Wednesday, November 11, 2009

Introduction to Cross Cultural Ministry

Pendahuluan
Ringkasan paper (terjemahan) ini membahas tentang pengenalan akan pelayanan lintas budaya yang dibagi menjadi sembilan bagian yaitu the Bible is multi-cultural, the Bible is above the culture, the origin of communication, division caused by sin, a Biblical theologi of missions, worldview, degrees of cross cultural ministry, principles of cross cultural ministry, dan cross cultural teaching.

Alkitab adalah multi kultural
Alkitab adalah sebuah dokumen yang multi kultural yang dapat digunakan oleh semua orang untuk ber-relasi dengan Allah dan manusia lainnya. (Kej. 1:27; Pengkotbah 3:11; Roma 2:14-15; 1 Yoh. 4:8)
Ted Ward mengungkapkan bahwa pada dasarnya manusia mirip satu dengan lainnya. Tuhan bermaksud agar manusia dalam berbagai budaya menggunakan prinsip-prinsip Alkitab dalam ber-relasi dengan budaya-budaya yang lain.

Alkitab berada di atas budaya
Alkitab (wahyu khusus) berada di atas budaya karena budaya termasuk di dalam bagian wahyu umum. Kebenaran wahyu umum harus selalu ditundukkan di bawah kebenaran Alkitab sebagai kebenaran yang absolut. Hal ini mengakibatkan ketika terjadi benturan atau konflik antara budaya dan Alkitab, budaya tersebut yang harus ditundukkan di bawah kebenaran mutlak Alkitab (Yoh. 4:19-22; Titus 1:5-9; 1 Tim. 3:1-7).
Sebuah pertanyaan yang menarik dalam penafsiran Alkitab adalah apakah (penafsiran) Alkitab adalah hasil dari suatu keadaan budaya tertentu dan apakah hal ini berlaku pada setiap generasi dan setiap manusia?. Contoh dari pertanyaan ini misalnya pada pemimpin wanita di gereja (1 Tim. 2:12), dan isu poligami.
Marvin K. Mayers menyatakan bahwa para misionaris adalah agen-agen perubahan yang telah menghentikan pembakaran para janda di India, pembunuhan anak kembar di Afrika, dan prostitusi di Hawaii. Allah mampu dan ingin untuk menyatakan kesalahan dalam pengertian kita; walaupun demikian, hal itu tidak termasuk dalam berkompromi dengan pola pikir yang non-kristiani.

Asal-usul komunikasi
Kita berkomunikasi karena Allah berkomunikasi dalam diri-Nya (Yoh 17:5, 24; Yoh 17:18; Yoh 17: 25; Yoh 1:1; Kej. 1:1-2; Yoh 1:3; Kol. 1:16). Francis Schaeffer menyatakan bahwa kasih dan komunikasi dalam Trinitas adalah dasar dari kasih dan komunikasi di antara pria dan wanita yang diciptakan-Nya (Kej. 1:27).

Pemisahan disebabkan oleh dosa
Schaeffer juga menyatakan bahwa dunia kita adalah dunia yang abnormal karena sudah dipengaruhi oleh dosa yang juga mempengaruhi setiap aspek hidup manusia. Manusia terpisah dari Allah karena dosa menyebabkan pemisahan secara spiritual. Manusia terpisah dalam kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat, bahkan dalam budayanya sendiri. Hal ini menyebabkan masalah secara sosial dan psikologi. Keterpisahan ini menciptakan tantangan di dalam dan di antara budaya-budaya. Perbedaan diperkuat oleh dosa dan diekspolitasi oleh setan di antara orang kristen dan non kristen. Misalnya dosa seksual (Yud. 1:7), kesombongan intelektual (Kis. 17:18), kekejaman (Nahum 3:19).
Keterpisahan ini dapat ‘dijembatani’ oleh Alkitab. Pertobatan manusia akan menyebabkan perubahan dalam masyarakat. Orang percaya adalah ciptaan yang baru dalam Kristus dengan tujuan dan nilai-nilai yang baru. Masalahnya penginjilan adalah sebuah peperangan rohani sehingga ada penolakan secara supranatural terhadap Firman Tuhan sehingga perlu kuasa Roh Kudus untuk menembusnya. Hal inilah yang disebut sebagai ‘kebangkitan awal (awakening)’, bukan ‘kebangunan (revival) yang terjadi di antara orang percaya.

Teologi penginjilan yang Alkitabiah.
Allah bermaksud untuk terlibat dalam penginjilan lintas budaya. Matius 28: 19-20 menyatakan bahwa Dia sendiri menyertai kita. Bahkan sejak PL, Dia sudah menjadi terang bagi orang belum percaya (Yes. 42: 6-7). Pantekosta menggaris-bawahi halangan besar dari segi bahasa bagi penginjilan lintas budaya. Sedangkan halangan untuk melakukan PI lintas budaya kepada non Yahudi di atasi Allah dengan mengirimkan malaikat-Nya (kepada Petrus), penglihatan, dan waktu yang tepat (Kis 10:3, 11, 19-20). Salah satu halangan yang dihadapi adalah etnosentris, yaitu pandangan/penilaian yang menganggap budaya diri sendiri lebih baik dari pada budaya orang lain.


Pola-pikir
Budaya dapat didefinisikan sebagai solusi-solusi tertentu untuk memenuhi kebutuhan hidup yang diadopsi oleh sekelompok bagian masyarakat. Kepercayaan terdalam dan asumsi terhadap dunia, termasuk nilai-nilai, perspektif, dan kelakuan membentuk pola pikir seseorang. Pola pikir membentuk cara pikir di mana pesepsi diinterprestasikan. Pola pikir ini sering tidak disadari karena terbentuk secara alami sejak mulai lahir.
Dalam menemukan pola pikir dari sebuah grup etnis, George Foster menganjurkan pemakaian metode triangulation. Mencari penjelasan yang masuk akal yang digunakan (misal.mengeluaran banyak biaya bagi pernikahan). Sementara itu perilaku yang ‘tidak biasa’ diobservasi (misal tidak membuat pesta mewah walau mempunyai banyak kekayaan). Penjelasan dicari dari penjelasan sebanyak mungkin dari perilaku yang tidak biasa itu. Hasilnya didapat dari intersection (pertemuan) jawaban-jawaban yang paling banyak agar dapat menjelaskan perilakunya, di mana perilaku tersebut menjelaskan pola pikirnya.

Tingkatan dari pelayanan PI lintas budaya
Kis 1:8 dapat dijadikan acuan bagi tingkatan keterlibatan dalam PI lintas budaya. Bagi orang Yahudi, Yerusalem bukanlah lintas budaya (M1), walaupun demikian dalam budaya yang sama ada sub-budaya yang berbeda. Sedangkan Samaria dapat dikategorikan sebagai PI lintas budaya (M2). Di sini biasanya dasar bahasa sama dengan perbedaan dialek. Sedangkan ‘ujung dunia’ (M3) adalah PI lintas budaya dengan bahasa dan budaya yang berbeda.

Prinsip-prinsip pelayanan PI lintas budaya
Bagian ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
1. Inkarnasi.
Gap budaya terbesar yang pernah terjadi adalah ketika Allah berinkarnasi menjadi bayi Yesus, inilah kenosis. Prinsip inkarnasi dari PI lintas budaya inilah model yang paling dominan dalam misi penginjilan dewasa ini.Yesus datang untuk melayani, bukan untuk dilayani. Dia mengosongkan diri-Nya dan menciptakan jembatan bagi Allah dan manusia berdosa.
Identifikasi pada ‘target’ manusia diilustrasikan oleh Paulus dalam 1 Kor 9: 22b). Ilustrasi tentang sunat dalam Kis. 16:3 mengajarkan prinsip-prinsip kontekstualisasi. Prinsip kontekstualisasi meembuat Firman Tuhan relevan bagi si target tanpa mengkompromikan kebenaran prinsip Alkitab. Jadi pelayanan inkarnasi adalah pelayanan yang fleksibel tanpa mengkompromikan prinsip Firman Tuhan. Bagaimanapun juga, identifikasi secara menyeluruh terhadap yang dilayani sulit bahkan tidak mungkin dilakukan karena perbedaan-perbdaan seperti bahasa, pola pikir, pendidikan, dan ekonomi. Jonathan Bonk memberikan contoh kesulitan dalam hal ekonomi. Dia menganjurkan pengidentifikasian secara ekonomi terhadap yang dilayani, tetapi ketika sang misionaris berada dalam level ekonomi yang sama dengan yang dilayani (konteksnya miskin), dia akan mengalami kesulitan karena pelayanan membutuhkan uang.

2. Etnografi: belajar budaya.
Paulus memberikan contoh dalam Kis. 17:23 di mana dia menggunakan kepercayaan rakyat Atena yang memuja “Allah yang tidak dikenal’ dengan memproklamirkan Firman Tuhan. Di sini Paulus sadar untuk membangun jembatan budaya antara rakyat Atena dan Firman Tuhan.
Pengamatan terhadap etnografi terhadap budaya akan membantu untuk mengerti terhadap yang dilayani dan menemukan titik temu bagi Firman Tuhan. Sebuah contoh adalah pengertian ‘anak perdamaian’ bagi suku Sawi yang dilayani Don Richardson. Ted Ward menyarankan untuk mencari pola perilaku dan mengajukan pertanyaan ‘mengapa?’.
Pelayanan PI lintas budaya bagaikan ‘melakukan penambangan’. Kita perlu menyelidiki dengan hati-hati segala situasi, menyerap berbagai informasi seperti: Bagaimana mereka ber-reaksi, mengapa mereka ber-reaksi seperti itu, dan lain-lain. Riset etnografi terhadap budaya target sangat berguna seperti misalnya Dictionary of Race an Ethnic Relations dan Encyclopedia od African American Religion.

3. Membangun relasi.
Esensi dari pelayanan kristen adalah hubungan pribadi dengan yang dilayani. Sebuah hubungan yang baik secara pribadi mendahului pemberitaan Injil yang efektif sehingga si pemberita harus diterima terlebih dahulu sebelum Injil diterima. Tentu saja hal ini tidak mutlak karena Roh Kudus tidak terbatas kuasanya, tetapi hubungan baik secara pribadi sangatlah penting bagi pemuridan.
Sebuah kepercayaan tidak mudah didapat, hal ini mungkin butuh waktu bertahun-tahun untuk mendapatkan reputasi sebagai orang yang dapat dipercaya. Hal lain yang perlu diperhatikan (Meyers) adalah penerimaan terhadap kekurangan diri sendiri berdasar pada penerimaan Allah kepada diri sendiri. Akan lebih mudah untuk menerima kekurangan orang lain ketika kita sadar dan mampu menerima kekurangan diri sendiri (Roma 15:7). Tuhan dapat juga memakai kesulitan hidup untuk membentuk kita agar dapat melayani dengan baik (Josh McDowell). Dari dasar penerimaan terhadap diri sendiri kita dapat mengasihi orang lain karena kasih mengatasi konflik.

Pengajaran PI lintas budaya
Kelompok-kelompok etnis yang berbeda-beda mempunyai gaya belajar yang berbeda. Perbedaan yang umum adalah antara ‘field dependent’ dan ‘field independent’. Metode PI yang dahulu adalah berfokus pada kelompok dengan hubungan murid dan guru. Study secara independen dan orientasi pembelajaran dapat menentukan metode yang cocok bagi suatu budaya tertentu.

Kesimpulan
Penginjilan lintas budaya adalah sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan, walaupun demikian diperlukan sebuah persiapan yang matang agar pelayanan itu dapat berhasil dengan maksimal dan optimal. Seperti layaknya melakukan kegiatan penambangan, pelaku PI lintas budaya perlu mempersiapkan diri terhadap mental, budaya, bahasa, pola pikir, geografi, dll. Sebuah persiapan yang baik, doa yang banyak dan penyertaan Roh Kudus adalah kunci keberhasilan misi lintas budaya.

No comments: