap buruk (etika), apa yang termasuk indah, apa yang jelek (estetika). Tiga segi ini kemudian berkembang menjadi filsafat tentang epistemologi, etika, estetika, metafisika, politik, agama, ilmu, pendidikan, hukum, sejarah dan matematika.
Bab 2: Dasar-dasar Pengetahuan
Bab ini dibagi menjadi penalaran, logika, sumber pengetahuan, dan kriteria pengetahuan.
Penalaran adalah suatu proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang benar. Manusia mampu mengembangkan pengetahuan karena kemampuan berbahasa yang mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut dan kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. penalaran mempunyai beberapa ciri-ciri sbb: adanya pola berpikir yang disebut logika dan bersifat analitik. Di luar hal ini ada kegiatan berpikir yang non-analitik misalnya berdasarkan intuisi. Di samping itu ada pula yang disebut wahyu, yang berasal dari luar dirinya.
Agar pengetahuan yang dihasilkan dari penalaran punya dasar kebenaran, maka proses berpikir harus dilakukan dengan caa tertentu agar hasilnya valid. Cara penarika kesimpulan ini disebut logika. Jadi logika artinya pengkajian untuk berpikir secara valid. Ada dua cara penarikan kesimpulan yaitu logika induktif dan logika deduktif. Logika induktif dihasilkan dari penarikan kesimpuan dari kasus-kasus induvidual menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan deduktif berasal dari kasus umum menjadi kasus yang bersifat individual.
Pembahasan di atas membawa kita pada sebuah pertanyaan: bagaimana caranya mendapatkan pengetahuan yang benar itu?. Ada dua cara yaitu mendasarkan diri pada rasio (rasionalisme) dan mendasarkan diri pada pengalaman (empirisme). Raqsionalisme menggunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya dan premis yang dipakai berasal dari ide yang dianggapnya dapat dterima. Di samping itu ada cara untuk mendapatkan pengetahuan yaitu melalui wahyu dan intuisi.
Pokok pembahasan terakhir dari bab dua adalah membahas apa persyaratannya agar suatu jalan pikiran menghasilkan kesimpulan yang benar?. Ada beberapa teori misalnya teori koherensi, teori korespondensi, dan teori pragmatisme. Teori koherensi menyatakan sebuah pernyataan benar bila pernyataan itu bersifat konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Teori korespondensi menyatakan suatu pernyataan adalah benar bila materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berhubungan dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Kedua teori ini menggunakan logika deduktif. Sedangkan teori pragmatisme menggunakan pembuktian secara empiris. Teori pragmatisme menyatakan pernyataan adalah benar jika pernyataan itu (atau konsekuensi dari pernyataan itu) mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.
Bab 3: Ontologi: Hakikat Apa Yang Dikaji
Bab ini membahas tentang metafisika, asumsi, peluang, beberapa asumsi dalam ilmu, dan batas-batas penjelajahan ilmu.
Metafisika adalah teori tentang keberadaan, tentang hakikat keberadaan zat, tentang hakikat pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran. Ada beberapa tafsiran manusia yang berkembang terhadap alam ini. Pertama-tama adanya pemikiran akan eksistensi wujud supranatural, yang bersifat gaib dan lebih bekuasa misalnya animisme. Lawan dari supranatural adalah paham naturalisme, yang menolak supranaturalisme (misalnya materialisme). Kemudian ada kaum mekanistik yang berpendapat bahwa gejala alam hanya merupakan gejala kimia-fisika belaka. Gagasan ini ditentang oleh kaum vitalistik yang berpendapat bahwa hidup adalah sesuatu yang uni dan berbeda secara substantif dengan proses kimia-fisika. Sementara itu kaum monistik tidak membedakan antara pikirn dan zat karena mereka hanya berbeda dalam gejala yang disebabkan oleh proses yang berbeda namun punya substansi yang sama. Pendapat ini ditolak oleh kaum dualistik yang membedakan antara zat dan kesadaran yang berbeda sui generis secara substantif. Dalam setiap perbedaan pendapat di atas, maka titik temunya adalah sifat pragmatis dari ilmu.
Bagian berikut membahas apakah gejala dalam alam tunduk kepada paham determinisme (hukum alam yang bersifat universal), atau hukum seperti ini tidak ada karena setiap gejala adalah akibat pilihan bebas manusia, ataukah berada di tengah-tengah (probablistik). Semua pendapat ini berdasarkan sebuah asumsi bahwa hukum alam itu ada dan mengatur berbagai kejadian. Paham determinasi berpendapat bahwa pengetahuan bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat universal. Hal ini bertentangan dengan paham kehendak bebas menusia yang menyatakan manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihannya dan tidak terkat dengan alam. Ketika sifat universal ilmu pengetahuan dan sifat individual manusia dikaitkan, maka tidak akan menemukan titik temu sehingga penulis mengusulkan kompromi (dalam bentuk probabilitas) bahwa ilmu pengetahuan tidak perlu memiliki kemutlakan seperti agama walau dalam tahap tertentu ilmu perlu memiliki keabsahan untuk melakukan generalisasi.
Jadi sebenarnya ilmu pengetahuan tidak pernah memberikan suatu kepastian yang mutlak mengenai suatu kejadian dan manusia perlu memilih tindakannya berdasarkan probabilitasnya.
Penggunaan asumsi dalam ilmu pengetahuan sangat penting karena dengan asumsi yang berbeda, maka berbeda pula konsep pemikiran yang digunakan dan akan menghasilkan hasil yang berbeda pula. Oleh karena itu dalam mengembangkan asumsi ada beberap hal yang harus diperhatikan, yaitu asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan dan asumsi harus disimpulkan dari ‘keadaan sebagaimana adanya’ bukan ‘bagaimana keadaan yang seharusnya’.
Bab terakhir pada bagian ontologis membicarakan batas-batas penjelajahan ilmu. Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia pula. Ilmu sendiri berkembang sangat pesat walau pada dasarnya berasal dari dua cabang utama yaitu filsafat alam (berkembang menjadi rumpun ilmu alam) dan filsafat moral (berkembang menjadi ilmu-ilmu sosial).
Bab 4: Epistemologi: Cara Mendapatkan Pengetahuan Yang Benar
Bab empat membahas jarum sejarah pengetahuan, pengetahuan, metode ilmiah, dan struktur pengetahuan ilmiah.
Bab pertama bagian empat ini menyatakan dengan berkembngnya abad pencerahan, maka konsep dasar berkembang dari kesamaan (generalisasi) kepada pembedaan (spesialisasi) di antara ilmu pengetahuan. Diferensiasi ilmu berkembang pesat walau bukan tidak menimbulkan masalah, sebab masalah yang dihadapi manusia semakin banyak dan rumit. Pendekatan inter-disipliner yang tidak mengaburkan otonomi masing-masing disiplin ilmu adalah suatu keharusan di mana tiap disiplin ilmu menyumbangkan anlisanya terhadap suatu masalah.
Setiap jenis pengetahuan punya ciri-ciri spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan dan tidak dapat berdiri sendiri. Dalam perkembangan pengetahuan muncullah ‘seni terapan’ yang punya kegunaan langsung pada kehidupan badani sehri-hari. Dalam perkembanannya, applied arts ini berkembang menjadi dua cabang: ang bersifat kualitatif (mengembangkan konsep-konsep baru yang mendasar dan teoritis) dan kuantitatif (terkumpulnya banyak pengetahuan yang sejenis). Kualitatif berkembang di dunia barat, sedangkan kuantitatif berkembang di dunia timur.
Pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan empiris akan menghasilkan sebuah metode ilmiah. Dengan demikian teori ilmiah harus memenuhi dua syarat: pertama, harus konsiten dengan teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan; kedua, harus sesuai dengan fakta empiris. Jadi logika ilmiah adalah gabungan dari logika induktif dan deduktif dalam sebuah sistem yang korektif. Penjelasan rasional sebelum teruji secara empiris disebut hipotesis. Setelah diverifikasi secara empiris barulah dapat disebut sebagai metode ilmiah.
