Thursday, November 13, 2008

Teladan Kasih Yesus

Teks: Yohanes 13:31-35

Pendahuluan
Beberapa minggu yang lalu di harian kompas Gde Prama memperkenalkan ucapan salam yang baru di awal pembicaraannya. Dia mengganti kata ‘salam sejahtera’ dengan kata ‘salam kasih’. Pada mulanya kata Gde Prama, orang-orang merasa aneh dengan kata salam kasih tetapi setelah dijelaskan bahwa kasih itu bersifat universal, maka orangpun menerima dengan senang hati.
Dari berita singkat itu, saya menangkap dua hal yaitu, pertama, orang merasa janggal dengan ucapan salam kasih karena kata ‘kasih’ selama ini konotasinya seakan-akan menjadi kata milik orang kristen. Kedua, rupa-rupanya kasih yang dimaksudkan oleh Gde Prama adalah kasih persaudaraan di antara bangsa Indonesia.
Ada sebuah pepatah barat yang berbunyi ‘like father, like son’ seperti apa bapaknya, seperti itu juga anaknya. Ternyata bangsa Indonesia juga mempunyai pepatah yang artinya sama yaitu ‘buah tak jatuh jauh dari pohonnya.’ Makna yang ingin dikatakan oleh kedua pepatah itu adalah suatu hal yang normal bila seorang anak mempunyai sifat yang mirip dengan ayahnya; adalah wajar bila seorang anak meneladani karakter ayahnya sehingga ayah dan anak punya sifat yang sama. Pepatah lain berkata anak bagaikan sebuah kertas kosong dan orang tua adalah penulis atau pelukisnya sehingga seperti apa jadinya anak itu setelah dewasa nanti adalah tanggung-jawab orang tuanya. Apakah saudara-saudara setuju?
Nah, dalam konteks orang kristen, apakah pepatah di atas berlaku atas diri kita? Apakah hidup makin lama sebagai orang kristen membuat kita semakin mirip dengan Kristus? apakah kita memiliki kasih seperti kasih Kristus?
Malam ini kita belajar bersama-sama untuk meneladani kasih Kristus.

Ayat 31-32. Latar belakang ayat ini adalah Perjamuan Malam Terakhir dan sebenarnya ketika Yudas pergi, Yesus tahu bahwa Yudas pergi untuk menyerahkan diri-Nya kepada orang Yahudi. Yesus tahu kini tibalah waktu bagi diri-Nya untuk menerima semua penderitaan dan Salib. Ternyata Yesus menerima penderitaan sebagai suatu kehormatan besar bagi diri-Nya. Mengapa begitu? Karena setelah Yudas pergi, Yesus berkata ‘Sekarang Anak Manusia dipermuliakan dan Allah dipermuliakan di dalam Dia.’ Artinya apa? hal ini tidak hanya sekedar bagi kemuliaan Allah Bapa melainkan harus dikaitkan dengan rencana keselamatan dalam kekekalan. Dari perkataan ini kita melihat motivasi utama Yesus adalah untuk menggenapi rencana penebusan manusia dan Dia rela mati ganti diri kita karena begitu besar kasih-Nya pada saudara dan saya yang berdosa dan tidak layak.
Nah, di sini kita melihat ada sebuah perbedaan yang mendasar antara kasih versi Gde Prama dengan kasih versi Yesus. Kasih yang dimaksud oleh Gde Prama adalah kasih Phileo yang artinya kasih persaudaraan. Kasih antara kakak dan adik, antara ibu dan anaknya. Kasih seperti ini dapat secara otomatis timbul dari hati seseorang dan bersifat bersyarat. Artinya saya mengasihi anak saya, ya, karena anak itu anak saya. Jika anak itu bukan anak saya, tentu kasih yang saya berikan tentu berbeda kadarnya.
Kasih Yesus adalah kasih Agape yaitu kasih yang tidak bersyarat. Saya mencoba menggambarkan kasih Agape sbb:

Tahun 1873 ada seorang misionari bernama Joseph Damien dari Belgia pergi ke satu pulau di Hawaii bernama pulau Molokai. Pulau Molokai adalah penampungan tempat orang-orang kusta ditaruh untuk tinggal di situ. Pastor Damien mengambil keputusan untuk melayani orang-orang kusta itu. Selama 12 tahun dia menjadi dokter yang merawat orang kusta, membangun rumah-rumah, membangun sekolah dan melayani dengan setia, tetapi tidak banyak orang percaya Tuhan. Akhirnya dia kecewa dan putus asa dan mengambil keputusan meninggalkan pulau itu. Waktu dia hendak berangkat dan naik ke kapal yang akan membawanya kembali ke Belgia, dia terkejut melihat di tangannya ada bercak-bercak putih dan merah dan dia tidak bisa merasakan sakit. Dia kena kusta. Langsung dia turun dan kembali, tidak jadi meninggalkan pulau Molokai. Dan kemudian di seluruh pulau itu tersebar kabar kalau pastor Damien kena kusta. Hari itu semua orang kusta datang ke rumah dia, dan hari minggu di gerejanya penuh sesak dengan orang kusta. Kenapa? Orang-orang kusta itu berlinang air mata, menangis haru karena tahu dia datang melayani sampai dia sendiri terkena penyakit kusta. Kasih seperti apakah itu? Hanya kasih Tuhan yang seperti itu. Itulah kasih Agape. Itulah yang Tuhan Yesus nyatakan kepada kita. Marilah kita juga belajar memiliki hati Tuhan seperti itu. Bukan hanya jatuh kasihan tetapi ‘sharing the pain.’ Itulah ‘the sanctification of emotion.’ Belajar bersukacita dengan apa yang mendatangkan sukacita Allah, mempunyai empati seperti Tuhan, menangis seperti Tuhan menangis.
Beberapa puluh tahun yang lalu, kisah hidup pastor Damien ini menginspirasi seorang wanita Jerman sehingga dia memberikan hidupnya melayani orang-orang kusta di NTT sampai sekarang. Nama wanita itu saya lupa, tapi kira-kira dua-tiga bulan yang lalu kisahnya muncul di acara Kick Andy.


Ayat 33 mengajarkan akibat atau harga yang harus dibayar oleh Yesus akibat kasih-Nya kepada kita yaitu mengorbankan nyawa-Nya.
Salah satu masalah terbesar gereja hari ini adalah hilangnya seni mengasihi di antara orang kristen. Hari-hari ini manusia sulit untuk berbelas kasih terhadap orang lain dan keadaan ini akan semakin bertambah parah di kemudian hari.
Apakah saudara setuju? Mengapa kita sulit untuk mengasihi orang lain? Saya memikirkan paling tidak ada dua alasan:
Pertama, Di tengah dunia yang begitu kompetitif dan begitu cepat berubah seperti hari ini, manusia dipaksa untuk memikirkan keadaan diri sendiri. Lingkungan kerja semakin menekan dan menyita waktu dan pikiran kita sementara lingkungan sekolahpun menuntut siswa berkutat seharian penuh di sekolah dan tempat les. Di Pekalongan saja, anak kelas 4 SD mempunyai jadwal sekolah dari pukul 07.00 sampai 14.30. Setelah itu dilanjutkan dengan les ini dan itu sampai sore bahkan kadang malam hari. Pertemuan dengan orang tua terjadi hanya beberapa jam setiap hari, dalam situasi kedua pihak sudah kecapean sehingga tidak jarang orang tua marah-marah pada anaknya. Ketika saya SD, seingat saya juara umum sekolah adalah anak yang mencapai nilai rata-rata 8. Hari ini kalau ada anak yang mendapat nilai rata-rata 8 artinya dia ranking satu dari belakang.
Pola hidup yang penuh tuntutan di mana anak tidak mendapatkan apa yang seharusnya didapatnya (kasih, perlidungan, perhatian orang tua dll) dan mendapatkan hal-hal yang seharusnya tidak ditanggungnya (tuntutan yang berlebih) mau tidak mau akan membentuk suatu pribadi yang tidak mengenal arti kasih karena memang tidak pernah merasakan dikasihi orang lain. Anak-anak ini akan tumbuh dewasa menjadi pribadi yang narsis. Pribadi narsis artinya dia akan berhubungan dengan orang lain hanya dengan satu tujuan yaitu untuk mendapatkan sesuatu dari orang lain. Jadi pikirannya hanya ‘apa yang saya bisa dapat dari kamu, apa yang kamu bisa berikan kepadaku.’ Saudara, bukankah tanda-tandanya sudah dapat kita lihat saat ini? Ketika orang datang ke gereja hanya dengan satu tujuan: apa yang Tuhan bisa berikan padaku? Bahkan kita lihat ada oknum pendeta yang membujuk jemaat seperti membujuk anak kecil: beri persembahan, beri perpuluhan, nanti Tuhan ganti berlipat kali ganda. Ini kan seperti kita bicara ke anak kecil: makan obat ini, nanti papa belikan kamu mainan. Saya tidak menyangkal Alkitab berisi banyak sekali janji-janji Allah, saya tidak anti berkat. Hanya orang gila yang tidak mau berkat Tuhan. Masalahnya Alkitab tidak hanya berisi janji tapi juga perintah untuk mengejar kekudusan, menyangkal diri dan pikul Salib. Hanya memberitakan berkat tanpa kewajiban artinya mengkorting isi Alkitab. Dalam menu 4 sahat 5 sempurna, berkat ibarat susu. Bayangkan kalau kita tiap hari hanya minum susu saja tanpa telur, nasi, sayur, dan daging. Dapatkah kita bertumbuh secara sehat?
Kakak saya adalah seorang pendeta yang melayani di Melbourne, suatu hari ada seorang pendeta temannya didekati oleh gereja lain. Rupa-rupanya gereja itu menawarkan teman kakak saya untuk bergabung dengan gereja mereka dengan janji gaji yang berlipat kali ganda. Syaratnya satu: ‘frekuensi’ khotbahnya dirubah menjadi teologi kemakmuran.

Kedua, kita sadar kasih sejati tidak murah, kasih sejati harganya mahal dan menuntut perbuatan nyata. Mari kita baca Lukas 10: 33-35. Mari kita hitung apa yang harus dibayar oleh orang Samaria akibat hatinya berbelas kasih: ayat 34: Pertama: membalut, berarti orang Samaria itu mengeluarkan kain-kain yang mungkin barang dagangannya, harga kedua yang dibayar: menyiraminya dengan minyak dan anggur, 3. menaikkan orang itu ke-keledai tunggangannya, artinya dia sendiri berjalan kali, membawanya ke penginapan dan merawatnya. Sudah cukup? Belum, kita baca ayat 35: harga keempat: menyerahkan uang dua dinar kepada pemilik penginapan, 5. meminta pemilik peningapan untuk merawat orang itu dan jika uang dua dinar masih kurang, akan dibayar kemudian ketika dia kembali.

Stanley Jones, seorang misionari yang melayani di India suatu hari bertemu dengan Mahatma Gandhi dan dia tahu Gandhi menyimpan selipan “Khotbah Tuhan Yesus di Bukit.” Yang selalu dibacanya setiap hari.
Jones bertanya, “Mahatma, dapatkah anda memberikan saran bagaimana agar kekristenan bisa lebih diterima oleh orang India?”
Saudara tahu apa jawab Mahatma Gandhi? Ia mengatakan, “Saya percaya orang India akan banyak menerima kekristenan hanya dengan simple saja, please you all christians live like Christ.”
Ini adalah sebuah kalimat yang indah luar biasa yang keluar dari mulut seorang non-kristen sekaligus tamparan telak di wajah kita. Benar, saat ini cukup banyak gereja yang mengajar jemaatnya untuk mengejar harta dunia dan tidak pernah mengajar untuk mengejar karakter Kristus, sifat-sifat Kristus dalam hidupnya. Dan secara psikologis hal ini dapat dijelaskan yaitu umumnya tidak ada manusia yang suka ditegur, dikoreksi tapi manusia senang jika mendengar janji-janji. Martin Luther pernah mengatakan: “A religion that gives nothing, costs nothing, and suffers nothing, is worth nothing.” Artinya mengikut Yesus harus siap membayar harga. Tanpa menyangkal diri dan pikul Salib, kekristenan tidak berarti apa-apa.


Ayat 34 menyatakan kita harus saling mengasihi seperti Kristus sudah mengasihi kita lebih dulu. Artinya saling mengasihi bukanlah karena dia itu teman saya tetapi karena dia itu milik Kristus.
Ada satu kalimat yang paling indah pernah dikeluarkan oleh John Bunyan dalam bukunya “Pilgrim Progress,” kita belum menjalani apa artinya hidup kalau kita belum pernah memberi kepada orang yang tidak bisa membalas kita kembali. Karena pada waktu kita memberi kepada orang yang sanggup membalas kembali, itu artinya tukar kado. Tetapi kalau kita bisa memberi kepada orang yang tidak sanggup untuk memberi kita kembali, itu adalah sacrifice, itu adalah giving, itu adalah pemberian.
Untuk dapat mengasihi lebih dulu dibutuhkan sebuah penerimaan tanpa syarat. Apakah ini hal yang mudah atau hal yang sulit?
Sayangnya, mengasihi lebih dulu di kebudayaan gerejapun menjadi suatu seni yang terlupakan. Secara doktrin kita mengakui kita adalah manusia berdosa yang mendapat anugrah keselamatan secara gratis. Tetapi pada prakteknya gereja menampilkan diri sebagai kumpulan orang-orang terhormat, baik-baik, dan suci sehingga kesaksian di mimbarpun selalu bersifat past tense. ‘saya dulu jahat ini dan itu, sekarang sudah baik.’ tidak pernah saya mendengar kesaksian kalau dia sedang bergumul dari dosa perzinahan misalnya. Wah, kalau itu terjadi mungkin dia akan dijauhi seisi gereja!.
Dalam keadaan seperti ini tidak heran kalau kelompok Alcoholics Anonymous (AA) lebih dapat merubah manusia seperti kesaksian seorang yang bernama Jake yang ditulis oleh Dr. Henry Cloud dalam bukunya ‘Changes That Heal’:
‘Ketika saya berada di gereja atau bersama dengan teman-teman kristen saya, mereka hanya mengatakan kepada saya bahwa minum-minum itu dosa dan saya harus bertobat. Mereka tidak tahu berapa kali saya berusaha berhenti, berapa kali saya sudah berusaha menjadi orang kristen yang baik.’
‘Ketika saya masuk AA, saya mendapati saya dapat bersikap jujur mengenai kegagalan-kegagalan saya, dan yang lebih penting, saya dapat bersikap jujur mengenai keputusasaan saya. Pada waktu saya mendapati bahwa Allah dan AA menerima saya (tanpa syarat) dalam ketergantungan dan keputusasaan saya akan minuman keras, barulah saya mempunyai harapan’.
‘Sering kali gereja mengkhotbahkan kasih karunia, tapi saya tidak pernah menemukan penerimaan di sana untuk keberadaan saya sebenarnya dan selalu mengharapkan saya berubah. Dalam kelompok AA, mereka tidak hanya mengharapkan saya berubah, tapi juga mengatakan dengan diri saya sendiri, saya akan gagal. Mereka menyediakan diri untuk membantu dia.’
Kelepasan Jake pada minuman keras akhirnya terjadi ketika dia dapat menjadi dirinya sendiri dalam relasinya dengan Allah dan orang lain.


Kesimpulan
Banyak orang berkata bahwa kasih itu sifatnya universal. Malam ini kita belajar bahwa di atas kasih yang universal itu, orang kristen seharusnya meneladani kasih Kristus yaitu kasih yang tidak bersyarat, kasih yang berkorban. Motivasi utama Yesus adalah untuk menggenapi rencana penebusan manusia dan karena kasihlah Dia menyerahkan nyawa di kayu Salib.
Mari kita meneladani kasih Kristus dan belajar untuk saling mengasihi seperti Kristus sudah mengasihi kita lebih dulu.

Sebuah kisah terakhir berikut ini kiranya menjadi bahan renungan bagi kita semua:
Menjelang berakhirnya perang dunia II, Eropa mulai bangkit kembali. Sebagian dari negara Inggris telah diporak-porandakan oleh perang dan dalam keadaan hancur. Barangkali pemandangan yang paling menyedihkan dari semuanya adalah banyaknya anak yatim piatu yang kelaparan, berkeliaran di jalan-jalan di kota-kota yang hancur oleh perang.
Suatu pagi yang dingin, seorang serdadu Amerika sedang menuju baraknya di kota London. Ketika ia sedang berbelok dengan jeep-nya, ia melihat seorang anak kecil dengan hidung yang ditempelkan ke jendela kaca sebuah toko kue. Di dalam toko itu, nampak seorang koki sedang membuat adonan untuk donat. Anak perempuan tesebut hanya memandang tanpa kata-kata, mengamati tiap gerak-gerik koki itu. Serdadu itu segera menuju pinggiran jalan, memarkir jeep-nya dan turun menghampiri anak tersebut. Melalui kaca yang buram ia dapat melihat potongan-potongan kue panas yang membangkitkan selera dikeluarkan dari panggangan. Anak perempuan itu mengeluarkan air liur dan menarik nafas panjang melihat sang koki menempatkan kue-kue tersebut di rak pajangan.

Serdadu yang berdiri di samping anak itu merasa kasihan pada anak yatim piatu tanpa nama itu.
‘Nak,.....kamu mau ku-kue itu?’
Anak laki-laki itu terperanjat.
‘Ya, ya,......saya mau!’
Serdadu itu masuk ke dalam dan membeli selusin kue, memasukkannya ke dalam kantong, dan kembali menuju tempat anak perempuan tadi sedang berdiri di tengah-tengah dinginnya pagi kota London yang berkabut. Ia tersenyum, menyerahkan bungkusan kue tersebut dan berkata:
‘Ini buat kamu.’
Ketika berbalik pergi, ia merasa ada tarikan di jubahnya. Ia menengok ke belakang dan mendengar anak itu berkata dengan perlahan:
‘Tuan,......apakah engkau Tuhan?’

Saudara, ketika kita memberikan sesuatu pada orang yang tidak mampu membalas pemberian kita, saat itulah kita paling mirip dengan Tuhan.
Ketika kita menyangkal diri dan memberikan diri kita kepada orang ang tidak layak menerimanya, saat itulah saudara dan saya paling mirip dengan Tuhan.


Undangan
Sebelum kita masuk dalam doa perkenankanlah saya bertanya adakah kasih Allah yang merelakan Anak-Nya mati di kayu Salib menebus dosa saudara dan saya menyentuh hati sadara?. Adakah orang yang mau menerima Yesus sebagai Tuhan? Keselamatan itu mahal, keselamatan tidak dapat dibeli dengan harta dunia dan perbuatan baik manusia. Keselamatan itu seharga darah suci Yesus yang dicurahkan di kayu Salib. Adakah yang berpikir, Tuhan Yesus aku ini orang berdosa dan tidak layak, ampuni semua dosa-dosaku, jadilah Tuhan dan Juruselamatku. Kalau ada, jangan tahan hatimu, angkatlah tanganmu.
Pertanyaan terakhir, adakah orang yang malam ini sadar bahwa selama ini saya sudah hidup jauh dari Tuhan dan saat ini berketetapan untuk kembali ke jalan Tuhan? Kalau ada silahkan angkat tangan saudara.

081108
On His Grace,
hendra

Pengenalan Misi

Teologi vs Penginjilan, Teladan Paulus (Filipi 3: 17)
Siapakah Paulus, seorang teolog atau seorang penginjil?.
Melalui teladan yang diberikan oleh Paulus, sudah seharusnya dualisme antara teologi dan penginjilan diakhiri. Sebagai seorang teolog dan penginjil terbesar, Paulus tidak pernah mempertentangkan teologi dan penginjilan sebaliknya dia memberikan contoh sebagai seorang teolog yang mengerti Kitab Suci secara mendalam, yang berdasarkan pengenalannya akan Firman itulah Paulus melakukan penginjilan. Berdasarkan teladan Paulus, saya menyimpulkan bahwa teologi dan penginjilan sebenarnya bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Mengutip ucapan dosen saya: seorang yang belajar teologi yang benar dan secara benar tidak bisa tidak pasti akan melakukan penginjilan.
Di sini kita melihat sebuah kebenaran yang tidak boleh dibalik: pertama teologi, kedua penginjilan. Penginjilan harus berdasar pada teologi, dan teologi harus berdasar pada wahyu Allah dalam Alkitab. Pernyataan penginjilan harus berdasar pada teologi tidaklah diartikan kita harus belajar teologi secara mendalam, mendapat gelar STh, M. Div, MTh, Doktor barulah layak memberitakan Injil. Setiap orang yang sudah mendapat anugrah keselamatan seyogyanya membagikan bagian yang sudah diketahinya kepada orang lain. Sebuah ilustrasi dapat membantu untuk lebih mengerti bagian ini: sebuah mobil yang melakukan perjalanan dari Jogya ke Jakarta pada malam hari pasti menyalakan lampu. Kita tidak akan menengur supirnya karena lampunya tidak bersinar sampai ke Jakarta, melainkan hanya bersinar sepanjang kira-kira 60 meter. Jarak 60 meter adalah jarak yang memadai karena setelah berjalan 60 meter akan ada sinar untuk 60 meter lagi. Sering dalam khotbah-khotbah diserukan agar kita menjadi being like Christ, but you can not be liked Christ whithout doing like Christ.

Saudara-saudara, dalam sejarah peradaban manusia, belum pernah dunia menjadi sedemikian terbuka seperti hari ini.
Kemajuan teknologi dan transportasi membuat dunia menjadi ‘borderless world’ dan semakin ‘kecil’. Malam ini kita mengadakan dinner meeting di Magelang, kalau mau besok pagi kita dapat ikut breakfast meeting di Singapura, lunch meeting di China. Inilah masa paling mudah bagi misi PI bukan?
Dewasa ini jumlah penduduk dunia ada kira-kira 6,5 milyar manusia, sedangkan jumlah orang kristen dan katolik ada kira-kira 2 milyar. Di seluruh dunia ada kira-kira 240 negara dengan 16.000 kelompok suku dengan kira-kira 9.100 diangap terjangkau dan 6.900 masih terabaikan. Sebagian besar suku yang masih terabaikan hidup dalam jendela 10/40 LU yaitu di sekitar Afrika Utara, Timur sampai Asia.
Bila kita melihat sejarah misi, maka masa kini kita berada dalam era ketiga misi modern. Era pertama menjangkau daerah-daerah pesisir (1792-1910 M) dengan William Carey sebagai bapa misi modern, era kedua (1865-1980 M) menjangkau daerah-daerah pedalaman dengan tokohnya yang terkenal, Hudson Taylor. Saudara, siapakah Hudson Taylor? Dia adalah misionaris generasi pertama di China dan sampai hari ini lima generasi Huson Taylor mengabdikan diri menjadi misionaris di China. Ada dua buah ucapan Hudson Taylor yang sangat berkesan buat saya:
God's work, done in God's way, will never lack for supplies.
If I had a thousand pounds, China should have it. If I had a thousand lives, China should have them.
Sekarang ini, setiap harinya ratusan ribu penduduk China menerima Kristus sebagai Juruselamatnya.

Era ketiga dimulai 1934 sampai sekarang dengan strategi menjangkau suku-suku bangsa yang tersembunyi dan terabaikan. Apa itu suku terabaikan, kita akan lihat nanti.
Mengapa saya bercerita banyak mengenai misi penginjilan?.
Hal ini tidak bukan karena dua hal yaitu:
Pertama: Perintah Tuhan melalui Amanat Agung di Matius 28:19-20. “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman."
Kata ‘semua bangsa’ dalam bahasa Yunani diartikan sebagai suku-suku bangsa. Perintah artinya harus dilakukan oleh semua umat kristiani bukan hanya hamba Tuhan dan penginjil.
Matius 28:16 seakan-akan menunjukkan bahwa Amanat Agung hanya diberikan kepada sebelas murid-Nya, tetapi penelaahan lebih cermat menunjukkan bahwa bersama sebelas murid itu ada “lebih daripada 500 saudara” (1Kor 15:6). Jelas bahwa Amanat Agung diberikan kepada semua orang percaya dan tidak hanya ditujukan kepada pendeta, penginjil, guru Injil saja.
Jadi sebagai inisiator, Allah berkenan untuk melibatkan manusia dalam rencana misi-Nya. Kita semua mendapat kehormatan untuk bekerja dan dipakai Allah untuk menggenapi Amanat Agung-Nya. Keselamatan kita adalah anugerah semata karena kita yang berdosa sebenarnya tidak layak, tidak berhak untuk mendapatnya, tetapi ternyata Allah bahkan bertindak lebih dari itu dengan menjadikan semua orang percaya menjadi co-worker-Nya, untuk menjadi alat-Nya bagi keselamatan orang lain. Bukankah ini luar biasa?

Peran Sebagai Senders
Lalu apakah semua orang kristen harus menjadi misionari?
Dalam suratnya kepada jemaat Roma, Paulus mendefinisikan dengan indah pengelompokan tugas orang percaya, yaitu mereka yang diutus (goers) dan mereka yang mengutus (senders). Roma 10: 14-15 “Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia. Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya? Dan bagaimana mereka dapat memberitakan-Nya, jika mereka tidak diutus? Seperti ada tertulis: “Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik!”.
Di sini kita melihat semua orang percaya diperintahkan untuk terlibat dalam Amanat Agung, tetapi tidak semua orang harus menjadi misionari. Setiap kita mempunyai peran masing-masing: sebagai misionari dan sebagai orang yang mengirim, sebagai goers dan sebagai senders.

Saya ulangi: terlibat dalam misi bukan berarti harus menjadi misionaris tapi terlibat dalam pekerjaan misi. Sebuah misi terdiri dari orang yang dikirim dan orang-orang yang mengirim. Seperti sebuah team sepakbola, yang bermain dilapangan hanya 11 orang tapi yang terlibat sebagai team management dll bisa ratusan orang.

Neal Pirolo menulis bahwa ternyata bentuk dukungan dari para pengutus tidak hanya sekedar dukungan finansial. Secara lengkap bentuk dukungan yang diperlukan adalah sebagai berikut:
· Dukungan moral.
· Dukungan logistik
· Dukungan finansial.
· Dukungan doa.
· Dukungan komunikasi.
· Dukungan ketika pulang.
Semua dukungan di atas sangat penting karena sebagai seorang manusia normal, seorang misionaris membutuhkan dukungan dari komunitasnya mulai dari sebelum keberangkatannya ke ladang misi, selama di ladang misi, dan setelah kepulangannya dari ladang misi. Sebagai contoh, seorang misinaris akan menghadapi dua kali kejutan budaya. Pertama, di tempat ladang misi dan kedua, ketika dia kembali pulang ke rumahnya. Jadi pekerjaan misi tidak se-simple kelihatannya melainkan pekerjaan besar yang melibatkan banyak orang dalam tingkat komitmen yang tinggi.
2/3 orang yang belum pernah mendengar Injil diberitakan hidup di negara-negara yang paling miskin dan paling tertutup bagi para misionaris. Di sinilah kaum awam profesional sekuler (tent-maker) yang mendapat pelatihan misi mempunyai peran yang sangat penting bagi misi. Contoh TKW Filipina, TKW di Arab Saudi.

Kedua: Matius 24: 3 “Ketika Yesus duduk di atas Bukit Zaitun, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya untuk bercakap-cakap sendirian dengan Dia. Kata mereka: "Katakanlah kepada kami, bilamanakah itu akan terjadi dan apakah tanda kedatangan-Mu dan tanda kesudahan dunia?". Murid-murid Yesus menanyakan kapankah kiamat akan terjadi. Yesus menjawab dalam ayat 14: “Dan Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya." Jadi sebelum Injil diberitakan kepada semua suku bangsa, kiamat belumlah akan tiba. Kalau mau cepat kiamat gampang, semua orang kristiani se-dunia besok pagi menginjili 2-3 orang, sorenya mungkin Yesus datang.
Amanat Agung diberikan Yesus setelah kebangkitan-Nya, jadi ada suatu masa di antara Amanat Agung dan penggenapan Mat 24:14 yang disebut grace period. Inilah masa sekarang di mana anugerah keselamatan masih dicurahkan. Sampai kapan? Sampai semua suku di dunia mendengar pemberitaan Injil.

Megingat pentingnya misi PI, pertanyaan saya: sudah berapa banyak kita dan gereja kita sudah melakukan sesuatu bagi misi penginjilan? Istilah penginjilan sebenarnya berbeda dengan misi. Penginjilan biasanya dilakukan dalam sebuah budaya yang sama, sedangkan misi umumnya dilakukan secara lintas budaya. Misalnya orang Magelang dikirim ke Afrika. Tetapi, misi lintas budaya tidak harus pergi ke luar negeri. Misalnya di Jogya atau Jepara kan banyak orang asing?

Mengapa gereja yang misioner langka? Karena dianggap mahal dan memang hanya sedikit orang kristiani yang mempunyai visi akan PI. Sebenarnya misi tidak mahal. Contoh gereja di Ngresep. Gereja itu hanya mempunyai 150 anggota yang sebagian besar berstatus karyawan biasa. Kalau kita lihat pastorinya, wah, bergaya modern yaitu minimalis. Saking minimalisnya sampai tidak ada perabotnya!. Bahkan motor saja tidak punya. Tapi, mereka punya 7 cabang, mereka gereja yang misioner di mana 30% pendapatannya digunakan untuk misi. Setiap minggu setiap jemaat memberikan persembahan khusus untuk pekerjaan misi minimal Rp. 100,- ternyata dalam satu tahn terkumpul lebih dari Rp. 20 juta. Coba kita bandingkan dengan gereja kita.
Bila kita sudah menangkap visi Tuhan dan visi itu sudah menangkap diri kita, pasti kita akan menjadi orang kristen yang misioner. Misi berbeda dengan membagi sembako pada orang-orang di sekitar gereja. Membagi sembako itu pelayanan kasih atau diakonia.

Alasan sebenarnya hanya dua: belum tahu perintah Tuhan atau sengaja mengabaikannya.
Kemajuan dunia dewasa ini mau tidak mau mempunyai dampak pada kehidupan dan gaya hidup masyarakat. Tanpa sadar kehidupan kita diarahkan untuk menjadi semakin individualistis. Misalnya kalau kita perhatikan anak-anak kita sekarang sukanya apa? nonton TV dan main game komputer bukan? Kita dulu suka main sepakbola, main bareng-bareng bukan?. Kemajuan yang pada akhirnya membuat sebagian masyarakat menjadi semakin makmur dan individulistis (terutama dunia barat) ternyata mempunyai dampak pada kekristenan:

Tahun
1972
1982
1992
2000
Jumlah misionaris
non-barat
5.000
15.000
40.000
100.000

Tahun
1800
1900
1950
1980
2000
% jumlah umat
Kristiani non-barat
1%
9%
32%
50%
80%


Terjangkau
Belum terjangkau
Total
Jumlah suku bangsa
9.100
6.900
16.000
Jumlah misionaris
74%
26%
100%

Pikiran apa yang terbesit dalam benak saudara melihat data di atas?

Rick Warren dalam PDL secara tepat menyatakan bahwa manusia harus mempunyai tujuan hidup dan tujuan hidup itu tidak akan kita temukan dalam diri kita sendiri. Tujuan hidup itu harus kita temukan melalui Sang Pencipta karena Sang Penciptalah yang paling tahu, Ia menciptakan sesuatu dengan tujuan apa.
Ada lima tujuan Allah bagi hidup kita masing-masing yaitu:
Kita direncanakan bagi kesenangan Allah-Penyembahan.
Kita dibentuk untuk keluarga Allah-Persekutuan.
Kita diciptakan untuk menjadi serupa dengan Kristus-Pemuridan.
Kita dibentuk untuk melayani Allah-Pelayanan.
Kita diciptakan untuk sebuah misi-Penginjilan.

Saya menyimpulkan bahwa:
Penyembahan adalah gaya hidup kita dalam berhubungan dengan Allah secara vertikal, Tujuan 2 menjalin hubungan dengan saudara seiman, berkomunitas. T3 adalah ‘kawah candimuka’ di mana kita belajar teologi, doktrin dll. T4 kita praktek untuk belajar melayani saudara seiman dalam lingkungan gereja. T5 adalah praktek melakukan Amanat Agung (Mat 28:19-20). Bukankah Allah kita adalah Allah yang sangat sistematis? Urutan ini jangan dibalik-balik karena urutan ini merupakan tahapan yang harus dilalui kita semua.
Gereja pada umumnya jarang yang melaksanakan 5 tujuan di atas secara terpadu. Ada yang menekankan pemuridan, atau pelayanan, atau penyembahan, atau persekutuan tapi gereja yang misioner sangatlah langka. Sebuah survey menyatakan bahwa dari 100% penerimaan uang di gereja, 95,5% digunakan untuk keperluan intern, 4% untuk membuka cabang, dan 0.5% untuk misi. Apakah gambaran gereja yang Alkitabiah seperti ini?

Saya menutup renungan malam ini dengan sebuah kisah nyata yang diambil dari sebuah milis:

Sebuah Kisah Dari Afrika
Pada tahun 1921, dua pasang suami istri dari Stockholm (Swedia), menjawab
panggilan Allah untuk melayani misi penginjilan diAfrika. Kedua pasang suami istri ini menyerahkan hidupnya untuk mengabarkan Injil dalam suatu kebaktian pengutusan Injil. Mereka terbeban untuk melayani negara Belgian Kongo, yang sekarang bernama Zaire. Mereka adalah David dan Svea Flood, serta Joel dan Bertha Erickson.
Setelah tiba di Zaire, mereka melapor ke kantor Misi setempat. Lalu dengan menggunakan parang, mereka membuka jalan melalui hutan pedalaman yang dipenuhi nyamuk malaria. David dan Svea membawa anaknya David Jr. yang masih berumur 2 tahun. Dalam perjalanan, David Jr. terkena penyakit malaria.
Tiba di tengah hutan, mereka menemukan sebuah desa di pedalaman. Namun penduduk desa ini tidak mengijinkan mereka memasuki desanya.
Karena tidak menemukan desa lain, mereka akhirnya terpaksa tinggal di hutan dekat desa tersebut. Setelah beberapa bulan tinggal di tempat itu, Mereka menderita kesepian dan kekurangan gizi. Selain itu, mereka juga jarang mendapat kesempatan untuk berhubungan dengan penduduk desa.
Setelah enam bulan berlalu, keluarga Erickson memutuskan untuk kembali ke kantor misi. Namun keluarga Flood memilih untuk tetap tinggal, apalagi karena saat Itu Svea baru hamil dan sedang menderita malaria yang cukup buruk.
Selama beberapa bulan Svea mencoba bertahan melawan demamnya yang Semakin memburuk. Namun di tengah keadaan seperti itu ia masih menyediakan waktunya untuk melakukan bimbingan rohani kepada seorang anak kecil penduduk asli dari desa tersebut.
Dapat dikatakan anak kecil itu adalah satu-satunya hasil pelayanan Injil melalui keluarga Flood ini. Saat Svea melayaninya, anak kecil ini Hanya tersenyum kepadanya. Penyakit malaria yang diderita Svea semakin Memburuk sampai ia hanya bisa berbaring saja. Tapi bersyukur bayi perempuannya berhasil lahir dengan selamat tidak kurang suatu apa.
Namun Svea tidak mampu bertahan. Seminggu kemudian keadaannya sangat buruk dan menjelang kepergiannya, ia berbisik kepada David, "Berikan nama Aina pada anak kita," lalu ia meninggal.
David amat sangat terpukul dengan kematian istrinya. Ia membuat peti Mati buat Svea, lalu menguburkannya. Saat dia berdiri di samping kuburan, ia memandang pada anak laki-lakinya sambil mendengar tangis bayi Perempuannya dari dalam gubuk yang terbuat dari lumpur. Timbul kekecewaan yang sangat dalam di hatinya. Dengan emosi yang tidak terkontrol David berseru, "Tuhan, mengapa Kau ijinkan hal ini terjadi? Bukankah kami datang kemari untuk memberikan hidup kami dan melayani Engkau?! Istriku yang cantik dan pandai, sekarang telah tiada. Anak sulungku kini baru berumur 3 tahun dan Nyaris tidak terurus, apalagi si kecil yang baru lahir. Setahun lebih kami Ada di hutan ini dan kami hanya memenangkan seorang anak kecil yang bahkan mungkin belum cukup memahami berita Injil yang kami ceritakan. Kau telah mengecewakan aku, Tuhan. Betapa sia-sianya hidupku!"
Kemudian David kembali ke kantor misi Afrika. Saat itu David bertemu Lagi dengan keluarga Erickson. David berteriak dengan penuh kejengkelan:
"Saya akan kembali ke Swedia! Saya tidak mampu lagi mengurus anak ini. Saya ingin titipkan bayi perempuanku kepadamu." Kemudian David memberikan Aina kepada keluarga Erickson untuk dibesarkan. Sepanjang perjalanan ke Stockholm, David Flood berdiri di atas dek kapal. Ia merasa sangat kesal kepada Allah. Ia menceritakan kepada semua orang tentang pengalaman pahitnya, bahwa ia telah mengorbankan segalanya tetapi berakhir dengan kekecewaan. Ia yakin bahwa ia sudah berlaku setia tetapi Tuhan membalas hal itu dengan cara tidak mempedulikannya.
Setelah tiba di Stockholm, David Flood memutuskan untuk memulai usaha di bidang import. Ia mengingatkan semua orang untuk tidak menyebut nama Tuhan didepannya. Jika mereka melakukan itu, segera ia naik pitam dan marah. David akhirnya terjatuh pada kebiasaan minum-minuman keras.
Tidak lama setelah David Flood meninggalkan Afrika, pasangan suami-istri Erikson yang merawat Aina meninggal karena diracun oleh kepala suku dari daerah dimana mereka layani. Selanjutnya si kecil Aina diasuh oleh Arthur dan Anna Berg. Pada saat-saat sendirian si Aggie sering bermain dengan khayalan.
Ia sering membayangkan bahwa ia memiliki empat saudara laki-laki dan satu saudara perempuan, dan ia memberi nama kepada masing-masing saudara khayalannya.
Kadang-kadang ia menyediakan meja untuk bercakap-cakap dengan saudara khayalannya. Dalam khayalannya ia melihat bahwa saudara perempuannya selalu memandang dirinya. Keluarga Berg akhirnya kembali ke Amerika dan menetap di Minneapolis.
Setelah dewasa, Aggie berusaha mencari ayahnya tapi sia-sia. Aggie menikah dengan Dewey Hurst, yang kemudian menjadi presiden dari sekolah Alkitab Northwest Bible College. Sampai saat itu Aggie tidak mengetahui bahwa ayahnya telah menikah lagi dengan adik Svea, yang tidak mengasihi Allah dan telah mempunyai anak lima, empat putra dan satu putri (tepat seperti khayalan Aggie). Suatu ketika Sekolah Alkitab memberikan tiket pada Aggie dan suaminya untuk pergi ke Swedia. Ini merupakan kesempatan bagi Aggie untuk mencari ayahnya. Saat transit di London, Aggie dan suaminya berjalan kaki di dekat Royal Albert Hall.
Ditengah jalan mereka melihat ada suatu pertemuan penginjilan. Lalu mereka masuk dan mendengarkan seorang pengkotbah kulit hitam yang sedang bersaksi bahwa Tuhan sedang melakukan perkara besar di Zaire. Hati Aggie terperanjat.
Setelah selesai acara ia mendekati pengkotbah itu dan bertanya, "Pernahkah anda mengetahui pasangan penginjil yang bernama David dan Svea Flood?"
Pengkotbah kulit hitam ini menjawab, "Ya, Svea adalah orang yang membimbing saya kepada Tuhan waktu saya masih anak-anak.
Mereka memiliki bayi perempuan tetapi saya tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang." Aggie segera berseru: "Sayalah bayi perempuan itu! Saya adalah Aggie - Aina!" Mendengar seruan itu si Pengkotbah segera menggenggam tangan Aggie dan memeluk sambil menangis dengan sukacita.
Aggie tidak percaya bahwa orang ini adalah bocah yang dilayani ibunya. Ia bertumbuh menjadi seorang penginjil yang melayani bangsanya dan pekerjaan Tuhan berkembang pesat dengan 110.000 orang Kristen, 32 Pos penginjilan, beberapa sekolah Alkitab dan sebuah rumah sakit dengan 120 tempat tidur.
Esok harinya Aggie meneruskan perjalanan ke Stockholm dan berita telah tersebar luas bahwa mereka akan datang. Setibanya di hotel ke-empat saudara laki-lakinya telah menunggu mereka di sana dan akhirnya Aggie mengetahui bahwa ia benar-benar memiliki saudara lima orang. Ketika Aggie bertanya tentang kabar ayahnya, David Jr. menjadi marah. Ternyata semua saudaranya membenci ayahnya dan sudah bertahun-tahun tidak membicarakan ayahnya. Lalu Aggie bertanya: "Bagaimana dengan saudaraku perempuan?" Tak lama kemudian saudara perempuannya datang ke hotel itu dan memeluk Aggie dan berkata: "Sepanjang hidupku aku telah merindukanmu. Biasanya aku membuka peta dunia dan menaruh sebuah mobil mainan yang berjalan di atasnya, seolah-olah aku sedang mengendarai mobil itu untuk mencarimu kemana-mana." Saudara perempuannya itu juga telah menjauhi ayahnya, tetapi ia berjanji untuk membantu Aggie mencari ayahnya. Lalu mereka memasuki sebuah bangunan tidak terawat. Setelah mengetuk pintu datanglah seorang wanita dan mempersilahkan mereka masuk. Di dalam ruangan itu penuh dengan botol minuman, tapi di sudut ruangan nampak seorang terbaring di ranjang kecil, yaitu ayahnya yang dulunya seorang penginjil.
Ia berumur 73 tahun dan menderita diabetes, stroke dan katarak yang menutupi kedua matanya. Aggie jatuh disisinya dan menangis, "Ayah, aku adalah si kecil yang kau tinggalkan di Afrika." Sesaat orang tua itu menoleh dan memandangnya. Air mata membasahi matanya, lalu ia menjawab, "Aku tak pernah bermaksud membuangmu, aku hanya tidak mampu untuk mengasuhnya lagi."
Aggie menjawab, "Tidak apa-apa, Ayah. Tuhan telah memelihara aku". Tiba-tiba, wajah ayahnya menjadi gelap, "Tuhan tidak memeliharamu!" Ia mengamuk. "Ia telah menghancurkan seluruh keluarga kita! Ia membawa kita ke Afrika lalu meninggalkan kita. Tidak ada satupun hasil di sana. Semuanya sia-sia belaka!"
Aggie kemudian menceritakan pertemuannya dengan seorang pengkotbah kulit hitam dan bagaimana perkembangan penginjilan di Zaire. Penginjil itulah si anak kecil yang dahulu pernah dilayani oleh ayah dan ibunya. "Sekarang semua orang mengenal anak kecil, si pengkotbah itu. Dan kisahnya telah dimuat di semua surat kabar."
Saat itu Roh Kudus turun ke atas David Flood. Ia sadar dan tidak sanggup menahan air mata lalu bertobat.
Tak lama setelah pertemuan itu David Flood meninggal, tetapi Allah telah memulihkan semuanya, kepahitan hatinya dan kekecewaannya.

Sebagai penutup, dapatkah seseorang membaca Kisah 29:10?
Saudara, Kisah Para Rasul ditutup pada pasal 28. Dalam tanda kutip, pasal 29:1 adalah kisah Hudson Taylor, Don Richardson, Billy Graham dll. Ayat yang kesepuluh adalah kisah saudara dan saya. Kisah seperti apa yang akan tercatat disitu??


He must be greater, I must be less,
Hendra, 081108 at Magelang

Monday, May 5, 2008

Timeless Calling and Grace (2), Let's Unleash Our Masks

Matius 12:33 ‘Jikalau suatu pohon kamu katakan baik, maka baik pula buahnya; jikalau suatu pohon kamu katakan tidak baik, maka tidak baik pula buahnya. Sebab dari buahnya pohon itu dikenal’.

Hukum yang terutama: Markus 12: 30-31 ‘Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama daripada kedua hukum ini’.


Pada bagian pertama kita melihat betapa jujurnya Alkitab mencatat berbagai kelemahan manusia baik nabi, rasul maupun hamba Tuhan sepanjang masa. Memang dalam sejarah dunia tidak ada manusia yang sempurna dan ‘the real hero’ dalam Alkitab bukanlah Abraham, Samuel, Petrus ataupun Paulus melainkan hanya Allah saja. Boleh-boleh saja kita mengidolakan seorang hamba Tuhan, tetapi kekaguman itu harus disertai dengan kesadaran bahwa: ‘hamba Tuhan bukanlah superman’ dan selalu ada sisi-sisi kelemahan manusiawi yang harus dimaklumi dan dijadikan tanda awas bagi kita agar tidak diulangi.

Pohon vs Buah
Malam ini kita belajar dari perjalanan hidup Bob Pierce. Bob Pierce adalah pendiri World Vision, lembaga bantuan dan pembangunan Kristen terbesar yang melayani lebih dari 50 juta orang per tahun di lebih dari 100 negara di seluruh dunia. Rekan-rekannya berkata: ‘Ia adalah seorang yang tidak kenal lelah dalam memenangkan jiwa-jiwa’, ‘saya belum pernah bertemu dengan orang yang lebih ber-belas-kasihan dari dia’, ‘Ia benar-benar seorang Samaria Kristen yang secara harafiah menyerahkan nyawanya untuk orang-orang ‘kecil’ yang miskin di dunia’.
Di balik image yang ‘sempurna’ tsb, bagimana sebenarnya seorang Bob Pierce di mata keluarganya?. Pada kenyataannya dia mengabaikan keluarganya sendiri, sebagai contoh ketika seorang putrinya akan mencoba bunuh diri, dia menelpon ayahnya yang berada di Timur Jauh dan memintanya untuk segera pulang. ‘Saya hanya ingin merasakan tangan ayah memeluk saya’ kata anaknya. Bahkan istrinya juga memohon agar ia pulanh tapi Bob Pierce tidak menuruti permintaan keluarganya dan malah memesan tiket ke Vietnam. ‘Saya sudah menduga bahwa ia tidak akan pulang,’ kata anaknya. Beberapa tahun kemudian ia benar-benar berhasil bunuh diri. Hubungan Bob Pierce dengan istrinya dan anaknya yang lain sangat tegang dan mereka tidak saling berbicara bertahun-tahun dan pada usia 64 tahun, pada tahun terakhir hidupnya dia hidup terasing dari keluarganya. Semua kisah ini ditulis oleh putrinya yang bernama Marilee Pierce Dunker dalam sebuah buku yang berjudul ‘Man of Vision, Woman of Prayer’.

Contoh kedua adalah Ray Mossholder, seorang yang terkenal sebagai bapa dari pelayanan pernikahan Kristen. Bukunya yang berjudul ‘Pernikahan Plus’ menjadi best seller di mana-mana dan melalui pelayanannya melalui radio dan TV telah menyelamatkan lebih dari 11.000 pasangan dari perceraian. Bayangkan, 11.000 pasangan yang artinya: satu tahun ada 365 hari, bila 11.000/365= 30,14 Artinya bila sebuah perkawinan diselamatkan dari perceraian setiap hari tanpa putus sepanjang tahun, butuh lebih dari 30 tahun untuk menyamai ‘rekor’ Ray Mossholder.
Pelayanannya berakhir pada bulan Januari 2002 ketika ia menuntut cerai istri yang telah dinikahinya selama 40 tahun sekaligus mengumumkan rencananya untuk menikahi wanita lain. Pernyataan yang sangat menyedihkan ketika ia mengakui bahwa ‘ia munafik ketika berbicara tentang betapa indahnya pernikahan kami dulu. Apa yang saya ajarkan sebagai kebenaran, entah mengapa, tidak dapat saya terapkan dalam pernikahan kami’.
Ketika pertama saya membaca kisah-kisah di atas, terus terang saya merasa shock dan berpikir kok bisa ya?....kenapa bisa begitu?........apa yang keliru? Bukankah hal ini seakan-akan bertentangan dengan ucapan Kristus dalam Matius 12:33 yang menyatakan bahwa ‘dari buahnya pohon itu dikenal’, jadi buah ditentukan oleh buahnya. Buah mangga pasti berasal dari pohon mangga, buah jeruk pasti berasal dari pohon jeruk, simple sekali bukan?. Tetapi ketika kita melihat pada Bob Pierce dan Ray Mossholder kita menjadi heran, orang-orang ini besar, mempunyai buah yang sangat baik di luar, tetapi ternyata pohon hatinya dingin luar biasa. Saya merasakan (bagaimana dengan saudara?) di zaman posmo hari ini semakin manusia pandai untuk memakai topeng untuk menutupi hatinya yang asli. Kalau menurut saudara, mengapa orang memakai banyak topeng? Saya pikir paling tidak ada 3 hal: karena ia sukar menerima dirinya sendiri, ia tidak merasa aman bila dirinya yang asli terlihat orang lain, karena pengajaran yang tanpa sadar diturunkan turun-menurun dan social pressure misal tradisi untuk berbasa-basi mengakibatkan orang yang tidak berbasa-basi dianggap sombong.
Memang harus kita akui ada sebuah jurang yang dalam antara hati Tuhan dengan hati manusia, antara kehendak Tuhan dengan kehendak daging manusia. Lalu apakah berarti ayat di atas keliru? Tidak, karena pada dasarnya bagaimana pandainya kita menutupi hati kita yang asli dan menipu seribu atau sejuta manusia tapi sekali-kali tidak pernah mampu menipu Yesus. Amin?

Pengetahuan Cognitive vs Hati
Pada poin pertama kita melihat bagaimana orang kristen bisa hidup dengan tidak konsisten dan memakai berbagai macam topeng yang berbeda untuk situasi yang berbeda. Pertanyaan yang kita renungkan dalam poin yang kedua adalah bagaimana sebenarnya kehendak Tuhan:
Hukum yang terutama: Markus 12: 30-31. Ayat ini sungguh dahsyat karena merupakan tuntutan sekaligus tuntunan Tuhan yang sangat jelas:
Mengasihi Allah dengan segenap keberadaan diri kita.
Segenap keberadaan diri meliputi Rasio, Hati dan Kemauan. Tuhan ingin agar setiap orang kristen dapat mengintegrasikan dan mengaplikasikan tiga hal ini dalam hidupnya. Kita akan melihat hal ini nanti.
Mengasihi sesama seperti diri sendiri.
Hal ini terdengar mudah tapi sebenarnya begitu kompleks. Sebelum mengasihi orang lain kita harus lebih dahulu dapat menerima diri sendiri dan mengasihinya. Kita akan membicarakan hal ini dalam poin terakhir nanti.

Kata kasih begitu famaliar, begitu mudah untuk diucapkan (bagi yang pacaran) dan begitu mudah pula untuk diingkari (kalau ingin putus). Ada yang namanya kasih Eros, Philia dan Agape. Secara gampang Eros adalah nafsu, Philia adalah kasih seorang ibu pada anaknya dan Agape adalah kasih Tuhan kepada umat-Nya. Eros dan Philia adalah kasih yang bersyarat (practical love) sedangkan Agape adalah kasih yang tidak bersyarat (essensial love). Dapatkah kita mengasihi Allah dan sesama dengan kasih yang tak bersyarat?
Dalam bukunya ‘Improving Your Serve’, Charles Swindoll menceritakan pengalamannya bertemu dengan seorang mahasiswa seminari bernama Aaron (bukan nama sebenarnya). Aaron menceritakan sebuah pengalaman yang fantastis dimana Tuhan membentuknya dalam kesulitan. Pada suatu hari di musim semi dia berdoa agar Tuhan membuka kesempatan baginya untuk dapat bekerja sebagai staf di sebuah gereja atau organisasi kristen. Hari berganti, minggu berganti sampai musim panas tiba. Aaron menghadapi kenyataan bahwa ia memerlukan pekerjaan apapun. Ia memeriksa lowongan kerja dan satu-satunya pekerjaan yang ia dapatkan adalah sebagai supir bus di kota Chicago.
Sekelompok anak nakal melihat supir muda ini dan mulai memanfaatkannya. Beberapa hari berturut-turut mereka naik bis tanpa membeli karcis dan selama perjalanan mengganggu dan mengejek Aaron dan penumpang yang lain. Suatu hari Aaron merasa tidak tahan lagi dan ketika dia melihat seorang polisi maka ia berhenti dan melaporkan kejadian tersebut. Polisi tersebut memerintahkan mereka untuk membayar atau turun dari bis. Mereka membayar........hanya sayangnya, polisi tsb turun dan bis dan mereka tidak. Setelah beberapa belokan.....mereka serentak menyerang Aaron. Ketika siuman, aaron mendapati bajunya penuh darah, dua giginya rontok, mukanya bengkak dan semua uangnya hilang. Malam itu Aaron terbaring terlentang dan rasa marah, bingung dan kecewa. Ia melewati malam yang panjang bergumul dengan Tuhan. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Di manakah Tuhan? Dengan tulus saya mau melayani Dia dimanapun dan apapun pekerjaannya........dan inikah balasan yang saya dapat?
Hari senin pagi Aaron memutuskan untuk menuntut penjahat-penjahat tsb. Dengan bantuan polisi yang telah melihat mereka dan beberapa orang yang bersedia menjadi saksi maka penjahat-penjahat kejam tsb digiring ke penjara lokal. Dalam beberapa hari sidang dilaksanakan. Di dalam ruang pengadilan gerombolan penjahat tsb melotot penuh kemarahan pada Aaron, tiba-tiba saja Aaron diserang oleh suatu pemikiran baru. Bukan kepahitan tapi rasa kasih. Kuasa Roh Kudus membuatnya tidak lagi membenci melainkan mengasihani mereka. Mereka perlu pertolongan, bukan kebencian tapi apa yang harus saya lakukan atau katakan?
Setelah dakwaan selesai dibacakan, tiba-tiba Aaron mengejutkan semua orang di ruang sidang. Ia berdiri dan mohon izin untuk berbicara. ‘Yang mulia, tolong hitung berapa hari hukuman yang harus mereka jalankan-dan saya mohon engkau membiarkan saya masuk penjara untuk menggantikan mereka’.
Sang hakim terperanjat dan tidak tahu harus berbuat apa, demikian juga dua orang pengacara yang ada terbengong-bengong. Aaron memandang kepada gerombolan penjahat itu (yang matanya melotot dan mulutnya ternganga), ia tersenyum dan berkata dengan tenang: ‘itu karena saya mengampuni kalian’.
Sang hakim setelah menenangkan dirinya berkata dengan tegas: ‘anak muda, engkau tidak beres. Hal seperti ini tidak pernah terjadi’. Aaron menjawab dengan tenang: ‘Oh, ya, pernah, yang mulia.......ya, pernah. Hal itu terjadi kira-kira 20 abad yang lalu ketika seorang manusia dari Galilea membayar hukuman yang seharusnya ditanggung oleh umat manusia’. Selanjutnya selama 3-4 menit ia menjelaskan bagaiman Yesus mati bagi kita dan membuktikan cinta dan pengampunan-Nya.
Permohonan Aaron tidak dikabulkan, tetapi ia mengunjungi penjahat-penjahat tsb di penjara dan membawa sebagian besar dari mereka kepada Kristus.

Saudara, kasih yang ditunjukkan oleh Aaron adalah kasih yang tak bersyarat, kasih yang memberi dengan mengorbankan diri. Ketika menulis ini, saya melakukan internalisasi dan mendapati betapa kasih saya sungguh bersyarat dalam sebagian besar hubungan saya dengan sesama dan Tuhan. Ide kasih tak bersyarat terdengar mulia tapi jujur saya harus mengakui justru dari sepanjang hidup saya, orang yang paling sering saya merasa marah, jangkel sampai ada waktu-waktu tertentu rasanya sudah tidak tahan lagi, orang itu adalah.......seorang wanita dimana 14 tahun yang lalu saya bersumpah dihadapan Tuhan untuk mencintainya dalam suka dan duka. Saya sudah menjadi orang kristen hampir 20 tahun dan Yesus tidak banyak merubah karakter saya. Jujur, dalam 2 tahun terakhir ini saya bergumul dengan Tuhan karena ada kekecewaan dalam hidup saya seperti yang dialami oleh Aaron, padahal justru 2 tahun terakhir ini saya serius belajar teologi. Apa yang salah sehingga orang yang mengerti teologi, pohon dan buahnya tidak sinkron?. Melalui proses pergumulan yang panjang dan melelahkan Tuhan mulai singkapkan melalui sebuah buku yang ditulis oleh Rev. Peter Scazzero ‘Gereja Yang Sehat Secara Emosional’. Dia menulis bahwa kesehatan emosional dan kesehatan spiritual tidak terpisahkan sehingga tidak mungkin kita menjadi matang secara rohani, tanpa matang secara emosional.
Maksudnya apa?
Manusia yang dicipta dalam gambar Allah mempunyai berbagai aspek seperti fisik, sosial, emosional, intelektual dan spiritual. Untuk menjadi seorang yang matang secara spiritual haruslah kita menjadi matang secara emosional dan intelektual, tidak bisa hanya salah satunya saja. Hal ini membawa implikasi seseorang yang mempunyai pengetahuan teologi secara mendalam belum tentu matang secara emosional dan berubah karakternya.

Dunia Eksterior vs Interior
Rev. Peter Scazzero menulis 6 prinsip yang perlu digumuli agar kita bertumbuh menjadi sehat secara rohani dengan mengintegrasikan dan mengaplikasikan rasio dan emosi. Karena keterbatasan waktu saya membagikan 2 prinsip:

Melihat ke bawah permukaan.
Dunia eksterior adalah kehidupan kita ber-relasi dengan orang-orang di sekitar kita, sedang dunia interior adalah apa yang terjadi di dalam diri kita. Bila diibaratkan gunung es maka dunia eksterior hanyalah sebagian kecil sedangkan dunia interior yang tidak kelihatan sangatlah besar. Ingat bahwa Titanic-pun tenggelam setelah menabrak bagian gunung es yang tidak kelihatan itu. Kalau diilustrasikan dengan kue lapis maka saya yang saudara lihat sekarang ini adalah lapis pertama (eksternal). Jadi lapis pertama adalah apa yang saya tampilkan di luar, yang saya ingin saudara lihat pada diri saya. Apakah saudara pernah kenal dengan orang yang di luar lembut sekali tapi ternyata di rumah menjadi macan? Nah, itulah lapis kedua yang merupakan sebagian besar diri kita yang asli. Siapa yang bisa lihat? Biasanya orang rumah bukan? istri, anak, mertua, pembantu, supir. Lapis ketiga adalah dosa atau kelemahan yang sangat memalukan sehingga istripun tidak boleh tahu. Terus siapa yang tahu? Ya cuma diri sendiri, Tuhan dan setan. Lapis keempat kitapun kita tidak tahu atau mati-matian berusaha melupakannya sehingga hanya Tuhan dan setan yang tahu. Sebagai contoh trauma dan luka batin sejak kecil yang tidak disadari. Contoh YC
Saudara, kehidupan rumah tangga kira-kira berada pada lapis keberapa?
Pada suatu malam yang bersalju ada sepasang pastor dan suster yang tersesat dan kemalaman di jalan. Di tengah kebingungan mereka melihat sekilas cahaya dari sebuah motel. Akhirnya mereka memutuskan untuk bermalam di motel tsb tetapi malang ternyata hanya tersisa sebuah kamar dengan sebuah tempat tidur. Dengan jiwa besar pastor berkata: suster, silahkan tidur di ranjang, saya akan tidur di kantong tidur. Begitu merebahkan badannya sang suster berkata: pastor rasanya dingin sekali. Dengan penuh kasih pastor bangkit dan menyelimuti suster. Begitu pastor membalikkan badan, suster berkata: pastor rasanya masih dingin. Kembali pastor mengambil sebuah selimut dan menyelimuti suster. Kali ini sebelum pastor membalikkan badan suster memanggil: pastor...dengan menghela nafas pastor berkata: masih dingin kan? Sang suster tidak menjawab hanya mengangguk. Pastor berkata: suster, tempat ini jauh dari mana-mana dan tidak ada yang kita kenal dan mengenal kita. Maukah jika kita berlaku seperti suami-istri malam ini saja? Suster menjawab: ya.....kalau untuk malam ini saja saya setuju. Pastor berkata dengan nada marah: elu ya sekali lagi ngomong dingin, ambil sendiri tuh selimut. Bawel amat sih, lu nggak tau gua capek, besok masih banyak kerjaan. Saudara, inilah realita kehidupan suami-istri bukan? Kenapa kita bisa kasar pada pasangan kita? Kan orang sendiri sehingga kita merasa aman untuk menunjukkan diri kita yang asli. Inilah lapis kedua dari kue lapis hati kita.
2. Hancurkan kekuatan dari masa lalu.
Dalam dunia yang sudah jatuh dalam dosa, setiap anak bertumbuh menjadi dewasa pasti mempunyai ‘riwayat’ luka batin. Luka batin yang tersimpan di bawah permukaan sering dilupakan karena dianggap setelah menerima Kristus hal ini akan beres dengan sendirinya. Tidak, tidak, saudara, the old nature is still inside. Justru kita harus mengenali dan meng-counternya dengan Firman Tuhan hari demi hari sehingga natur berdosa itu menjadi semakin lemah dan RK di dalam semakin kuat.
Biasanya untuk melihat ‘kekotoran’ diri adalah sebuah hal yang sangat sulit untuk dilakukan karena siapa sih yang suka mengorek dan melihat kekotoran diri sendiri?. Lalu siapa yang sanggup membersihkan kotoran dalam diri kita? C.S Lewis menggambarkan hal ini dengan indahnya dalam bukunya The Chronicles of Narnia: Eustace berubah menjadi seekor naga karena egois, keras kepala dan tidak percaya. Dia ingin berubah menjadi manusia lagi tapi tidak bisa. Akhirnya seekor singa (yang menggambarkan Yesus) membawanya ke mata air untuk membasuh diri, tetapi karena ia adalah seekor naga, ia tidak dapat melakukannya. Singa itu menyuruhnya untuk melepaskan kulitnya. Dengan kesakitan Eustace berhasil melepas satu lapis kulitnya tetapi segera ia menyadari tenyata masih ada lapisan kulit yang tersisa di dalam tubuhnya. Kembali ia berjuang melepaskan kulitnya dengan penuh kesakitan sampai akhirnya ia menyerah.
Singa itu kemudian berkata: ‘engkau harus mengizinkan aku untuk melepaskannya’. Eustace berkata: ‘aku takut terhadap cakarnya, tapi saya benar-benar putus asa, jadi saya membiarkan dia melakukannya’. Bukaan pertama yang dikerjakannya begitu dalam, begitu sakitnya, saya pikir cakarnya telah menembus jantung saya. Akhirnya kulit itu berhasil dilepaskan, kulit yang paling tebal dan gelap. Kemudian ia memegang dan melempar saya ke dalam air. Rasanya sakit sekali, tetapi hanya sebentar, setelah itu rasanya nikmat sekali dan saya mendapati diri saya kembali menjadi manusia.

Malam ini saya mengajak kita semua untuk merenungkan hidup kita. Adakah kita hidup dengan memakai topeng yang berlapis-lapis? siapakah manusia yang paling sering kita marahi, jengkeli, omeli? Apakah dia adalah istrimu? Izinkan saya berbagi dengan saudara: ketika saya merasa marah pada istri, cepat-cepat kaitkan itu pada Yesus. Maksudnya kami ini yang sama-sama manusia berdosa saja sulit untuk saling menerima kekurangan. Yesus yang tidak berdosa mau mencintai saya yang berdosa, yang kotor dan najis tanpa syarat, masakan saya tidak mau belajar untuk menerima kekurangan istri dan belajar untuk mencintainya tanpa syarat. Jelas ini adalah hal yang sangat sulit tapi inilah panggilan Tuhan pada kita, pria-pria pemimpin dalam rumah tangga untuk melayani istri kita terlebih dahulu. Untuk merubah lapisan kedua, ketiga dan keempat bukan masalah mudah dan hanya melalui pergumulan yang berat bersama Roh Kudus secara terus menerus yang dapat merubah karakter kita. Ini bukan sesuatu yang instan dan cepat. Ketika karakter kita sudah mengkristal dan membatu tidak ada jalan lain kecuali menggantinya dengan pohon yang baru yang dimulai dari benih, tumbuh kecil, terus disirami. Tidak bisa hari ini ditanam besok sudah besar. Mari kita berdoa.
Sola Gracia, ‘Pelayanan saya adalah perubahan dalam hidup yang dapat disaksikan orang lain, perubahan hidup itulah yang saya gunakan untuk melayani orang lain’ (Peter Scazzero)
On His Grace, Hendra, 300408
Bibliografi:
Charles Swindoll, Improving Your Serve
Peter Scazzero, Gereja yang Sehat Secara Emosional
Yohan Candawasa, kotbah
Buletin Parakaleo, Dep. Psikologi STTRII

Saturday, April 5, 2008

Timeless Calling and Grace

Hakim-hakim 17: 6; 21:25 ‘Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri”

Satu hal yang selalu menjadi kegentaran saya dalam menyampaikan renungan adalah: jangan sampai saya menyampaikan Firman Tuhan secara keliru karena jika keliru dan diterima saudara sebagai kebenaran, artinya saya adalah penyesat Firman dan itu sangat mengerikan, dosa saya dobel karena itu mari kita berdoa agar Roh Kudus sendiri yang mengiluminasikan kebenaran Firman Tuhan dalam hati kita masing-masing.

Sebagai seorang pengusaha kecil-kecilan, kadang saya mendapati bahwa beberapa karyawan suka bekerja sesuka hatinya sendiri misalnya berhenti bekerja ketika tidak ada yang mengawasi dan buru-buru bekerja ketika saya datang. Apakah saudara-saudara mempunyai pengalaman yang sama? Kalau tidak, coba saudara tes. Saudara bilang mau pergi ke luar kota tapi diam-diam menyelinap kembali dan memperhatikan mereka. Kita akan mendapati bahwa manusia sulit untuk mematuhi peraturan dan suka untuk bertindak menurut kemauannya sendiri.

Saudara-saudara, kalau kita melihat sejarah bangsa Israel maka kita mendapati bahwa dalam kitab Keluaran Musa memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir menuju tanah perjanjian. Kemudian dalam kitab Yosua kita melihat Yosua meneruskan kepemimpinan Musa dan memimpin bangsa Israel berperang dan merebut tanah Kanaan. Maka kitab Hakim-hakim mencatat kehidupan bangsa Israel di tanah perjanjian, tanah Kanaan. Pasal 2 mengatakan setelah kematian Yosua maka bangsa Israel mulai berpaling dari Tuhan dan menyembah Baal. Sebagai akibatnya Tuhan murka dan menyerahkan bangsa Israel ke dalam penjajahan bangsa kafir. Dalam penderitaan, mereka berteriak mohon pertolongan Tuhan dan Tuhan membangkitkan seorang hakim untuk memimpin bangsa Israel berperang serta memberikan kemenangan. Bangsa Israel berbuat baik sampai hakim tersebut mati, kemudian mereka kembali lagi pada ketidaksetiaan. Jadi setelah satu angkatan berlalu, muncul generasi baru dan mengulangi kesalahan yang sama dengan menyembah berhala. Akibatnya selama jaman hakim-hakim kita melihat suatu pola yang sama yaitu: menyembah berhala, dijajah, bertobat, pertolongan Tuhan datang melalui para hakim, generasi lama berganti generasi baru dan pola yang sama berulang kembali sehingga hukuman Tuhan tidak habis-habisnya menimpa Israel. Nah, setelah hakim terakhir yaitu Samson mati, Hak 17:6 dan ditegaskan lagi pada pasal dan ayat terakhir (21:25) bahwa orang Israel berbuat menurut apa yang dianggapnya baik oleh dirinya masing-masing. Ketika sebuah ayat tercatat dalam Alkitab dan ayat tsb diulangi lagi, maka kita tahu ini adalah suatu hal yang ditekankan oleh penulis. Perbuatan apakah yang dilakukan oleh bangsa Israel?
Pasal 17 mencatat bagaimana Mikha (suku Efraim) mencuri uang ibunya dan men-tahbiskan anaknya menjadi imam padahal jelas hanya suku Lewi-lah yang boleh menjadi imam. Pasal 18 menulis bagaimana suku Dan merebut/merampok Mikha. Pasal 19 mencatat perbuatan a moral yang dilakukan sekelompok orang dari suku Benyamin sehingga akhirnya terjadi perang saudara antara suku Benyamin yang dikeroyok orang Israel lainnya. Pasal 20 mencatat perang yang dahsyat luar biasa, 25.000 orang suku Benyamin dibunuh oleh bangsa Israel, setelah reda amarahnya ternyata hanya tersisa 600 pria tanpa seorangpun wanita dari suku Benyamin. Saudara, suku Benyamin terancam punah karena sebelum perang suku-suku Israel lainnya telah bersumpah untuk tidak menikahkan wanita-wanita mereka dengan pria-pria dari suku Benyamin. Bagaimana jalan keluarnya? Pasal 21: mereka menyuruh pria Benyamin untuk menculik perempuan Silo dan menjadikannya istri mereka. Begitu rusaknya moral bangsa Israel sehingga kitab hakim-hakim diakhiri dengan perkataan: setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri.
Sekarang menurut saudara adakah kemiripan apa yang terjadi dalam jaman hakim-hakim dengan jaman kita hari ini. Bangsa Israel dikatakan hidup menurut apa yang benar menurut pandangannya sendiri artinya hukum dan perintah Allah Yahweh tidak diperdulikan lagi sehingga agama hanyalah menjadi suatu tradisi atau bahkan manusia memperalat agama untuk mendapatkan sesuatu. Chuck Colson yang melakukan pelayanan di penjara-penjara mengatakan Christianity is up, but morality is down. Sebuah survey mendapati bahwa di daerah-daerah kantong kristen di AS ternyata tingkat perceraian orang di luar kristen adalah 36% dan di antara orang kristen adalah 35%. 6 tahun yang lalu George Barna dalam bukunya ‘A Fish Out of Water’ sudah memperingatkan bahwa Amerika sedang menuju suatu jaman anarki moral dan rohani, di mana manusia akan kebal (tidak perduli) terhadap hukum, peraturan, nilai-nilai keluarga dan ajaran gereja, melainkan mereka akan melakukan apa yang mereka inginkan, kapanpun mereka menginginkannya, demi alasan apapun yang mereka inginkan, telepas dari nilai-nilai yang berlaku (1). Kompas, 27-03-2008, hal 11 menulis seorang remaja Jepang berusia 18 th tiba-tiba mendorong seseorang yang sedang menunggu kereta api sampai mati karena terlindas kereta. Ketika ditanya polisi ia menjawab dengan enteng: ‘jika saya telah membunuh seseorang, ya silahkan tahan saya karena saya tak perduli siapa yang saya bunuh’. Saudara, kisah nyata seperti ini dapat dengan mudah ditambahkan kalo kita mau sedikit mencermati koran. Bukankah ada kemiripan antara hari ini dengan jaman Hakim-hakim yang ditulis kira-kira 3.000 tahun yang lalu?.
Rakyat Kacau, Pemimpin Ngaco
Saudara, kita kembali ke hakim-hakim: Di tengah kemerosotan moral bangsa Israel, celakanya para imam, para hamba Tuhan yang seharusnya berteriak melawan penyelewengan-penyelewengan umat justru hidup setali tiga uang. Eli adalah imam besar dan kedua anaknya (Hofni dan Pinehas) adalah imam-imam namun tragisnya mereka justru memakai jabatannya sebagai sarana untuk berbuat dosa.

1 Samuel 2: 12-13a ‘Adapun anak-anak lelaki Eli adalah orang-orang dursila; mereka tidak mengindahkan TUHAN, ataupun batas hak para imam terhadap bangsa itu’.
Dosa pertama: Hofni dan Pinehas adalah pencuri. Mereka mengkorupsi korban bakaran kepada Tuhan dengan mengambilnya sebagian untuk mereka sendiri.
1 Samuel 2: 22-24 ‘Eli telah sangat tua. Apabila didengarnya segala sesuatu yang dilakukan anak-anaknya terhadap semua orang Israel dan bahwa mereka itu tidur dengan perempuan-perempuan yang melayani di depan pintu Kemah Pertemuan, berkatalah ia kepada mereka: "Mengapa kamu melakukan hal-hal yang begitu, sehingga kudengar dari segenap bangsa ini tentang perbuatan-perbuatanmu yang jahat itu? Janganlah begitu, anak-anakku. Bukan kabar baik yang kudengar itu bahwa kamu menyebabkan umat TUHAN melakukan pelanggaran’.
Dosa kedua: Menurut hukum dalam Ul 21: 18-21 dosa Hofni dan Pinehas seharusnya dihukum rajam sampai mati, tetapi Eli hanya menegur mereka saja.
Dosa ketiga: Eli membiarkan konsep ibadah Baal berlaku di bait Suci. Dalam agama Baal dikenal adanya pelacur bakti yaitu para wanita dan pria yang ditempatkan di kuil dan disediakan untuk melayani kebutuhan biologis jemaatnya. Di sini kita melihat justru Hofni dan Pinehas yang berjinah dengan para pelacur itu. (2)
1 Samuel 2: 29 ‘Mengapa engkau memandang dengan loba kepada korban sembelihan-Ku dan korban sajian-Ku, yang telah Kuperintahkan, dan mengapa engkau menghormati anak-anakmu lebih dari pada-Ku, sambil kamu menggemukkan dirimu dengan bagian yang terbaik dari setiap korban sajian umat-Ku Israel?’.
Dosa keempat: dalam ayat 12 dan 13 di atas dikatakan yang mencuri korban bakaran adalah Hofni dan Pinehas, tetapi rupanya hal ini diketahui oleh Eli dan dimakan olehnya sampai dirinya gemuk. Juga dikatakan Eli menghormati anaknya lebih dari Tuhan sendiri.

Seperti Apa Para Pemimpinnya, Seperti Itu Gerejanya.
Peter Scazzero menulis dalam bukunya “Gereja Yang Sehat Secara Emosional’ bahwa seperti apa para pemimpinnya, seperti itu Gerejanya artinya pemimpin mempunyai peran yang sangat penting dalam pembentukan kehidupan jemaat secara menyeluruh termasuk world-view dan karakter. (3)
Beberapa tahun yang lalu ada sebuah percakapan dua orang ibu-ibu di ruang tunggu seorang dokter:
‘Sus, jaman sekarang kalo pergi ke gereja jangan pakai perhiasan lho’
‘Iya benar, kan sekarang memang banyak rampok dan jambret’
‘Bukan itu maksud saya, minggu lalu di gereja pendetanya kotbah untuk mempersembahkan harta kita buat Tuhan. Lha kok saya merasa kaya dihipnotis, ndak sadar lalu kalung, gelang semua tak copot, tak masukkan ke kantong kolekte. Pulang dari gereja baru saya rasane gelo banget’

Saudara, Dave Hendrick, seorang dosen dari Dallas Teological seminary kemana-mana selalu mengantongi sebuah buku kecil yang berwarna hitam. Isinya lebih dari 100 nama-nama mahasiswa seminary, hamba-hamba Tuhan, gembala-gembala yang jatuh hanya dalam dosa seksual. Tujuannya adalah mengingatkan diri sendiri dan para mahasiswanya agar ‘jangan sampai namamu masuk dalam bukuku’.

Seakan belum cukup, ada banyak puluhan contoh-contoh yang lain tapi saya angkat beberapa saja:
James Baker, Marvin Gorman dan Jimmy Swaggart. 1986, Jimmy Swagart mengekspose penyelewengan James Baker dan Marvin Gorman. Sebagai balasan Gorman menyewa detektif untuk memfilmkan bagaimana Swaggart mengunjungi tempat prostitusi. Seakan-akan Swaggart menyesal dan bertobat tapi lima tahun kemudian dia ditangkap polisi ketika bersama seorang pelacur. (4)
Pdt. ‘B’ yang rumahnya berharga $10 jt, th 2006 meminta donasi untuk membeli pesawat jet seharga $ 36 juta, pada 1989 menubuatkan kedatangan Kristus dan kematian Fidel Castro; 1995 menubuatkan kehancuran komunitas gay Amerika; 2000 menubuatkan pergantian Paus yang akan berasal dari Italia pada 2002. Menubuatkan th 2007 lumpur Lapindo akan teratasi dan Indonesia akan mengalami transformasi di mulai dari Surabaya. Kabar terakhir yang saya baca dari milis, saat ini dia sedang dituntut oleh seorang anak buahnya yang berperan sebagai orang sakit yang disembuhkan dalam KKR-nya dan sedang diselidiki oleh kongres AS yang mempertanyakan pertanggung-jawabannya atas uang sumbangan sebesar $ 89 juta dalam satu tahun saja.
Seorang penginjil pernah dua kali menubuatkan kematian istrinya (yang kedua malah taruhan 100jt); mengadakan perkawinan ‘dalam Roh’ antara anaknya perempuan yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak dengan seorang pendeta sukses yang juga sudah berkeluarga dan punya anak. Tahun lalu ia mengalami kecelakaan ketika mengendarai mobil Mercy-nya sehingga menantunya meninggal. Yang menarik dalam minggu yang sama muncul pemberitaan kasus anaknya yang terlibat penggelapan dana 100M. Hal ini menyebabkan rumah mewah, beberapa sertifikat tanah, bangunan, RK, mobil mewahnya disita. (5)

Adakah Jalan Keluar Dari Tuhan?
Di tengah krisis multi dimensi yang melanda bangsa Israel masihkah ada harapan yang tersisa?
1 Samuel 3: 1-4 ‘Samuel yang muda itu menjadi pelayan TUHAN di bawah pengawasan Eli. Pada masa itu firman TUHAN jarang; penglihatan-penglihatanpun tidak sering. Pada suatu hari Eli, yang matanya mulai kabur dan tidak dapat melihat dengan baik, sedang berbaring di tempat tidurnya. Lampu rumah Allah belum lagi padam. Samuel telah tidur di dalam bait suci TUHAN, tempat tabut Allah. Lalu TUHAN memanggil: "Samuel! Samuel!", dan ia menjawab: "Ya, bapa.’

Ketika imam Eli hatinya sudah membatu dan tidak mau bertobat, Tuhan membangkitkan seorang anak kecil yang bernama Samuel untuk menjadi nabi menggantikan Eli. Tuhan bukan seperti seorang kakek reot yang kebingungan menghadapi pemberontakan anak-anak-Nya. Dia adalah Allah yang berdaulat mutlak dan tahu kebutuhan anak-anak-Nya. (6)

Saudara-saudara yang saya kasihi, memang saat ini kita hidup dalam jaman yang ‘up-side down’ dimana kebenaran dikatakan salah dan kesalahan dikatakan benar. Di tengah dunia yang seperti inilah kita dipanggil untuk menjadi terang dan garam dunia. Ketika cukup banyak hamba Tuhan telah menyeleweng dari kebenaran yang sejati, ijikan saya bertanya apakah kita mau berkomitmen untuk melayani Tuhan dengan sepenuh hati?, maukah kita menjadi Samuel, Samuel jaman ini? Mari kita tundukkan kepala dan merenungkan panggilan Tuhan kepada kita semua sesuai dengan profesi masing-masing.

Suara Tuhan yang lembut ketika Ia memanggil Samuel, Samuel 3.000 tahun yang lalu malam ini masih terdengar bagi saudara dan saya. Suara yang sama, yang menyerahkan nyawa-Nya di Kalvari 2.000 tahun yang lalu, suara yang sama, yang dipuncak penderitaan-Nya berteriak Eli, Eli, lama sabakhtani? Suara itu rindu agar kita memperbaharui komitmen kita kepada-Nya malam ini. Berapapun besarnya kesalahan kita, dosa itu seharga tiap tetes darah Yesus yang dicurahkan di Kayu Salib. Mari kita berdoa.

Hendra, 280308
Bibliografi:
George Barna, A Fish Out of Water
Samin H. Sitohang, Kasus-kasus dalam Perjanjian Lama
Peter Scazzero. Gereja Yang Sehat Secara Emosional
Christian Evangelist Scandals, Wikipedia
Nathanael B.S., Gereja Undercover
Benny Solichin, Application of the Message
Denis Green, Pengenalan Perjanjian Lama
Andrew E. Hill & John H. Walton, Survey Perjanjian Lama
Tafsiran Alkitab Masa Kini 1

Tuesday, January 15, 2008

‘God Will Make a Way’

God Will Make a Way, Will Us Block It?

April 2006 adalah pertama kali saya mendengar dua buah lagu yang sangat menyentuh hati sehingga acap kali saya menangis bila memutar dan meresapi lagu tersebut. Perkenalan dengan lagu tersebut sebenarnya adalah suatu kebetulan belaka karena lagu secara otomatis dimainkan ketika saya membuka CD interaktif SAAT yang saya dapat ketika mengikuti SAAT Preaching Coference. Karena begitu terpikatnya maka saya mencari informasi tentang lagu tersebut. Lagu pertama adalah ‘People Need the Lord’ yang juga pernah dinyanyikan oleh Ev. Ndaru pada sebuah acara GRII, sedangkan lagu kedua hanya berupa instrumental belaka yang berjudul ‘God Will Make a Way’.
Hari berganti dan bulan berganti, saya sudah melupakan lagu tersebut sampai suatu hari di akhir Desember 2007 atau satu setengah tahun kemudian barulah saya menemukan lagu ‘God Will Make a Way’ versi jazz yang dinyanyikan oleh Margie Segers. Penemuan ini berlanjut pada bulan berikutnya ketika saya mencoba mencari lagu tsb di internet, ternyata lagu ini di compose oleh Don Moen, seorang penyanyi yang saya sudah beberapa kali saya dengar tapi saya hindari karena ‘rasanya terlalu rame musiknya’. Akhirnya minggu lalu saya membeli 2 CD-nya “Thank You Lord” dan “The Best of Don Moen”. Saya dengar-dengarkan dan teliti musik dan syairnya dan saya harus jujur memang beberapa syair lagunya bisa dipertanyakan secara doktrinal, tetapi banyak juga yang OK bahkan dia juga menyertakan beberapa lagu hymne dengan aransemen modern yang menurut saya sangat bagus dan tidak menghilangkan nilai ke-agungannya. Secara keseluruhan, dua buah CD tsb bagus (dengan perkecualian beberapa lagu).

Saya membaca kisah di balik penulisan lagu ‘God Will Make a Way’ sbb:
Suatu sore Don Moen menerima telepon yang mengabarkan bahwa keluarga iparnya mengalami kecelakaan yang sangat mengerikan: Craig dan Susan bersama empat anaknya berkendara dari Texas ke Colorado ketika van mereka ditabrak oleh 18-wheeler truck!!. Craig dan Susan menemukan anak-anak mereka berdasar jeritan mereka, seorang di selokan, seorang di sebuah tempat yang basah karena salju yang meleleh dan seorang yang mendarat di tiang telepon. Ketiga anak tersebut dalam keadaan luka parah, tetapi Craig, seorang medical doctor tidak dapat berbuat apa-apa ketika menemukan anak ke-empat, Jeremy yang terbaring pada sebuah pagar dengan leher yang patah.

Ketika menerima kabar tersebut Don berkata: ‘duniaku menjadi sunyi dan berhenti berputar, tetapi aku tak dapat membatalkan acara rekaman yang telah di jadwalkan beberapa minggu yang lalu. Aku tak dapat mendampingi mereka sampai satu hari sebelum pemakaman’.

Dalam pesawat, sehari setelah kecelakaan itu Tuhan memberi lagu untuk mereka yang di dasarkan pada Isaiah 43:19, ‘God Will Make a Way’. Lagu ini memberi penghiburan kepada mereka ketika semua harapan seakan musnah.
Suatu hari Don menerima surat dari Susan: ‘kami melihat kebenaran Alkitab ketika teman-teman Jeremy menyadari bahwa Jeremy telah menerima Yesus sebelum kematiannya dan banyak teman-temannya yang menanyakan kepada ortunya tentang how could be assured of going to heaven when they died. Accident tersebut juga membawa Craig dan Susan kepada pengenalan yang lebih mendalam akan Yesus dan membawa mereka aktif dalam pelayanan.

Susan berkata bahwa pada saat kecelakaan: ‘aku tahu aku mempunyai pilihan untuk menjadi bitter and angry or I could totally accept God and whatever He had for us, aku telah melihat hasilnya dan if I had to, I’d do it again.’ (sampai disini saya ingat ucapan Fanny Crosby yang mirip dengan Susan akan kebutaannya)

Segera setalah lagu ini direkam, banyak sekali telpon dan surat datang dari seluruh dunia menyaksikan bagaimana mereka mengalami kejadian yang mirip dan God had carried them through shattering situation and by His Grace, they were emerging with stronger faith, renewed hope hope and God had made a way for them while all hope seemed to be lost.

“A new version of It Is Well With My Soul”, ‘God Will Make a Way’


‘God Will Make a Way’

God will make a way/where there seems to be no way
He works in ways we can not see/He will make a way for me
He will be my guide/hold me closely to His side
With love and strength for new each day
He will make a way/He will make a way

By a roadway in the wilderness/He’ll lead me
And rivers in the desert will I see
Heaven and earth will fade/but His Word will still remain
He will do something new today


Hendra, 150108

Sunday, January 13, 2008

'From Alcatraz to White House'

(Genesis 37; 39-41, The Story of Joseph)


Suatu hari seorang pelatih sepak bola dengan sangat marah berkata, ‘kalah tiga kali berturut-turut sudah cukup buruk, tetapi yang paling buruk adalah kita membuat kesalahan yang sama berulang kali. Ternyata kita tidak belajar dari kesalahan kita’. Seseorang pernah berkata bahwa ada tiga jenis manusia di dunia yaitu pertama: manusia yang bodoh, yang tidak pernah mau belajar dari kesalahan yang pernah dibuatnya; kedua: manusia biasa, yang mau dan mampu belajar dari kesalahannya; dan ketiga: manusia pandai yaitu manusia yang mau dan mampu belajar dari kesalahan orang lain sehingga tidak melakukan kesalahan yang pernah dilakukan orang lain. Saya katakan ‘mau dan mampu’ karena kemauan tanpa kemampuan atau kemampuan tanpa kemauan adalah sia-sia.
Salah satu tantangan terbesar bagi orang kristen adalah keluar dari comfort zone dan menjadikan pengalaman pahit, menyakitkan, dan penuh air mata sebagai guru kehidupan. Sikap yang paling mudah dilakukan ketika kesulitan dan penderitaan menimpa kita adalah mencari kambing hitam dan menyalahkan orang lain. Sikap yang benar tapi sulit dilakukan adalah melakukan evaluasi secara objektif dan menggunakan rasa kecewa, sakit hati, perasaan gagal menjadi sarana untuk mengetahui kesalahan dan kekurangan kita. Di mana lagi tempat terbaik, guru terbaik untuk mempelajari kehidupan jika bukan berguru kepada Sang Pencipta kehidupan itu sendiri?. Sarana yang disediakan Tuhan adalah melalui Alkitab yang merupakan Wahyu Khusus yang diberikan Allah khusus hanya kepada orang kristen. Malam ini kita belajar kebenaran Firman Tuhan melalui jatuh bangun kehidupan seorang Yusuf. Bagaimana Tuhan memproses hidup Yusuf melalui keadaan-keadaan yang luar biasa sulit untuk mengatasi tantangan hidup. Saat ini marilah kita bersama-sama mohon belas kasihan dan kekuatan dari Tuhan agar kita dapat memetik pelajaran-pelajaran penting dari hidup Yusuf. Mari kita berdoa.

Latar belakang keluarga Yusuf (Kej. 37)
Yakub mempunyai 4 orang istri dimana dua di antaranya adalah kakak beradik yaitu Lea dan Rahel. Dua orang lainnya adalah Zilpa dan Bilha, yang adalah pembantu Lea dan Rahel yang diberikan mereka kepada Yakub untuk dijadikan istrinya.
• Proses hidup Yusuf sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kita yaitu dimulai dari kesalahan demi kesalahan. Bagaimana bisa? Ada tiga ciri kurang baik yang kental dalam keluarga besar Yakub, yaitu 1. kebiasaan menggunakan dusta untuk menyelesaikan masalah (ingat bagaimana Yakub ‘mencuri’ hak kesulungan Esau?); 2. menghalalkan semua cara untuk mencapai tujuan (bagaimana Lea dan Rahel bersaing memperebutkan cinta Yakub sampai rela memberikan budaknya kepada Yakub untuk di nikahi); 3. Favoritisme (Yakub lebih cinta kepada Rahel dan Yusuf)

Dari mana datangnya kebencian dan iri hati?
Yakub mempunyai 12 orang anak dari istri-istrinya dan Yusuf adalah anak kesayangannya, yang ironisnya justru dibenci oleh saudara-saudaranya. Apa sebabnya?
Ayat 2: Yusuf suka melaporkan kejahatan (taf: kemalasan) saudaranya.
Ayat 3-4: Kita lihat kesalahan pertama dilakukan oleh Yakub sebagai seorang ayah adalah mengasihi Yusuf lebih dari saudara-saudaranya dan memberikan jubah maha indah hanya kepada Yusuf. Sebuah tafsiran mengatakan bahwa jubah itu adalah simbol pengakuan hak anak sulung kepada Yusuf (anak sulung Yakub adalah Ruben).
Ayat 5 &8: Yusuf menceritakan dua kali mimpinya kepada saudara-saudaranya bahwa mereka akan menyembah Yusuf.
Ayat 11: Sebagai orang tua dan pemimpin Yakub gagal untuk bertindak adil terhadap keluarganya. Akibatnya timbul perpecahan dalam keluarga dimana saudara yang lain benci kepada Yusuf.
• Ayat 13-14: Yakub menyuruh Yusuf untuk mencari tahu kabar saudara-saudaranya yang menggembalakan domba di dekat Sikhem (~100km dari Hebron). Artinya mereka semua kerja, Yusuf tidak. Hal inilah yang menjadi pencetus ide bagi saudaranya untuk membunuh Yusuf tapi atas intervensi Tuhan akhirnya Yusuf hanya dijual ke saudagar Midian yang kemudian menjual Yusuf pada Potifar di Mesir sebagai budak. Saudara, proses hidup Yusuf “baru” saja dimulai.

Proses hidup Yusuf (Kej. 39-41)
• Ayat 2-5; 22-23 menyatakan bahwa Tuhan menyertai Yusuf dalam setiap perkara. Hal ini juga disadari Potifar sehingga ia meng-kuasakan segala miliknya kepada Yusuf dan Tuhan memberkati rumah Potifar karena Yusuf. Bagaimana mungkin semua yang dikerjakan Yusuf berhasil jika hal itu tidak sesuai dengan kehendak Tuhan?. Artinya Yusuf telah berubah dari seorang yang mengandalkan diri dan ayahnya menjadi seorang yang mengandalkan Allah.
• Ayat 6-12 mengatakan bahwa Yusuf manis sikapnya. Inilah transformasi karakter seorang anak manja, tidak tahu kerja menjadi seorang yang manis sikapnya dan berkomitmen tinggi. Sebagai seorang manusia dapat dikatakan bahwa hidup Yusuf telah berhasil, sukses besar. Seorang budak menjadi kuasa semua harta majikannya. Secara manusia kita mengatakan bahwa proses hidup Yusuf telah selesai. Saudara kata yang tepat adalah SATU proses hidup telah selesai dan Allah kembali memproses Yusuf lebih lanjut. Pada suatu hari Yusuf difitnah oleh istrinya Potifar karena menolak untuk berzinah dengan-nya sehingga Yusuf dijebloskan ke penjara. Ayat 7 menulis ‘ia memandang Yusuf dengan birahi’. Sesungguhnya istri Potifar bukan sosok asing dalam dunia modern bukan? Sebuah survey terhadap 60.000 wanita Amerika oleh sebuah majalah beberapa tahun yang lalu mengungkapkan: 47% menyetujui seks pra-nikah dan 27% menyetujui perselingkuhan. Ini survey mungkin sudah 10 tahun yang lalu dan khusus wanita. Bisa kita bayangkan hasilnya jika survey itu dilakukan hari ini dengan responden pria. Saudara, dalam kasus Yusuf kita melihat pemeliharaan Allah nyata karena pada jaman itu kesalahan yang dituduhkan kepada seorang budak seperti Yusuf pasti mendatangkan hukuman mati. Atas anugerah Allah, Yusuf hanya dipenjara dan kembali Yusuf menjadi kesayangan kepala penjara. Inilah proses hidup Yusuf yang kedua.
• Kej 40-41 menyatakan di dalam penjara Yusuf menolong mengartikan arti mimpi juru minuman raja Mesir dan kemudian meminta tolong kepadanya untuk menceritakan persoalannya kepada firaun untuk mendapatkan keadilan. Saudara, ternyata Yusuf dilupakan oleh sang juru minuman sampai 2 tahun. Setelah lewat dua tahun, firaun bermimpi dimana tidak ada seorang manusiapun yang mampu meng-artikannya. Barulah sang juru minuman ingat kepada Yusuf dan menceritakannya kepada firaun yang segera memanggil Yusuf keluar dari penjara. Kemudian dengan tepat Yusuf meng-artikan mimpi firaun dan semua yang dikatakan Yusuf tepat terjadi di Mesir. Pasal 41:38-39 menyatakan bahwa firaun mengetahui bahwa Yusuf penuh dengan Roh Allah sehingga ia menjadikan Yusuf sebagai kuasa di Mesir (perdana menteri).


Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari proses hidup Yusuf?
• Tiga ciri jelek keluarga Yakub di atas yang harus kita hindari dan sebenarnya poligami sudah dilarang Tuhan dalam kej 2:18.
• Sebenarnya apa sih maksud Tuhan dengan hidup Yusuf? Jawabannya ada pada ps 45: untuk memelihara kehidupan, untuk menjamin kelanjutan keturunan bangsa Israel. Dalam rangka ‘tugas suci’ inilah Yusuf disiapkan menjadi pemimpin, bukan sembarang pemimpin tapi seorang pemimpin yang berjiwa hamba, seorang pemimpin yang melayani bukan menuntut untuk dilayani. Berapa banyak pemimpin yang kita temui hari ini, termasuk pemimpin di gereja yang sangat berbeda dengan Yusuf bukan?. Tahukah saudara bahwa Mahatma Gandi setiap hari selalu membaca Alkitab?. Suatu hari dia mengambil keputusan untuk menjadi orang kristen. Dalam perjalanan ke gereja naik trem dia mendapat perlakuan rasialis dari seorang kulit putih. Hal itu mengecewakan hatinya sehingga dia batal menjadi kristen. Seorang misionaris pernah bertanya kepadanya: ‘bagaimana caranya agar rakyat India menerima Kristus. Jawabnya: jika kalian orang kristen berlaku seperti Yesus berlaku. Saya jamin semua rakyat India akan menjadi orang kristen’.
Yusuf dengan sabar dan sadar MAU memberi dirinya untuk diproses oleh Allah secara berkesinambungan dan bertahap-progresif. Pada tahap pertama Yusuf di jual oleh saudaranya sebagian karena “kesalahan” Yusuf sendiri, yaitu sikap sombong dan kemalasannya. Pada proses tahap kedua, di rumah Potifar, Yusuf tidak melakukan kesalahan apapun melainkan difitnah. Pada proses tahap berikutnya dengan juru minuman raja, bukan saja Yusuf tidak bersalah, melainkan Yusuf melakukan kebaikan dengan menolong sang juru minuman, tetapi Yusuf dilupakan oleh juru minuman. Di sini kita belajar bahwa seorang yang tidak bersalah bahkan melakukan kebaikan juga tidak lepas dari kesulitan dan penderitaan hidup. Jadi jika ada orang yang sakit atau mengalami penderitaan, jangan kita dengan gampang mengatakan: dia berdosa sehingga di hukum Tuhan.
• Allah memilih Yusuf bukan karena ‘kebaikan diri’ Yusuf melainkan hanya semata-mata anugerah. Pada waktu proses Yusuf dimulai, ia hanyalah seorang anak berusia 17 tahun kesayangan ‘babe Yakub’ yang sombong dan naif. Dalam beberapa atau banyak segi Yusuf banyak kesamaan dengan kita bukan?. Yusuf mau hidup diproses Allah selangkah demi selangkah seperti sebuah kupu-kupu indah yang berasal dari ulat kepompong yang bentuknya aneh dan agak menjijikkan.
• Yusuf setia kepada Allah. Di tengah-tengah bangsa kafir, Yusuf tetap kokoh memegang kepercayaannya kepada Allah.

Kesimpulan:
1. Proses Allah terjadi untuk kebaikan kita seumur hidup kita. Jika kita menghadapi tantangan, itu berarti Allah sayang kepada kita karena berarti Allah masih memproses kita. Proses Yusuf dijual sampai menjadi penguasa Mesir terjadi selama kurun waktu 13 tahun dan kita lihat bahwa proses Allah masih berlanjut kepada Yusuf sampai ia mati. Abraham Lincoln adalah sebuah contoh klasik. Ia gagal dalam dua bisnisnya, mengalami gangguan syaraf, ditinggal mati kekasihnya, kalah dalam pemilihan untuk kedudukan dalam pemerintahan kira-kira 10 kali dalam kurun waktu 30 tahun, barulah ia terpilih sebagai presiden. Ketidak-adilan yang bertubi-tubi, kegagalan, penyakit dan tragedi pribadi tidak mengalahkan Lincoln, tetapi malah menguatkan karakter dan komitmennya. Hal yang sama terjadi pada Yusuf.

2. Hidup berserah kepada Allah adalah kunci keberhasilan seseorang. Untuk dapat berserah total, kita mau tidak mau harus mengalami proses demi proses seperti emas yang dimurnikan. Tuhan menginginkan kita menjadi emas yang murni bukan ‘gold plated’. Adakah yang tahu caranya memurnikan emas? Beberapa tahun yang lalu saya pernah melihat teman saya memurnikan emas dengan cara membakar emas batangan dengan sebuah alat seperti las sampai mencair. Nah setelah cairan emas itu menjadi mengkilap sampai kita dapat bercermin padanya, artinya emas itu telah murni. Jadi pembakaran tersebut dimaksudkan untuk membuang unsur-unsur logam lain yang bukan emas. Dalam kehidupan, Allah ingin “membakar” kelemahan-kelemahan kita untuk merubah karakter kita semakin mirip dengan-Nya. Tentu saja proses pembakaran itu rasanya menyakitkan karena kita ditarik keluar dari kenyamanan hidup kita dan proses itu adalah proses seumur hidup kita.

Renungan malam ini saya tutup dengan sebuah kisah yang pernah diceritakan oleh Charles Spurgeon tentang seorang anak berusia 7 tahun bernama Richard. Suatu hari ayahnya mengajaknya pergi ke luar kota. Pada saat mereka sampai di luar pintu gerbang kota yang dituju, ayahnya menyuruh Richard untuk menunggu karena ia tidak akan lama melakukan urusannya di kota itu. Ternyata di sana sang ayah bertemu dengan teman-teman lamanya sampai ia lupa waktu dan lupa kalau ia meninggalkan Richard di pintu gerbang kota. Ketika dengan letih ia bermaksud untuk pulang, sang ayah menerima tawaran seorang temannya untuk menumpang kereta kudanya. Hari sudah malam ketika dia sampai di rumah, setelah mandi ia memangil anaknya: ‘Richard, kemari nak! Ayah akan menceritakan pengalaman ayah hari ini’. Ia tidak mendengar jawaban anaknya dan dengan terkejut ia baru menyadari bahwa ia meninggalkan anaknya di pintu gerbang kota. Saat itu juga ia cepat-cepat kembali ke tempat itu. Ia merasa sangat terharu mendapati Richard duduk dengan terkantuk-kantuk di sudut pintu gerbang kota. Ia memeluk anaknya dengan penuh rasa bersalah dan kasih dan membawanya pulang.
Manusia bisa lupa, bisa melakukan banyak kesalahan. Bila seorang anak 7 tahun dapat begitu mempercayai ayahnya yang terbatas, yang penuh kelemahan, maukah kita meneladani sikapnya untuk tetap setia dan mempercayakan hidup kita bukan sekedar pada manusia, tetapi kepada Allah yang begitu mengasihi kita? Martin Luther pernah berkata bahwa Allah tidak pernah meminta maaf bukan karena kesombongan tetapi memang Dia Allah yang tidak pernah berbuat salah. Mari kita berdoa.

Hendra, 110108

Bibliografi:
1. David Wong, Meninggalkan Kenyamanan Meraih Kemenangan
2. Bill Crowder, Joseph: Overcoming Life’s Challenges
3. Jenny Wongka, Berkenan di Hati Allah
4. Samin H. Sitohang, Kasus-kasus dalam PL
5. Tafsiran Alkitab Masa Kini 1