Wednesday, August 4, 2010

Mengenal Tata Gereja Baptis

Mengenal Tata Gereja Baptis
(Lee H. McCoy)

Pendahuluan
Buku ini ditulis oleh Lee H. McCoy dengan judul asli “Understanding Baptist Polity”. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh STBI pada tahun 1989. Buku ini terdiri dari delapan bab yang pada dasarnya membahas aspek-aspek tata gereja berdasarkan Perjanjian Baru.

Bab 1: Pengertian Mengenai Tata Gereja dan Pemerintahan Gereja
Tata gereja adalah teori dan bentuk dari sistem pemerintahan gereja. Tata gereja menunjukkan prinsip-prinsip yang berlaku dalam pemerintahan gereja. Dengan kata lain, tata gereja menunjukkan metode dan kedudukan kekuasaan dalam gereja; sedangkan pemerintahan gereja menjalankan kekuasaan berdasarkan tata gereja yang berlaku.
Sebuah organisasi diperlukan bila ada dua orang atau lebih berserikat bersama. Demikian juga gereja memerlukan suatu bentuk organisasi agar dapat berfungsi dengan baik. Perjanjian Baru dalam Kisah Para Rasul memberikan contoh bagaimana para rasul membentuk suatu organisasi yang terdiri dari tujuh orang untuk mengatasi persoalan yang ada.
Tata gereja sebuah gereja menentukan corak pemerintahan gereja dan mempengaruhi doktrin yang dianutnya. Secara umum ada empat golongan besar tata gereja di dunia yaitu:
1. Episkopal.
Bentuk pemerintahan episkopal bertumpu pada para uskup untuk mengurus segala pekerjaan gereja (oligarki).
2. Monarkial.
Bentuk ini hampir sama dengan episkopal dengan pengecualian ada seorang uskup yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari uskup lainnya. Contohnya adalah Katolik di mana Paus mempunyai kekuasaan yang mutlak.
3. Presbiterian.
Kekuasaan dalam bentuk ini terletak pada tangan para penatua (majelis) yang sama derajatnya. Gabungan majelis-majelis beberapa gereja sewilayah membentuk klasis dan gabungan klasis membentuk sinode. Kekuasaan tertinggi ada pada sidang sinode.
4. Kongregasional.
Ciri khas bentuk ini adalah otonomi gereja di mana anggota-anggota gereja memerintah dirinya sendiri. gereja setempat berdaulat penuh dalam batas keanggotaannya sendiri. Jadi tidak ada garis struktur ke atas.

Bab 2: Prinsip-prinsip Perjanjian Baru Mengenai Tata Gereja
Meskipun Alkitab tidak menyatakan secara eksplisit keterangan-keterangan tentang tata gereja secara terperinci, prinsip-prinsip dasarnya dapat ditarik dari Perjanjian Baru. Ada sepuluh prinsip, yaitu:
• Allah adalah penguasa abadi atas menusia.
• Kristus adalah Kepala dan Guru Agung bagi gereja.
• Roh Kudus adalah penuntun dan sumber kuasa.
• Alkitab adalah kuasa tertinggi bagi gereja.
• Setiap individu mampu dan merdeka di hadapan Allah.
• Setiap gereja merupakan kesatuan rohani yang otonom dan demokratis.
• Gereja terdiri dari anggota-anggota yang telah dilahirkan kembali.
• Anggota gereja mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
• Kerjasama antar gereja bersifat suka rela.
• Kebebasan beragama adalah suatu hak yang tidak dapat dihilangkan.

Bab 3: Kewajiban Anggota Untuk Turut Memerintah
Dalam gereja Baptis, kekuasaan tertinggi dan yang terutama berada dalam sidang jemaat. Setiap anggota jemaat mempunyai hak satu suara. Dengan demikian anggota jemaat diakui sebagai orang yang mempunyai nilai luhur, mampu berkarya dan merdeka di bawah terang Kristus. Jadi inti dari kebebasan individu adalah hak untuk menentukan nasibnya sendiri.
Gereja Baptis mengakui bahwa tubuh Kristus terdiri dari individu-individu yang telah dilahirkan kembali dan mempunyai sifat asali yang sama satu dengan lainnya. Dengan kata lain setiap anggota jemaat mempunyai persamaan derajat, hak istimewa dan kesempatan. Hal ini tidak berarti dalam gereja Baptis tidak ada seorang “bos” pemimpin, melainkan pemimpin adalah pelayan yang baik, bukan seorang penguasa yang mempunyai kekuasaan di atas yang lainnya.
Sistem demokrasi dalam gereja Baptis memberikan anggota jemaat kebebasan, hak dan kesempatan yang sama. Hak-hak tersebut mempunyai konsekuensi kepada suatu tanggung-jawab. Setiap anggota jemaat bertanggung-jawab untuk mencapai tujuan-tujuan gereja. Bentuk tanggung-jawab itu adalah sbb:
• Bertanggung-jawab atas kebebasan dan hak-hak orang lain.
• Bertanggung-jawab untuk memerintah.
• Bertanggung-jawab untuk mentaati keputusan mayoritas.
• Bertanggung-jawab untuk mendisiplin diri sendiri.

Bab 4: Gereja dan Pemerintahannya
Prinsip-prinsip pemerintahan sebuah gereja menurut Perjanjian Baru bersifat tetap dan harus diutamakan dalam perkembangan struktur pemerintahan gereja. Ada tiga prinsip pemerintahan gereja yaitu:
• Sebuah gereja adalah lengkap dan bersifat mandiri.
Gereja bukan merupakan bagian dari gereja lain yang lebih besar. Gereja lahir dalam keadaan utuh, sederajat dengan gereja lain, terpisah dan otonom. Gereja merupakan sebuah organisme yang terdiri dari manusia-manusia yang merupakan bagian dari tubuh Kristus yang rohani. Dengan kata lain kita semua disatukan dalam diri Kristus.
• Sebuah gereja merupakan kesatuan yang otonom.
Artinya setiap gereja menjalankan prinsip menentukan nasibnya sendiri dalam segala hal. Ada beberapa ciri dari sebuah gereja yang otonom yaitu bebas dari ikatan gerejawi, berdiri sendiri dan lepas dari badan-badan yang lain, dan berpemerintahan kongregasional.
• Sebuah gereja adalah suatu demokrasi sidang.
Yang dimaksud dengan demokrasi sidang adalah pemerintahan gereja langsung menjadi tanggung jawab sidang. Hal ini berdasarkan bukti bahwa Kristus memberikan kuasanya ke dalam tangan angota-anggota gereja secara keseluruhan. Demokrasi sidang dilakukan melalui pertemuan-pertemuan yang teratur dalam rapat urusan gereja. Dalam rapat ini semua anggota gereja wajib mendapat informasi yang cukup mengenai keadaan gereja. Setelah itu para anggota gereja wajib memikirkan solusi yang terbaik bagi kepentingan gereja dan memberikan suaranya. Sidang jemaat dilaksanakan untuk menentukan syarat-syarat keanggotaan gereja termasuk bagaimana memeliharanya, menentukan program-program gereja sendiri, menentukan corak organisasinya sendiri, dan mengangkat para pemimpinnya sendiri. Biasanya para pejabat yang dipilh pertama-tama adalah para diakon (panitia perancang) yang tanggung-jawab utamanya melayani kebutuhan sidang jemaat.
Bab 5: Tata Organisasi Denominasi
Bentuk organisasi pada lembaga denominasi gereja-gereja Baptis Selatan dilaksanakan sesuai dengan tata gereja Perjanjian Baru. Secara organisasi, gabungan gereja-gereja Baptis membentuk asosiasi gereja se-wilayah. Gabungan gereja-gereja se-wilayah membentuk gabungan gereja tingkat negara bagian dan akhirnya disatukan dalam Konvensi Baptis Selatan secara nasional.
Ada tiga hal yang perlu diketahui dalam berbicara tentang tata organisasi denominasi Baptis Selatan yaitu:
• Baptis Selatan sebagai badan denominasi.
Gereja-gereja Baptis Selatan tidak mempunyai hubungan organik maupun tunduk kepada kekuasaan Konvensi Baptis Selatan. Istilah “Baptis Selatan” hanyalah menunjukkan affiliasi mereka pada Konvensi Baptis Selatan. Dengan kata lain setiap gereja Baptis yang bergabung dalam Konvensi Baptis Selatan tetap sebuah gereja yang merdeka dan berotonomi penuh.
• Hubungan antara gereja dan badan-badan denominasi.
Setiap lembaga Baptis terdiri dari pribadi-pribadi tertentu anggota gereja Baptis yang dipilih sebagai utusan untuk menghadiri pertemuan-pertemuan tahunan baik dalam asosiasi, gabungan tingkat negara bagian, maupun Konvensi Baptis Selatan secara nasional. Seperti setiap gereja yang beraffiliasi dengan denominasi Baptis Selatan tetap bersifat otonom, setiap lembaga denominasi juga berstatus otonom.
• Tata pemerintahan badan denominasi Baptis.
Tata pemerintahan kaum Baptis Selatan dalam ketiga badan denominasinya (asosiasi, gabungan, dan konvensi) mempunyai keunikan. Keunikan ini tampak dalam pelaksanaan demokrasi sidang pada rapat tahunan. Masing-masing badan denominasi mempunyai wewenang terakhir. Sehingga dengan kata lain setiap jenjang badan dan lembaga tersebut menerapkan pola kongregasional yang sangat mendasar.

Bab 6: Gereja yang Bebas di Dalam Negara yang Merdeka
Konvensi Baptis Selatan mempunyai pokok-pokok kepercayaan tertentu mengenai kebebasan beragama dan pemisahan di antara gereja dan negara. Tentang kebebasan beragama, kaum Baptis percaya beberapa hal yaitu:
• Kebebasan beragama berarti bebas memilih dan bebas dari paksaan untuk menyatakan kepercayaan agamanya.
• Kebebasan beragama berasal dari Allah sendiri, bukan dari manusia.
• Negara seharusnya memberikan kepastian jaminan hukum akan kebebasan beragama. Contohnya adalah Amandemen Pertama dari UUD Amerika Serikat yang mengakui kebebasan beragama dan jaminan hukumnya.
• Kebebasan beragama adalah kebebasan yang mendasar.
Tentang pemisahan di antara gereja dan negara, kaum Baptis percaya bahwa sebuah gereja seharusnya merdeka sepenuhnya dan terpisah dari negara. Ada enam pokok definisi kepercayaan orang Baptis yaitu:
• Pemisahan berarti gereja mempunyai asas dan tujuannya sendiri.
• Baik gereja maupun negara, masing-masing mempunyai masyarakatnya sendiri.
• Metode yang dipakai gereja harus berbeda dengan yang dipakai oleh negara.
• Masing-masing mempunyai sistem administrasi yang berbeda.
• Masing-masing mempunyai sumber keuangan yang berbeda.
• Masing-masing mempunyai program pendidikan yang terpisah.
Biasanya, negara memandang gereja sebagai badan kerohanian dan sebagai badan duniawi. Hal ini membawa dua implikasi, yaitu sebagai badan rohani, gereja terpisah dan tidak berada dalam kekuasaan negara (dalam hal yang berhubungan dengan urusan kerohanian). Sedangkan dalam hal urusan di tengah masyarakat, gereja dianggap sebagai badan duniawi yang harus tunduk kepada peraturan perundangan yang berlaku.

Bab 7: Penyimpangan-penyimpangan yang Berbahaya Dalam Pemerintahan Gereja Baptis
Praktek-praktek dalam pemerintahan gereja Baptis sering berada dalam bahaya karena bertentangan dengan tata gereja kongregasional. Ada beberapa penyimpangan-penyimpangan dalam pemerintahan gereja Baptis sbb:
• Liberalisme, yaitu dengan membuat tata gereja yang sesuai dengan keperluan dan kehendak diri sendiri.
• Ritualisme, melaksanakan pemerintahan gereja dengan menjalankan prosedur-prosedur secara kaku dan otomatis.
• Tradisionalisme, yaitu menjalankan tradisi pemerintahan gereja yang tidak sesuai dengan Perjanjian Baru.
• Ofisialisme, yaitu ketaatan sempit pada pribadi pemimpin gereja.
• Sentralisme, yaitu sentralisasi kekuasaan kepada beberapa orang saja.
• Otoriterisme, yaitu menyerahkan hak dan kebebasan individu kepada para pemimpin. Hal ini terjadi sebagai akibat dari sentralisme.
• Proteksionisme, yaitu sikap untuk tidak membicarakan masalah tertentu kepada jemaat dengan alasan ketidak-tahuan jemaat akan masalah itu.
• Federalisme, yaitu dengan menyerahkan sebagian kekuasaan kepada suatu kekuasaan yang lebih tinggi.
• Eklesiaisme, yaitu penyimpangan yang mengarah pada pembentukan suatu gereja super di mana kekuasaan bersifat menurun dari “pusat” kepada gereja-gereja anggota.

Bab 8: Melestarikan Demokrasi Perjanjian Baru
Permasalahan dengan sistem demokrasi yang dianut oleh gereja Baptis adalah ketika jemaat bersikap masa bodah dan tidak perduli dengan apa yang sedang terjadi. Mereka tidak terlibat dalam diskusi, memberikan suaranya secara serampangan, atau malah tidak memberikan suaranya. Sikap ini sebenarnya menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada segelintir orang saja. Untuk menghindari terjadinya hal-hal seperti di atas, ada beberapa jalan keluar sbb:
• Para pemimpin berusaha menekuni idealisme demokrasi, yaitu dengan cara menjalankan prinsip-prinsip Perjanjian Baru, mempertahankan demokrasi dan menjalankan administrasi di bawah pemerintahan gereja.
• Anggota-anggota gereja menerima pendidikan dasar-dasar demokrasi. Pendidikan dilakukan dalam hal pemahaman tata gereja Baptis, kegiatan gereja dan denominasi dan pelatihan untuk menjalankan pemerintahan.
• Gereja perlu mengadakan pengamanan-pengamanan sebagai kontrol demokrasi. Maksudnya adalah agar kontrol selalu ada dalam tangan orang banyak (misalnya dalam rapat tahunan). Perangkat pengaman antara lain adalah badan hukum, anggaran dasar dan rumah tangga, tata cara rapat parlementer dan panitia perancang.
• Keputusan diambil melalui proses demokrasi. Hal ini adalah syarat dasar pola pemerintahan gereja kongregasional. Hal ini dapat berlangsung dengan baik ketika rapat urusan gereja dihadiri secara baik, pembahasan usul secara jelas, dan adanya perhatian yang sungguh-sungguh pada pemungutan suara.
Analisa Buku
Buku ini ditulis oleh dan bagi kepentingan kaum Baptis terutama kaum Baptis Selatan. Gaya penulisan McCoy sederhana namun sangat sistematis sehingga mudah dipahami. Buku ini dibagi menjadi delapan bab. Dua bab pertama berisi pengenalan secara umum dan pengenalan secara Alkitabiah pada apa yang dimaksud dengan tata gereja dan pemerintahan gereja. Pada empat bab berikutnya penulis menjabarkan poin-poin penting tentang tata gereja dan sistem pemerintahan gereja. Dua bab terakhir berisi peringatan dari penulis akan penyimpangan-penyimpangan dalam pemerintahan gereja Baptis dan cara-cara untuk mengatasinya.

Kekuatan dan Kelebihan Buku
1. Ditulis secara sederhana dan ringkas sehingga mudah dipahami setiap pembacanya.
2. Buku ini sangat sistematis dalam penyajiannya.
3. Penulis sangat menguasai apa yang ditulisnya. Walau informasi tentang penulis sangat sulit didapatkan, ada kesan yang kuat penulis adalah seorang akademisi dan praktisi yang mumpuni dalam topik tata cara gereja Baptis.
4. Pada setiap permulaan bab diberikan ringkasan isi sehingga memudahkan para pembaca untuk mengerti pokok-pokok pembahasan dalam bab tersebut.

Kekurangan Buku
1. Karena buku ini ditulis secara sederhana dan ringkas, maka kelemahan utamanya adalah kurang mendalamnya pembahasan buku bagi pembaca akademisi.
2. Ada beberapa bagian yang dibahas hanya secara sekilas, misalnya bab tujuh.
3. Mengingat buku ini diterjemahkan pada tahun 1987 dan merupakan cetakan tahun 1989, maka kekurangan buku ini adalah kurang “up to date-nya” isi buku. Mungkin ada perkembangan masa kini akan isi buku ini.
4. Buku ini bertumpu pada konteks Amerika Serikat. Mungkin ada sedikit perbedaan jika ditulis oleh orang Indonesia tanpa harus berbeda dalam prinsip-prinsipnya.

Usulan
1. Pemuktahiran isi buku dan jika (barangkali) mungkin menggunakan contoh-contoh di Indonesia dari pada Amerika Serikat.
2. Untuk tugas awal mata kuliah “Tata Gereja Baptis” sebaiknya pihak STBI menyusus sebuah diktat yang lebih komprehensif. Dengan penjelasan yang lebih terinci dan contoh-contoh dari konteks Indonesia akan memberikan pemahaman yang lebih mendalam pada tata cara dan pemerintahan gereja Baptis bagi para mahasiswa STBI.

Penutup
Terlepas dari beberapa kelebihan dan kekurangannya, buku ini sangat berguna baik untuk kaum Baptis maupun non-Baptis. Bagi kaum Baptis, buku ini memberikan penjelasan mengapa tata cara dan pemerintahan gereja Baptis dilakukan seperti sekarang. Bagi kaum non-Baptis, buku ini dapat menjadi referensi berharga untuk memahami alasan pelaksanaan sistem Kongregasional di gereja-gereja Baptis. Akhirnya, biarlah semua orang percaya di seluruh dunia bersama-sama berkata: Soli Deo Gloria.

1 comment:

Franklin said...

Apakah sdr/bpk mantan mahasiswa STBI Semarang?