Saturday, August 28, 2010

Yesus, Dasar Yang Kokoh

(Lukas 6:46 – 49; Mazmur 11:3)


Peristiwa 9/11 sembilan tahun yang lalu membuka sebuah lembaran baru bagi masyarakat Amerika. Pagi itu menjadi sebuah sejarah yang pahit ketika para teroris menghancurkan gedung WTC. Ribuan manusia terbunuh secara brutal tanpa kesempatan untuk menyelamatkan diri. Mimpi indah untuk mengejar “American Dream” mendadak menjadi mimpi buruk bagi keluarga dan kerabat yang ditinggalkan.
Di balik semua tragedi itu, sampai hari ini ternyata bangsa Amerika mampu bertahan dengan kokoh. Apa yang membuat mereka dapat bertahan? Apa sih rahasia bangsa Amerika?. Sebuah pidato yang dilakukan oleh presiden Bush pada malam harinya mengungkapkan rahasianya. Bush mengatakan: “Serangan-serangan teroris dapat mengguncangkan fondasi-fondasi gedung-gedung yang paling besar, tetapi mereka tidak dapat menyentuh fondasi-fondasi Amerika. Saya tidak tau dari mana Bush mendapat ide untuk mengatakan hal itu. Apakah kebetulan atau tidak, ucapan Bush cocok sekali dengan Firman Tuhan. Mazmur 11:3 “Apabila dasar-dasar dihancurkan, apakah yang dapat dibuat oleh orang benar itu?”. Pada kesempatan yang lain, dalam sebuah kebaktian doa, Billy Graham menunjuk pada struktur bangunan yang dihancurkan oleh para teroris. Dia menandaskan bahwa meskipun menara kembar itu telah hancur, fondasinya, ajaib memang, masih ada ditempatnya. Kemudian dia, dengan rasa lega, mengatakan, “Demikian juga dengan kita. Jika fondasi atau dasar-dasar itu masih ada, tidak ada masalah”.
Kisah kedua adalah keluarga dokter. Ada suami istri yang sama-sama dokter. Setelah menikah bertahun-tahun, akhirnya mereka mempunyai seorang anak laki-laki. Prakteknya sangat laris. Setiap hari bisa tutup jam 2 pagi. Saudara bayangkan sendiri berapa penghasilannya. Nah, penghasilan mereka yang gede itu semuanya ditujukan bagi sang anak tunggal. Sudah dibayangkan di negara mana nanti anak itu akan melanjutkan sekolah. Pada suatu hari ketika anak mereka berumur 11 tahun, si anak sakit. Papa masuk ke kamar dan memeriksanya. “ndak apa-apa nak. Ini hanya sakit biasa. Papa kasih obat. Istirahat ya. Besok juga sudah sembuh”. Tidak lama kemudian, seorang dokter lain masuk, sang mama. Jangan lupa papa dokter, mama juga dokter. Sudah menjadi komitmen setiap sang anak sakit, diperiksa papa dan mama. Jadi setiap sakit, sang anak harus buka mulut dua kali, buka baju dua kali. Setelah selesai memerikasa mama bertanya: “di kasi obat apa sama papa?.” “obat ini ma” jawab si anak. “OK, kamu tidur aja, besok juga sudah baik”.
Apa yang dianggap penyakit biasa itu ternyata meregut nyawa anak itu. Jam 1 pagi terdengar teriakan histeris mama. “nggak mungkin, nggak mungkin”. Saudara, sebuah tragedi menimpa keluarga itu. Ketika pemakaman, sang mama tidak sanggup datang ke kuburan. Sang papa mengikuti prosesi pemakaman dengan lesu. Tetapi ketika peti mati kecil itu diturunkan ke liang kubur, mendadak sang papa jatuh. Beberapa tangan menopangnya agar jatuh. Tragedi ini belum berakhir. Setelah penguburan, kedua dokter ini hidup dalam depresi berat. Perasaan tidak dapat mengampuni diri sendiri yang tidak mampu menyelamatkan anak tunggalnya. Teman-teman datang memberi hiburan tapi sia-sia. Mereka kadang makan, kadang tidak. Kadang tidur kadang tidak. Kadang mandi, kadang tidak. Dan mereka berdua tidak lagi pernah membuka prakteknya.
Saudara, dari dua buah kisah ini ada sebuah kesamaan dan sebuah perbedaan. Persamaannya adalah badai gelombang kehidupan yang menghancurkan dapat datang tiba-tiba pada hidup kita. Perbedaannya, setelah badai selesai, bangsa Amerika masih tetap berdiri tegak. Sedangkan keluarga dokter itu hancur dalam badai kehidupan yang dihadapinya. Ada dua kejadian yang mirip, pada akhirnya yang membedakan hasilnya adalah fondasi kehidupan masing-masing. Artinya, dalam hidup ada sebuah hal yang paling penting. Ketika badai kehidupan melanda, apakah uang dapat menolong, apakah koneksi dapat menolong?, apakah reputasi dapat menolong?. Saudara tau jawabannya bukan?. Hanya fondasi yang benar dan kuat di dalam Tuhan yang dapat menopang saya dan saudara agar dapat tetap berdiri tegak.

Pertanyaannya, bagaimana caranya membangun fondasi yang kokoh?
Perikop ini berbicara kepada orang-orang yang sudah percaya kepada Yesus. Ayat ke-47 menyatakan untuk membangun fondasi yang kokoh diperlukan tiga hal yaitu:
1. Datang kepada Yesus.
Mengapa saya mengatakan bahwa perikop ini ditujukan kepada orang-orang yang sudah percaya?. Karena dalam bahasa aslinya, kata “datang” menggunakan present tense. Artinya hal ini harus dilakukan secara terus menerus, harus diperbaharui senantiasa. Maksud bagaimana? Untuk mendapatkan keselamatan, kita hanya perlu digerakkan oleh Roh Kudus sekali untuk datang dan mengaku bahwa Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat. Untuk bertumbuh di dalam Yesus, kita harus selalu datang dan “menempel” pada Yesus. Ada lagu sekolah minggu yang mengatakan: Yesus pokok dan kita carang-Nya. Saudara tau lagu itu? Mau nyanyi?
Jadi poin pertama untuk membangun fondasi adalah datang kepada Yesus. Terus setelah datang, ngapain?
2. Mendengarkan perkataan Yesus.
Bahasa asli mengatakan untuk mendengarkan firman-firman Yesus. Mendengarkan yang dimaksud adalah mendengarkan sampai mengerti apa yang disampaikan. Setelah mengerti, apakah sudah cukup?. Belum. Ada sebuah jurang yang sangat lebar dan dalam antara mengerti benar-benar Firman Tuhan dengan langkah berikutnya. Apa langkah berikutnya? Ya, melakukan apa yang sudah dimengerti dengan benar.
3. Melakukan Firman yang sudah dimengerti.
Apakah orang yang mengerti dengan baik dan benar Firman Tuhan secara otomatis melakukannya?.
World Vision adalah lembaga Kristen yang melayani lebih dari 50 juta orang per tahun di lebih dari 100 negara di seluruh dunia. World Vision didirikan oleh seorang yang bernama Bob Pierce. Rekan-rekannya berkata: ‘Ia adalah seorang yang tidak kenal lelah dalam memenangkan jiwa-jiwa’, rekan yang lain berkata: ‘saya belum pernah bertemu dengan orang yang lebih ber-belas-kasihan dari dia, Ia benar-benar seorang Samaria Kristen yang secara harafiah menyerahkan nyawanya untuk orang-orang ‘kecil’ yang miskin di dunia’.
Di balik image yang ‘sempurna’ tsb, bagimana sebenarnya seorang Bob Pierce di mata keluarganya?. Pada kenyataannya dia mengabaikan keluarganya sendiri, sebagai contoh ketika seorang putrinya akan mencoba bunuh diri, dia menelpon ayahnya yang berada di Timur Jauh dan memintanya untuk segera pulang. ‘Saya hanya ingin merasakan tangan ayah memeluk saya’ kata anaknya. Bahkan istrinya juga memohon agar ia pulang tapi Bob Pierce tidak menuruti permintaan keluarganya dan malah memesan tiket ke Vietnam. Padahal dia tidak mempunyai urusan di Vietnam. ‘Saya sudah menduga bahwa ia tidak akan pulang,’ kata anaknya. Beberapa tahun kemudian ia benar-benar berhasil bunuh diri. Hubungan Bob Pierce dengan istrinya dan anaknya yang lain sangat tegang dan mereka tidak saling berbicara bertahun-tahun dan pada usia 64 tahun, pada tahun terakhir hidupnya dia hidup terasing dari keluarganya. Semua kisah ini ditulis oleh putrinya yang bernama Marilee Pierce Dunker dalam sebuah buku yang berjudul ‘Man of Vision, Woman of Prayer’.
Contoh kedua adalah Ray Mossholder, seorang yang terkenal sebagai konselor pernikahan Kristen. Bukunya yang berjudul ‘Pernikahan Plus’ menjadi best seller di mana-mana dan melalui pelayanannya melalui radio dan TV telah menyelamatkan lebih dari 11.000 pasangan dari perceraian. Bayangkan, 11.000 pasangan yang artinya: satu tahun ada 365 hari, bila 11.000/365= 30,14 Artinya bila sebuah perkawinan diselamatkan dari perceraian setiap hari tanpa putus sepanjang tahun, butuh lebih dari 30 tahun untuk menyamai ‘rekor’ Ray Mossholder.
Pelayanannya berakhir pada bulan Januari 2002 ketika ia menuntut cerai istri yang telah dinikahinya selama 40 tahun sekaligus mengumumkan rencananya untuk menikahi wanita lain. O, saudara, ini sebuah pernyataan yang sangat mengagetkan dan menyedihkan ketika ia mengakui bahwa ‘ia munafik ketika berbicara tentang betapa indahnya pernikahan kami dulu. Apa yang saya ajarkan sebagai kebenaran, entah mengapa, tidak dapat saya terapkan dalam pernikahan kami’.
Saudara, kedua hamba Tuhan ini mengerti Firman Tuhan dengan baik dan sepanjang pelayanannya, mereka melakukan Firman Tuhan itu. Mengapa orang yang mengerti dengan baik dan kemudian melakukannya, pada akhirnya jatuh tengkurap?. Satu jawaban yang sangat penting adalah karena sebenarnya Firman itu belum terinternalisasi dan merubah diri dari dalam ke luar. Apa maksudnya internalisasi?
Ada sebuah film yang menceritakan bagaimana seseorang yang pertama kali masuk ke penjara. Pertama kali, dia merasa sangat tidak kerasan. Dia benci penjara, dia benci dirinya sendiri. Lama-kelamaan, karena memang tidak ada hal lain yang dapat diperbuat, dia berusaha menyesuaikan diri dengan situasi di penjara. Dua puluh tahun kemudian, dia dibebaskan dari penjara. Ketika keluar dari penjara, orang ini sudah tidak memiliki keluarga, teman, pekerjaan, uang, dan…..yang paling buruk adalah dia tidak dapat lagi menyesuaikan diri dengan dunia di luar penjara. Keadaan sudah berubah, dia tidak pernah siap untuk hidup di luar penjara. Akhirnya dia bunuh seseorang dan menyerahkan diri ke polisi agar dapat masuk ke penjara lagi. Apa yang terjadi selama 20 tahun di penjara?. Orang itu mengalami suatu proses yang disebut internalisasi. Orang itu berubah dari dalam dirinya dan menjadi manusia yang baru. Dia menerima dan menjalankan budaya penjara dan bahkan dirinya tidak dapat hidup di luar budaya penjara itu.
Sebagai orang percaya, setiap saat kita harus datang kepada Yesus, mendengarkan Firman-Nya, membiarkan Firman itu memerangi diri kita yang lama. Di situ kita bergumul dengan diri sendiri, menginternalisasi kebenaran Firman sampai akhirnya Firman itu merubah kita dari dalam sampai kita tidak dapat hidup di luar Firman.

Ayat ke-48 memberikan gambaran proses ini seperti membangun rumah. Satu hal yang paling penting dalam membangun rumah adalah menyiapkan fondasi. Untuk menggali tanah dalam-dalam, dibutuhkan suatu pengorbanan yang lebih. Saat ini, saya dan saudara sedang menggali fondasi. Berapa dalam kita mau menggali?. Kalau hidup di dunia ternyata lancar-lancar saja, kita tidak usah menggali dalam-dalam. Tetapi kalau hidup di dunia penuh dengan cobaan dari iblis, kita harus menggali fondasi kita sedalam mungkin.
Hari ini kita hidup di masa yang paradoks. Coba, kita perhatikan anak-anak kita di sekolah. Dalam satu hari berapa jam dihabiskan di sekolah, berapa jam untuk les. Anak umur 7 – 8 tahun bisa menghabiskan waktu dari jam 7 pagi dan pulang ke rumah jam 7 malam. Banyak ortu yang memacu habis anaknya untuk sukses di sekolah dengan les-les yang menghabiskan waktu bermain anak. Mereka mengukur sukses dengan nilai yang tinggi di sekolah. Dengan kata lain, membentuk anak yang baik dan takut Tuhan bukanlah tujuan hidupnya. Dan banyak ortu yang berjuang sangat keras untuk mewujutkan tujuannya.
Anehnya atau paradoksnya, ketika berhubungan dengan Tuhan, kita maunya instan. Kita begitu hebat berjuang di luar gereja, begitu rajinnya. Tetapi begitu berhubungan dengan Tuhan, kita begitu pasif. Ada begitu banyak orang yang rajin belajar, rajin bekerja, rajin bersekolah. Berapa banyak saudara melihat orang-orang yang rajin belajar Firman Tuhan?.
Kalau begitu, ada dua pertanyaan untuk kita renungkan malam ini: sudahkah kita menggali fondasi iman kita? dan seberapa dalam kita ingin menggali iman itu?. Apakah yang dimaksud dengan membangun rumah tanpa fondasi?. Matthew Henry menafsirkannya sebagai orang yang mengetahui kewajibannya tetapi mengabaikannya.

Malam ini Firman Tuhan berbicara dengan sangat jelas. Setiap orang yang sudah percaya mempunyai kewajiban untuk bertumbuh dan membangun fondasi imannya. Ada tiga tahapan. Pertama, dengan kesadaran diri, datang setiap saat untuk belajar Firman Tuhan. Kedua, belajar dengan baik, gumuli Firman itu sampai terinternalisasi dan merubah kita. Ketiga, dari hasil internalisasi itulah kita melakukan kehendak Tuhan.
Saudara, tiga langkah ini harus dilakukan sepanjang kita hidup. Hal ini tidak mudah. Akan ada waktu di mana kita mengalami kemajuan pesat, tetapi akan ada waktu di mana kita mundur sedikit. Dalam pergumulan kita, ayat 49 mencatat janji Tuhan bahwa orang yang menggali dalam-dalam dan meletakkan dasarnya pada Yesus, dia tidak akan goyah ketika badai kehidupan menerpa.

Film WTC yang dibintangi oleh Nickolas Cage memberikan data sbb:
Total ada 1.749 orang yang meninggal dari 87 negara
343 adalah para firemen, 84 adalah port authority employees, 37 polisi, diantaranya 23 polisi NY. Jadi usaha pertolongan terhadap korban hanya mampu menyelamatkan 20 orang dan malahan jumlah penolong yang mati jauh lebih banyak dari jumlah yang berhasil diselamatkan.
Nickolas Cage: 9/11 memperlihatkan apa yang manusia mampu lakukan (kejahatan) tapi juga menyatakan kebaikan yang kita sering lupa masih bisa eksis. Bukan karena alasan apapun selain karena itu adalah hal yang benar untuk dilakukan. Film itu ditutup dengan kalimat: God I saw a lot that day. Apa yang berharga bukanlah hasil melainkan proses dalam mencapai hasil itu, apapun hasilnya.

Sebagai penutup, saya menyampaikan beberapa fakta tentang peristiwa 911:
• Ada 4 pesawat yang dibajak teroris. Target utamanya adalah WTC dan Pentagon.
• Ada sekitar 50.000 orang yang bekerja di menara kembar WTC. Jumlah yang mati dan hilang mencapai 5.000 orang. Berarti 90% target pembunuhan, berhasil selamat.
• Ada 23.000 orang yang bekerja di Pentagon. Hanya 123 orang yang meninggal. Berarti yang lolos adalah 99,5%. Rendahnya tingkat kematian karena pesawat menghempaskan diri terlalu rendah sehingga tidak tepat menghantam sebagian besar bangunan. Bagian yang ditabrak pesawat baru selesai direnovasi untuk melindungi Pentagon dari serangan teroris. Bagian itu baru dilengkapi dengan bahan anti ledakan sehingga jumlah korban dapat diminimalkan.
• Pesawat American Airlines flight 77 adalah Boeing 757 yang berkapasitas 289 orang. Hari itu hanya terisi 64 orang. Artinya 78% kapasitas tidak terisi.
• Pesawat American Airlines flight 11 adalah Boeing 767 yang berkapasitas 351 orang. Hanya terisi 92 penumpang atau 74% kosong.
• United Airlines flight 175 adalah Boeing 767 yang berkapasitas 351 orang. Hanya terisi 65 penumpang atau 81% kosong.
• United Airlines flight 73 adalah Boeing 757 yang berkapasitas 289 orang. Hari itu hanya terisi 45 orang atau 84% kosong.
• Dari total 74.280 orang yang menjadi sasaran teroris, 93% selamat dari kematian. Tidakkah angka-angka di atas mencengangkan?, tidakkah Tuhan begitu baik masih melindungi sebagian besar korban dan melindungi fondasi bangsa Amerika?.

On His Grace,
Hendra, 280810
Kutipan dan ilustrasi dari pak Benny Solihin, pak Yohan Candawasa, dan Charles Swindoll.

No comments: