Wednesday, November 11, 2009

Pengertian Penginjilan Lintas Budaya

Pendahuluan
Penginjilan adalah sebuah kosa kata yang sangat umum dalam kehidupan kita sebagai orang kristen dan sebagai warga gereja. Sebagai sebuah kata yang umum, makna dan pengertian akan penginjilan ternyata masih banyak disalah-mengerti oleh orang kristen. Penginjilan sering dianggap sebagai tugas dari seorang hamba Tuhan belaka dan bukan tugas bagi semua orang percaya tanpa terkecuali. Hal ini akan bertambah kompleks ketika bebicara tentang cara dan metode penginjilan yang berbeda-beda. Dalam tulisan singkat yang berbentuk research paper ini, penulis akan membahas topik tentang pengertian penginjilan lintas budaya secara singkat.

Dasar Alkitabiah
Sebelum membahas akan penginjilan lintas budaya, penulis akan menyajikan dasar Alkitabiah yang paling jelas bagi penginjilan yaitu Amanat Agung Kristus yang berbunyi: “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,
dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." (Matius 28:19-20). Bagian Firman Tuhan ini disebut sebagai Amanat Agung karena diberikan oleh Yesus setelah kebangkitan-Nya dan menjelang kenaikan-Nya ke sorga kepada semua orang percaya tanpa terkecuali. Jadi jelaslah bahwa tugas penginjilan memang tugas bagi hamba Tuhan dan juga semua orang percaya tanpa terkecuali.
Selain Amanat Agung, ada alasan-alasan lain mengapa kita harus melakukan penginjilan yaitu:
1. ALLAH menghendaki semua orang diselamatkan. (1 Timotius 2 : 3-4) “Itulah yang baik dan yang berkenan kepada Allah, Juruselamat kita, yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran.
2. Kasih kepada KRISTUS dan sesama (2 Korintus 5: 14, 18-20). “Sebab kasih KRISTUS yang menguasai kami, karena kami telah mengerti, bahwa jika satu orang sudah mati untuk semua orang, maka mereka semua sudah mati. Dan semuanya ini dari ALLAH, yang dengan perantaraan KRISTUS telah mendamaikan kita dengan diriNya, dan yang telah mempercayakan pelayanan pendamaian itu kepada kami. Jadi kami ini adalah utusan-utusan KRISTUS……………berilah dirimu didamaikan dengan ALLAH.
3. Ketaatan sebagai bukti kasih. (Yohanes 14 : 21-23)
“Barangsiapa memegang perintahKu dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku …….Jika seseorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firmanKu……….
4. Kerelaan. (Yesaya 6 :18)
Nabi Yesaya merupakan contoh baik dari sikap terhadap panggilan ALLAH. (1)
Ada sebuah pendapat yang menarik yang ditulis oleh Yakub Tri Handoko, MTh terhadap Amanat Agung (Mat 28:19-20) sbb: Mayoritas orang memahami inti amanat agung terletak pada penginjilan (band. kata “pergilah” yang diletakkan di awal kalimat) dan langkah selanjutnya adalah pemuridan, baptisan dan pengajaran. Bagaimanapun, menurut struktur kalimat Yunani di ayat 19-20, inti amanat agung justru terletak pada pemuridan. Hal ini didasarkan pada mood imperatif untuk kata kerja “jadikanlah murid” (lit. “muridkanlah”) yang diikuti oleh tiga participle (anak kalimat), yaitu “pergi”, “baptiskanlah” dan “ajarkanlah”. Penggunaan kata “muridkanlah” di sini menempatkan penginjilan dalam konteks mempelajari hukum (ajaran) Yesus. (2)
Di sini penulis tidak bermaksud membantah pendapat Handoko, tetapi ada sebuah pertanyaan yang mendasar yang perlu untuk diutarakan yaitu: tanpa melakukan penginjilan, siapa yang akan dimuridkan?. jadi jika inti dari Amanat Agung adalah memuridkan, artinya melakukan penginjilan (yang akan menghasilkan murid) adalah tindakan yang sangat penting sekali.
Pengertian Penginjilan
Ada beberapa definisi penginjilan yang ada, antara lain:
1. Archbishops Committee (tahun 1918) mendefinisikan kata menginjili/to evangelize sbb:
is so to present Christ Jesus in the power of the Holy Spirit, that men shall come to put their trust in God through Him, to accept Him as their Saviour,
and serve Him as their King in the fellowship of His Church.
(untuk menghadirkan Yesus Kristus dalam kuasa Roh Kudus, sehingga semua orang akan datang dan percaya kepada Tuhan melalu Yesus, menerima Dia sebagai juruselamatnya dan untuk melayani Dia sebagai raja dalam persekutuan gereja-Nya. (3)
2. J.I. Packer mendefinisikan penginjilan sebagai memberitakan Inijil, kabar baik. Penginjilan adalah pengkomunikasian yang dilakukan oleh orang kristen sebagai penyambung lidah Allah yang menyampaikan berita pengampunan Allah kepada orang berdosa. (4)
3. The Department of Evangelism of the Presbyterian Church USA menyatakan: “Evangelism is joyfully sharing the good news of the sovereign love of God and calling people to repentance, to personal faith in Jesus Christ as savior and Lord, to active membership in the church and to obedient service in the world.” (Penginjilan adalah dengan gembira membagikan kabar baik tentang kedaulatan kasih Allah dan memanggil manusia untuk bertobat, untuk percaya secara pribadi pada Yesus sebagai juruselamat dan Allah, aktif dalam pelayanan di gereja dan untuk melayani di dunia dengan patuh.” (5)

Dari tiga definisi di atas, menurut penulis definisi kedua adalah yang terbaik. Definisi pertama mengecilkan arti anugerah dan pemilihan Allah karena kata-kata ‘sehingga semua orang akan datang dan percaya kepada Tuhan melalu Yesus’ dapat diartikan manusia mendapatkan keselamatan karena datang dan percaya dengan kemauannya sendiri. Sedangkan definisi ketiga menjadi ‘melebar’ dengan kata-kata ‘aktif dalam pelayanan di gereja dan untuk melayani di dunia dengan patuh.’ Tentu saja kata-kata itu tidak salah tapi tujuan pemberitaan Injil adalah ‘memproklamasikan’ Kristus, bukan lainnya.

Dasar Alkiabiah Penginjilan Lintas Budaya
Setiap budaya mempunyai kekhasannya masing-masing yang berbeda satu dengan lainnya. Interaksi antara dua budaya yang berbeda akan menimbulkan potensi kesalah-pahaman. Demikian juga penginjilan lintas budaya mempunyai potensi kesalah-pahaman sehingga dapat terjadi bukan isi berita Injil belum diberitakan tapi si pembawa berita sudah ditolak terlebih dahulu.
Penginjilan dapat dilakukan dengan berbagi macam model atau metode. Salah satu model penginjilan adalah penginjilan lintas budaya. Dasar Alkitabiahnya adalah Kisah 1:8 “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." Ayat ini menunjukkan Yesus mengutus orang percaya untuk melakukan penginjilan di sekeliling kita sampai ke ujung dunia, yang berarti melakukan penginjilan lintas budaya.
Sebuah teladan diberikan oleh Paulus dalam Kisah 16:9 di mana Roh Allah mencegah Rasul Paulus ke Asia kecil dan membelokkannya ke Makedonia di mana Injil sangat dibutuhkan tidak hanya untuk bangsanya, tapi untuk semua makhluk dan tidak bisa ditunda. Setiap hari di seluruh dunia, banyak manusia
meninggal tanpa Kristus. Inilah yang juga harus menjadi urgensi kita dalam pengutusan lintas budaya. (6)