Pengetahuan yang diproses menurut metode ilmiah merupakan pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat keilmuan. Metode ilmiah mempunyai mekanisme umpan-balik yang bersifat korektif. Jadi pengetahuan ilmiah mempunyai tiga fungsi, yaitu menjelaskan, meramalkan, dan mengontrol.
Bab 5: Sarana Berpikir Ilmiah
Bab ini membahas sarana berpikir ilmiah, bahasa, matematika, dan statistik.
Sebelum mempelajari sarana-sarana berpikir ilmiah ada langkah-langkah dalam kegiatan ilmiah yang harus dikuasai dahulu yaitu sarana yang berupa bahasa, logika, matematika, dan statistik.
Bahasa adalah alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran kepada orang lain. Tanpa bahasa, manusia tidak dapat berpkir secara rumit dan abstrak seperti yang diperlukan dalam kegiatan ilmiah. Selain itu bahasa juga memungkinkan mansia untuk berpikir secara teratur dan sistematis. Bahasa mempunyai aspek informatif dan emotif sehingga jika ditelaah lebih lanjut bahasa mengkomunikasikan tiga hal yaitu buah pikiran, perasaan, dan sikap.
Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika baru mempunyai arti ketika sebuah makna diberikan padanya. Matematika berusaha untuk menhiangkan sifat kabur, majemuk dan emosional dari bahasa verbal. Karena mengembangkan bahasa numerik, matematika memungkinkan kita untk melakukan pengukuran secara kuantitatif yang meningktkan day prediktif dan kontrol dari ilmu. Matematika punya peran penting dalam berpikir deduktif.
Sedangkan statistika punya peran penting dalam berpikir induktif. Statistik memberikan jalan keluar bagi kesulitan untuk melakukan pengujian hipotesa dengan data yang besar dengan menarik kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan melakukan sampling. Statistik memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik dan kemampuan untuk mengetahui hubungan kausalita antara dua faktor. Jadi statistik membantu ntuk melakukan generalisasi dan menyimpulkan karakteristik suatu kejadian secara lebih pasti.
Bab 6: Aksiologi: Nilai Kegunaan Ilmu
Bab ini membicarakan ilmu dan moral, tanggung jawab sosial ilmuwan, nuklir dan pilihan moral, dan revolusi genetika.
Sejak awal pertumbuhannya, ilmu (alam dan sosial) sudah terkait dengan masalah-masalah moral. Masalahnya timbul ketika moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Dalam hal ini ada dua olongan pendapat yaitu yang berpendapat bagwa ilmu bersifat netral terhadap nilai-nilai secara ontologis dan aksiologis. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanya pada metafisik keilmuan, sedang dalam pemilihan obyek penelitian dan dalam penggunaannya, kegiatan keilmuan harus berlandaskan pada asas-asas moral.
Dalam pembahasan berikutnya, penulis menyatakan bahwa ilmuwan mempunyai tanggung-jawab sosial terhadap masyarakat, bahkan mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Ruang lingkup tanggung jawab seorang ilmuwan dapat dikembalikan kepada hakikat ilmu itu sendiri. Sikap sosial seorang ilmuwan adalah konsisten dengan proses penelaahan ilmu yang dilakukan.
Pilihan moral menjadi lebih menarik ketika dikaitkan dengan pembuatan bom neutron dan nuklir. Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penemuannya digunakan untuk menindas bangsa lain. Kenetralan dalam ilmu pengetahuan adalah ketika penemuan itu mengarah kepada rangkaian peneuan selanjutnya. Dalam aspek yang lain seperti bagaimana pengetahuan itu dipergunakan, mau tidak mau dia terikat secara moral dalam arti mempunyai preferensi dan memihak. Kenetralan seorang ilmuwan ditunjukkan dalam hal menyikapi bagaimana pengetahuan itu dipergunakan.
Persoalan moral menjadi lebih menarik ketika dikaitkan perkembangan revolusi genetika sebab selama ini ilmu ini belum pernah menyentuh manusia sebagai obyek penelaahan itu sendiri. Penulis menyatakan sikapnya dengan sikap menolak terhadp dijadikannya manusia sebagai obyek penelitian genetika. Alasannya adalah ilmu sendiri berfungsi untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya, yang berkaitan erat dengan hakikat kemanusiaan itu sendiri, yang bersifat otonom dan terlepas dari kajian dan pengaruh ilmiah.
Bab 7: Ilmu dan Kebudayaan
Bab tujuh membahas manusia dan kebudayaan, ilmu dan pengembangan kebudayaan nasional, dan dua pola kebudayaan.
Ada ratusan definisi tentang kebudayaan. Kuntjraningrat membagi kebudayaan unsur-unsur yang terdiri dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem da organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian serta sistem teknologi dan peralatan.
Dalam memenuhi kebutuhannya, manusia mempunyai cara yang brbeda dengan binatang. Kebudayaanlah, dalam konteks ini, yang memberikan garis pemisah antara manusia dan binatang. Nilai-nilai budaya diwujudkan dalam bentuk tata hidup yang mencerminkan nilai budaya yang dikandungnya. Tata hidup adalah pencerminan dari nilai budaya yang bersifat abstrak, yaitu kegiatan manusia yang dapat ditangkap oleh pancaindra, sedang nilai budaya hanya tetangkap oleh budi manusia. Di samping itu, nilai budaya dan tat hidup manusia ditopang oleh perwujudan kebudayaan yang ketiga yang berupa sarana kebudayaan. Kebudayaan ketika dikaitkan dengan pendidikan akan menimbulkan beberapa masalah misalnya: nilai-nilai budaya apa yang harus diberikan dalam diri anak kita. Hal ini membawa implikasi nilai budaya yang diberikan harus relevan dengan kurun waktu di mana anak tersebut hidup kelak dan usaha pendidikan yang sadar dan sistematis mengharuskan kita untuk lebih eksplisit dan definitif tentang hakikat nilai-nilai budaya tersebut.
Dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional, ilmu mempunyai peran ganda yaitu ilmu merupakan sumber nilai yang mendukung terselenggaranya pengembangan kebudayaan nasional dan ilmu merupakan sumber nilai yang mengisi pembentukan watak suatu bangsa. Sebagai suatu cara berpikir, ilmu mempunyai sifat rasional, logis, obyektif dan terbuka dengan sifat kritis sebagai landasan keempat sifat tersebut. Dalam pembentukan karakter bangsa, ada tujuh faktor penting dalam pembinaan bangsa yaitu sifat-sifat kritis, rasional, logis, obyektif, terbuka, menjunjung kebenaran dan pengabdian universal.
Ada kecenderungan beberapa kalangan untuk memisahkan ilmu ke dalam dua golongan yaitu golongan ilmu alam dan ilmu sosial. Sebenarnya perbedaan ini hanya bersifat teknis yang tidk mendasar. Dasar ontologis, epistemologis, dan aksiologis kedua ilmu tersebut adalah sama. Penulis berpendapat dikotomi ilmu alam-ilmu sosial adalah sesuatu yang destruktif bagi kemajuan ilmu itu sendiri dan bagi pengembangan peradaban secara keseluruhan.
Bab 8: Ilmu dan Bahasa
Bab ini membahas akan terminologi ilmu, ilmu pengetahuan atau sans?, quo vadis, dan politik bahasa nasional.
Ada kesulitan akan penggunaan terminologi ilmu antara knowledge dan science. Pada umumnya knowledge diartikan sebagai pengetahuan dan science diartikan sebagai ilmu pengetahuan. Penulis mengusulkan penggunaan terminologi ilmu untuk science dan pengetahuan untuk knowledge sementara ada pendapat yang berbeda yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah sinonim dengan scientific knowledge dan ilmu adalah sinonim dengan knowledge dan pengetahuan adalah ilmu (knowledge) yang bersifat pengetahuan (scientific).
Bahasa mempunyai dua fungsi utama yaitu sebagai sarana komunikasi antar-manusia (fungsi komunikatif) dan sebagai sarana budaya yang mempersatukan kelompok manusia yang menggunakan bahasa itu (fungsi kohesif). Kedua fungsi ini mempunyai peran yang penting dan strategis bagi perkembangan bangsa. Karenanya perlu dipikirkan politik bahasa yang mengkaji permasalahan ini secara integral dan menyeluruh bagi kemajuan fungsi komunikasi dan kohesif bahasa Indonesia.
Bab 9: Penelitian dan Penulisan Ilmiah
Bab sembilan menelusuri struktur penelitian dan penulisan ilmiah, teknik penulisan ilmiah, dan teknik notasi ilmiah.
Penelitian ilmiah pada hakikatnya merupakan operasionalisasi meode ilmiah dalam kegiatan keilmuan. Penulisan ilmiah pada dasarnya merupakan argumentasi penalaran keilmua yang dikomunikasikan lewat bahasa tulisan. Struktur penulisan ilmiah yang baik mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Pengajuan masalah yang mencakup latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, dan kegunaan penelitian.
2. Penyusunan kerangka teoritis dan pengajuan hipotesis, yang mencakup pengkajian teori-teori ilmiah yang akan digunakan dalam analisis, pembahasan penelitian-penelitian lain yang relevan, penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis dengan premis-premis, postulat, asumsi dan prinsip yang digunakan, dan perumusan hipotesis.
3. Metodologi penelitian, yang mencakup tujuan penelitian secara lengkap dan operasional, tempat dan waktu penelitian, metode penelitian, teknik pengambilan contoh yang relevan, teknik pengumpulan data yang lengkap, dan teknik analisis data yang mencakup langkah dan teknik analisis yang digunakan.
4. Hasil penelitian, yang menyatakan variabel-variabel yang diteliti, menyatakan teknik analisis data, mendeskripsikan hasil analisis data, memberikan penafsiran terhadap kesimpulan analisis data, dan menyimpulkan penerimaan atau penolakan pengujian hipotsis.
5. Ringkasan dan kesimpulan, yang berisi deskripsi singkat mengeni masalah, kerangka teoritis, hipotesis, metodologi dan penemuan penelitian, kesimpulan penelitian yang merupakan sintesis penelitian, pembahasan kesimpulan penelitian, kajian implikasi penelitian dan saran-saran.
6. Seluruh laporan penelitian disarikan dalam abstrak, diikuti daftar pustaka, riwayat hidup, dan usulan penelitian.
Penulisan ilmiah harus dilakukan dengan bahasa yang baik dan benar karena tata bahasa merupakan ekspresi dari logika berpikir. Ada dua aspek dalam penulisan ilmiah yaitu gaya penulisan dan teknik notasi dalam penyebutan sumber penulisan. Pada dasarnya komunikasi ilmiah harus bersifat reproduktif (tepat seperti yang diartikan) dan impersonal (tidak menggunakan kata ganti perorangan).
Bab 10: Penutup
Sebagai penutup, bagian ini membahas akan hakikat dan kegunaan ilmu. Penulis berpendapat bahwa ilmu pengetahuan hendaknya mempunyai kegunaan praktis yang mampu memecahkan masalah.
Kesimpulan
Sebagai buku filsafat, buku ini adalah buku fisafat yang ‘membumi’, dengan pengertian relatif mudah untuk dibaca dan dimengerti. Sebagai filsafat sekuler, buku ini bergumul sendiri dengan pemikiran manusia yang tidak banyak menyentuh agama. Hal ini berbeda dengan filsafat kristiani yang menempatkan Wahyu Khusus Allah sebagai acuan tertinggi, sebagai filsafat yang ultimat sehingga ketika timbul masalah yang belum dapat dipecahkan atau ketika perdebatan dalam mencari kebenaran muncul, kita kembali ke Alkitab sebagai kebenaran tertinggi.
Wednesday, November 11, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Shalom.
Selamat siang.
Mohon dikirim isi lengkapnya ya ke e-mail : manogarharapan@yahoo.com
Terima kasih. Gbu
(Harapan M. S)
Post a Comment