Wednesday, November 11, 2009

Adoniram Judson, Suluh Allah di Birma

Pendahuluan

Kehidupan Adoniram Judson sungguh bagaikan kombinasi antara sebuah kebun bunga yang indah dengan sebuah hutan belantara yang ganas. Kesombongan masa muda, transformasi hidup, panggilan, badai kehidupan yang mengambil ke-dua istrinya dan beberapa anaknya, kesetiaan dan cintanya pada Kristus sampai ia menyerahkan nyawanya sungguh sebuah kisah yang sangat menggetarkan dan mengharukan. Keteladanan Adoniram Judson kiranya dapat menjadi kerinduan yang membakar hati setiap anak Tuhan yang membaca kisahnya, terutama di masa kini di mana kata ‘pengorbanan’ hanyalah menjadi sekedar kata-kata kosong tanpa makna. Untuk mendapatkan gambaran secara jelas, penulis memutuskan untuk membagi kisah hidup Adoniram Judson dalam beberapa bagian.

1. Asal Usul.
Kakek Adoniram Judson, William Judson adalah seorang Puritan warga negara Inggris yang pindah ke Amerika Serikat pada 1634 untuk mendapatkan kebebasan beragama. William mempunyai tiga orang anak yaitu Joseph, Jeremiah, dan Joshua. Dari ketiga bersaudara itu, Joseph-lah yang memperanakkan Adoniram Judson, yang kelak menjadi pendeta gereja Kongregasional. Adoniram menikah dengan seorang wanita yang bernama Abigail Brown pada 23 November 1786. (1). Pada 9 Agustus 1788 lahirlah anak pertama mereka yang diberi nama sama dengan ayahnya, Adoniram Judson di sebuah kota kecil bernama Malden di Massachusetts (2). Pada 21 Maret 1791, lahirlah Abigail Brown Judson. Kebahagiaan keluarga kecil ini mendapatkan ujian ketika dua minggu kemudian Adoniram senior mendapatkan kenyataan pahit diberhentikan sebagai pendeta di Malden. Setelah menunggu lebih dari satu tahun, pada 26 Desember 1792 Adoniram senior diterima untuk melayani di kota Wenham. Pada 28 Mei 1794, Adoniram junior mendapatkan seorang adik laki-laki yang bernama Elnathan dan seorang adik perempuan, Mary yang meninggal enam bulan setelah kelahirannya. Lima tahun kemudian (1799), Adoniram senior mengundurkan diri sebagai pendeta di Wenham dan melayani sebagai misionaris di Braintree, beberapa mil sebelah selatan kota Boston. Dua tahun kemudian Adoniram senior mendapat panggilan untuk menggembalakan jemaat di Plymouth (3).

2. Masa Kecil.
Adoniram Judson junior adalah seorang anak yang sangat cerdas. Pada umur tiga tahun dia sudah mulai belajar membaca dan mengejutkan ayahnya yang baru pulang dari sebuah perjalanan ketika mendengar Adoniram kecil membaca sebuah pasal dari Alkitab (4).

(1) Pitman, E. R. Ann H. Judson: Pahlawan Misi Wanita di Birma. Hal. 5.
(2) Judson, Edward. Adoniram Judson: A Biography. Tersedia di http://www.wholesomewords.org/missions/judson/judsontoc.html; Internet; diakses pada 20 Oktober 2008.
(3) Anderson, Courtney. To the Golden Shore: The Life of Adoniram Judson. Michigan: Zondervan Publishing House, 1972. hal. 9-25.
(4) Harrison, Eugene Myers. Adoniram Judson: Apostle of the Love of Christ in Burma. Tersedia di http://www.reformedreader.org/rbb/judson/ajbio.htm; Internet; diakses pada 20 Oktober 2008.
Selain cerdas, Adoniram juga sangat kritis, tekun dan mempunyai harga diri yang tinggi. Ketika berumur tujuh tahun ia diajarkan bahwa dunia beredar mengelilingi matahari. Dalam pikirannya ada sebuah pertanyaan yang tidak dapat dijawabnya: apakah matahari itu bergerak atau tidak. Beberapa hari kemudian dia mencari jawabnya dengan berbaring terlentang menatap matahari. Ketika ayahnya menemukannya, kedua matanya membengkak dan hampir buta. Kejadian lain yang menarik adalah suatu hari seorang penduduk kota tetangga memberinya sebuah soal yang sangat sulit beserta janji hadiah $ 1 bila Adoniram berhasil memecahkannya. Hari itu juga dia mengurung diri di kamarnya dan besok paginya ketika dipanggil keluar dari ‘pengasingannya’ untuk menemani adiknya bermain, dia patuh pada orang tuanya walau dengan hati yang enggan. Di tengah permainan, tiba-tiba berteriaklah Adoniram: ‘itulah dia, saya sudah menemukannya’. Sambil berteriak, dia merobohkan mainan adiknya dan berlari ke kamarnya untuk mencatat jawabannya. Sebenarnya hal itu bukan hanya masalah uangnya tapi kehormatannya sebagai bintang pelajar yang paling diperdulikannya.
Di sekolah, guru-gurunya tercengang akan kemampuannya yang tinggi. Adoniram selalu menyapu habis kemenangan pada setiap kontes intelektual yang ada. Karena kepandaiannya, Adoniram bercita-cita tinggi untuk mencapai ketenaran dan kemuliaan duniawi sepeti Homer dan Alexander the Great. Jadi walau dibesarkan dalam keluarga kristen yang baik, dan diam-diam ayahnya ingin agar anaknya mengikuti jejaknya sebagai pendeta, Adoniram junior sama sekali tidak tertarik pada pelayanan bahkan dia tersenyum sinis akan ‘kurangnya’ imajinasi ayahnya akan kemampuannya (5).

3. Masa-masa Universitas.
Pada usia enambelas tahun, Adoniram mulai kuliah di Providence College (sekarang Universitas Brown). Masa tahun 1803 krisis iman kepercayaan yang dipicu oleh Perancis menyerbu Amerika dan universitas-universitas terkemuka seperti Yale dan Providence-pun merasakan dampak yang sangat besar akan gelombang skeptisisme tersebut. Adoniram sendiri juga tidak lepas dari pengaruh buruk itu. Pertemanannya dengan Jacob Eames, seorang persuasif ulung dan tidak beriman membawanya ke labirin kesangsian akan kebenaran firman Allah. Walaupun Adoniram lebih cerdas, namun soal kepercayaan terhadap Tuhan, ia mengakui terpikat oleh ide-ide skeptis Jacob Eames. “Jacob, saya setuju dengan kamu. Alkitab ternyata tidak berbeda dengan kitab suci agama lain. Yesus hanyalah seorang manusia moralis. Dia hanyalah seorang yang baik. Tidak lebih” adalah respon Adoniram kepada Jacob dalam satu perdebatan panjang (6).
Masa kuliah berhasil diselesaikan oleh Adoniram hanya dalam kurun waktu tiga tahun. Ayahnya begitu bangga melihat anaknya menerima ijazah kehormatan sebagai juara dan mendengarnya berpidato secara memukau tanpa mengetahu bahwa anaknya telah tejerumus pada paham deisme.


(5) Boreham, F. W., Adoniram Judson’s Life Text. Tersedia di http://www.wholesomewords.org/missions/bjudson11.html; Internet; diakses pada 20 Oktober 2008.
(6) Assa, Rudy N., Tokoh-tokoh Kristen yang Mewarnai Dunia. Yogyakarta: Penerbit Andi, 2002. hal. 4-5.
4. Melarikan Diri Dari Hadapan Allah.
Pasca kelulusannya, dalam usia 19 tahun Adoniram kembali ke rumah orang tuanya di Plymouth. Tahun 1807 Adoniram junor membuka sebuah akademi swasta dan mengajar selama hampir satu tahun.
Selama itu dia juga menulis dan menerbitkan dua buah buku, ‘The Elements of English Grammar’, dan ‘The Young Lady’s Arithmetic’. Kehidupan kristiani di rumah orang tuanya dan gereja tentu bukan lingkungan yang kondusif bagi kehidupan ateisnya. Hal ini membuat Adoniram terpaksa berperilaku munafik di hadapan orang tuanya. Setiap hari minggu dia harus pergi ke gereja dengan hati yang jengkel sehingga akhirnya dia merasa tidak tahan lagi. Apalagi ketika ayahnya menawarkan padanya untuk melayani sebagai pendeta. Pertengkaran yang sengit terjadi dan berakhir ketika Adoniram junior mengatakan bahwa dia tidak percaya pada Alkitab dan keilahian Yesus. Segera setelah menutup akademinya, Adoniram berniat pergi mengembara ke New York, sebuah kota yang di cap amoral oleh gereja konggregasional.

5. Dipanggil dan Dikirim.
Setelah puas menikmati kota New York, Adoniram meneruskan petualangannya ke arah barat sebab ia sudah berjanji pada dirinya untuk tidak pulang ke rumah ayahnya. Pada suatu hari dia menginap di sebuah penginapan, namun hanya tersisa sebuah kamar yang besebelahan dengan kamar yang ditempati oleh seseorang yang sedang sakit keras. Sepanjang malam Adoniram mendengar suara-suara kesakitan dan rintihan ketakutan dari kamar sebelahnya. Tetapi bukan hal itulah yang mengganggunya melainkan sebuah pertanyaan apakah orang itu sudah siap menghadapi kematian. Merasa malu akan pikiran itu, Adoniram berpikir apa yang akan dikatakan oleh Jacob akan ‘kelemahan’ pikirannya itu. Malam itu, berapapun keras Adoniram bergumul, tetap pikirannya selalu kembali kepada orang yang sekarat di sebelah kamarnya itu.
Pagi harinya dia segera mencari pemilik penginapan untuk menanyakan kabar orang di sebelah kamarnya.
‘Dia sudah meninggal’ sahut pemilik penginapan.
‘mati!’
‘Ya, dia sudah meninggal, orang yang malang’
‘Tahukah anda, siapakah orang itu?’
“Oh ya, dia adalah seorang anak muda dari Providence College; namanya Jacob Eames’
Mendengar jawaban itu Adoniram terpana dan kata-kata: mati, kematian, terhilang terngiang-ngiang terus di dalam kepalanya. Dia tahu bahwa Alkitab benar, dia merasa kebenarannya dan dia merasa putus asa. Dalam perasaan yang bergejolak dia membatalkan niatnya melarikan diri dan memutuskan untuk pulang ke rumah ayahnya.
Adoniram tiba di Plymouth pada 22 September 1808 dan bulan depannya dia masuk ke Theological Instution di Andover. Dia dapat diterima di sana dengan sebuah pengecualiaan karena Adoniram bukanlah kandidat pendeta. Tanggal 2 Desember 1808 adalah hari istimewa karena Adoniram Judson mendedikasikan dirinya kepada Allah dan 28 Mei 1809 menggabungkan diri dengan gereja ayahnya di Plymouth (7).


(7) Judson, Edward. Adoniram Judson: A Biography. Tersedia di http://www.wholesomewords.org/missions/judson/judsontoc.html; Internet; diakses pada 20 Oktober 2008.
Adoniram mulai menggumulkan dengan serius panggilan sebagai misionaris setelah membaca khotbah Dr. Claudius Buchanan yang melayani di India. Khotbah itu berjudul ‘Bintang di Timur’ yang diambil dari Matius 2:2. Dr. Buchanan menceritakan kemajuan pengkabaran Injil di India dan khotbah itu sungguh memercikkan bara api dalam hati Adoniram.
Dalam pergumulannya, enam bulan kemudian dia mengambil keputusan untuk menjadi misionaris bersama beberapa orang teman seminarynya yaitu: Samuel Nott., Jr, Samuel J. Mills, Jr., James Richards, Luther Rice, dan Gordon Hall.
Oleh karena keinginan mereka untuk menjadi misionari di luar negeri inilah maka American Board of Foreign Missions dibentuk menjadi wadah bagi para misionaris. Walaupun demikian, masalah keuangan menjadi sebuah persoalan bagi organisasi yang masih bayi ini sehingga Adoniram dikirim ke Inggris untuk menghimpun dana bantuan di London Missionary Society (LMS) . Dalam perjalanan, kapal yang ditumpangi Adniram diserang dan ditawan oleh kapal Perancis. Jadi dia harus melarikan diri dari penjara di Perancis untuk sampai di London. Dalam perjalanan ke Amerika, Adoniram memutuskan bahwa perjalanan misi seharusnya dibiayai oleh orang kristen Amerika daripada bergabung dengan LMS (8).

6. Ann Hasseltine & Jalan Berliku Menuju Birma.
Ann Hasseltine dilahirkan di Bradford, Massachusetts pada tahun 1789. dia adalah gadis yang bersemangat, gembira, dan berbakat. Umur enam belas tahun menerima Allah dengan segenap hatinya. Selepas Bradford Academy, dia mengajar di sekolah selama beberapa waktu. Adoniram dan Ann menikah 5 Februari 1812, keesokan harinya Adoniram dan teman-temannya ditabiskan di Salem, dan 13 hari kemudian menaiki kapal Caravan menuju Calcutta, India. Perjalanan panjang menuju India ditempuh dalam waktu empat bulan. Adoniram memanfaatkan waktu dengan belajar Alkitab dalam bahasa aslinya dan menerjemahkan Perjanjian Baru dari bahasa Yunani ke bahasa Inggris. Dalam proses tersebut, Adoniram mendapat pencerahan dan meyakini bahwa iman seharusnya ditindak-lanjuti dengan baptisan dan baptisan itu penting. Keputusan ini bukanlah sebuah keputusan yang mudah karena statusnya sebagai misionaris konggragasional dan pada waktu itu gereja Baptist belum mempunyai lembaga misionari.
Pada 6 September 1812 akhirnya mereka tiba di India dan dibaptis oleh asisten William Carey yaitu pendeta William Ward. Kabar bahwa Adoniram menjadi pengikut Baptist menimbulkan kegairahan pada gereja Baptist di Amerika sehingga dibentuklah the American Baptist Missionary Union.
Setelah beristirahat semalam di Calcutta, mereka meumpang sebuah kapal yang membawa mereka ke markas besar Misi Baptist Inggris di Serampore. Para misionaris Inggris berlindung di bawah pemerintah Denmark karena pemerintah Inggris sendiri menetang misi dan pekerjaan misi akibat pengaruh jahat dari perkumpulan dagang Inggris.


(8) Bradshaw, Robert I., The Life and Work of Adoniram Judson, Missionary to Burma. Tersedia di http://www.theologicalstudies.org.uk/article_judson.html; Internet; diakses pada 20 Oktober 2008.

Hal ini terbukti sepuluh hari setelah Adoniram tiba, pemerintah Inggris memerintahkan mereka untuk kembali ke Amerika. Kesulitan lain adalah karena dewan misi Amerika telah memerintahkan mereka untuk membuka sebuah misi di Birma, sebuah hal yang sulit dilakukan karena kelaliman pemerintah Birma, kesulitan bahasa dan kegagalan setiap usaha pemberitaan Injil di Birma yang dilakukan oleh orang lain sampai pada saat itu.
Akan tetapi rupanya keluarga Adoniram sudah bertekat untuk melayani Allah di ladang misi dan menolak untuk pulang ke Amerika dengan tangan hampa sehingga mereka berupaya untuk menumpang kapal Creole yang berlayar ke pulau France. Usaha ini kembali mendapat hambatan dari pihak berwenang yang menolak pemohonan surat-surat yang diperlukan agar dapat berlayar dengan kapal Creole. Dengan bantuan kapten kapal mereka menyelundup naik ke kapal, namun pihak berwajib mengejar dan memerintahkan mereka untuk turun. Habislah harapan mereka, tetapi atas ketetapan Allah, malam itu datanglah surat-surat yang diperlukan dan kapal Creole mengalami penundaan. Dari pulau France, keluarga Adoniram meneruskan perjalanan ke Madras dengan harapan dapat segera pergi ke Penang.
Kuatir diusir oleh pemerintah Inggris, mereka mencari kapal yang akan berlayar segera, namun hanya ada satu kapal yang akan berlayar ke Rangoon, Birma. Akhirnya setelah kira-kira perjalanan selama hampir satu tahun, keluarga Adoniram Judson tiba di Rangoon, Birma pada tahun 1813.

7. Masa-masa Awal Yang Sulit.
Setelah berada di Birma selama 6 bulan, Ann mengalami sakit sehingga harus berobat selama tiga bulan di Madras. Setelah sembuh Ann kembali ke Birma dan melahirkan anak sulungnya pada tahun 1815, tetapi pada waktu bayi itu berumur delapan bulan Tuhan memanggilnya.
Saat-saat awal di Birma digunakan keluarga Adoniram untuk belajar bahasa setemapat, suatu hal yang sangat sulit karena waktu itu belum ada buku tata-bahasa, kamus, maupun buku-buku lain yang dapat menolong.
Pada 20 Mei 1817, Adoniram menulis tata bahasa dari bahasa Birma, menterjemahkan Injil Matius, menulis traktat dll (9).
Dalam bulan November 1817, mereka mendapat bantuan dengan datangnya dua orang misionaris, yaitu pendeta Wheelock dan pendeta Coleman dari Boston. Dalam bulan Desember, Adoniram terpaksa meinggalkan Rangoon karena sakit. Keadaan menjadi pelik karena kapal yang ditumpanginya mengalami badai dan terpaksa mendarat kira-kira 300 km dari Madras. Selama di Madras, Adoniram tidak dapat menghubungi istrinya dan kesempatan pulang ke Birma baru terbuka pada tanggal 20 Juli tahun berikutnya, sehingga lebih dari enam bulan Ann tidak tahu apakah suaminya masih hidup atau sudah meninggal. Seakan penderitaan keluarga Adoniram belum cukup, pada waktu itu penganiayaan pada orang kristen mulai berlangsung disertai ancaman pembunuhan terhadap orang kristen.



(9) Royer, Galen B., Adoniram Judson: Burma’s First Misionary. Tersedia di http://www.wholesomewords.org/missions/bjudson3.html); Internet, diakses pada 20 Oktober 2008.

Setelah hampir enam tahun di Birma, Adoniram pertama kali berkhotbah dan dua bulan kemudian (27 Juni 1919) memetik petobat pertamanya yang bernama Maung Hau (atau Moung Nau dalam buku lain) diikuti beberapa orang lainnya. Tahun berikutnya kembali seorang petobat baru dibaptiskan diikuti beberapa wanita. Sayangnya di tahun 1821 kembali Ann sakit demam dan limpa sehingga harus berobat ke Amerika. Di Amerika penyakitnya bertambah parah disertai komplikasi yang mengakibatkan paru-parunya berdarah sehingga diragukan apakah Ann dapat kembali ke Birma. Waktu berlalu dan Ann menulis sebuah buku yang berjudul ‘Sejarah Misi Birma’. Berkat anugerah Tuhan, tahun 1823, Ann beserta dua orang misionaris lainnya dapat kembali ke Birma.
Sementara itu raja muda yang baru bersikap memusuhi agama kristen dan memerintahkan para misionaris untuk tinggal di kota Ava. Pada tahun 1824, raja Birma bermaksud untuk menyerang Benggala (India), sebagai akibatnya pemerintah Inggris mengirimkan 10.000 tentara di bawah komando Sir Archibald Campbell. Setelah berita kejatuhan kota Rangoon sampai di Ava, sebuah perintah dikeluarkan untuk memenjarakan semua orang asing tidak terkecuali pendeta Adoniram Judson (8 Juni 1824).

8. Penjara Dan Harta Dalam Sebuah Bantal.
Penjara yang ditempati Adoniram adalah sebuah bangunan yang menyedihkan keadaannya, tidak ada ventilasi, retak-retak, dan tidak pernah dibersihkan sejak dibangun. Itu adalah sebuah tempat yang mengerikan di mana Ann membawa bayi mereka yang baru lahir untuk bertemu dengan ayahnya untuk pertama kalinya. Ann adalah satu-satunya wanita kulit putih di Ava dan setiap hari ia membawakan makanan dan linen bersih untuk suaminya. Suatu hari, Ann bermaksud mengejutkan suaminya dengan membuat ‘mince pie’ kesukaan Adoniram. Tapi, melihat ‘mince pie’ itu Adoniram menangis tersedu-sedu, merasa terharu pada kesetiaan istrinya, dan tidak sanggup memakannya. Teman-teman penjaranya yang akhirnya menikmatu ‘mince pie’ spesial itu.
Setelah beberapa bulan, seekor singa di tempatkan dekat dengan penjara dan aumannya sangat mengganggu siang dan malam sampai singa itu mati.
Beberapa bulan kemudian Adoniram dipindahkan ke sebuah ‘death-prison’. Ketika Ann mendengar hal ini, dia langsung berangkat dengan bayi Maria ditangannya dan menempuh perjalanan panjang dengan ‘boat’ dan kereta kuda yang berguncang-guncang untuk sampai ke penjara yang menyedihkan itu. Ketika melihat istrinya, Adoniram menangis dan berkata: ‘mengapa kau datang?, saya harap kau tidak datang karena kamu tidak dapat tinggal di sini.’ Penjaga penjara yang kejam memberikan sebuah ruangan kecil yang separuhnya penuh dengan gandum. Ann tinggal di sana selama enam bulan berikutnya. (10)
Ada sebuah cerita yang sangat mengesankan ketika Adoniram akan dipindahkan ke penjara yang baru. Sebelum Adoniram dijebloskan ke penjara pertama kalinya, dia sudah menyelesaikan salinan Kitab


(10) Johnston, Julia H., Fifty Missionary Heroes Every Boy and Girl Should Know. New York: Fleming Revell Co., 1913. Dikutip oleh Ross, Stephen pada http://www.wholesomewords.org/children/heroes/hmrsjud.html; Internet, diakses pada 20 Oktober 2008.
Perjanjian Baru dalam bahasa Birma. Menyimpannya di rumah tentu bukan tindakan yang bijaksana mengngat rumah mereka sudah dua kali digeledah tentara kerajaan. Maka Ann menjahit sebuah bantal yang sengaja dibuat keras dan kumal agar tidak menarik perhatian penjaga. Di dalam bantal itu ia memasukkan naskah Kitab Perjanjian Baru berbahasa Birma. Selama sebelas bulan, Adoniram tidur dengan kepala bersandarkan bantal yang berisi buku itu. Siang malam ia menderita; namun ia mengucap syukur karena naskahnya yang berharga itu masih aman.
Tiba-tiba pada suatu hari semua tahanan disuruh berderet di halaman penjara untuk dipindahkan. Adoniram mohon dengan sangat agar ia boleh membawa serta bantalnya, sampai-sampai ia menangis dan tahanan lainnya mengejek dia. Namun penjaga yang bengis menyobek bantal itu, lalu membuangnya ke tempat sampah.
Adoniram dan para tahanan lainnya dipaksa berbaris sejauh enam belas kilometer di luar kota, di bawah terik matahari. Kaki mereka berdarah; mulut mereka kekeringan. Ada yang tidak tahan dalam perjalanan maut itu; ada yang meninggal sebelum tiba di tempat tujuan; ada juga yang jatuh pingsan di ujung jalan. Adoniram bertahan dan ia masih tetap terkurung di dalam penjara di luar kota itu selama tujuh bulan lagi.
Pada suatu hari, ada berita dari sang raja; Ia memerlukan seorang pengalih bahasa yang pandai berbahasa Inggris dan bahasa Birma. Maka Adoniram Judson dibebaskan dari penjara walau masih tetap dijaga dengan ketat.
Setibanya di ibu kota, yang pertama-tama ditanyakan Judson ialah kabar istri dan anaknya. Para penjaga memberitahu bahwa kedua orang itu masih selamat. Pertanyaan Judson yang kedua adalah mengenai bantalnya. Para penjaga tidak tahu dan tidak ambil pusing tentang benda yang mereka anggap tidak berharga itu.
Akhirnya, semua tugas yang dituntut sang raja itu selesai. Adoniram dengan keluarganya boleh kembali ke Rangoon. Di sana, mereka kembali menjumpai orang-orang Kristen Birma, yang selama masa perang itu masih tetap setia dengan imannya.
Salah seorang di antara ketiga petobat yang pertama-tama itu rupanya sangat senang bertemu kembali dengan gurunya. "Wah, kami kira Pendeta sudah meninggal! Lagipula tiada kubur tempat tinggal kami dapat pergi berkabung. Namun, aku masih tetap memelihara bantal itu, tempat kepala Pendeta pernah bersandar."
"Bantal?" tanya Adoniram hampir tidak percaya. "Bantal apa itu?"
"Ya, bantal kecil itu yang dipakai Pendeta waktu di penjara. Untung aku sempat menyelamatkannya dari tempat sampah sebagai kenang-kenangan, pada hari itu ketika Pendeta digiring keluar halaman penjara dalam perjalanan maut."
Dengan tangan gemetar Pdt. Judson menerima kembali bantal yang kotor dan sobek itu. Ia sengaja menyobek tutupnya, dan ... ternyata naskahnya masih utuh! Maka dengan semangat baru, Adoniram Judson mulai mengabarkan "isi bantal" itu kepada orang-orang Birma.
Baru pada tahun 1835, seluruh Alkitab itu selesai diterjemahkannya ke dalam bahasa Birma. Namun, Judson masih belum puas. Selama lima tahun ia mendalami lagi tulisan sastra bahasa Birma, baik prosa maupun puisi. Sering ia meminta pendapat para rekannya, baik utusan Injil maupun orang Kristen Birma. Akhirnya pada tahun 1840, ia merasa puas. Terjemahan Alkitab hasil karyanya yang diterbitkan pada tahun itu hingga kini masih tetap dibaca di gereja-gereja di negeri Myanmar.
Selama bertahun-tahun, Adoniram Judson berjuang mati-matian demi tugas penginjilan dan penerjemahannya itu, suatu gerakan Kristen besar mulai tampak di negeri Birma. Bahkan pada masa hidup Judson, sudah ada ribuan orang Birma yang percaya kepada Tuhan Yesus. Dan sekarang, lebih dari satu setengah abad kemudian, ada ratusan ribu orang Kristen di negeri Myanmar.
Siapa tahu, mungkin semuanya itu tidak akan terjadi ... seandainya tidak ada seorang ibu Amerika yang pandai menjahit serta seorang bapak bangsa Birma yang setia menyimpan bantal yang berisi buku, sampai saat ia menyerahkan kembali kepada pemiliknya! (11)
9. Sarah Hall Boardman.
Setelah menghadapi begitu banyak kesulitan, rupa-rupanya Tuhan belum selesai dengan Adoniram. Suatu hari Adoniram pergi ke kota Ava untuk suatu urusan dan di tengah perjalanannya, Ann diserang oleh demam tinggi. Selama dua hari menjelang kematiannya, Ann berbaring dengan tidak sadar dan tidak bergerak. Tanpa suami atau seorang teman misionaris di sampingnya dan di kelilingi oleh sekumpulan orang Birma yang menangis, Ann-pun pulang ke Sorga pada 24 Oktober 1826. Kepulangan Ann diiringi dengan kehormatan sipil dan militer dan sebuah tugu dikirimkan dari Boston untuk menandai tempat itu. Adoniram menerima kabar dan segera pulang, hanya untuk menemukan sebuah nisan di bawah pohon hopia (hope-harapan) di kellingi teralis yang kasar dan si kecil Maria yang berusia beberapa bulan berbaring di samping kubur ibunya. Enam bulan kemudian Maria menyusul ibunya dan jenazahnya di letakkan di samping ibunya.............
Bertahun-tahun kemudian, pengabar Injil yang setia itu dikaruniai sebuah keluarga baru. Setelah menduda selama delapan tahun, Adoniram menikahi Sarah Hall Boardman pada 10 April 1834, Sarah adalah seorang janda seorang misionaris yang bernama George Boardman. Istri keduanya itu melahirkan beberapa anak yang di antara mereka, di kemudian hari ada yang menjadi hamba Tuhan sama seperti ayahnya. Tetapi setelah hampir dua puluh tahun melayani Birma, pada tahun 1844 penyakit disentri menyerang Sarah sehingga memaksa keluarga Judson pulang ke Amerika. Ketika kapal berada di sekitar St. Helena, Tuhan memanggilnya dan tubuhnya dikuburkan di pulau itu, dengan sebuah batu sebagai penandanya.
(11) McGavran, Grace W., Stories of the Book of Books. Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 1991. hal. 22. diambil dari http://www.misi.sabda.org//bantal_yang_berisi_buku_myanmar_1819_1840; Internet; diakses pada 20 Oktober 2008.
10.Amerika dan Emilly Chubbuck.
Setelah 33 tahun meninggalkan tanah kelahirannya, Adoniram mendarat di Boston bersama ketiga anaknya dan menerima sambutan yang sangat meriah dari masyarakat Amerika. Ratusan keluarga menawarkan diri untuk menjadi tuan rumah baginya. Selama ini kisahnya telah menjadi tema ribuan khotbah dan pokok doa. Selama di Amerika Adoniram berpikir untuk mencari seorang penulis untuk menulis kisah istri keduanya, Sarah. Seorang penulis yang menarik perhatiannya adalah ‘Fanny Forester’ yang menulis buku yang berjudul ‘Trippings’.
Fanny Forester sebenarnya adalah nama samaran dari Emily Chubbuck yang secara kebetulan menjadi tamu dalam rumah yang ditinggali Adoniram. Seorang teman mempertemukan dan memperkenalkan keduanya dan Emily merasa senang mendapat kesempatan untuk menuliskan kisah wanita yang luar biasa itu. Rupa-rupanya hubungan kerja sama yang baik itu berlanjut menjadi hubungan secara pribadi yang serius dan akhirnya berakhir dengan sebuah pernikahan kudus pada tanggal 2 Juni 1846.
11.Pulang ke Rumah Bapa.

Pernikahan ketiga Adoniram dikuatirkan beberapa pihak akan mengganggu pelayanan misinya. Tetapi segala kekuatiran ini sirna pada bulan Juni 1846 ketika Adoniram dan Emily berlayar kembali ke Birma. Di ladang misi, Adoniram menyelesaikan kamus Birma-Inggris dan Emily menulis kisah Sarah Boardman Judson dan merawat anak-anak mereka.
Tiga tahun setelah pernikahannya, Adoniram menderita sebuah penyakit yang berat. Karenanya pada tahun 1850 dia berangkat ke Amerika untuk berobat dengan meninggalkan istri dan anak-anaknya. Rupanya kali ini tugas Adoniram di dunia, sebagai suluh Allah di Birma sudah selesai. Adoniram pulang ke Rumah Bapa pada 12 April 1850 dan dikuburkan di laut biru.
Emily sendiri baru mengetahui kabar kematian suaminya empat bulan kemudian. Mendengar berita itu, dia dan anak-anaknya pulang ke Amerika. Emily mendedikasikan dirinya untuk merawat orang tua dan anak-anaknya sampai tiba waktunya untuk pulang pada tahun 1854 di Hamilton, New York.
Sampai akhir hidupnya, pelayanan Adoniram Judson telah membawa 7.000 orang Birma dan Karen kepada Kristus, telah menterjemahkan seluruh Alkitab ke dalam bahasa Birma, menulis kamus bahasa Birma-Inggris, dan menulis buku tata bahasa Birma.

12.Review.
Sungguh sebuah kehormatan untuk dapat membuat makalah tentang Adoniram Judson. Kisah penderitaan dan kesetiaannya pada panggilan Kristus sungguh mengharukan dan menghancurkan hati penulis.
Boreham mengungkapkan bahwa Adoniram Judson mempunyai sebuah bagian Firman Tuhan yang menguatkan dirinya yaitu Efesus 3:17-19 “Sehingga oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu dan kamu berakar serta berdasar di dalam kasih. Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan. Aku berdoa, supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah.”

Selama melayani di Birma, Adoniram telah kehilangan Ann, Sarah dan tiga orang anaknya. Melampaui semua hal itu, tidak sekalipun imannya guncang pada kekayaan kasih Kristus yang sudah didapatnya.
Thomas Ranney bersaksi bahwa menjelang kematiannya Adoniram terus mengulangi kata-kata “Seperti Aku telah mengasihimu lebih dulu, begitulah kamu harus saling mengasihi satu sama lain”, dan kemudian sambil menangis gembira dia melanjutkan “Oh, kasih Kristus, kasih Kristus......”
Kemudian, karena kesulitan bernafas dia berhenti sejenak. Kemudian dia bergumam, ‘Oh kasih Kristus, kasih Kristus’, matanya berkobar-kobar dengan antusias dan air mata membasahi kedua pipinya. “The love of Christ, its breadth and length and depth and height”
Dan, setelah kehabisan tenaga untuk berkata-katapun, bibirnya menyuarakan kasih Kristus, kasih Kristus......

Beberapa hari sebelum meninggal, Adoniram berkata dengan kelegaan akan dikubur di laut. Dia berkata dengan rasa bebas, membandingkan akan perbedaan dikuburkan di laut dan di tanah yang gelap dengan kuburan yang sempit seperti yang dialami oleh istri dan anak-anaknya.
Laut biru yang luas seakan-akan menjadi simbol akan kasih Tuhan dan Penebusnya yang tak terbatas.
Penulis berdoa kiranya kasih Kristus yang sama kiranya juga membakar semua orang kristen di seluruh dunia.

On His Grace,
hendra

























Bibliografi

1. Pitman, E. R. Ann H. Judson Pahlawan Misi Wanita di Birma.
2. Judson, Edward. Adoniram Judson: A Biography. Tersedia di http://www.wholesomewords.org/missions/judson/judsontoc.html; Internet; diakses pada 20 Oktober 2008.
3. Anderson, Courtney. To the Golden Shore: The Life of Adoniram Judson. Michigan: Zondervan Publishing House, 1972.
4. Harrison, Eugene Myers. Adoniram Judson: Apostle of the Love of Christ in Burma. Tersedia di http://www.reformedreader.org/rbb/judson/ajbio.htm; Internet; diakses pada 20 Oktober 2008.
5. Boreham, F. W., Adoniram Judson’s Life Text. Tersedia di http://www.wholesomewords.org/missions/bjudson11.html; Internet; diakses pada 20 Oktober 2008.
6. Assa, Rudy N., Tokoh-tokoh Kristen yang Mewarnai Dunia. Yogyakarta: Penerbit Andi, 2002.
7. Bradshaw, Robert I., The Life and Work of Adoniram Judson, Missionary to Burma. Tersedia di http://www.theologicalstudies.org.uk/article_judson.html; Internet; diakses pada 20 Oktober 2008.
8. Royer, Galen B., Adoniram Judson: Burma’s First Misionary. Tersedia di http://www.wholesomewords.org/missions/bjudson3.html; Internet, diakses pada 20 Oktober 2008.
9. Johnston, Julia H., Fifty Missionary Heroes Every Boy and Girl Should Know. Nre York: Fleming Revell Co., 1913. Dikutip oleh Ross, Stephen pada http://www.wholesomewords.org/children/heroes/hmrsjud.html; Internet, diakses pada 20 Oktober 2008.
10. McGavran, Grace W., Stories of the Book of Books. Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 1991. hal. 22. diambil dari http://www.misi.sabda.org//bantal_yang_berisi_buku_myanmar_1819_1840; Internet; diakses pada 20 Oktober 2008.

Pengertian Penginjilan Lintas Budaya

Pendahuluan
Penginjilan adalah sebuah kosa kata yang sangat umum dalam kehidupan kita sebagai orang kristen dan sebagai warga gereja. Sebagai sebuah kata yang umum, makna dan pengertian akan penginjilan ternyata masih banyak disalah-mengerti oleh orang kristen. Penginjilan sering dianggap sebagai tugas dari seorang hamba Tuhan belaka dan bukan tugas bagi semua orang percaya tanpa terkecuali. Hal ini akan bertambah kompleks ketika bebicara tentang cara dan metode penginjilan yang berbeda-beda. Dalam tulisan singkat yang berbentuk research paper ini, penulis akan membahas topik tentang pengertian penginjilan lintas budaya secara singkat.

Dasar Alkitabiah
Sebelum membahas akan penginjilan lintas budaya, penulis akan menyajikan dasar Alkitabiah yang paling jelas bagi penginjilan yaitu Amanat Agung Kristus yang berbunyi: “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,
dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." (Matius 28:19-20). Bagian Firman Tuhan ini disebut sebagai Amanat Agung karena diberikan oleh Yesus setelah kebangkitan-Nya dan menjelang kenaikan-Nya ke sorga kepada semua orang percaya tanpa terkecuali. Jadi jelaslah bahwa tugas penginjilan memang tugas bagi hamba Tuhan dan juga semua orang percaya tanpa terkecuali.
Selain Amanat Agung, ada alasan-alasan lain mengapa kita harus melakukan penginjilan yaitu:
1. ALLAH menghendaki semua orang diselamatkan. (1 Timotius 2 : 3-4) “Itulah yang baik dan yang berkenan kepada Allah, Juruselamat kita, yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran.
2. Kasih kepada KRISTUS dan sesama (2 Korintus 5: 14, 18-20). “Sebab kasih KRISTUS yang menguasai kami, karena kami telah mengerti, bahwa jika satu orang sudah mati untuk semua orang, maka mereka semua sudah mati. Dan semuanya ini dari ALLAH, yang dengan perantaraan KRISTUS telah mendamaikan kita dengan diriNya, dan yang telah mempercayakan pelayanan pendamaian itu kepada kami. Jadi kami ini adalah utusan-utusan KRISTUS……………berilah dirimu didamaikan dengan ALLAH.
3. Ketaatan sebagai bukti kasih. (Yohanes 14 : 21-23)
“Barangsiapa memegang perintahKu dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku …….Jika seseorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firmanKu……….
4. Kerelaan. (Yesaya 6 :18)
Nabi Yesaya merupakan contoh baik dari sikap terhadap panggilan ALLAH. (1)
Ada sebuah pendapat yang menarik yang ditulis oleh Yakub Tri Handoko, MTh terhadap Amanat Agung (Mat 28:19-20) sbb: Mayoritas orang memahami inti amanat agung terletak pada penginjilan (band. kata “pergilah” yang diletakkan di awal kalimat) dan langkah selanjutnya adalah pemuridan, baptisan dan pengajaran. Bagaimanapun, menurut struktur kalimat Yunani di ayat 19-20, inti amanat agung justru terletak pada pemuridan. Hal ini didasarkan pada mood imperatif untuk kata kerja “jadikanlah murid” (lit. “muridkanlah”) yang diikuti oleh tiga participle (anak kalimat), yaitu “pergi”, “baptiskanlah” dan “ajarkanlah”. Penggunaan kata “muridkanlah” di sini menempatkan penginjilan dalam konteks mempelajari hukum (ajaran) Yesus. (2)
Di sini penulis tidak bermaksud membantah pendapat Handoko, tetapi ada sebuah pertanyaan yang mendasar yang perlu untuk diutarakan yaitu: tanpa melakukan penginjilan, siapa yang akan dimuridkan?. jadi jika inti dari Amanat Agung adalah memuridkan, artinya melakukan penginjilan (yang akan menghasilkan murid) adalah tindakan yang sangat penting sekali.
Pengertian Penginjilan
Ada beberapa definisi penginjilan yang ada, antara lain:
1. Archbishops Committee (tahun 1918) mendefinisikan kata menginjili/to evangelize sbb:
is so to present Christ Jesus in the power of the Holy Spirit, that men shall come to put their trust in God through Him, to accept Him as their Saviour,
and serve Him as their King in the fellowship of His Church.
(untuk menghadirkan Yesus Kristus dalam kuasa Roh Kudus, sehingga semua orang akan datang dan percaya kepada Tuhan melalu Yesus, menerima Dia sebagai juruselamatnya dan untuk melayani Dia sebagai raja dalam persekutuan gereja-Nya. (3)
2. J.I. Packer mendefinisikan penginjilan sebagai memberitakan Inijil, kabar baik. Penginjilan adalah pengkomunikasian yang dilakukan oleh orang kristen sebagai penyambung lidah Allah yang menyampaikan berita pengampunan Allah kepada orang berdosa. (4)
3. The Department of Evangelism of the Presbyterian Church USA menyatakan: “Evangelism is joyfully sharing the good news of the sovereign love of God and calling people to repentance, to personal faith in Jesus Christ as savior and Lord, to active membership in the church and to obedient service in the world.” (Penginjilan adalah dengan gembira membagikan kabar baik tentang kedaulatan kasih Allah dan memanggil manusia untuk bertobat, untuk percaya secara pribadi pada Yesus sebagai juruselamat dan Allah, aktif dalam pelayanan di gereja dan untuk melayani di dunia dengan patuh.” (5)

Dari tiga definisi di atas, menurut penulis definisi kedua adalah yang terbaik. Definisi pertama mengecilkan arti anugerah dan pemilihan Allah karena kata-kata ‘sehingga semua orang akan datang dan percaya kepada Tuhan melalu Yesus’ dapat diartikan manusia mendapatkan keselamatan karena datang dan percaya dengan kemauannya sendiri. Sedangkan definisi ketiga menjadi ‘melebar’ dengan kata-kata ‘aktif dalam pelayanan di gereja dan untuk melayani di dunia dengan patuh.’ Tentu saja kata-kata itu tidak salah tapi tujuan pemberitaan Injil adalah ‘memproklamasikan’ Kristus, bukan lainnya.

Dasar Alkiabiah Penginjilan Lintas Budaya
Setiap budaya mempunyai kekhasannya masing-masing yang berbeda satu dengan lainnya. Interaksi antara dua budaya yang berbeda akan menimbulkan potensi kesalah-pahaman. Demikian juga penginjilan lintas budaya mempunyai potensi kesalah-pahaman sehingga dapat terjadi bukan isi berita Injil belum diberitakan tapi si pembawa berita sudah ditolak terlebih dahulu.
Penginjilan dapat dilakukan dengan berbagi macam model atau metode. Salah satu model penginjilan adalah penginjilan lintas budaya. Dasar Alkitabiahnya adalah Kisah 1:8 “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." Ayat ini menunjukkan Yesus mengutus orang percaya untuk melakukan penginjilan di sekeliling kita sampai ke ujung dunia, yang berarti melakukan penginjilan lintas budaya.
Sebuah teladan diberikan oleh Paulus dalam Kisah 16:9 di mana Roh Allah mencegah Rasul Paulus ke Asia kecil dan membelokkannya ke Makedonia di mana Injil sangat dibutuhkan tidak hanya untuk bangsanya, tapi untuk semua makhluk dan tidak bisa ditunda. Setiap hari di seluruh dunia, banyak manusia
meninggal tanpa Kristus. Inilah yang juga harus menjadi urgensi kita dalam pengutusan lintas budaya. (6)

Pengertian Konsep Penginjilan Lintas Budaya
Pengertian penginjilan dan misi penginjilan sering kali dipergunakan secara bergantian dan dianggap sama. Pada kenyataannya kedua istilah ini berbeda walau tidak dapat dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa penginjilan adalah bagian dari misi penginjilan dan fokus utama dari misi penginjilan adalah melakukan penginjilan.
Pengertian dari penginjilan lintas budaya adalah melakukan penginjilan kepada mereka yang mempunyai budaya yang berbeda dengan si penginjil. Pengertian mempunyai budaya yang berbeda tidak harus berarti melakukan penginjilan di luar negeri atau melakukan penginjilan kepada suku bangsa yang berbeda dengan si pembawa berita kabar baik itu. (7).
Pada kenyataannya, penginjilan lintas budaya dapat dilakukan kepada orang-orang yang sama suku bangsanya dengan si penginjil. Sebagai contoh, orang-orang dari suku Jawa dapat mempunyai worldview yang berbeda-beda dan mempunyai budaya yang berbeda pula. Si A yang tinggal di desa akan berbeda budaya dengan si B yang tinggal di kota besar, dan akan berbudaya berbeda pula dengan si C yang hidup di luar negeri walau mereka semua berasal dari suku bangsa yang sama. (8)
Dalam buku Kairos, hal ini di gambarkan dengan simbol E1, E2 dan E3.

Kesulitan Utama Penginjilan Lintas Budaya
David J. Hesselgrave menulis dengan sangat rinci kesulitan-kesulitan yang dihadapi para misionary yang melakukan penginjilan lintas budaya (communicating Christ cross-culturally). Satu hal utama yang penulis tangkap adalah masalah perbedan budaya atau kultur ‘lipat tiga’. Maksudnya adalah Firman yang akan dikomunikasikan mempunyai kultur sendiri, pembawa berita mempunyai kultur sendiri yang berbeda, dan penerima beritapun mempunyai kultur yang berbeda. (9) Salah satu bahaya dalam penginjilan lintas budaya adalah sinkretisme karena proses kontekstualisasi yang berlebihan. Tentu saja masih ada banyak sekali kesulitan-kesulitan dalam melakukan penginjilan lintas budaya, walau akar persoalan yang paling dalam akan bersumber pada perbedaan kultur.

Kesimpulan
Penginjilan wajib dilakukan oleh semua orang percaya, termasuk penginjilan lintas budaya. Walaupun demikian, penginjilan lintas budaya tidak harus dilakukan secara lintas negara. Sebagai contoh, PI lintas budaya dapat dilakukan kepada turis-turis yang datang ke kota di mana kita tinggal atau dilakukan pada masyarakat sekitar yang mempunyai budaya yang berbeda dengan kita.

Bibliografi:
1. Pekabaran Injil Pribadi, diambil dari http://www.perkantasjkt.org/ArticleDetail.asp?id=16 pada 21 Februari 2009.
2. Yakub Tri Handoko, MENGGALAKKAN MISI DALAM GEREJA LOKAL: Sebuah Pengantar dan Pedoman Praktis, diambil dari http://www.gkri-exodus.org/page.php?ART-MS-Gereja_Misioner, pada 21 Februari 2009.
3. J.I. Packer, Evangelism And The Sovereignty Of God, Momentum Surabaya, 2003, halaman 25-26.
4. idem, 29.
5.
6. e-JEMMi - Edisi No_ 19 Vol_ 10-2007.htm, diambil dari http://www.sabda.org/publikasi/misi/2008/19/, pada 21 Februari 2009.
7. Kairos, (halamannya saya tidak dapat sebutkan karena buku Kairos milik saya, saya berikan kepada seorang hamba Tuhan).
8. Rahmiati Tanujaya, Materi dalam SAAT Preaching Conference 1, 2006.
9. David J. Hesselgrave, Communicating Christ Cross Culturally, SAAT Malang, 2001, halaman 104.

Introduction to Cross Cultural Ministry

Pendahuluan
Ringkasan paper (terjemahan) ini membahas tentang pengenalan akan pelayanan lintas budaya yang dibagi menjadi sembilan bagian yaitu the Bible is multi-cultural, the Bible is above the culture, the origin of communication, division caused by sin, a Biblical theologi of missions, worldview, degrees of cross cultural ministry, principles of cross cultural ministry, dan cross cultural teaching.

Alkitab adalah multi kultural
Alkitab adalah sebuah dokumen yang multi kultural yang dapat digunakan oleh semua orang untuk ber-relasi dengan Allah dan manusia lainnya. (Kej. 1:27; Pengkotbah 3:11; Roma 2:14-15; 1 Yoh. 4:8)
Ted Ward mengungkapkan bahwa pada dasarnya manusia mirip satu dengan lainnya. Tuhan bermaksud agar manusia dalam berbagai budaya menggunakan prinsip-prinsip Alkitab dalam ber-relasi dengan budaya-budaya yang lain.

Alkitab berada di atas budaya
Alkitab (wahyu khusus) berada di atas budaya karena budaya termasuk di dalam bagian wahyu umum. Kebenaran wahyu umum harus selalu ditundukkan di bawah kebenaran Alkitab sebagai kebenaran yang absolut. Hal ini mengakibatkan ketika terjadi benturan atau konflik antara budaya dan Alkitab, budaya tersebut yang harus ditundukkan di bawah kebenaran mutlak Alkitab (Yoh. 4:19-22; Titus 1:5-9; 1 Tim. 3:1-7).
Sebuah pertanyaan yang menarik dalam penafsiran Alkitab adalah apakah (penafsiran) Alkitab adalah hasil dari suatu keadaan budaya tertentu dan apakah hal ini berlaku pada setiap generasi dan setiap manusia?. Contoh dari pertanyaan ini misalnya pada pemimpin wanita di gereja (1 Tim. 2:12), dan isu poligami.
Marvin K. Mayers menyatakan bahwa para misionaris adalah agen-agen perubahan yang telah menghentikan pembakaran para janda di India, pembunuhan anak kembar di Afrika, dan prostitusi di Hawaii. Allah mampu dan ingin untuk menyatakan kesalahan dalam pengertian kita; walaupun demikian, hal itu tidak termasuk dalam berkompromi dengan pola pikir yang non-kristiani.

Asal-usul komunikasi
Kita berkomunikasi karena Allah berkomunikasi dalam diri-Nya (Yoh 17:5, 24; Yoh 17:18; Yoh 17: 25; Yoh 1:1; Kej. 1:1-2; Yoh 1:3; Kol. 1:16). Francis Schaeffer menyatakan bahwa kasih dan komunikasi dalam Trinitas adalah dasar dari kasih dan komunikasi di antara pria dan wanita yang diciptakan-Nya (Kej. 1:27).

Pemisahan disebabkan oleh dosa
Schaeffer juga menyatakan bahwa dunia kita adalah dunia yang abnormal karena sudah dipengaruhi oleh dosa yang juga mempengaruhi setiap aspek hidup manusia. Manusia terpisah dari Allah karena dosa menyebabkan pemisahan secara spiritual. Manusia terpisah dalam kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat, bahkan dalam budayanya sendiri. Hal ini menyebabkan masalah secara sosial dan psikologi. Keterpisahan ini menciptakan tantangan di dalam dan di antara budaya-budaya. Perbedaan diperkuat oleh dosa dan diekspolitasi oleh setan di antara orang kristen dan non kristen. Misalnya dosa seksual (Yud. 1:7), kesombongan intelektual (Kis. 17:18), kekejaman (Nahum 3:19).
Keterpisahan ini dapat ‘dijembatani’ oleh Alkitab. Pertobatan manusia akan menyebabkan perubahan dalam masyarakat. Orang percaya adalah ciptaan yang baru dalam Kristus dengan tujuan dan nilai-nilai yang baru. Masalahnya penginjilan adalah sebuah peperangan rohani sehingga ada penolakan secara supranatural terhadap Firman Tuhan sehingga perlu kuasa Roh Kudus untuk menembusnya. Hal inilah yang disebut sebagai ‘kebangkitan awal (awakening)’, bukan ‘kebangunan (revival) yang terjadi di antara orang percaya.

Teologi penginjilan yang Alkitabiah.
Allah bermaksud untuk terlibat dalam penginjilan lintas budaya. Matius 28: 19-20 menyatakan bahwa Dia sendiri menyertai kita. Bahkan sejak PL, Dia sudah menjadi terang bagi orang belum percaya (Yes. 42: 6-7). Pantekosta menggaris-bawahi halangan besar dari segi bahasa bagi penginjilan lintas budaya. Sedangkan halangan untuk melakukan PI lintas budaya kepada non Yahudi di atasi Allah dengan mengirimkan malaikat-Nya (kepada Petrus), penglihatan, dan waktu yang tepat (Kis 10:3, 11, 19-20). Salah satu halangan yang dihadapi adalah etnosentris, yaitu pandangan/penilaian yang menganggap budaya diri sendiri lebih baik dari pada budaya orang lain.


Pola-pikir
Budaya dapat didefinisikan sebagai solusi-solusi tertentu untuk memenuhi kebutuhan hidup yang diadopsi oleh sekelompok bagian masyarakat. Kepercayaan terdalam dan asumsi terhadap dunia, termasuk nilai-nilai, perspektif, dan kelakuan membentuk pola pikir seseorang. Pola pikir membentuk cara pikir di mana pesepsi diinterprestasikan. Pola pikir ini sering tidak disadari karena terbentuk secara alami sejak mulai lahir.
Dalam menemukan pola pikir dari sebuah grup etnis, George Foster menganjurkan pemakaian metode triangulation. Mencari penjelasan yang masuk akal yang digunakan (misal.mengeluaran banyak biaya bagi pernikahan). Sementara itu perilaku yang ‘tidak biasa’ diobservasi (misal tidak membuat pesta mewah walau mempunyai banyak kekayaan). Penjelasan dicari dari penjelasan sebanyak mungkin dari perilaku yang tidak biasa itu. Hasilnya didapat dari intersection (pertemuan) jawaban-jawaban yang paling banyak agar dapat menjelaskan perilakunya, di mana perilaku tersebut menjelaskan pola pikirnya.

Tingkatan dari pelayanan PI lintas budaya
Kis 1:8 dapat dijadikan acuan bagi tingkatan keterlibatan dalam PI lintas budaya. Bagi orang Yahudi, Yerusalem bukanlah lintas budaya (M1), walaupun demikian dalam budaya yang sama ada sub-budaya yang berbeda. Sedangkan Samaria dapat dikategorikan sebagai PI lintas budaya (M2). Di sini biasanya dasar bahasa sama dengan perbedaan dialek. Sedangkan ‘ujung dunia’ (M3) adalah PI lintas budaya dengan bahasa dan budaya yang berbeda.

Prinsip-prinsip pelayanan PI lintas budaya
Bagian ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
1. Inkarnasi.
Gap budaya terbesar yang pernah terjadi adalah ketika Allah berinkarnasi menjadi bayi Yesus, inilah kenosis. Prinsip inkarnasi dari PI lintas budaya inilah model yang paling dominan dalam misi penginjilan dewasa ini.Yesus datang untuk melayani, bukan untuk dilayani. Dia mengosongkan diri-Nya dan menciptakan jembatan bagi Allah dan manusia berdosa.
Identifikasi pada ‘target’ manusia diilustrasikan oleh Paulus dalam 1 Kor 9: 22b). Ilustrasi tentang sunat dalam Kis. 16:3 mengajarkan prinsip-prinsip kontekstualisasi. Prinsip kontekstualisasi meembuat Firman Tuhan relevan bagi si target tanpa mengkompromikan kebenaran prinsip Alkitab. Jadi pelayanan inkarnasi adalah pelayanan yang fleksibel tanpa mengkompromikan prinsip Firman Tuhan. Bagaimanapun juga, identifikasi secara menyeluruh terhadap yang dilayani sulit bahkan tidak mungkin dilakukan karena perbedaan-perbdaan seperti bahasa, pola pikir, pendidikan, dan ekonomi. Jonathan Bonk memberikan contoh kesulitan dalam hal ekonomi. Dia menganjurkan pengidentifikasian secara ekonomi terhadap yang dilayani, tetapi ketika sang misionaris berada dalam level ekonomi yang sama dengan yang dilayani (konteksnya miskin), dia akan mengalami kesulitan karena pelayanan membutuhkan uang.

2. Etnografi: belajar budaya.
Paulus memberikan contoh dalam Kis. 17:23 di mana dia menggunakan kepercayaan rakyat Atena yang memuja “Allah yang tidak dikenal’ dengan memproklamirkan Firman Tuhan. Di sini Paulus sadar untuk membangun jembatan budaya antara rakyat Atena dan Firman Tuhan.
Pengamatan terhadap etnografi terhadap budaya akan membantu untuk mengerti terhadap yang dilayani dan menemukan titik temu bagi Firman Tuhan. Sebuah contoh adalah pengertian ‘anak perdamaian’ bagi suku Sawi yang dilayani Don Richardson. Ted Ward menyarankan untuk mencari pola perilaku dan mengajukan pertanyaan ‘mengapa?’.
Pelayanan PI lintas budaya bagaikan ‘melakukan penambangan’. Kita perlu menyelidiki dengan hati-hati segala situasi, menyerap berbagai informasi seperti: Bagaimana mereka ber-reaksi, mengapa mereka ber-reaksi seperti itu, dan lain-lain. Riset etnografi terhadap budaya target sangat berguna seperti misalnya Dictionary of Race an Ethnic Relations dan Encyclopedia od African American Religion.

3. Membangun relasi.
Esensi dari pelayanan kristen adalah hubungan pribadi dengan yang dilayani. Sebuah hubungan yang baik secara pribadi mendahului pemberitaan Injil yang efektif sehingga si pemberita harus diterima terlebih dahulu sebelum Injil diterima. Tentu saja hal ini tidak mutlak karena Roh Kudus tidak terbatas kuasanya, tetapi hubungan baik secara pribadi sangatlah penting bagi pemuridan.
Sebuah kepercayaan tidak mudah didapat, hal ini mungkin butuh waktu bertahun-tahun untuk mendapatkan reputasi sebagai orang yang dapat dipercaya. Hal lain yang perlu diperhatikan (Meyers) adalah penerimaan terhadap kekurangan diri sendiri berdasar pada penerimaan Allah kepada diri sendiri. Akan lebih mudah untuk menerima kekurangan orang lain ketika kita sadar dan mampu menerima kekurangan diri sendiri (Roma 15:7). Tuhan dapat juga memakai kesulitan hidup untuk membentuk kita agar dapat melayani dengan baik (Josh McDowell). Dari dasar penerimaan terhadap diri sendiri kita dapat mengasihi orang lain karena kasih mengatasi konflik.

Pengajaran PI lintas budaya
Kelompok-kelompok etnis yang berbeda-beda mempunyai gaya belajar yang berbeda. Perbedaan yang umum adalah antara ‘field dependent’ dan ‘field independent’. Metode PI yang dahulu adalah berfokus pada kelompok dengan hubungan murid dan guru. Study secara independen dan orientasi pembelajaran dapat menentukan metode yang cocok bagi suatu budaya tertentu.

Kesimpulan
Penginjilan lintas budaya adalah sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan, walaupun demikian diperlukan sebuah persiapan yang matang agar pelayanan itu dapat berhasil dengan maksimal dan optimal. Seperti layaknya melakukan kegiatan penambangan, pelaku PI lintas budaya perlu mempersiapkan diri terhadap mental, budaya, bahasa, pola pikir, geografi, dll. Sebuah persiapan yang baik, doa yang banyak dan penyertaan Roh Kudus adalah kunci keberhasilan misi lintas budaya.

Pengembangan Kompetensi Profesional

Pendahuluan

Buku ini ditulis oleh Pdt. Dr. Sentot S. Sadono. Beliau adalah mantan ketua umum GGBI dan saat ini beliau menjabat ketua (rektor) Sekolah Tinggi Teologi Baptis Indonesia di Semarang.
Buku ini dibagi menjadi tujuh bab yang mengulas secara lugas dan Alkitabiah tentang topik pengembangan kompetensi profesional para hamba Tuhan yang melayani diberbagai bidang.


Bab I: Profesional Dan Kompetensi Profesional

A. Profesi dan profesional
Bab ini memberikan pengertian dan perbedaan pengertian antara profesi dan profesional. Pengertian profesional sebagai kata benda adalah orang yang berprofesi tertentu. Sedangkan sebagai kata sifat pengertian profesional menunjuk kepada sifat cara kerja atau hasil kerja seseorang yang berprofesi tertentu.
Sedangkan pengertian profesi sendiri tidak selalu seperti pengertian umum bahwa profesi adalah pekerjaan. Kamus besar bahasa Indonesia mendefinisikan profesi sebagai: bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dsb) tertentu”. Definisi di atas sebenarnya tidak dapat dipakai untuk menentukan apa saja pekerjaan yang termasuk profesi dan mana yang tidak. Dalam memahami definisi profesi, Cervero menyatakan pentingnya mengetahui ancangan-ancangan utama untuk memberikan definisi profesi, memilih satu di antaranya, dan menyediakan alasan bagi pilihan itu.

Ada tiga ancangan untuk mendefinisikan profesi:
• Ancangan statik.
Ancangan ini menetapkan bahwa profesi harus mencakup pemakaian intelektual, memperoleh bahan-bahannya dari sains, mencakup sasaran yang pasti dan praktis, memiliki teknik yang dapat diajarkan, cenderung pada pengaturan diri sendiri, dan altruistik.
• Ancangan proses
Ancangan ini memandang semua pekerjaan ada pada sebuah kontinum profesionalisasi.
• Ancangan sosio-ekonomi
Ancangan ini mengatakan bahwa sebuah profesi adalah konsep rakyat yang spesifik secara historis dan nasional.

Buku ini cenderung mengikuti ancangan sosio-ekonomi sampai batas-batas tertentu. Ancangan ini tidak terlalu longgar atau terlalu ketat sehingga cenderung mengikuti paradigma filosofis postpositivisme yang menekankan kemungkinan dan mengakui unsur subyektifitas tanpa terlalu jauh masuk ke dalam relativisme.
B. Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional mencakup kemampuan untuk berfungsi secara efektif dalam tugas-tugas yang dianggap pokok dalam profesi tertentu. Kompetensi profesional mencakup (1). Keahlian-keahlian khusus bagi profesi atau bidang ilmu yaitu dasar pengetahuan khusus untuk bidang ilmu, kecakapan teknis yang dianggap pokok dalam profesi, dan kemampuan menyeesaikan macam-macam masalah yang dihadapi dalam profesi. (2). Ciri-ciri umum orang yang memudahkan orang itu mengembangkan atau mempertahankan kompetensi profesional yaitu kemampuan intelektual, ciri-ciri kepribadian, motivasi, sikap dan nilai.

C. Profesional Keagamaan
Panggilan para rohaniawan adalah panggilan untuk menjadi seorang yang benar-benar percaya. Panggilan ini adalah panggilan umum bagi semua orang kristen dan merupakan dasar bagi panggilan-panggilan lainnya. Panggilan ini umumnya bersifat kodrati walau ada yang berifat adikodrati. Penulis buku berpendapat bahwa hamba Tuhan adalah profesional plus-minus karena hamba Tuhan menyambut panggilan dan melaksanakan pengutusan Tuhan dan gereja-Nya serta bertanggung jawab pada Tuhan.
Profesionalisme dalam pelayanan kristen berarti mengembangkan pengetahuan khusus mengenai Alkitab, teologi, khotbah, etika, konseling dll. Contohnya belajar pemakaian bahasa, suara, intonasi dalam khotbah, study lanjut dalam psikoterapi untuk melakukan konseling.
Pengertian profesional adalah mampu menerapkan prinsip-prinsip umum pada situasi tertentu, mempertimbankan situasi yang baru dan membuat keputusan mengenai situasi itu berdasarkan pengetahuan. Terlepas dari dianggap profesional atau tidak, hamba Tuhan harus memenuhi syarat-syarat kompetensi tertentu yaitu dengan mengembangkan dan membaharui setiap segi kompetensinya sebagai seorang hamba Tuhan.

Ada beberapa kriteria pengembangan dan pembaharuan keahlian:
• Kriteria eksekutif: seseorang dapat melakukan keahlian secara hemat dari segi sarana dan secara luwes.
• Kriteria teknik: dapat melakukan keahlian dengan hasil yang diharapkan dan paling efektif.
• Kriteria psikososial: melaksanakan keahlian secara bebas dari ketidaksehatan psikologis dan ketidaksehatan organisasi.
• Kriteria moral: melaksanakan keahlian dengan membantu perubahan sifat pribadi dan sosial sesuai dengan prinsip-prinsip cara hidup yang manusiawi.
• Kriteria internal: melaksanakan keahlian dengan kesadaran bahwa ia melakukan secara baik dan unggul.

Kriteria-kriteria di atas penting karena yang diharapkan bukan hanya sekedar menyelesaikan tugas melainkan juga cara mengerjakannya. Hal ini mencakup gaya, sikap, dan komitmen sehingga ada integritas. Pengembangan dan pembaharuan ini diupayakan mencapai stailisasi (tingkatan di mana ada perpaduan antara teknik dan gaya) dan artistri (menjadi ahli sehingga dapat berpikir sambil menjalankannya).
Berdasarkan 1 Tim. 3:1-7 dan Titus 1:5-9, kualitas hamba Tuhan adalah pengalaman sebagai orang kristen, kepribadian yang mencerminkan buah-buah Roh, setia dalam perkawinan, berhasil dalam keluarganya, berpengetahuan kebenaran dan mampu mengajar, bernama baik, dan bebas dari kejahatan. Untuk itu pengetahuan dasar keahlian tidak hanya mencakup pengetahuan teologi klasik saja melainkan mencakup juga pengetahuan seperti psikologi, sosiologi, filsafat, bahasa, manajemen dll.
Pengembangan kompetensi dan pembaharuan kompetensi hamba Tuhan juga harus disesuaikan dengan konteks hidup kontemporer. Tanpa pengembangan dan pembaharuan maka hamba Tuhan akan kehilangan fungsinya di gereja dan di masyarakat. Perkembangan zaman telah mendorong peran gereja secara marjinal di masyarakat. Agama kristen dan pemimpinnya hanya akan berpengaruh secara privat, yaitu terhadap kehidupan pribadi dan kelompok khusus yang terbatas dan tidak berpengaruh secara publik. Gereja terdiferiansi menjadi sub-sistem bukan lagi menjadi sistem yang dominan. Bahkan dalam sub-sistem itu, banyak peran hamba Tuhan yang diambil oleh sub-sistem lain (bidang pengetahuan, sastra, pendidikan tinggi, dan kesembuhan). Dalam sub-sistem gereja masa kini anggota gereja makin tinggi kesadarannya bahwa penggilan dan pelayanan itu juga bagi mereka juga sehingga pelayanan-pelayanan yang dulu hanya dijalankan hamba Tuhan, kini dijalankan oleh anggota gereja juga. Kecuali bila hamba Tuhan mengubah perannya, maka di sub-sistemnya sendiri ia akan mempunyai peran yang marginal.


Bab II: Pengembangan Kompetensi: Kepentingan Dan Ancangan

A. Kepentingan Pengembangan Kompetensi.
Dalam perkembangan masa globalisasi ini, hamba Tuhan harus menyikapinya secara kognitif dengan keterbukaan dan siap untuk berubah. Masa ini ada anggota-anggota jemaat yang ingin dan mampu berbagi pelayanan dengan hamba Tuhan. Karenanya pengembangan kompetensi harus mencakup pembekalan bagi pelayanan anggota jemaat sehingga mutu pelayanannya setaraf dengan hamba Tuhan. Pembekalan tidak hanya secara teologia tetapi sampai pada tindakan transformasi segi kehidupan yang lebih baik.
Kegagalan untuk mempertahankan kompetensi profesional menghasilkan keusangan profesional berupa kesenjangan antara pengetahuan, kecakapan, kemamuan, dan keahlian untuk menjalankan tugas-tugasnya masa kini dan masa mendatang. Keusangan ini dapat mengakibatkan inkompetensi profesional.

B. Ancangan Dalam Pengembangan Kompetensi.
Ada dua macam ancangan dalam pembaharuan kompetensi profesional yaitu pembaharuan yang dilakukan segera sesudah keusangan atau ketika kompetensi menurun (ancangan remedial) dan ancangan berupa pembaharuan secara terus menerus, segera setelah gelar diterima dan berlangsung sepanjang kariernya (ancangan developmental).
Ada tiga ancangan bagi pemeliharaan kompetensi profesional:
• Memusatkan perhatian pada fakor-faktor di lingkungan kerja yaitu motivasi, penugasan kerja, perilaku dan sifat supervisory, suasana organisasi, interaksi dengan rekan, dan kebijakan dan praktek manajemen. Dengan kata lain ada dua faktor pendukung pembaruan kompetensi profesional yaitu faktor pendukung dari lingkungan dan faktor pendukung dari diri sendiri (motivasi pribadi).
Ada lima faktor utama dari lingkungan kerja yang mendorong pembaruan kompetensi:
(1). Tantangan kerja dan tugas
(2). Perilaku supervisori
(3). Suasana organisasi
(4). Interakasi dengan rekan kerja
(5). Kebijaksanaan dan praktek manajemen

Untuk memperkirakan motivasi digunakan tiga informasi yaitu kepercayaan ekspektansi, kepercayaan intrumentalitas, dan valensi hasil. Ekspektansi mengacu pada pemahaman antara usaha (proses belajar) dengan hasil yang didapat. Instrumentalitas mengacu pada kepercayaan bahwa mencapai suatu hasil akan mempengaruhi hadiah. Valensi mengacu pada nilai yang ditempatkan seseorang pada hasil dan hadiah.

Berdasarkan hal di atas, Farr dan Middlebrooks menekankan pada peningkatan motivasi profesional yang ditentukan oleh interaksi antara faktor lingkungan kerja dan faktor pribadi. Sementara itu Miller mengusulkan strategi organisasional, environmental, dan rancangan kerja yang menyuburkan kompetensi. Sedangkan Kaufman mengusulkan teknik-teknik pengelolaan untuk mempertahankan kompetensi dalam aspe-aspek yang berkenaan dengan ciri-ciri individual, berkenaan dengan sifat kerja, dan berkenaan dengan suasana keorganisasian.

• Melibatkan pelatihan kecakapan khusus yang kurang pada dirinya.
Queeny dan Smutz mengembangkan sebuah model yang disebut The Practice Audit Model yang mencakup fase-fase sbb:
(1). Mengorganisasikan tim profesi yang menjalankan proyek
(2). Mengembangkan penggambaran praktek
(3). Mengembangkan bahan pemeriksaan unjuk kerja
(4). Sesi audit praktek
(5). Menganalisis indikator-indikator unjuk kerja membandingkan unjuk kerja dan standar.
(6). Merancang dan merencanakan program pedidikan profesional lanjutan.
(7). Mengimplementasikan program; mengevaluasi keefektifan program.
Model lain adalah behavioral modeling (Sparkin dan Goldstein) yang memakai prosedur belajar terstruktur mencakup, modeling, role playing, dan kembalian unjuk kerja.

• Meliputi pembaharuan secara mandiri dengan pengarahan oleh diri sendiri.

Bab III: Kecakapan Belajar Dalam Pengembangan Kompetensi

Pembaruan kompetensi mempunyai sebuah syarat yang sangat penting yaitu kecakapan belajar. Orang yang memiliki kecakapan belajar adalah orang yang mengetahui cara mengendalikan belajarnya, cara mengembangkan rencana belajar pribadi, cara mendiagnosa kekuatan dan kelemahan sebagai pelajar, cara memahami sebuah gaya belajar chart, cara mengatasi hambatan pribadi terhadap belajar, kriteria bagi tujuan-tujuan belajar yang baik, kondisi yang kondusif dalam belajar, cara belajar dari pengalaman hidup sehari-hari, cara bernegosiasi dengan birokrat kependidikan, cara belajar dari multimedia, cara memimpin dan berperan serta dalam kelompok diskusi dan kelompok penyelesaian masalah, cara memanfaatkan lokakarya dan konferensi, cara belajar dari seorang mentor, cara memakai intuisi dan visi untuk belajar, cara menolong orang lain belajar secara lebih efektif.

Untuk dapat belajar demi pembaruan kompetensi, hal berikut harus dilakukan:
• Memenuhi syarat-syarat untuk berhasil dalam belajar. Bagian ini terdiri dari pengertian umum yang menjadi dasar sikap positif dan motivasi, kecakapan dasar untuk belajar, pengetahuan tentang diri sendiri, dan pemahaman tentang tiga proses metode belajar (belajar mandiri, kerjasama, dan kelembagaan).
• Menyesuaikan belajar dengan gaya belajar, yaitu kecenderungan dan selera pribadi yang mempengaruhi belajar atau cara-cara khas seseorang dalam memproses informasi, merasa, dan bertindak dalam situasi belajar.
• Mengikuti pelatihan, yaitu kegiatan terorganisir atau pengajaran untuk meningkatkan kompetensi dalam belajar.

Smith meringkaskan langkah-langkah pengembangan kompetensi dalam belajar bagaimana belajar sbb:
• Pemahaman umum.
Terdiri dari belajar mungkin, belajar develomental, kecemasan dan penolakan formal, belajar bagaimana belajar penting, belajar dapat digunakan dalm situasi lain, rancangan meningkatkan keefektifan belajar, dan pelajar mempunyai hak.
• Kecakapan dasar.
Berupa komunikasi, membaca dan memahami bacaan, dan menghitung.
• Sumber daya dan metode.
Yaitu kecakapan untuk belajar sendiri, belajar bersama, belajar dari lembaga, dan kemampuan merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi proyek belajar.
• Pengetahuan diri sendiri.
Tentang gaya belajar dan hambatan pribadi dalam belajar.
• Riset dan pelatihan
Berupa mengembangkan pengetahuan baru mengenai belajar bagaimana belajar dan menolong orang lain belajar bagaimana belajar.


Bab IV: Pengembangan Kompetensi Melalui Pendidikan Profesional Lanjutan Dan Study Lanjut

Untuk membarui kompetensi melalui sarana pendidikan profesional lanjutan (misalnya perguruan tinggi, organisasi profesi) harus dipilih yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan diri sendiri.
Dalam mempertimbangkan study lanjut perlu ditanyakan beberapa pertanyaan sbb:
• Bagaimana bidang pengetahuan atau praktek ini dikembangkan?
• Apakah konsep-konsep dan istilah-istilah pokoknya?
• Apakah teori-teori pokoknya?
• Siapa pakar-pakarnya yang secara pling luas dihormati?
• Apakah satu atau dua buku pengantarnya?


Bab V: Pengembangan Kompetensi Dengan Belajar Sendiri

Salah satu cara untuk belajar sendiri adalah melakukan belajar secara mandiri atau melaksanakan proyek belajar pribadi. Syarat-syarat yang perlu untuk belajar sendiri adalah:
1. Pemahaman atas asumsi-asumsi yang mendasari mode belajar mandiri dan apa bedanya dari belajar bersama dan belajar kelembagaan.
2. Memahami proses yang tercakup seperti perencanaan dsb.
3. Adanya kemudahan lebih banyak dalam implementasi proses.

Untuk merencanakan proyek belajar mandiri perlu melakukan sebuah perencanaan yang baik dan teratur. Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah sbb:
• Menentukan apa yang dipelajari
• Memastikan sasaran dan tujuan
• Menetapkan kriteria evaluasi
• Menentukan sumber daya
• Memutuskan bilamana mencari pertolongan
• Memilih strategi
• Pelaksanaan strategi.
Mencakup melakukan wawancara dan mengajukan pertanyaan, membaca, mendengar, mengamati, menonton, berlatih sebuah kecakapan, memperoleh kembalian, merancang cara menghindari rintangan, menciptakan lingkungan belajar yang cocok, menerapkan apa yang dipelajari, dan kegiatan lain-lain.

Selain apa yang sudah ditulis di atas, ada cara belajar sendiri yang dapat dijalankan:
• Menemukan, mengakses, memilih dan memakai sumber informasi, termasuk membaca bacaan profesional dan mengkritik riset.
• Melakukan praktek atau belajar dari praktek dan pengalaman hidup sehari-hari.
• Menjadi anggota asosiasi profesional.
• Membagikan pikiran-pikiran secara tertulis dan melalui presentasi.
• Belajar dari mentor.
• Belajar dari radio dan TV (multimedia).
• Belajar dengan komputer.
• Belajar melalui intuisi dan mimpi.


Bab VI: Pengembangan Kompetensi Dengan Belajar Bersama

Belajar bersama adalah belajar secara mandiri yang dilakukan secara bersama-sama. Diperlukan kondisi yang mendukung agar proses belajar bersama dapat berjalan secara optimal:
• Setiap orang berbagi dalam pengembangan dan evaluasi program.
• Kebebasan berekspresi diizinkan.
• Anggota-anggota kelompok memiliki kecakapan melakukan penyelidikan dan pemecahan masalah bersama-sama.
• Mendorong sikap diagnostik terhadap proses belajar.

Langkah-langkah perencanaan dalam belajar bersama adalah sbb:
• Menetapkan minat bersama semua angota.
• Mengembangkan pertanyaan, isi, ide, kecakapan, masalah khusus dalam kegiatan belajar.
• Menetapkan sasaran.
• Memilih sumber daya yang sesuai.
• Memilih prosedur atau strategi yang patut.
• Menempatkan kegiatan utama dalam sebuah format dan jadwal waktu.

Kegiatan belajar bersama melibatkan beberapa atau banyak orang sehingga setiap anggota termasuk pemimpin perlu menjaga tindakan yang bertangung-jawab sbb:
• Komunikasi: mendengar secara aktif dan menolong orang lain untuk memahami apa yang dibicarakan.
• Suasana: ikut berpartisipasi secara aktif untuk menciptakan sebuah suasana yang kondusif sehingga setiap orang dapat menjadi dirinya sendiri.
• Keterbukaan: menyatakan apa yang ingin dipelajari, mencoba ide baru, meminta feedback.
• Perlaku lain: berbagi dalam pengembangan dan evaluasi program, menjadi relawan bagi tugas dan peran khusus, dll.


Bab VII: Perencanaan Pengembangan Kompetensi Profesional

Sebuah rancangan mempengaruhi efektifitas belajar sehingga sebuah pembaruan kompetensi profesional di awali dengan rancangan yang baik. Langkah-langkah sebuah rancangan yang baik adalah sbb:
• Menggambarkan peristiwa pelayanan.
Gambarkan peristiwa-peristiwa yang perlu ditanggapi dari pelayanan pastoral. Contoh: sebuah kasus, laporan kejadian, laporan verbatim, dll.
• Memperhatikan sumber-sumber informasi yang relevan untuk didengarkan dalam merenungkan keputusan pastoral.
Sumber informasi adalah sumber informasi kristen (Alkitab, ajaran gereja sepanjang zaman, denominasi gereja), pengalaman pribadi, dan sumber informasi kebudayaan.
• Mengambil keputusan mengenai pelayan pastoral.
Langkah-langkah dalam merencanakan inervensi pastoral adalah menetapkan pokok permasalahan yang dihadapi, menetakan sasaran, menyatakan nilai-nilai yang tercermin dalam sasaran yang ditetapkan, menetapkan agenda, melaksanakan strategi, menilai intervensi pribadi.


Penutup

Buku ini memberikan pencerahan akan arti pentingnya seorang hamba Tuhan memperbaharui kompetensi profesionalnya dalam pelayanannya. Bahkan lebih dari itu buku ini juga memberikan informasi bagaimana caranya untuk memperbarui kompetensi profesional. Jadi buku ini pantas menjadi buku yang wajib dibaca oleh setiap hamba Tuhan baik yang sudah lama melayani maupun yang baru lulus dari seminari. Hal ini penting karena pepatah mengatakan ‘lebih baik mencegah daripada mengobati’. Artinya lebih baik membuat rancangan pengembangan kemampuan profesional pribadi sedini mungkin daripada menunggu kemampuan itu menjadi usang terlebih dahulu.

Manajemen Pengembangan Pelayanan

Pendahuluan

Buku ini ditulis oleh Drs. Hadi P. Sahardjo. Th.M. Beliau adalah alumni SAAT Malang (B.Th; S.Th.; M.A. in Theology dan M.Div., alumni International Theological Seminary Los Angeles, USA (Th.M.) dan melayani di GII Hok Im Tong Bandung. Saat ini beliau sedang study lanjut doktoral (D.Th.) di STBI Semarang.
Buku ini dibagi menjadi sebelas bab yang mengulas dan memberikan solusi bagaimana seharusnya setiap hamba Tuhan dapat mengembangkan dan meningkatkan pelayanannya.


Bab 1: Pengembangan Peran-Peran Pelayan

Bab ini membahas tentang peran-peran hamba Tuhan, yang dengan menyadari tugas panggilannya, sudah seharusnya terus-menerus meng-up grade dirinya. Sebelum melakukan hal itu, dia harus mengenali dirinya sendiri berkenaan dengan perannya sebagai:
• Peran sebagai pribadi.
Perilaku dan kehidupan pribadi seorang hamba Tuhan sangat berpengaruh terhadap pelayanan dan kepemimpinannya. Hal-hal berikut sangat penting untuk diperhatikan yaitu panggilannya, karakter, moral, kerohanian, kehidupan doanya, reputasi keuangan, gaya hidup, dan komitmennya.
• Peran sebagai kepala rumah tangga.
Mampu memberikan peran yang tepat kepada istrinya, menjaga keharmonisan keluarga, dan menjadikan kehidupan keluarga sebagai contoh bagi jemaat.
• Peran sebagai pelayan.
Tulus melayani bukan minta dilayani.
• Peran sebagai pengkhotbah.
Menyadari khotbah adalah bagian terpenting dalam pelayanannya.
• Peran sebagai guru/pengajar.
Cakap mengajar.
• Peran sebagai administrator.
Mengerti prinsip-prinsip organisasi dan administrasi secara tepat.
• Peran sebagai motivator.
Bertindak proaktif bagi kemajuan gereja dengan memotivasi jemaat.
• Peran sebagai inovator.
Inovasi penting dilakukan untuk mengantisipasi perubahan yang terjadi di masa mendatang.


Bab 2: Pengembangan Kualifikasi-Kualifikasi Dalam Pelayanan

Bab ini membahas sebagai pemimpin rohani, hamba Tuhan harus membekali diri dengan berbagai kualifikasi untuk menunjang pelayanannya yaitu:
• Kualifikasi natural, misalnya mental yang stabil, sifat yang simpatik, tekun, realistik.
• Kualifikasi pendidikan, yaitu pendidikan Alkitab di STT dan pendidikan budaya (bahasa, sejarah, psikologi, dll).
• Kualifikasi kerohanian, yaitu sudah lahir baru, pengalaman yang cukup, mempunyai kehidupan bersaat teduh dan berdoa secara rutin, sensitif dalam kehidupan rohani.

Ada tiga tugas pokok hamba Tuhan, yaitu:
• Proclaim, yaitu pemberitaan Firman Tuhan dari mimbar, memimpin ibadah, mengajar.
• Leading, yaitu menjalankan tugas sebagai gembala, mengatur masalah organisatoris dan administrasi.
• Care, yaitu menjalankan tugas pastoral (konseling) dan mengembangkan bimbingan jemaat.

Pelayanan yang dilakukan hamba Tuhan adalah pelayanan yang holistik yang meliputi seluruh aspek hidup manusia. Hal ini meliputi juga pelayanan perkunjungan (visitasi). Tujuan visitasi adalah mencari dan mengunjungi anggota jemaat satu persatu, mengabarkan Firman Allah dalam konteks hidup sehari-hari, melayani, dan membangun jemaat.
Visitasi dapat dilakukan di rumah jemaat dan rumah sakit. Kunjungan di rumah dapat bersifat hiburan, memberikan nasihat, ucapan syukur, dan bersifat pimpinan. Sedangkan kunjungan di rumah sakit perlu karena biasanya pasien merasa kesepian dan tidak dapat pergi ke mana-mana. Selain itu semasa sakit biasanya seseorang menjadi lebih terbuka terhadap berita Injil.


Bab 3: Mengembangkan Hubungan Interpersonal Dalam Diri Seorang Pelayan

Dalam pelayanan sehari-hari hamba Tuhan harus memperhatikan hubungan interpersonalnya dengan jemaat. Ada beberapa hubungan penting yang harus diperhatikan: hubungan antara gembala dan jemaat, hubungan antara anggota jemaat, hubungan dengan masyarakat, hubungan hamba Tuhan dengan pendahulunya, penerusnya dan jemaat yang akan ditinggalkannya. Kepribadian seseorang akan terbentuk dalam interaksinya dengan sesama secara pribadi.

Dalam pelayanan konflik yang merepotkan dapat terjadi. Ada beberapa macam konflik yang berbeda yaitu:
• Konflik intrapersonal
• Konflik interpersonal
• Konflik substantif, yaitu di antara seseorang dengan orang lain atau sekelompok orang lain, di antara seseorang dengan organisasi, dan di antara dua organisasi.

Dari cara pendekatannya, ada beberapa jenis konflik, yaitu:
• Approach-approach. Pilihan antara dua hal yang sama-sama baik.
• Approach-avoidance. Pilihan antara dua hal yang saling bertentangan tetap punya nilai yang sama-sama berat/sulit.
• Avoidance-avoidance. Pilihan antara dua hal yang seharusnya sama-sama dihindari.
• Multiple approach-avoidance. Pilihan dari berbagai macam pilihan yang semuanya punya tingkat kesulitan dan bobot yang sama-sama berat.

Konflik yang terjadi dapat disebabkan oleh rasa saling tidak percaya, salah paham, komunikasi yang buruk, perbedaan nilai, dan emosi yang tinggi. Sebagai akibat terjadinya konflik pelayanan terhambat dan terjadi perpecahan dalam gereja karena terjadi dis-integasi, dis-fungsi, dan dis-sosiasi. Sedangkan strategi yang dapat dipakai dalam menghadapi konflik adalah strategi kolaborasi, kompromi, menghindar, akomodasi, kompetisi. Strategi lain adalah menggunakan pihak ketiga berupa arbitrasi, mediasi, dan konsultasi antar pihak. Dengan demikian, penyelesaian konflik menurut Alkitab adalah dengan sikap yang objektif (Neh. 5:1-13), saling mengampuni (Mat. 6:14), komitmen kepada kesatuan gereja (Ef. 4:3), optimis (1Tes. 5:18), proses penyelesaian yang benar (Mat. 18:15-20), doa (Mat. 18:20), mohon hikmat dari Tuhan (2 Raj. 3), kasih, empati dan ketulusan.


Bab 4: Penghambat Perkembangan Pelayan

Bagian ini membahas beberapa hal yang menyebabkan krisis atau penghambat perkembangan pendeta bahkan penyebab kegagalan pendeta:
• Kurang profesional.
• Congkak.
• Dengki.
• Terlalu mengasihani diri sendiri.
• Masalah keuangan.
• Masalah seks.
• Kedudukan.


Bab 5: Pengelolaan Pikiran, Perkataan Dan Tindakan Pelayan

Kegiatan berpikir, berkata-kata dan tindakan seorang pelayan Tuhan perlu dikelola dengan baik. Filipi 4:8 memberikan petunjuk tentang kegiatan berpikir yaitu memikirkan semua yang benar, mulia, adil, suci, manis, yang sedap didengar, kebajikan dan patut dipuji. Kegiatan berpikir sangat penting karena pikiran akan menjadi landasan bagi perkataan yang diucapkan. Sedangkan Paulus memberikan beberapa prinsip bagi tindakan orang percaya yaitu 1 Kor. 6:12; 1 Kor. 8:13; 1 Kor. 9:23; 1 Kor. 10:23; 1 Kor. 10:31; 1 Kor. 11:2-16. Paulus mengatakan apapun yang kita perbuat, perbuatlah itu bagi kemuliaan Allah. Inilah prinsip yang sangat penting.


Bab 6: Pengembangan Diri Melalui “Self-Disclosure”

Salah satu prinsip penting dalam pengembangan diri adalah melalui tahapan “self-disclosure” atau penilaian tentang diri sendiri yang jujur tanpa memakai topeng.

Sidney Jourad mengatakan “Bila seseorang tidak mengakui pada dirinya sendiri tentang siapa, apa, dan bagaimana dia itu, maka dia akan kehilangan hubungan dengan kenyataan dan kemudian dia akan sakit dan mati. Dan tidak ada seorangpun dapat menolongnya melepaskan diri dari kenyataan-kenyataan yang ada.

Sebenarnya topeng-topeng yang dipakai sehari-hari adalah suatu tempat bersembunyi dan menghalangi orang lain untuk mengetahui diri kita sebenarnya. Salah satu topeng yang paling sering dipakai dan diterima masyarakat adalah dengan menampilkan “kepribadian” yang baik.
Selain itu ada topeng-topeng lainnya yaitu:
• Humor dan tertawa.
Orang yang selalu jenaka seringkali merupakan orang yang merasa ketakutan dan merasa tidak aman.
• Tukang bicara.
Orang yang selalu berbicara walau sebenarnya tidak ada hal yang perlu dibicarakan. Berbicara terus menerus adalah topeng sehingga pribadi yang asli tidak terlihat.
• Rasionalisasi.
Yaitu cara yang dipakai untuk membenarkan dirinya dengan cara mencari alasan yang masuk akal. Sering cara ini dipakai untuk mengingkari perasaan yang sebenarnya dan mencari jalan keluar dari perasaan kita yang sebenarnya secara “rasional” walau sebenarnya bukan itu alasan sebenarnya bagi kita. Hal ini dapat dinyatakan dengan indah dalam bahasa inggris “The thing is not the thing, but the thing behind thing is the real thing”.
• Kegairahan rohani.
Pengalaman religius dapat menjadi sebuah kepalsuan terbesar karena menjadi tempat palarian dari kenyataan. Kegiatan rohani menjadi tempat untuk menyembunyikan “aku” yang sebenarnya beserta segala konflik-konflik yang ada di dalamnya.
• Kesibukan.
Inilah sebuah topeng yang populer dan diterima di masyarakat. Kesibukan dilakukan untuk menghindari perasaan hampa yang mencekam. Hanya saja “bekerja keras” adalah sifat yang bagus dan dipuji masyarakat sehingga topeng ini diterima dengan baik.

Selain apa yang sudah disebutkan di atas, masih banyak topeng yang lain seperti harga diri yang lebih, apatis, sombong, kasar, dll.


Bab 7: Pengembangan Dan Pengelolaan Karunia-Karunia Bagi Pelayanan

Karunia-karunia yang dimaksud adalah karunia-karunia dalam Roma 12:3-8, 1 Kor. 12:4-11, 28-30, Ef. 4:11, 1 Ptr. 4:11. paling sedikit ada 1 karunia yang dapat dikategorikan dalam tiga kategori utama yaitu:
• Karunia yang berkaitan dengan pelayanan.
Yaitu melayani, membagikan sesuau, kemurahan, memberi pertolongan, memimpin, menggembalakan.
• Karunia yang berkaitan dengan perkataan.
Bernubuat, mengajar, memberitakan Injil, hikmat, pengetahuan, menasihati, berbicara, membedakan roh.
• Karunia yang berkaitan dengan tanda-tanda.
Iman, menyembuhkan, mengadakan mujizat, berbahasa Roh, menafsirkan bahasa Roh.

Perbandingan antara buah Roh dengan karunia-karunia Roh

No Perbedaan dalam Buah Roh Karunia-karunia Roh
1 Kepemilikan Setiap orang percaya harus memiliki setiap aspek buah Roh Tidak setiap orang percaya memiliki semua karunia
2 Pengembangan Dihasilkan dari dalam Dihasilkan dari luar
3 Sifat Bekaitan dengan karakter (sifat) rohaniah Berkaitan dengan kemampuan rohaniah
4 Kegunaan Untuk kebaikan diri dan orang lain (baik yang percaya maupun belum) Untuk kebaikan Tubuh Kristus
5 Jumlah Tunggal dengan sembilan aspek Jamak/banyak, paling sedikit ada 19 karunia
6 Pengoperasian Dijalankan melalui kehadiran Roh Kudus Dijalankan melalui kuasa Roh Kudus
7 Masa Keberadaan Tetap/bersifat permanen Akan berhenti kalau yang sempurna datang

Selain bentuk karunia seperti di atas, ada bentuk lain yang dijumpai dalam Alkitab, yaitu:
• Karunia organisasi
Kemampuan untuk menyusun rancangan yang efektif untuk mencapai sasaran-sasaran yang ingin dicapai.
• Karunia seni
Kemampuan istimewa untuk membangun jemaat dengan seni.
• Karunia kerajinan tangan
Kemampuan untuk melayani jemaat dengan pekerjaan tangannya.
• Karunia penginjilan
Karunia untuk menjangkau orang-orang yang belum percaya kepada pengenalan akan Kristus.
• Karunia berkata-kata dengan hikmat
Kemampuan untuk berkata-kata dengan hikmat.
• Karunia memberi
Kemampuan untuk membei dan membagi-bagi materi dengan iklas untuk kerajaan Allah.
• Karunia menolong
Menolong orang lain agar mereka dapat melakukan karunianya dengan lebih efektif.
• Karunia memberkan tumpangan
Membuka rumahnya dengan senang hati bagi orang yang membutuhkan tumpangan.
• Karunia juru syafaat
Mendoakan orang lain dalam waktu yang lama
• Karunia pengetahuan
Menemukan, mengumpulkan, menganalisa dan merumuskan informasi dan ide bagi pertumbuhan jemaat.

• Karunia kepemimpinan
Mampu memimpin orang lain untuk bekerja sama dengan sukarela dalam mencapai tujuan bagi kemuliaan Allah.
• Karunia belas kasihan
Menunjukkan belas kasihan yang diwujutkan dalm tindakan nyata.
• Karunia musik
Mampu memuji Allah dengan suara, alat musik, dan menggubah musik yang membangun iman.
• Karunia melayani
Melibatkan diri untuk melaksanakan tugas tertentu dengan sarana yang ada agar tujuan yang diinginkan tercapai.
• Karunia mengajar
Kemampuan untuk menyampaikan dan mengajar jemaat untuk bertumbuh dan berkembang lebih baik lagi.
• Karnia kerasulan
Otoritas kerohaniannya diakui jemaat secara spontan sebagai seorang pemimpin rohani.
• Karunia membedakan roh
Mampu untuk membedakan apakah suatu sikap berasal dari Allah atau dari iblis.
• Karunia menggembalakan
Mampu menanggung beban dan tanggung-jawab demi kesejahteraan kerohanian jemaat dalam jangka waktu yang panjang.
• Karunia bernubuat
Menerima dan memberikan secara langsung berita dari Allah untuk umat-Nya. Hal ini bukan meramalkan atau mengatakan peristiwa di masa datang melainkan mengatakan berita Allah dalam situasi yang kongkrit.


Bab 8: Mengembangkan Kepemimpinan Seorang Pelayan

John Edmund Haggai membahas beberapa garis besar prinsip-prinsip kepemimpinan sbb:
• Prinsip visi.
Kepemimpinan yang baik dimulai dengan visi yang jelas dari Allah. Dengan visi yang jelas, dapat ditentukan apa yang akan dilakukan.
• Prinsip perumusan tujuan
Tujuan dirumuskan berdasarkan visi. Contoh perumusan tujuan adalah SMART (Specifis, Measurable, Attainable, Realistic, Tangible).
• Prinsip kasih
Seorang pemimpin harus mendasarkan kepemimpinannya pada kasih pada Allah, sesama dan diri sendiri.
• Prinsip kerendahan hati
Memusatkan perhatian pada tindakan yang rendah hati dan berpusat pada kemuliaan Kristus.
• Pengendalian diri
Pengndalian diri adalah bukti penguasaan kasih.
• Prinsip komunikasi
Pemimpin yang baik dapat berkomunikasi dengan baik dengan orang lain.

• Prinsip penanaman modal
Pemimpin ibarat menanamkan modal. Dia tidak hanya menuntut tapi juga tahu bagaimana berbuat bagi orang lain.
• Prinsip kesempatan
Pemimpin harus jeli dan peka terhadap kesempatan.
• Prinsip energi/kekuatan
Integritas seorang pemimpin akan mempeoleh keyakinan dan rasa hormat dari orang-orang lain.
• Prinsip daya tahan
Keberhasilan pemimpin dilihat dalam menghadapi kesulitan dan masalah-masalah yang dihadapi.
• Prinsip otoritas
Otoritas secara internal adalah karisma, harga diri, kepribadian yang mendapat apresiasi dari jemaat. Otoitas secara eksternal berasal dari jabatannya. Otoritas internal bersifat stabil, otoritas eksternal bersifat semu.
• Prinsip kesadaran diri
Kesadaran diri meningkatkan mutu kepemimpinan karena mengetahui apa kelebihan dan kekuranan dirinya sehingga dapat meningkatkan diri secara optimal.

Cueni mengemukakan sepuluh ciri-ciri kepemimpinan seorang pelayan sbb: Tahu bagaimana harus memimpin orang lain, mampu membawa orang lain kepada visi yang tertentu dan jelas, mampu memotivasi orang lain, memberikan semangat dan membakar keberanian orang lain, memberikan keteladanan yang baik, memilki harapan terbaik, menjadi pekerja keras, berani mengambil resiko dan tanggung-jawab, mengasihi orang lain, dan memiliki pandangan dan prinsip tentang pentingnya administrasi.
Tugas utama seorang pemimpin adalah membuat keputusan yaitu mengambil keputusan dengan bijaksana, menentukan metode yang dipakai, menentukan prosedur yang berlaku, mengawasi dan menegakkan disiplin, dan mengontrol secara keseluruhan. Dalam mengambil keputusan, seorang pemimpin harus meyakini kehendak Tuhan, keputusannya jelas dan tegas, terarah pada tujuan tunggal yang jelas, sesuai dengan prioritas, rela membayar harga, bertanggung-jawab dan berani melakukan keputusan yang diambilnya.


Bab 9: Manajemen Pelayanan Melalui Penyusunan Program

Penyusunan program kerja yang baik dan terarah adalah rangkaian kegiatan yang diawali dengan analisa jemaat dan masyarakat sekitar. Kemudian dilanjutkan dengan menetapkan tujuan yang diikuti dengan penusunan program kerja. Setelah itu barulah masuk ke langkah-langkah proses perencanaan.
Analisa situasi dilakukan dengan mencari hubungan antara fakta yang ada, hubungan struktural dan historis agar menemukan masalah yang ada. Analisa data untuk menemukan kebutuhan pokok jemaat dan masyarakat dilakukan dengan mengelompokkan data keanggotaan dan data kependudukan. Kemudian mencatat data khusus seperti potensi masalah. Langkah berikutnya adalah menghubungkan data tersebut dan melakukan analisa data historis dan data strutural. Dari hasil analisa data tersebut ditentukan prioritas kebutuhan dan merumuskan tujuan yang ingin dicapai. Langkah terakhir adalah menyusun program kerja jemaat di mana pelaksanaan program akan menghasilkan jawaban atas kebutuhan atau masalah jemaat.


Bab 10: Manajemen Team Work

Team work adalah melakukan pekerjaan tertentu oleh satu team kerja yang anggotanya men-subordinasikan dirinya bagi kepentingan kelompok. Kualifikasi yang harus dimiliki oleh setiap anggota adalah kualifikasi spiritual, edukasional, dan organisasional. Sedangkan untuk pemberdayaan team work sebagai kesatuan membutuhkan keterampilan dalam direction skill, implementation skill, learning skill, dan integration skill.


Bab 11: Study Kasus, Godaan, Kejatuhan Dan Restorasi

Bagian ini membahas study kasus yang terjadi pada pendeta Truman Dollar yang jatuh dalam dosa seksual. Proses restorasi terdiri dari tiga level yaitu restorasi kepada keutuhan spiritual, restorasi kepada pelayanan dan posisi semula. Proses restorasi memakai strategi jangka pendek dan strategi jangka panjang. Setelah 18 bulan diadakan evaluasi atas proses restorasi.
Bagian kedua membahas topik tentang kejenuhan hamba Tuhan terhadap pelayanannya. Dikemukakan alasan-alasan mengapa pendeta rawan terhadap kejenuhan, gejala-gejala kejenuhan, kepribadian yang rawan terhadap kejenuhan, dampaknya pada keluarga dan kodrat pelayanan yang memang mencenderungkan kejenuhan.


Penutup

Buku ini menyajikan pembahasan tentang pengembangan dan peningkatan pelayanan setiap hamba Tuhan secara kontemporer sehari-hari. Pembahasan yang dilakukan cukup beragam meliputi segi psikologi, manajemen, kepemimpinan, dan dilengkapi dengan penyajian study kasus. Terlepas dari kesan kurang mendalamnya setiap pembahasan, buku ini mampu memberikan ‘insight’ akan pentingnya pengembangan kompetensi para hamba Tuhan dalam masa post-modern saat ini.

Emotional Quality Management

Pendahuluan

Buku ini ditulis oleh seorang trainer profesional, konsultan SDM, penulis dan praktisi SDM berpengalaman bernama Anthony Dio Martin. Latar belakang pendidikannya adalah Psikologi dari Universitas Gadjah Mada serta S-2 pada program MBA Strategic Leadership dan Master Certified Professional Recruiter dan Psychological Assessor (CPR) dari Vancouver, Kanada.


Bagian Satu: Misteri Kualitas Emosi

Bab 1: Alarm Problematika Emosi

Bab ini membahas atau lebih tepatnya menggiring pembacanya untuk menyadari tentang pentingnya peran emosi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Emosi yang terkendali dan positif akan sangat berguna untuk menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi dengan baik. Sebaliknya emosi yang tidak terkendali dan negatif justru memicu manusia untuk kehilangan akal sehatnya dan mampu untuk bertindak anarkis.
Penulis buku menyatakan bahwa emosi yang tak menyenangkan banyak menyerap energi keseharian di kantor. Menurut study empiris 1995-1996 di beberapa negara Amerika Serikat, menunjukkan berkembangnya emosi yang tidak menyenangkan menyebabkan tingginya turnover, tingginya absensi, bias komunikasi, penyerangan secara fisik, stress, hilangnya jam produktif, saling tidak percaya dan infisiensi dalam pengambilan keputusan. Pesan yang disampaikan penulis adalah agar kita berhati-hati dengan pikiran kita, dengan emosi yang negatif karena akan berpengaruh pada kondisi fisik dan mental.


Bab 2: Emosi, Agenda Yang Terlupakan

Sesuai dengan judulnya, bab ini menyajikan pembahasan lebih lanjut tentang pentingnya mengelola emosi. Kecerdasan emosi (EQ) adalah kemampuan untuk mengetahui apa yang kita dan orang lain rasakan, termasuk cara tepat menangani masalah.
Daniel Goldman mengatakan bahwa kunci sukses terletak pada emosi. Emosi pada dasarnya menggambarkan ‘perasaan manusia menghadapi berbagai situasi yang berbeda’ atau dengan kata lain emosi adalah reaksi manusiawi terhadap berbagai kejadian nyata. Goldman menunjukkan pentingnya EQ dengan mengatakan bahwa IQ hanya berkontribusi 20% pada kesuksesan seseorang, sedangkan kontribusi EQ mencapai 80%.
Miichael E. Rock memberikan tips untuk mengembangkan kemampuan EQ yaitu dengan berpikir jernih, menjaga kesehatan emosi dan belajar memilih tindakan yang pantas untuk setiap situasi. Sedangakan penulis buku memberikan tips sbb: mulai dengan berpikir positif terhadap diri dan orang lain, belajar mengekspresikan perasaan, memikirkan dampak kata-kata kita terhadap perasaan orang lain, menggali unmet emotional/need pada setiap orang yang mempunyai masalah emosi, dan belajar untuk mengelola emosi tidak mnyenangkan yang kita rasakan.


Bab 3: EQ, Sang Sumber Inspirasi

Bagian ini membahas EQ lebih lanjut. Dikatakan bahwa dalam dunia kerja IQ membuat kita diterima bekerja, tetapi EQ-lah membuat kita dipromosikan. Pemimpin ber-EQ tinggi cenderung lebih sukses dari pada yang hanya ber-IQ tinggi. EQ bukan suatu karakter yang tetap melainkan dapat dipelajari di segala usia.
Candance Pert menyatakan ada kaitan erat antara EQ dan IQ. Dalam diri kita senantiasa terjadi pertukaran informasi antara ‘perasaan’ dan ‘pikiran’. IQ merencanakan strategi dan taktik sedangkan EQ melakukan penyesuaian dan membantu mencapai tujuan.
Study tentang EQ menunjukkan bahwa EQ cenderung bersifat situasional dan berubah sesuai dengan pengalaman dan usia. Untuk mengukur tingkat EQ ada beberapa standar tes. Petrides dan Furnham membaginya menjadi:
• Trait EQ, yaitu diukur melalui hasil laporan diri sendiri atau digabung dengan hasil penilaian orang lain.
• Information processing EQ yang berkait erat dengan hasil pilihan pribadi saat dihadapkan pada berbagai situasi. Hasil ini didapat dengan membandingkan hasilnya dengan orang yang sudah terbukti ber-EQ tinggi.
Contoh lain adalah ‘Tes EQ-I’ yang dikembangkan oleh Baron. Alat tes ini mengukur EQ melalui lima hal utama yaitu interpersonal skills, intrapersonal skills, stress management, adaptability, dan general mood.


Bab 4: Lahirnya Quotient-Quotient Lain

Bagian ini membahas bentuk-bentuk kecerdasan-kecerdasan lain di luar IQ dan EQ. Paul Stoltz melihat ada orang yang ber-IQ dan EQ tinggi masih gagal mencapai sukses. Jawabannya ada dalam kerangka berpikir yang disebut Adversity Qoutient (AQ) yang mendasari semua segi kesuksesan. AQ adalah kemampuan untuk bertahan dalam kesulitan dan akhirnya mampu mengatasi kesulitan. AQ mempunyai empat komponen utama yaitu CORE. C adalah control, O dari origin atau ownership, R adalah Reach, dan E adalah endurance. Sedangkan untuk memiliki kemampuan AQ yang tinggi orang harus mempelajari teknik LEAD. L adalah listen, E adalah explore, A adalah analize dan D adalah doing.
Sementara itu Danah Zohar dan Ian Marshall mengembangkan Spiritual Quotient (SQ). Semakin banyak orang yang cerdas (IQ tinggi) ternyata dibarengi dengan semakin banyak kesulitan dan masalah yang timbul karena tidak adanya kebijaksanaan sejati. SQ-lah yang mengintegrasi semua kecerdasan manusia dan menjadikan manusia utuh secara intelektual, emosional maupun spiritual.
Sedangkan Ary Ginanjar Agustian mengambangkan konsep Emotional Spiritual Quotient (ESQ) yang memadukan konsep EQ dan SQ. Baginya jika hanya mempelajari EQ, manusia akan berkembang tanpa prinsip sejati ke-Tuhanan segingga manusia bisa menjadi manipulatif dan sesat. Di sinilah manusia membutuhkan panduan SQ. Jadi ESQ adalah gabungan antara EQ dan SQ.
Penulis buku menawarkan suatu model komprehensif tentang unsur di balik peningkatan IQ, EQ, AQ, SQ maupun ESQ seseorang. Unsur itu adalah emosi yang menjadi latar belakang dari IQ, EQ, AQ, dan SQ. Model ini disebut Emotional Quality management (EQM). EQM tidak mempertentangkan atau mencari kecerdasan (IQ,EQ,AQ,SQ) mana yang terbaik, melainkan berfokus pada unsur fundamental di balik model kecerdasan itu, yaitu unsur emosi manusia itu sendiri.


Bagian Dua: Model EQM

Bab 5: EQM Model

Pada bab ini penulis mengadopsi konsep feng shui sebagai model EQM. Feng shui adalah jalan untuk menjaga keharmonisan manusia dan alam semesta. Keseimbangan elemen feng shui adalah dasar bagi aliran energi ‘Chi’ dalam diri manusia. Dikatakan bahwa keseimbangan unsur-unsur pembentuk emosi merupakan dasar bagi keseimbangan ‘energi positif’ itu sendiri. Unsur-unsur itu adalah:
• Emotional maturity. Kematangan emosi hanya melalui proses panjang, bukan secara instan.
• Emotional knowledge. Pengembangan emosi secara tepat bisa terwujut bila kita mampu memahaminya secara benar pula.
• Emotional spirituality. Pertumbuhan sejati emosi memerlukan unsur emosi ke-Tuhanan.
• Emotional autenticity. Hanya orang yang mempunyai emosi otentik yang dapat berkembang secara dewasa.
• Emotional reconciliation. Rekonsiliasi dengan diri sendiri dan sesama perlu agar manusia bisa meningkatkan kematangan emosi tanpa beban emosi masa lalu.

Model kematangan emosi EQM dibentuk dari kolaborasi unsur emotional knowledge, emotional spirituality, emotional autenticity, dan emotional reconsiliation. Kematangan emosi terjadi secara bertahap melalui tahapan-tahapan di mana tangga sebelumnya menjadi fondasi dan pendukung bagi tangga di atasnya. Tangga itu adalah kesadaran emosi pada diri sendiri maupun sesama (emotional awarness), penerimaan pada diri sendiri dan orang lain (emotional acceptance), persaudaraan dengan diri sendiri dan sesama (emotional affection), penguatan emosi bagi diri sendiri dan orang lain (emotional affirmation).


Bagian Ketiga: Pemeliharaan Kualitas Emosi

Bab 6: Emotional Knowledge

Salah satu pengendali kematangan emosi adalah pengetahuan mengenai emosi itu sendiri. Oleh karena itu sangat penting untuk mendekati dunia emosi dari tataran kognitif.
Du Prez memberikan definisi emosi sebagai suatu reaksi tubuh menghadapi situasi tertentu. Emosi adalah reaksi kognitif manusia sebagai hasil persepsi terhadap situasi spesifik. Dengan demikian emosi terkait dengan aspek persepsi, pengalaman dan proses berpikir. Emosi dasar manusia digolongkan dalam tiga jenis yaitu gembira, takut, dan marah.
Dalam kehidupan, emosi tidak hanya berfungsi sebagai’ survival kit’ melainkan juga sebagai pembangkit energi, pembawa pesan, memperkuat informasi yang disampaikan, dan sebagai penyeimbang kehidupan kita.
Secara anatomi syaraf emosi, struktur otak manusia terdiri dari:
• Thalamus yang berfungsi sebagai ‘air traffic controller atau CPU komputer’.
• Korteks, yaitu ‘translator ‘ atau filter berupa akal sehat.
• Amygdala, yaitu ‘emotional sentinel’ atau pencetus emosi.

Cara kerjanya adalah Informasi/stimulus yang diterima oleh panca indera akan dihubungkan ke thalamus. Dari thalamus, stimulus diproses dan diarahkan ke korteks untuk disaring baru kemudian diteruskan ke amygdala yang kemudian akan ber-reaksi secara emosi. Kadang terjadi stimulus tidak disalurkan ke korteks tetapi melalui jalan pintas langsung ke amygdala. Ketika hal ini terjadi maka kita akan ber-reaksi secara emosional.
Emosi dapat dikendalikan melalui tiga tahap yaitu dengan berhati-hati dengan persepsi yang kita terima melalui panca indera, berhenti sejenak dan membiarkan korteks memikirkan apa yang terjadi, dan biarkan korteks menganalisa lebih lanjut stimulus yang diterima.
Kesimpulan dalam memahami emosi adalah bahwa semua orang mempunyai kebutuhan dasar emosi, setiap orang memiliki kebutuhan emosi paa tingkatan yang berbeda, kebutuhan emosi manusia berbeda pada level kebutuhannya, bukan paa jenisnya, variasi kebutuhan emosi lebih beragam dari pada kebutuhan dasar, perasaan adalah nyata dan tidak dapat diperdebatkan, dan emosi adalah kekuatan dahsyat yang tertidur.


Bab 7: Emotional Spirituality

Pada bab ini penulis buku membahas pengaruh kehidupan spiritual terhadap kematangan emosi. Emotional spirituality adalah dasar-dasar emosi Ilahi yang berkembang pada diri manusia sendiri.
Ada tiga emosi dasar universal yang sehat dari emotional spirituality yang diwarnai keimanan sejati yaitu: cinta kasih, murah hati/perduli, dan damai/penuh syukur. Waktu semangat kasih yang sejati dilakukan, muncul perasaan perduli. Inilah yang memberikan rasa damai dan bahagia. Rasa ini terwujut dalam sikap syukur atas semua peristiwa dalam hidupnya, maka semangat kasihpun tumbuh semakin subur. Sebaliknya sumber masalah emotional spirituality yang tidak sehat adalah egoisme yang menimbulkan keserakahan dan selanjutnya menyebabkan sikap ketakutan pada pemiliknya, yang akhirnya membuat orang tersebut menjadi semakin egois. Inilah siklus emosi yang menyenangkan dan tidak menyenangkan.
Dari uraian di atas kita melihat ada perbedaan antara emosi spiritual yang menyenangkan dan tidak menyenangkan sebagai berikut:
• Cinta kasih vs egoisme.
• Keperdulian vs keserakahan.
• Perasaan syukur vs ketakutan.

Bab 8: Emotional Authenticity

Menjadi pribadi yang otentik adalah memahami struktur eksistensi dirinya sendiri tanpa terpengaruh tekanan masyarakat, nilai-nilai, pendidikan, tanpa menjadi konformis. Individu yang otentik menjadi dirinya sendiri sesuai dengan identitas pribadinya. Sebaliknya pribadi yang tidak otentik sibuk dengan segala macam usaha untuk mencapai dan menjaga citra dirinya yang palsu. Mereka terbiasa memakai topeng-topeng untuk menutupi diri dari perasaan tidak aman yang berasal dari diri sendiri maupun tekanan masyarakat.
Ada beberapa jenis topeng yang populer dalam hidup sehari-hari sbb:
• Topeng kepemilikan.
• Topen intelektualitas.
• Topeng sosial.
• Topeng moral.
• Topeng impresif.
• Topeng jabatan.
• Topeng seksualitas.

Untuk menjadi pribadi yang otentik, seseorang harus mengembangkan kejujuran emosi. Untuk itu dia harus menyadari bahwa pada dasarnya hidupnya terdiri dari tiga lapisan. Lapisan pertama adalah citra diri sendiri yang ditampilkan secara sosial dan menyangkut penilaian orang lain. Lapisan kedua adalah konsep diri yang menyangkut penilaian kita terhadap diri sendiri, lapisan ketiga adalah jati diri, yaitu diri kita yang sesungguhnya.
Langkah-langkah untuk mengembangkan kejujuran emosi adalah dengan mengakui adanya perasan atau emosi tidak menyenangkan yang pernah dialami. Langkah kedua adalah belajar untuk mengetes keyakinan dengan belajar dari pengalaman yang membuat kita menyembunyikan perasaan. Langkah ketiga adalah mengambil kendali atas perasaan dan belajar mengekspresikannya secara jujur. Langkah keempat adalah menyakinkan diri kembali tentang apa akibatnya bila emosi tidak pernah terekspresikan secara jujur.


Bab 9: Emotional Reconciliation

Ada perbedaan antara memberi maaf dan rekonsiliasi. Pemaafan atau pengampunan cenderung bersifat personal karena berupa respon untuk melupakan kesalahan orang lain pada dirinya. Sedangkan rekonsiliasi selain memberi maaf juga saling berdamai.
Study empiris menunjukkan bahwa memaafkan diri sendiri dan orang lain adalah unsur penting bagi pertumbuhan emosi untuk mencapai pribadi yang matang dan dewasa. Orang yang mudah memaafkan tidak mudah tersinggung, tidak mudah menyalahkan orang lain dan punya sikap yang rasional. Sedangkan dampak kebencian membahayakan kesehatan jantung dan sistim peredaran darah manusia. Jadi sebenarnya memaafkan bermanfaat bagi diri sendiri bukan orang lain. Memaafkan bukan tindakan yang menunjukkan kelemahan karena memaafkan berarti menolak menjadi korban rasa benci dan dendamnya. Justru untuk memaafkan diperlukan kekuatan yang besar.

Ada beberapa fase dalam proses memaafkan menurut Enright dan Reed:
• Fase pengungkapan yaitu ketika sedang merasa sakit hati.
• Fase keputusan ketika mulai memikirkan untuk memaafkan tapi belum memberikan maaf sepenuhnya.
• Fase tindakan ketika ada tingkat pemikiran baru untuk memberikan maaf secara aktif.
• Fase pendalaman yaitu internalisasi makna dari proses memaafkan.

Dalam bentuk yang lain proses memaafkan dapat berupa lima tahapan yaitu penolakan, berpikir rasional, berinisiatif, penguatan, dan bertindak. Sementara itu emosi yang belum terselesaikan akan menyebabkan kesulitan dalam berkomunikasi secara sehat, tingkat interaksi rendah, muncul gangguan fisik seperti sulit tidur, sakit kepala, dan kehidupan menjadi tidak produktif.


Bagian Empat: Kematangan Emosi

Bab 10: Emotional Awareness

Penyadaran emosi adalah langkah mendasar menuju kematangan emosi. Tanpa kemampuan untuk merasakan perasaannya sendiri, mustahil seseorang dapat merasakan apa yang terjadi pada diri orang lain. Manusia sulit menyadari emosinya karena pengalaman traumatis masa kecil, takut kelihatan rapuh sehingga menutup perasaannya, sistim pendidikan yang lebih menekankan rasio.
Level penyadaran emosi berkaitan erat dengan EQ. Orang yang mampu menyadari level emosinya (cerdas) dan menguasainya menjadi tuan atas emosinya. Dengan demikian orang yang cerdas secara emosi menyadari sepenuhnya emosi yang dkeluarkannya. Orang yang tidak cerdas secara emosi cenderung menjadi orang yang reaktif dalam bertindak. Sedangkan orang yang cerdas secara emosi mampu bertindak proaktif. Contohnya dalam menghadapi suatu masalah dia mampu menguasai emosinya dengan penyadaran rasionya sehingga mempunyai beberapa alternatif dalam bertindak. Orang yang proaktif artinya mampu mengendalikan dirinya sendiri, bukan dikendalikan oleh lingkungan atau situasi.


Bab 11: Emotional Acceptance

Carl Rogers menyatakan bahwa perubahan diri yang mendasar harus dimulai dari penerimaan diri apa adanya tanpa syarat. Siapa diri manusia tdak ditentukan oleh tampilan fisik melainkan oleh apa yang ada di dalam dirinya yaitu harga dirinya. Harga diri berbeda dengan percaya diri. Orang yang percaya diri belum tentu mempunyai harga diri yang tinggi. Sebaliknya orang yang mempunyai harga diri mudah untuk percaya diri. Harga diri adalah karakter sedangkan percaya diri adalah reputasi.
Seringkali manusia mempunyai penerimaan diri yang bersyarat. Penerimaan diri yang bersyarat adalah perasaan yang selalu dikaitkan dengan harapan, keinginan, kepercayaan atau standar hidup tertentu. sebenarnya makin bersyarat penerimaan diri, makin tidak sehat kesehatan emosinya.
Penerimaan yang bersyarat dapat terjadi pada penerimaan kita terhadap orang lain. Penerimaan bersyarat selalu di awali dengan kata “jika”, tetapi penerimaan tak bersyarat di mulai dengan kata “walaupun”. Pembelajaran akan penerimaan tak bersyarat dimulai dengan menerima orang itu dalam bentuk penerimaan terhadap emosi yang mereka miliki. Contohnya dengan teknik validating yaitu teknik untuk membaca, menyimpulkan sekaigus menunjukkan bahwa kita memahami apa yang dirasakan oleh orang lain. Cinta sejati butuh pengakuan dan penerimaan terhadap orang lain dari dua sisi yaitu menerima orang itu apa adanya dan menerima apa saja yang tidak dipunyainya.


Bab 12: Emotional Affection

Emotional affection berbicara tentang cara berinteraksi dengan orang lain. Dalam berbicara dengan orang lain ada beberapa prinsip dasar sbb:
• Individual differences, maksudnya adalah tidak ada manusia yang sama persis dalam hal minat, kebiasaan dan karakter.
• Different treatment, yaitu karena tidak ada manusia yang sama persis, maka tidak dapat diperlakukan dengan sama.
• Starting from me. Maksudnya cara membangun hubungan emosi yang mendalam adalah memulainya dari diri kita terlebih dulu.
• Golden rule yaitu lakukan pada orang lain apa yang kamu ingin orang lain lakukan pada kita, jangan lakukan pada orang lain apa yang kita tidak ingin orang lain lakukan pada kita, lakukan pada orang lain, apa yang mereka ingin kita lakukan walau mereka tidak melakukan apa yang kita inginkan, dan jangan lakukan pada orang lain apa yang mereka tak ingin kita lakukan pada mereka walau mereka melakukan apa yang kita tidak inginkan pada kita.
• Risk taking, yaitu mengambil resiko untuk ditolak dalam berhubungan dengan orang lain.
• Menyesuaikan, bukan mengontrol. Sebaiknya kita menyesuaikan diri dengan keadaan , bukan memaksakan diri untuk mengontrol.
• Persepsi menentukan emosi. Bersikap positif dan berhati-hati sebab persepsi menentukan emosi kita.

Sedangkan untuk membina hubungan yang sehat diperlukan manajemen emosi sbb: belajar menerima dan memberi pujian, belajar meneima dan mengendalikan kemarahan dan belajar menyatakan emosi.


Bab 13: Emotional Affirmation

Bab terakhir membahas tentang penguatan emosi. Dalam tahap ini kita bergerak dan bertindak atau dengan kata lain bertindak dengan kesanggupan mengambil resiko-resiko emosi. Michael George merumuskan sukses sebagai visi+imajinasi+emosi. Sedangkan penulis buku menambahkan satu kata di belakangnya yaitu “Aksi”.
Untuk memulai aksi diperlukan tenaga ekstra untuk melawan hal-hal yang tidak menyenangkan dan menghambat. Dasar utama dari semua perubahan adalah Emosi. Dikatakan baik manusia yang telah sukses maupun yang gagal, manusia sering bermasalah dalam hal penguatan emosi. Kadang setelah mencapai kesuksesan tertentu manusia tidak berani keluar dari zona nyamannya dan di situlah proses kejatuhan dirinya dimulai. Hanya dengan penguatan emosi manusia dapat terus menapaki level kesuksesan yang baru.
Pertanyannya adalah mengapa sulit untuk menguatkan emosi?. Otot-otot emosi memerlukan tempaan melalui berbagai masalah dan kesulitan agar dapat menjadi kuat. Masalahnya selama ini banyak orang tua yang lebih berusaha menjaga perasaan anaknya atau membiarkan anaknya untuk selalu menang dalam permainan.
Untuk melengkapi kekuatan dahsyat emosi, orang-orang yang sukses terbukti sangat berorintasi pada visi hidupnya. Dalam mencapai keberhasilan, mereka memadukan antara visi hidup dengan emosi-emosinya. Hal inilah yang disebut Anthony Robbins sebagai prinsip pleasue. Artinya kita mengejar visi hidup dengan perasaan emosi yang senang sehingga memberikan kekuatan yang lebih besar lagi. Selain visi hidup dan kekuatan emosi, Napolen Hill menambahkan satu unsur lagi yaitu ketahanan emosi yang berasal dari tempaan terus menerus dalam hidup.
Untuk menguatkan emosi ada latihan dalam berbagai langkah. Pada dasarnya penguatan emosi dibagi menjadi dua bagian utama yaitu penjernihan masalah dan penguatan diri. Langkah awal penjernihan masalah adalah memastikan kita mampu melihat fakta. Langkah kedua adalah melakukan pengecekan akan kebenaran fakta tersebut. Langkah ketiga menguji apa yang dialami emosi sehubungan dengan langkah kedua. Langkah keempat adalah penguatan diri. Di sinilah prosesnya memperkuat diri menghadapi situasi krisis dan kegagalan. Langkah kelima adalah langkah proaktif menuju penguatan otot emosi secara realistis. Langkah terakhir adalah affirmasi terhadap diri kita.


Epilog

Pada epilog penulis buku berpesan untuk melakukan apa yang sudah diketahui. Peningkatan kualitas kehidupan emosi membutuhkan waktu, usaha, dan pengalaman. Inilah proses seumur hidup dan kita harus mulai melangkah walau hanya selangkah demi selangkah sampai pada wakunya kita akan sampai pada kemajuan yang berarti.


Penutup/kesimpulan

Buku ini adalah sebuah buku yang luar biasa bila ditinjau dari luar iman kristen. Penulis buku telah berusaha keras untuk mendekati keberadaan manusia dengan pendekatan kognitif yang jujur dan open minded. Sebagai hasilnya adalah sebuah buku yang ‘memandang manusia dari perspektif manusia’. Dalam tingkatan tertentu isi buku sangat membantu semua orang yang mencoba mengerti dan mengembangkan dirinya.
Sebuah kesalahan yang fatal justru karena penulis tidak bertitik tolak dari wahyu khusus (penyataan khusus) untuk mengerti tentang manusia seutuhnya. Mengutip ucapan Calvin “bijaksana sejati berasal dari pengenalan akan Allah dan pengenalan akan diri. Tetapi seseorang tidak dapat mengenal dirinya secara tepat sampai ia mengenal Allah dengan tepat dan apa yang Allah katakan tentang manusia’. Jadi buku ini berguna bagi referensi yang menambah wawasan kita tetapi kita harus sadar bahwa isinya bukanlah kebenaran yang mutlak melainkan mengandung kebenaran yang relatif.