Pengertian Konsep Penginjilan Lintas Budaya
Pengertian penginjilan dan misi penginjilan sering kali dipergunakan secara bergantian dan dianggap sama. Pada kenyataannya kedua istilah ini berbeda walau tidak dapat dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa penginjilan adalah bagian dari misi penginjilan dan fokus utama dari misi penginjilan adalah melakukan penginjilan.
Pengertian dari penginjilan lintas budaya adalah melakukan penginjilan kepada mereka yang mempunyai budaya yang berbeda dengan si penginjil. Pengertian mempunyai budaya yang berbeda tidak harus berarti melakukan penginjilan di luar negeri atau melakukan penginjilan kepada suku bangsa yang berbeda dengan si pembawa berita kabar baik itu. (7).
Pada kenyataannya, penginjilan lintas budaya dapat dilakukan kepada orang-orang yang sama suku bangsanya dengan si penginjil. Sebagai contoh, orang-orang dari suku Jawa dapat mempunyai worldview yang berbeda-beda dan mempunyai budaya yang berbeda pula. Si A yang tinggal di desa akan berbeda budaya dengan si B yang tinggal di kota besar, dan akan berbudaya berbeda pula dengan si C yang hidup di luar negeri walau mereka semua berasal dari suku bangsa yang sama. (8)
Dalam buku Kairos, hal ini di gambarkan dengan simbol E1, E2 dan E3.

Kesulitan Utama Penginjilan Lintas Budaya
David J. Hesselgrave menulis dengan sangat rinci kesulitan-kesulitan yang dihadapi para misionary yang melakukan penginjilan lintas budaya (communicating Christ cross-culturally). Satu hal utama yang penulis tangkap adalah masalah perbedan budaya atau kultur ‘lipat tiga’. Maksudnya adalah Firman yang akan dikomunikasikan mempunyai kultur sendiri, pembawa berita mempunyai kultur sendiri yang berbeda, dan penerima beritapun mempunyai kultur yang berbeda. (9) Salah satu bahaya dalam penginjilan lintas budaya adalah sinkretisme karena proses kontekstualisasi yang berlebihan. Tentu saja masih ada banyak sekali kesulitan-kesulitan dalam melakukan penginjilan lintas budaya, walau akar persoalan yang paling dalam akan bersumber pada perbedaan kultur.

Kesimpulan
Penginjilan wajib dilakukan oleh semua orang percaya, termasuk penginjilan lintas budaya. Walaupun demikian, penginjilan lintas budaya tidak harus dilakukan secara lintas negara. Sebagai contoh, PI lintas budaya dapat dilakukan kepada turis-turis yang datang ke kota di mana kita tinggal atau dilakukan pada masyarakat sekitar yang mempunyai budaya yang berbeda dengan kita.

Bibliografi:
1. Pekabaran Injil Pribadi, diambil dari http://www.perkantasjkt.org/ArticleDetail.asp?id=16 pada 21 Februari 2009.
2. Yakub Tri Handoko, MENGGALAKKAN MISI DALAM GEREJA LOKAL: Sebuah Pengantar dan Pedoman Praktis, diambil dari http://www.gkri-exodus.org/page.php?ART-MS-Gereja_Misioner, pada 21 Februari 2009.
3. J.I. Packer, Evangelism And The Sovereignty Of God, Momentum Surabaya, 2003, halaman 25-26.
4. idem, 29.
5.
6. e-JEMMi - Edisi No_ 19 Vol_ 10-2007.htm, diambil dari http://www.sabda.org/publikasi/misi/2008/19/, pada 21 Februari 2009.
7. Kairos, (halamannya saya tidak dapat sebutkan karena buku Kairos milik saya, saya berikan kepada seorang hamba Tuhan).
8. Rahmiati Tanujaya, Materi dalam SAAT Preaching Conference 1, 2006.
9. David J. Hesselgrave, Communicating Christ Cross Culturally, SAAT Malang, 2001, halaman 104.

No comments: