Saturday, March 31, 2007

Himne vs Kontemporer?, Piano vs Band? Bagaimana Konsep Alkitab?

Teologi penyembahan atau secara praktis dapat dikatakan sebagai pola ibadah dan musik gerejawi adalah suatu topic yang ‘cukup berbahaya’ untuk ditulis karena merupakan hal yang sensitive, yang gampang memicu perdebatan, baik debat kusir maupun debat secara intelek. Tulisan ini dibuat karena rasa penasaran penulis atas ke-absahan tata cara ibadah dan musik yang sesuai dan bertitik tolak dari kebenaran mutlak Alkitab. Rasa penasaran ini timbul setelah penulis membaca tulisan skripsi Ev. Fri Suhandy: Teologi penyembahan dan signifikansinya dalam ibadah raya.

Pokok Pemasalahan:
Liturgi (pola ibadah) termasuk penyembahan seperti apa yang Alkitabiah?
Musik dan alat musik yang seperti apa yang baik, yang seharusnya dimainkan di gereja?

Pola Ibadah
Perdebatan pola ibadah dapat mengakibatkan pertentangan dalam jemaat local. Ada sebagian yang berpendapat bahwa gaya kontemporer membawa pembaharuan yang segar, yang mampu menampung ekspresi dan aktualisasi jemaat sehingga menciptakan ibadah yang berjalan penuh dinamika penyembahan. Sementara itu sebagian berpendapat bahwa gaya tradisional adalah pola yang lebih sopan dan telah terbukti manfaatnya turun menurun sehingga merupakan pola penyembahan yang benar.
Untuk mendapatkan pola yang benar, acuan yang Alkitabiah haruslah menjadi penentu kebenaran. Ada dua acuan penting yang harus kita pahami sbb:
· Pusat dari penyembahan.
Pusat dari penyembahan adalah Allah sendiri karena Allah adalah subyek sekaligus obyek dari penyembahan kita. Allah adalah subyek karena tanpa anugerahNya kita tidak mungkin mengenal dan menyembah Dia; sebagai obyek karena penyembahan adalah respon kita terhadap Allah.
· Esensi dari penyembahan.
Alkitab tidak pernah mewajibkan jenis musik tertentu, karenanya kita harus mengerti apa esensi dari penyembahan. Esensi dari penyembahan dalam Alkitab hanyalah menyembah dalam roh dan kebenaran. (Ev. Fri Suhandy, Teologi penyembahan dan signifikansinya dalam ibadah raya)

Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa sesungguhnya pertentangan pahit gaya tradisional dan kontemporer ternyata telah keluar dari isu yang sebenarnya. Mempertahankan sebuah gaya atau pola dapat dengan mudah terjebak dalam pem-berhalaan suatu pola. Penyembahan yang benar tidak berdasarkan pola melainkan dari pusat penyembahan yang benar serta esensi dari penyembahan itu sendiri. Pola ibadah (dan juga musik) adalah suatu hal yang sekunder, suatu sarana yang mencoba mengatur agar suatu ibadah berjalan dengan sopan dan teratur.


Musik

Gaya Musik
Bagaimana pentingnya peran musik dalam suatu ibadah tidak perlu diragukan lagi; hanya sayangnya lagi-lagi pertentangan antara gaya tradisional dan kontemporer timbul dimana masing-masing pihak mempertahankan argument masing-masing.
Disatu pihak mengatakan bahwa musik yang baik adalah musik yang telah teruji selama berabad-abad, yang dimainkan hanya dengan piano dan organ. Musik jenis ini telah teruji memiliki kualitas yang tinggi, unggul serta sesuai dengan Firman Allah. Sementara pihak lain meng-klaim bahwa musik tradisional telah ketinggalan jaman dan tidak mampu mengekspresikan kebutuhan manusia modern. Mereka menggunakan segala macam alat musik untuk memainkan jenis musik kontemporer.
Jadi, sebenarnya jenis musik mana yang seharusnya dimainkan di gereja?
Saya pribadi percaya bahwa kedua macam musik di atas memenuhi syarat untuk dimainkan di gereja. Segala macam perdebatan sebenarnya hanyalah masalah selera saja dimana sebagian orang menyukai musik tertentu dan lainnya menyukai musik lainnya. Untuk membahas masalah ini lebih lanjut, kita harus sekali lagi menjadikan Alkitab sebagai acuan. Alkitab sendiri tidak pernah memberikan suatu perintah untuk hanya memainkan satu jenis musik tertentu. Bahkan bila kita ingin melakukan hanya yang tertulis di Alkitab tanpa melihat konteksnya maka kita hanya bisa menggunakan rebana, kecapi dan suling seperti yang ditulis dalam kitab mazmur atau mempergunakan lagu dan alat musik dari abad pertama daripada lagu himne yang umumnya dari abad ke 15-19. Sebenarnya lagu-lagu himne-pun tidak harus dimainkan dengan hanya piano karena sesungguhnya piano sendiri baru ditemukan pada tahun sekitar 1.700 dan baru sekitar tahun 1.800 piano berkembang. Hal ini membuktikan bahwa alat musik yang digunakan untuk mengiringi lagu himne sebelum tahun 1.800 adalah bukan piano. Sedangkan alat musik yang mirip dengan gitar telah populer selama 5.000 tahun ini dan drum yang paing kuno berasal dari tahun 3.000 sebelum masehi (sumber: Wikipedia).

Fungsi Musik Dalam Ibadah
Bila permasalahan ini kita tarik ke belakang secara histories maka kita akan terkejut mendapati bahwa puji-pujian himne yang kita agungkan ternyata merupakan pujian kontemporer pada saat pujian tersebut ditulis dan menuai badai kecaman keras dari kaum ‘tradisionalist’ pada masa itu.
Rick Warren dalam bukunya “Pertumbuhan Gereja Masa Kini” halaman 289 mengatakan: Lagu Martin Luther “Sebuah Kota Allah itu” menggunakan nyanyian popular pada jamannya. Charles Wesley menggunakan beberapa lagu dari rumah opera dan kedai minuman. Sementara John Calvin menyewa dua penulis lagu secular untuk melagukan teologinya. Ratu Inggris begitu marah sehingga dengan sinis menyebut lagu-lagu itu sebagai “lagu-lagu irama cepat Jenewa” dari John Calvin!!. Lagu Malam Kudus pernah dikritik oleh pemimpin musik di Katedral Mainz sebagai ‘ sesuatu yang hampa segala perasaan keagamaan dan kristiani’. Charles Spurgeon-pun memandang rendah lagu-lagu penyembahan kontemporer pada masanya – yaitu lagu yang sangat kita hormati sekarang. Pujian ‘Messiah’ yang digubah Handel dicap sebagai teater duniawi oleh tokoh-tokoh gereja pada jamannya.
John Frame menulis bahwa kecaman-kecaman ini terus berkembang sehingga nama-nama besar yang kita kenal sekarang seperti Fanny Crosby, Frances Havergal, Phillip Bliss, Ira Sankey dll mendapat kecaman karena gaya musik merekapun merupakan gaya kontemporer pada masa itu. Kritikan yang mereka terima adalah: terlalu popular, terlalu subyektif, tidak tepat secara doktrin, menjadi miskin atau jelek.

Jadi, apakah sebenarnya fungsi musik dalam ibadah? Menurut pemikiran saya musik adalah pengiring pujian sehingga musik tidak boleh lebih menonjol dan lebih keras daripada puji-pujiannya.
Rick Warren pernah menulis bahwa perbedaan yang timbul dari perbedaan budaya, karakter, kebiasaan akan menimbulkan pebedaan dalam mengapresiasi jenis musik tertentu. Walaupun demikian saya percaya bahwa musik adalah ‘bahasa universal’ sehingga pasti ada sedikit banyak kesamaan selera musik. Misalnya kita setuju bahwa musik rock bukanlah musik yang cocok untuk ibadah.

Syair
Tentu saja kita menyadari bahwa ada bahkan sangat banyak lagu kontemporer yang syairnya ‘ancur-ancuran’, yang bersifat antroposentris, yang berpusat pada diri manusia dan memberitakan sukses dan sukses yang instant tanpa mengisahkan proses dibalik sukses tersebut yang seharusnya menjadi hal yang terpenting. Banyak juga musik kontemporer yang cenderung ‘cengeng’ dan membuat pendengar untuk merasa ‘trenyuh’ dan mengasihani diri sendiri. Biasanya lagu seperti ini menulis Yesus pasti menolong, membuat kita kaya dsb tanpa menulis semua itu tergantung dari kehendak, cara dan waktu Allah yang berdaulat. Bukankah Allah kadang memakai segala kesulitan hidup kita untuk membentuk karakter kita??. Bukankah banyak sekali para nabi dan rasul yang hidup dalam kesulitan yang besar secara manusia waktu di dunia dan Allah membentuk mereka melalui kesulitan tsb. Apakah kita mengatahui bagaimana cara meninggalnya Petrus, Paulus dan para rasul lainnya? Apakah Allah tidak mengasihi mereka?
Di pihak lain kitapun harus jujur mengakui ada musik kontemporer yang baik, yang menyentuh pikiran dan hati. Jangan sampai kita menjadi munafik dengan melarang musik kontemporer yang baik dimainkan di gereja tetapi kita putar di mobil atau di rumah kita sambil bersenandung.
Jangan sampai selera musik yang berbeda menjadi batu sandungan untuk, katakan saja bagi para remaja dan pemuda sehingga gara-gara musik mereka undur dari Firman; jangan sampai setan menggunakan perbedaan selera musik untuk menggoda para remaja kita meninggalkan Firman Allah yang benar demi kepuasan selera musik belaka. Bukankah sudah ada banyak contoh dimana remaja dan pemuda rela meninggalkan ajaran yang benar demi kepuasaan selera musik mereka? Bukankah seharusnya kita merangkul dan membina pengertian mereka bukannya membiarkan mereka pergi karena mempertahankan selera kita?
Jiwa-jiwa muda yang belum mantap untuk mengerti dan membedakan berbagai ajaran Firman Tuhan sehingga mereka mengejar hal-hal yang sekunder seperti musik dan liturgy dan melupakan hal yang primer yaitu Firman Allah itu sendiri, selalu lebih mudah untuk diselewengkan oleh ajaran-ajaran yang tidak bertanggung-jawab, yang bersifat antroposentris. Saudara, jangan sampai bila nanti di surga kita ditanya Tuhan mengapa banyak pemuda remaja kok pengertian doktrinnya pada ngawur (karena lari ke gereja yang pengajarannya kurang ketat tapi bisa mengakomodasi selera musik mereka) gara-gara kita bersikukuh dengan gaya musik tradisional, gara-gara kita mengorbankan hal yang primer demi mempertahankan hal yang sekunder……….

Jadi, jenis musik apa yang harus kita mainkan di gereja?
Saya berpendapat bahwa konsep konstektual bisa menjadi jawabannya, artinya kita menempatkan musik itu sendiri sesuai dengan cara dan konteks musik itu sendiri.
Jadi jika kita memainkan lagu himne, mainkan dan nyanyikan sesuai dengan semangat yang sesuai, dengan alat musik yang mampu mengiringi dan men-jembatani (men-transformasi) semangat penulisnya kepada jemaat. Janganlah pujian “It is Well with My Soul”nya George Spafford dimainkan dengan irama rock seperti yang pernah saya dengar. Tahukah kita kisah tragis dibalik pujian itu dan bagaimana sang penulis mampu mengatasi kepedihannya dengan bergantung pada Allah?
Di pihak lain bila memainkan musik kontemporer yang dirancang untuk dimainkan dengan band, mainkan lagu itu dengan band, jangan hanya dengan piano saja. Jangan sampai kita memainkan lagu himne dengan irama katakan rock atau dangdut; demikian pula misalnya lagu kontemporer ‘Tetap Setia”-nya Sari Simorangkir atau Allah perduli-nya Jonatan Prawira sebaiknya dinyanyikan dengan penuh perasaan dan dengan tekanan-tekanan tertentu yang mengekspresikan perasaan dan jangan dinyanyikan dengan datar-datar saja tanpa kedalaman ekspresi yang kuat.
Akhir kata, semua yang kita nyanyikan adalah untuk kemuliaan Allah, baik menggunakan piano atau band, baik lagu himne maupun lagu kontemporer…… Alangkah indahnya bila ‘penggemar’ musik kontemporer mau belajar untuk mengerti betapa indah dan bermutunya lagu-lagu himne serta arti dan kisah luar biasa di balik penulisan lagu tersebut. Di sisi lain, alangkah bijaknya bila kitapun mau mencoba untuk mengerti selera musik yang berkembang saat ini dan tidak memaksakan selera kita. Alangkah lebih indahnya bila kita menulis lagu dengan syair yang doctrinal menggunakan alat musik masa kini. Bukankah pada akhirnya waktulah yang menguji karya-karya tersebut? Akankah bertahan melewati abad demi abad? Apakah karya tersebut terbuat dari jerami, kayu, atau emas murni? Bukankah penyembahan kita tidak tergantung pada musik dan kitapun dapat menyembah tanpa musik (bila terpaksa)? Bukankah kita menyembah dengan segenap hati dan pikiran kita di dalam roh dan kebenaran?

Sola Scriptura, Sola Gratia, Sola Fide, Soli Deo Gloria.

No comments: