Awal Juli 2006 lalu, untuk pertama kalinya saya dan beberapa rekan mengikuti suatu misi pengInjilan ke pedalaman Kalimantan Barat. Team kami adalah salah satu dari sekitar 12 team yang mengunjungi cabang gereja-gereja suatu denominasi yang berjumlah sekitar 50 gereja. Misi ini dilakukan setiap tahun dan telah berjalan selama 5 tahun tanpa terputus.
Saudara, 50 buah gereja dalam satu sinode hanya di pedalaman Kalimantan Barat adalah suatu jumlah yang fantastis bukan?. Bukankah kita patut bersyukur kepada Allah dan ikut mendukung misi-misi semacam ini?. Saya meng-amin-kan pertanyaan di atas, hanya saja ada beberapa sisi lain kehidupan suku Dayak yang terlepas dari perhatian dari kebanyakan kita. Jadi tulisan ini tidak membahas bagaimana kesulitan perjalanan kami tetapi ada beberapa fakta yang menyedihkan yang dialami oleh saudara-saudara kita, suku Dayak. Saya berani mengatakan fakta karena semuanya saya dapatkan dari hasil pembicaraan saya dengan beberapa penduduk dan hamba-hamba Tuhan yang melayani di sana.
Terancam Luar-Dalam, Jasmani-Rohani
Secara jasmani.
Maraknya perkebunan kelapa sawit membawa dampak serius terhadap tanah milik suku dayak. Dalam beberapa tahun ini ternyata banyak perusahaan dari malaysia yang “berinvestasi” di Kalbar. Entah bagaimana caranya, dalam investasinya mereka “bekerja-sama” dengan penduduk lokal sebagai pemilik tanah sbb: Tanah pribadi rakyat seluas 7-10 hektar dibagi dengan pembagian, 2 hektar dikuasai pemilik tanah dan sisanya dikuasai oleh perusahaan malysia. Lebih sedihnya, untuk menanami tanahnya yang tinggal 2 hektar itu, pemilik tanah harus membayar bibit secara kredit ke perusahaan malaysia dan bila pada saatnya mereka gagal membayar kredit maka tanah yang tinggal 2 hektar tersebut akan disita pula.
Bila hal ini berlanjut terus, sulit untuk dibayangkan dampaknya bagi suku dayak. Dalam beberapa tahun mendatang, dalam pikiran saya akan banyak tenaga-tenaga dari malaysia masuk ke pedalaman Kalbar, berbaur dan terjadi kawin campur sehingga akibatnya terhadap perkembangan iman kristen dapat anda pikirkan sendiri.
Pada saat ini telah terjadi beberapa kasus perselisihan intern keluarga akibat seorang anak menolak bekerja-sama (menyerahkan tanahnya) dengan perusahaan malaysia sedangkan saudaranya menerima. Pihak mana yang menang? Coba kita pikirkan dan renungkan sendiri.
Secara rohani.
Saat ini tidak banyak gereja-gereja yang “membuka cabang” di pedalaman Kalbar. Jelas secara finansial ini adalah proyek rugi, proyek subsidi. Dalam satu gereja saya mendapati persembahan dalam ibadah hari minggu berkisar 10-20 ribu. Sang hamba Tuhan sendiri hanya mendapatkan gaji bulanan yang nilainya setara dengan harga 25 Kg gula pasir!! (Maaf, berapakah gaji pembantu di rumah kita?). Masih untung hamba Tuhan tersebut masih single. (Harga 1 Kg gula pasir adalah Rp. 10.000). Sebagai informasi, harga bahan kebutuhan pokok di pedalaman Kalbar selain beras, jauh lebih mahal dibandingkan dengan pulau jawa. Harga sayur 2-3 kali lebih mahal. Harga 1 liter bensin Rp. 7.000. Listrik belum ada kecuali melalui gen-set yang biasanya menyala hanya antara jam 18.00-21.00.
Ditempat lain seorang hamba Tuhan mendapatkan gaji setara dengan 35 Kg gula pasir. Padahal dia mempunyai seorang istri (yg lulusan seminari Teologi) dan 2 orang anak. Lebih sedihnya, fakta bahwa anak pertamanya yang berusia 13 tahun masih berada di kelas 3 SD. Mengapa? Apakah anak tersebut bodoh? Jawabnya TIDAK. Sang anak tiga kali tinggal kelas karena 2 kali gagal mengikuti ujian karena pas menjelang ujian, sang bapak dimutasikan ke tempat lain. Satu kali sang anak tinggal kelas karena jarak sekolah dan pastori sangat jauh sehingga sulit untuk dijangkau.
Ditempat lain, seorang hamba Tuhan yang menikah dengan hamba Tuhan lainnya mempunyai seorang anak yang terpaksa dilahirkan secara operasi dengan menghabiskan biaya Rp. 7.000.000. Terus terang saya tidak berani menanyakan kepada sang hamba Tuhan dari mana uang yang dibayarkan ke pihak rumah sakit.
Dengan keadaan kehidupan hamba Tuhan yang seperti itu, dapatkah kita menuntut banyak dari pelayanan mereka? Pada siang hari banyak hamba Tuhan yang bekerja di ladang untuk menunjang kehidupan mereka. Dengan kehidupan yang “keras” seperti itu, dapatkah pelayanan mereka maksimal? Dengan keterbatasan informasi dan sarana, dapatkah mereka meningkatkan mutu pelayanan mereka?. Saudara, ini bukanlah lagu Kisah sedih di hari minggu-nya koes plus, tetapi realita yang dialami oleh saudara-saudara kita hamba Tuhan yang menyerahkan hidupnya secara luar biasa tanpa pamrih. Pertanyaan saya hanya satu: apakah yang dapat saya perbuat untuk mereka, apakah yang saudara dapat lakukan untuk mereka?
Tulisan ini bukanlah bermaksud mem-provokasi atau dengan sengaja mendeskreditkan pihak-pihak tertentu sehingga bila ada pihak yang merasa dirugikan, dengan segala kerendahan hati saya memohon maaf yang sebesar-besarnya. Tulisan ini hanyalah bentuk keprihatinan saya akan nasib saudara-saudara kita di pedalamanan Kalbar. God Bless You….
Saturday, March 31, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment