Wednesday, November 11, 2009

Emotional Quality Management

Pendahuluan

Buku ini ditulis oleh seorang trainer profesional, konsultan SDM, penulis dan praktisi SDM berpengalaman bernama Anthony Dio Martin. Latar belakang pendidikannya adalah Psikologi dari Universitas Gadjah Mada serta S-2 pada program MBA Strategic Leadership dan Master Certified Professional Recruiter dan Psychological Assessor (CPR) dari Vancouver, Kanada.


Bagian Satu: Misteri Kualitas Emosi

Bab 1: Alarm Problematika Emosi

Bab ini membahas atau lebih tepatnya menggiring pembacanya untuk menyadari tentang pentingnya peran emosi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Emosi yang terkendali dan positif akan sangat berguna untuk menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi dengan baik. Sebaliknya emosi yang tidak terkendali dan negatif justru memicu manusia untuk kehilangan akal sehatnya dan mampu untuk bertindak anarkis.
Penulis buku menyatakan bahwa emosi yang tak menyenangkan banyak menyerap energi keseharian di kantor. Menurut study empiris 1995-1996 di beberapa negara Amerika Serikat, menunjukkan berkembangnya emosi yang tidak menyenangkan menyebabkan tingginya turnover, tingginya absensi, bias komunikasi, penyerangan secara fisik, stress, hilangnya jam produktif, saling tidak percaya dan infisiensi dalam pengambilan keputusan. Pesan yang disampaikan penulis adalah agar kita berhati-hati dengan pikiran kita, dengan emosi yang negatif karena akan berpengaruh pada kondisi fisik dan mental.


Bab 2: Emosi, Agenda Yang Terlupakan

Sesuai dengan judulnya, bab ini menyajikan pembahasan lebih lanjut tentang pentingnya mengelola emosi. Kecerdasan emosi (EQ) adalah kemampuan untuk mengetahui apa yang kita dan orang lain rasakan, termasuk cara tepat menangani masalah.
Daniel Goldman mengatakan bahwa kunci sukses terletak pada emosi. Emosi pada dasarnya menggambarkan ‘perasaan manusia menghadapi berbagai situasi yang berbeda’ atau dengan kata lain emosi adalah reaksi manusiawi terhadap berbagai kejadian nyata. Goldman menunjukkan pentingnya EQ dengan mengatakan bahwa IQ hanya berkontribusi 20% pada kesuksesan seseorang, sedangkan kontribusi EQ mencapai 80%.
Miichael E. Rock memberikan tips untuk mengembangkan kemampuan EQ yaitu dengan berpikir jernih, menjaga kesehatan emosi dan belajar memilih tindakan yang pantas untuk setiap situasi. Sedangakan penulis buku memberikan tips sbb: mulai dengan berpikir positif terhadap diri dan orang lain, belajar mengekspresikan perasaan, memikirkan dampak kata-kata kita terhadap perasaan orang lain, menggali unmet emotional/need pada setiap orang yang mempunyai masalah emosi, dan belajar untuk mengelola emosi tidak mnyenangkan yang kita rasakan.


Bab 3: EQ, Sang Sumber Inspirasi

Bagian ini membahas EQ lebih lanjut. Dikatakan bahwa dalam dunia kerja IQ membuat kita diterima bekerja, tetapi EQ-lah membuat kita dipromosikan. Pemimpin ber-EQ tinggi cenderung lebih sukses dari pada yang hanya ber-IQ tinggi. EQ bukan suatu karakter yang tetap melainkan dapat dipelajari di segala usia.
Candance Pert menyatakan ada kaitan erat antara EQ dan IQ. Dalam diri kita senantiasa terjadi pertukaran informasi antara ‘perasaan’ dan ‘pikiran’. IQ merencanakan strategi dan taktik sedangkan EQ melakukan penyesuaian dan membantu mencapai tujuan.
Study tentang EQ menunjukkan bahwa EQ cenderung bersifat situasional dan berubah sesuai dengan pengalaman dan usia. Untuk mengukur tingkat EQ ada beberapa standar tes. Petrides dan Furnham membaginya menjadi:
• Trait EQ, yaitu diukur melalui hasil laporan diri sendiri atau digabung dengan hasil penilaian orang lain.
• Information processing EQ yang berkait erat dengan hasil pilihan pribadi saat dihadapkan pada berbagai situasi. Hasil ini didapat dengan membandingkan hasilnya dengan orang yang sudah terbukti ber-EQ tinggi.
Contoh lain adalah ‘Tes EQ-I’ yang dikembangkan oleh Baron. Alat tes ini mengukur EQ melalui lima hal utama yaitu interpersonal skills, intrapersonal skills, stress management, adaptability, dan general mood.


Bab 4: Lahirnya Quotient-Quotient Lain

Bagian ini membahas bentuk-bentuk kecerdasan-kecerdasan lain di luar IQ dan EQ. Paul Stoltz melihat ada orang yang ber-IQ dan EQ tinggi masih gagal mencapai sukses. Jawabannya ada dalam kerangka berpikir yang disebut Adversity Qoutient (AQ) yang mendasari semua segi kesuksesan. AQ adalah kemampuan untuk bertahan dalam kesulitan dan akhirnya mampu mengatasi kesulitan. AQ mempunyai empat komponen utama yaitu CORE. C adalah control, O dari origin atau ownership, R adalah Reach, dan E adalah endurance. Sedangkan untuk memiliki kemampuan AQ yang tinggi orang harus mempelajari teknik LEAD. L adalah listen, E adalah explore, A adalah analize dan D adalah doing.
Sementara itu Danah Zohar dan Ian Marshall mengembangkan Spiritual Quotient (SQ). Semakin banyak orang yang cerdas (IQ tinggi) ternyata dibarengi dengan semakin banyak kesulitan dan masalah yang timbul karena tidak adanya kebijaksanaan sejati. SQ-lah yang mengintegrasi semua kecerdasan manusia dan menjadikan manusia utuh secara intelektual, emosional maupun spiritual.
Sedangkan Ary Ginanjar Agustian mengambangkan konsep Emotional Spiritual Quotient (ESQ) yang memadukan konsep EQ dan SQ. Baginya jika hanya mempelajari EQ, manusia akan berkembang tanpa prinsip sejati ke-Tuhanan segingga manusia bisa menjadi manipulatif dan sesat. Di sinilah manusia membutuhkan panduan SQ. Jadi ESQ adalah gabungan antara EQ dan SQ.
Penulis buku menawarkan suatu model komprehensif tentang unsur di balik peningkatan IQ, EQ, AQ, SQ maupun ESQ seseorang. Unsur itu adalah emosi yang menjadi latar belakang dari IQ, EQ, AQ, dan SQ. Model ini disebut Emotional Quality management (EQM). EQM tidak mempertentangkan atau mencari kecerdasan (IQ,EQ,AQ,SQ) mana yang terbaik, melainkan berfokus pada unsur fundamental di balik model kecerdasan itu, yaitu unsur emosi manusia itu sendiri.


Bagian Dua: Model EQM

Bab 5: EQM Model

Pada bab ini penulis mengadopsi konsep feng shui sebagai model EQM. Feng shui adalah jalan untuk menjaga keharmonisan manusia dan alam semesta. Keseimbangan elemen feng shui adalah dasar bagi aliran energi ‘Chi’ dalam diri manusia. Dikatakan bahwa keseimbangan unsur-unsur pembentuk emosi merupakan dasar bagi keseimbangan ‘energi positif’ itu sendiri. Unsur-unsur itu adalah:
• Emotional maturity. Kematangan emosi hanya melalui proses panjang, bukan secara instan.
• Emotional knowledge. Pengembangan emosi secara tepat bisa terwujut bila kita mampu memahaminya secara benar pula.
• Emotional spirituality. Pertumbuhan sejati emosi memerlukan unsur emosi ke-Tuhanan.
• Emotional autenticity. Hanya orang yang mempunyai emosi otentik yang dapat berkembang secara dewasa.
• Emotional reconciliation. Rekonsiliasi dengan diri sendiri dan sesama perlu agar manusia bisa meningkatkan kematangan emosi tanpa beban emosi masa lalu.

Model kematangan emosi EQM dibentuk dari kolaborasi unsur emotional knowledge, emotional spirituality, emotional autenticity, dan emotional reconsiliation. Kematangan emosi terjadi secara bertahap melalui tahapan-tahapan di mana tangga sebelumnya menjadi fondasi dan pendukung bagi tangga di atasnya. Tangga itu adalah kesadaran emosi pada diri sendiri maupun sesama (emotional awarness), penerimaan pada diri sendiri dan orang lain (emotional acceptance), persaudaraan dengan diri sendiri dan sesama (emotional affection), penguatan emosi bagi diri sendiri dan orang lain (emotional affirmation).


Bagian Ketiga: Pemeliharaan Kualitas Emosi

Bab 6: Emotional Knowledge

Salah satu pengendali kematangan emosi adalah pengetahuan mengenai emosi itu sendiri. Oleh karena itu sangat penting untuk mendekati dunia emosi dari tataran kognitif.
Du Prez memberikan definisi emosi sebagai suatu reaksi tubuh menghadapi situasi tertentu. Emosi adalah reaksi kognitif manusia sebagai hasil persepsi terhadap situasi spesifik. Dengan demikian emosi terkait dengan aspek persepsi, pengalaman dan proses berpikir. Emosi dasar manusia digolongkan dalam tiga jenis yaitu gembira, takut, dan marah.
Dalam kehidupan, emosi tidak hanya berfungsi sebagai’ survival kit’ melainkan juga sebagai pembangkit energi, pembawa pesan, memperkuat informasi yang disampaikan, dan sebagai penyeimbang kehidupan kita.
Secara anatomi syaraf emosi, struktur otak manusia terdiri dari:
• Thalamus yang berfungsi sebagai ‘air traffic controller atau CPU komputer’.
• Korteks, yaitu ‘translator ‘ atau filter berupa akal sehat.
• Amygdala, yaitu ‘emotional sentinel’ atau pencetus emosi.

Cara kerjanya adalah Informasi/stimulus yang diterima oleh panca indera akan dihubungkan ke thalamus. Dari thalamus, stimulus diproses dan diarahkan ke korteks untuk disaring baru kemudian diteruskan ke amygdala yang kemudian akan ber-reaksi secara emosi. Kadang terjadi stimulus tidak disalurkan ke korteks tetapi melalui jalan pintas langsung ke amygdala. Ketika hal ini terjadi maka kita akan ber-reaksi secara emosional.
Emosi dapat dikendalikan melalui tiga tahap yaitu dengan berhati-hati dengan persepsi yang kita terima melalui panca indera, berhenti sejenak dan membiarkan korteks memikirkan apa yang terjadi, dan biarkan korteks menganalisa lebih lanjut stimulus yang diterima.
Kesimpulan dalam memahami emosi adalah bahwa semua orang mempunyai kebutuhan dasar emosi, setiap orang memiliki kebutuhan emosi paa tingkatan yang berbeda, kebutuhan emosi manusia berbeda pada level kebutuhannya, bukan paa jenisnya, variasi kebutuhan emosi lebih beragam dari pada kebutuhan dasar, perasaan adalah nyata dan tidak dapat diperdebatkan, dan emosi adalah kekuatan dahsyat yang tertidur.


Bab 7: Emotional Spirituality

Pada bab ini penulis buku membahas pengaruh kehidupan spiritual terhadap kematangan emosi. Emotional spirituality adalah dasar-dasar emosi Ilahi yang berkembang pada diri manusia sendiri.
Ada tiga emosi dasar universal yang sehat dari emotional spirituality yang diwarnai keimanan sejati yaitu: cinta kasih, murah hati/perduli, dan damai/penuh syukur. Waktu semangat kasih yang sejati dilakukan, muncul perasaan perduli. Inilah yang memberikan rasa damai dan bahagia. Rasa ini terwujut dalam sikap syukur atas semua peristiwa dalam hidupnya, maka semangat kasihpun tumbuh semakin subur. Sebaliknya sumber masalah emotional spirituality yang tidak sehat adalah egoisme yang menimbulkan keserakahan dan selanjutnya menyebabkan sikap ketakutan pada pemiliknya, yang akhirnya membuat orang tersebut menjadi semakin egois. Inilah siklus emosi yang menyenangkan dan tidak menyenangkan.
Dari uraian di atas kita melihat ada perbedaan antara emosi spiritual yang menyenangkan dan tidak menyenangkan sebagai berikut:
• Cinta kasih vs egoisme.
• Keperdulian vs keserakahan.
• Perasaan syukur vs ketakutan.

Bab 8: Emotional Authenticity

Menjadi pribadi yang otentik adalah memahami struktur eksistensi dirinya sendiri tanpa terpengaruh tekanan masyarakat, nilai-nilai, pendidikan, tanpa menjadi konformis. Individu yang otentik menjadi dirinya sendiri sesuai dengan identitas pribadinya. Sebaliknya pribadi yang tidak otentik sibuk dengan segala macam usaha untuk mencapai dan menjaga citra dirinya yang palsu. Mereka terbiasa memakai topeng-topeng untuk menutupi diri dari perasaan tidak aman yang berasal dari diri sendiri maupun tekanan masyarakat.
Ada beberapa jenis topeng yang populer dalam hidup sehari-hari sbb:
• Topeng kepemilikan.
• Topen intelektualitas.
• Topeng sosial.
• Topeng moral.
• Topeng impresif.
• Topeng jabatan.
• Topeng seksualitas.

Untuk menjadi pribadi yang otentik, seseorang harus mengembangkan kejujuran emosi. Untuk itu dia harus menyadari bahwa pada dasarnya hidupnya terdiri dari tiga lapisan. Lapisan pertama adalah citra diri sendiri yang ditampilkan secara sosial dan menyangkut penilaian orang lain. Lapisan kedua adalah konsep diri yang menyangkut penilaian kita terhadap diri sendiri, lapisan ketiga adalah jati diri, yaitu diri kita yang sesungguhnya.
Langkah-langkah untuk mengembangkan kejujuran emosi adalah dengan mengakui adanya perasan atau emosi tidak menyenangkan yang pernah dialami. Langkah kedua adalah belajar untuk mengetes keyakinan dengan belajar dari pengalaman yang membuat kita menyembunyikan perasaan. Langkah ketiga adalah mengambil kendali atas perasaan dan belajar mengekspresikannya secara jujur. Langkah keempat adalah menyakinkan diri kembali tentang apa akibatnya bila emosi tidak pernah terekspresikan secara jujur.


Bab 9: Emotional Reconciliation

Ada perbedaan antara memberi maaf dan rekonsiliasi. Pemaafan atau pengampunan cenderung bersifat personal karena berupa respon untuk melupakan kesalahan orang lain pada dirinya. Sedangkan rekonsiliasi selain memberi maaf juga saling berdamai.
Study empiris menunjukkan bahwa memaafkan diri sendiri dan orang lain adalah unsur penting bagi pertumbuhan emosi untuk mencapai pribadi yang matang dan dewasa. Orang yang mudah memaafkan tidak mudah tersinggung, tidak mudah menyalahkan orang lain dan punya sikap yang rasional. Sedangkan dampak kebencian membahayakan kesehatan jantung dan sistim peredaran darah manusia. Jadi sebenarnya memaafkan bermanfaat bagi diri sendiri bukan orang lain. Memaafkan bukan tindakan yang menunjukkan kelemahan karena memaafkan berarti menolak menjadi korban rasa benci dan dendamnya. Justru untuk memaafkan diperlukan kekuatan yang besar.

Ada beberapa fase dalam proses memaafkan menurut Enright dan Reed:
• Fase pengungkapan yaitu ketika sedang merasa sakit hati.
• Fase keputusan ketika mulai memikirkan untuk memaafkan tapi belum memberikan maaf sepenuhnya.
• Fase tindakan ketika ada tingkat pemikiran baru untuk memberikan maaf secara aktif.
• Fase pendalaman yaitu internalisasi makna dari proses memaafkan.

Dalam bentuk yang lain proses memaafkan dapat berupa lima tahapan yaitu penolakan, berpikir rasional, berinisiatif, penguatan, dan bertindak. Sementara itu emosi yang belum terselesaikan akan menyebabkan kesulitan dalam berkomunikasi secara sehat, tingkat interaksi rendah, muncul gangguan fisik seperti sulit tidur, sakit kepala, dan kehidupan menjadi tidak produktif.


Bagian Empat: Kematangan Emosi

Bab 10: Emotional Awareness

Penyadaran emosi adalah langkah mendasar menuju kematangan emosi. Tanpa kemampuan untuk merasakan perasaannya sendiri, mustahil seseorang dapat merasakan apa yang terjadi pada diri orang lain. Manusia sulit menyadari emosinya karena pengalaman traumatis masa kecil, takut kelihatan rapuh sehingga menutup perasaannya, sistim pendidikan yang lebih menekankan rasio.
Level penyadaran emosi berkaitan erat dengan EQ. Orang yang mampu menyadari level emosinya (cerdas) dan menguasainya menjadi tuan atas emosinya. Dengan demikian orang yang cerdas secara emosi menyadari sepenuhnya emosi yang dkeluarkannya. Orang yang tidak cerdas secara emosi cenderung menjadi orang yang reaktif dalam bertindak. Sedangkan orang yang cerdas secara emosi mampu bertindak proaktif. Contohnya dalam menghadapi suatu masalah dia mampu menguasai emosinya dengan penyadaran rasionya sehingga mempunyai beberapa alternatif dalam bertindak. Orang yang proaktif artinya mampu mengendalikan dirinya sendiri, bukan dikendalikan oleh lingkungan atau situasi.


Bab 11: Emotional Acceptance

Carl Rogers menyatakan bahwa perubahan diri yang mendasar harus dimulai dari penerimaan diri apa adanya tanpa syarat. Siapa diri manusia tdak ditentukan oleh tampilan fisik melainkan oleh apa yang ada di dalam dirinya yaitu harga dirinya. Harga diri berbeda dengan percaya diri. Orang yang percaya diri belum tentu mempunyai harga diri yang tinggi. Sebaliknya orang yang mempunyai harga diri mudah untuk percaya diri. Harga diri adalah karakter sedangkan percaya diri adalah reputasi.
Seringkali manusia mempunyai penerimaan diri yang bersyarat. Penerimaan diri yang bersyarat adalah perasaan yang selalu dikaitkan dengan harapan, keinginan, kepercayaan atau standar hidup tertentu. sebenarnya makin bersyarat penerimaan diri, makin tidak sehat kesehatan emosinya.
Penerimaan yang bersyarat dapat terjadi pada penerimaan kita terhadap orang lain. Penerimaan bersyarat selalu di awali dengan kata “jika”, tetapi penerimaan tak bersyarat di mulai dengan kata “walaupun”. Pembelajaran akan penerimaan tak bersyarat dimulai dengan menerima orang itu dalam bentuk penerimaan terhadap emosi yang mereka miliki. Contohnya dengan teknik validating yaitu teknik untuk membaca, menyimpulkan sekaigus menunjukkan bahwa kita memahami apa yang dirasakan oleh orang lain. Cinta sejati butuh pengakuan dan penerimaan terhadap orang lain dari dua sisi yaitu menerima orang itu apa adanya dan menerima apa saja yang tidak dipunyainya.


Bab 12: Emotional Affection

Emotional affection berbicara tentang cara berinteraksi dengan orang lain. Dalam berbicara dengan orang lain ada beberapa prinsip dasar sbb:
• Individual differences, maksudnya adalah tidak ada manusia yang sama persis dalam hal minat, kebiasaan dan karakter.
• Different treatment, yaitu karena tidak ada manusia yang sama persis, maka tidak dapat diperlakukan dengan sama.
• Starting from me. Maksudnya cara membangun hubungan emosi yang mendalam adalah memulainya dari diri kita terlebih dulu.
• Golden rule yaitu lakukan pada orang lain apa yang kamu ingin orang lain lakukan pada kita, jangan lakukan pada orang lain apa yang kita tidak ingin orang lain lakukan pada kita, lakukan pada orang lain, apa yang mereka ingin kita lakukan walau mereka tidak melakukan apa yang kita inginkan, dan jangan lakukan pada orang lain apa yang mereka tak ingin kita lakukan pada mereka walau mereka melakukan apa yang kita tidak inginkan pada kita.
• Risk taking, yaitu mengambil resiko untuk ditolak dalam berhubungan dengan orang lain.
• Menyesuaikan, bukan mengontrol. Sebaiknya kita menyesuaikan diri dengan keadaan , bukan memaksakan diri untuk mengontrol.
• Persepsi menentukan emosi. Bersikap positif dan berhati-hati sebab persepsi menentukan emosi kita.

Sedangkan untuk membina hubungan yang sehat diperlukan manajemen emosi sbb: belajar menerima dan memberi pujian, belajar meneima dan mengendalikan kemarahan dan belajar menyatakan emosi.


Bab 13: Emotional Affirmation

Bab terakhir membahas tentang penguatan emosi. Dalam tahap ini kita bergerak dan bertindak atau dengan kata lain bertindak dengan kesanggupan mengambil resiko-resiko emosi. Michael George merumuskan sukses sebagai visi+imajinasi+emosi. Sedangkan penulis buku menambahkan satu kata di belakangnya yaitu “Aksi”.
Untuk memulai aksi diperlukan tenaga ekstra untuk melawan hal-hal yang tidak menyenangkan dan menghambat. Dasar utama dari semua perubahan adalah Emosi. Dikatakan baik manusia yang telah sukses maupun yang gagal, manusia sering bermasalah dalam hal penguatan emosi. Kadang setelah mencapai kesuksesan tertentu manusia tidak berani keluar dari zona nyamannya dan di situlah proses kejatuhan dirinya dimulai. Hanya dengan penguatan emosi manusia dapat terus menapaki level kesuksesan yang baru.
Pertanyannya adalah mengapa sulit untuk menguatkan emosi?. Otot-otot emosi memerlukan tempaan melalui berbagai masalah dan kesulitan agar dapat menjadi kuat. Masalahnya selama ini banyak orang tua yang lebih berusaha menjaga perasaan anaknya atau membiarkan anaknya untuk selalu menang dalam permainan.
Untuk melengkapi kekuatan dahsyat emosi, orang-orang yang sukses terbukti sangat berorintasi pada visi hidupnya. Dalam mencapai keberhasilan, mereka memadukan antara visi hidup dengan emosi-emosinya. Hal inilah yang disebut Anthony Robbins sebagai prinsip pleasue. Artinya kita mengejar visi hidup dengan perasaan emosi yang senang sehingga memberikan kekuatan yang lebih besar lagi. Selain visi hidup dan kekuatan emosi, Napolen Hill menambahkan satu unsur lagi yaitu ketahanan emosi yang berasal dari tempaan terus menerus dalam hidup.
Untuk menguatkan emosi ada latihan dalam berbagai langkah. Pada dasarnya penguatan emosi dibagi menjadi dua bagian utama yaitu penjernihan masalah dan penguatan diri. Langkah awal penjernihan masalah adalah memastikan kita mampu melihat fakta. Langkah kedua adalah melakukan pengecekan akan kebenaran fakta tersebut. Langkah ketiga menguji apa yang dialami emosi sehubungan dengan langkah kedua. Langkah keempat adalah penguatan diri. Di sinilah prosesnya memperkuat diri menghadapi situasi krisis dan kegagalan. Langkah kelima adalah langkah proaktif menuju penguatan otot emosi secara realistis. Langkah terakhir adalah affirmasi terhadap diri kita.


Epilog

Pada epilog penulis buku berpesan untuk melakukan apa yang sudah diketahui. Peningkatan kualitas kehidupan emosi membutuhkan waktu, usaha, dan pengalaman. Inilah proses seumur hidup dan kita harus mulai melangkah walau hanya selangkah demi selangkah sampai pada wakunya kita akan sampai pada kemajuan yang berarti.


Penutup/kesimpulan

Buku ini adalah sebuah buku yang luar biasa bila ditinjau dari luar iman kristen. Penulis buku telah berusaha keras untuk mendekati keberadaan manusia dengan pendekatan kognitif yang jujur dan open minded. Sebagai hasilnya adalah sebuah buku yang ‘memandang manusia dari perspektif manusia’. Dalam tingkatan tertentu isi buku sangat membantu semua orang yang mencoba mengerti dan mengembangkan dirinya.
Sebuah kesalahan yang fatal justru karena penulis tidak bertitik tolak dari wahyu khusus (penyataan khusus) untuk mengerti tentang manusia seutuhnya. Mengutip ucapan Calvin “bijaksana sejati berasal dari pengenalan akan Allah dan pengenalan akan diri. Tetapi seseorang tidak dapat mengenal dirinya secara tepat sampai ia mengenal Allah dengan tepat dan apa yang Allah katakan tentang manusia’. Jadi buku ini berguna bagi referensi yang menambah wawasan kita tetapi kita harus sadar bahwa isinya bukanlah kebenaran yang mutlak melainkan mengandung kebenaran yang relatif.

No comments: