Tanggal 20 Februari 07 yang lalu saya menonton dua buah film secara berurutan di indovision. Film pertama berjudul Tyson yang mengisahkan perjalanan karier mantan juara dunia tinju Mike Tyson. Film yang kedua berjudul The year of the Yao yang mengisahkan satu tahun pertama karier basket Yao Ming bermain di laga NBA.
Setelah selesai menonton, saya berpikir dalam hati betapa hidup manusia bisa berbeda sedemikian besar walau berangkat dari titik tolak yang hampir sama sebagai atlet kelas dunia yang sukses. Mike Tyson besar dalam lingkungan ‘genk’ dan sejak kecil sudah terlibat dalam berbagai pelanggaran hukum sebelum akhirnya belajar bertinju dan kemudian menjadi juara dunia termuda dalam usia 20 tahun. Saat ini Tyson hidup dalam keadaan bangkrut dan uang ratusan juta dolar yang didapatnya sewaktu bertinju telah lenyap.
Yao Ming tumbuh dalam keluarga atlet yang cukup harmonis, memasuki sekolah atlet pada usia 9 tahun dan akhirnya menjadi orang China pertama yang bermain di NBA pada usia 22 tahun. Saat ini Yao Ming adalah ‘seorang pahlawan’ bagi rakyat China dan mempunyai karier yang cemerlang dalam NBA.
Adakah pelajaran yang dapat kita pelajari dari kisah nyata kedua atlet itu yang nota bene bukanlah orang percaya? Saya mencatat paling tidak ada tiga hal sbb:
Lingkungan keluarga dan lingkungan hidup sangat berpengaruh dalam hidup seorang anak. Tyson hidup dalam lingkungan yang buruk sedang Yao Ming mendapatkan lingkungan yang kondusif.
Pendidikan. Tyson yang hidup liar akhirnya putus sekolah karena pelatihnya menganggap yang paling penting dalam hidupnya adalah menjadi juara dunia. Yao Ming mendapat didikan yang baik sepanjang kariernya.
Kepribadian, karakter dan tempramen. Jelas kedua orang ini mempunyai perbedaan yang besar.
Dari ketiga hal di atas, apakah ada pelajaran yang kita dapat bila dikaitkan dengan hidup kita, fungsi gereja dan pelayanan? Jelas ada beberapa hal yang harus kita pikirkan sebagai orang kristen, walau saya yakin semua pasti sudah kita ketahui:
Sekali lagi kita diingatkan akan mandat budaya.
Pelaksanaan mandat budaya bagi gereja salah satunya adalah dengan melakukan pemuridan yang meliputi pembinaan, pengajaran, coaching dll secara holistik dan ter-integrasi dalam bidang teologi ke dalam bidang non-teologi. Gereja harus memperlengkapi aspek hidup setiap jemaat dengan tuntas dan menyeluruh sehingga jemaat mendapat bekal yang cukup untuk menjalani panggilan hidup orang kristen yang ‘ditarik keluar dari dunia ini’. Saat ini beberapa gereja sudah mulai melaksanakan mandat budaya secara serius dengan mengirim para hamba Tuhannya untuk mengikuti program pelatihan leadership, coaching dll untuk semakin menunjang pelayanan mereka dan meneruskan pengetahuan mereka kepada jemaatnya. Ingatlah bahwa Tuhan memberikan mandat budaya (Kej 1: 27-28) mendahului mandat pengInjilan.
Saya berpikir bahwa sebenarnya melaksanakan mandat budaya dapat menjadi suatu kesulitan yang melebihi daripada melakukan mandat pengInjilan. Mengapa demikian? Karena untuk melaksanakan mandat budaya berarti gereja (hamba Tuhan) harus mampu mengintegrasikan dasar teologi, prinsip-prinsip Aolkitab ke dalam kehidupan ‘duniawi’ jemaatnya. Untuk itu sang hamba Tuhan dituntut untuk mengerti segala macam pergulatan hidup dunia dan kemudian membangun ‘jembatan’ antara ‘dunia Alkitab’ dan ‘dunia awam’.
Program-program SM, remaja dan pemuda.
Pertama, sering-kali tanpa kita sadari program-program SM sampai pemuda dilakukan tanpa suatu koordinasi dan kesatuan sehingga setiap komisi mempunyai program sendiri-sendiri (fragmental) yang tidak ‘connect’ dengan komisi-komisi lainnya. Maksud saya, misalnya komisi SM menjalankan programnya sendiri sehingga sewaktu sang anak naik ke kelas tunas/pra-remaja/remaja, dia akan dibina lagi dari mula karena tidak ada koordinasi program yang jelas antara kelas SM dan kelas remaja. Alangkah baiknya bila sang anak SM naik kelas dengan membawa suatu output yang berisi data-data pribadinya yang berisi paling tidak perkembangan pribadi, hal yang perlu mendapat perhatian, talentanya, sifatnya, kesulitan dan pergumulan dll.
Kedua, sangatlah mendesak untuk melaksanakan pembinaan guru-guru SM secara ‘profesional’. Di tempat saya bergereja, satu-satunya tempat dimana orang awam boleh mengajar adalah di kelas-kelas SM. Hal ini sangat ironis mengingat justru dalam kelas SM-lah sebenarnya suatu fondasi diletakkan. Bukankah sangat mengerikan bila kita menanamkan suatu fondasi yang keliru kepada anak-anak kecil itu?. Bukankah jauh lebih sulit untuk merobohkan suatu fondasi yang sudah jadi dan kemudian membangun fondasi yang baru daripada membangun suatu fondasi yang benar dan kokoh?.
Tantangan menjadi guru SM menjadi sangat kompleks saat ini. Di tengah arus perubahan yang sedemikian cepat kita harus menyadari dimana posisi kita dan apa yang kita hadapi. Bagi saya pribadi menjadi seorang guru SM sangatlah berat dan ‘agak mengerikan’. Mengapa demikian? Karena dalam satu minggu kita hanya bertemu dengan mereka satu kali selama 90 menit. Dalam waktu yang sesingkat itu, kita dituntut untuk menanamkan fondasi ke-Kristenan dengan merobohkan fondasi yang mereka punyai, yaitu pengaruh-pengaruh duniawi di luar 90 menit tsb. Misalnya, kita hitung dalam satu minggu mereka beraktifitas selama kira-kira 100 jam, berarti kita dituntut menggunakan 90 menit untuk menguasai atau mempengaruhi kehidupan mereka yang 100 jam. Di luar SM mungkin mereka menonton TV selama 20 jam, sekolah dan les 55 jam, bermain 15 jam dan sisanya 10 jam untuk dihabiskan untuk membuat PR.
Memang tugas kita hanyalah menaburkan benih itu, tetapi bagaimana cara kita menabur? Akankah kita menabur dengan sembarangan atau dengan hati yang gentar, hati yang merasa tidak layak sehingga kita menuntut diri untuk belajar dan terus belajar dalam melayani Tuhan?
Awal bulan ini saya mendengar teman saya, seorang hamba Tuhan yang selain melayani di gereja juga diperbantukan untuk mengajar di sebuah SMP Kristen terbaik di kota itu berkata bahwa suatu hari dia meminta murid-muridnya untuk menuliskan kesan mereka terhadap keluarga mereka tanpa disertai nama. Hasilnya sangat mengejutkan karena 80% mengaku kurang atau tidak mendapat perhatian yang cukup dari ortu mereka. Sang ortu tidak mempunyai waktu bagi mereka, apalagi membantu persoalan mereka karena sibuk bekerja. Ada dua murid (pria) yang menolak untuk menulis bahkan mereka menangis. Akhirnya melalui pendekatan pribadi diketahui bahwa sang ayah sering memukuli istrinya dan baik ayah maupun ibunya sama-sama selingkuh. Sampai di sini saya penasaran bagaimana sang anak tahu? Ternyata sang anak tahu karena sang ortu selingkuh dengan tetangga sebelah. Jika peristiwa ini terjadi di kota metropolitan mungkin saya tidak begitu heran, tetapi peristiwa ini terjadi di sebuah kota di Jateng!!.
Saya percaya salah satu penyebab sulitnya membina anak remaja dan pemuda adalah karena mereka tidak mendapatkan fondasi yang baik semasa menjadi anak SM, tidak mendapat lingkungan keluarga dan sekolah yang baik.
Saya mempunyai seorang keponakan perempuan kelas satu di sebuah SMP Katolik terbaik di kota tempat tinggal saya, yang suka memaki ibu saya. Ketika ditanya kenapa, dia menjawab bahwa sesungguhnya dia tidak ingin melakukan hal itu, tetapi pergaulan di sekolah dimana (hampir) semua murid suka berkata-kata kotor akhirnya mempengaruhinya.
Saya pribadi sangat ngeri membayangkan generasi anak-anak saat ini yang penuh dengan luka-luka batin suatu saat 10-15 tahun lagi akan menjadi para pemimpin, penerus generasi yang sekarang. Jika mereka tidak mengerti, tidak mengalami rasanya disayangi, diperhatikan, mempunyai empati, diajarkan nilai-nilai ke-kristenan, moral dll bagimana mereka akan menyanyangi, mempunyai empati dan melakukan hal yang baik? Inikah dunia yang kita inginkan?
Pentingnya pembinaan kepribadian, karakter dan tempramen.
Jika semua masalah di atas kita tarik ke akar masalahnya, kita memang akan mendapati bahwa natur manusia berdosa sebagai penyebabnya. Tetapi, setelah kita mendapat anugerah keselamatan bukankah natur kita telah kembali ke-aslinya? Jadi sudah menjadi tugas kita untuk menjalani proses penyucian bersama Roh Kudus untuk menjadi semakin mirip dengan Kristus. Salah satu tanda kedewasaan rohani seseorang adalah dengan perubahan hidup dan karakternya. Di sini kita harus membedakan antara kepribadian, karakter dan tempramen. Menurut sebuah pembinaan yang pernah saya dapat:
Kepribadian (personality) adalah ekspresi luar yang nampak dari kita dan belum tentu menunjukkan karakter yang sesungguhnya. Personality ini hanya menunjukkan 5% dari diri kita sebenarnya, jadi seperti pucuk sebuah gunung es.
Karakter adalah menunjukkan siapa diri kita sebenarnya di dalam gelap ketika kita berada dalam tempat nyaman kita, ketika kita tidak berhubungan dengan lingkungan kita atau dengan orang yang kita kenal. Faktor pembentuk karakter adalah kombinasi dari temperamen alamiah, pengalaman masa kecil, pendidikan, kepercayaan, motivasi dll.
Temperamen adalah kombinasi faktor kelahiran yang secara tidak sadar mempengaruhi perilaku kita.
Faktor karakter dan temperamen menunjukkan 95% diri kita, hanya hal ini sulit diketahui orang termasuk pasangan kita karena kita hidup dengan menggunakan berbagai macam lapisan topeng dalam hidup bermasyarakat. Faktor ini adalah sebuah gunung es yang telah menyebabkan Titanic tenggelam karena sang kapten hanya melihat pucuknya saja yang sebesar 5%.
Pada dasarnya manusia pasti bersifat aktif atau pasif dan berorientasi pada tugas atau pada manusia. Temperaman manusia dibagi dalam 4 golongan yaitu Dominan, Cermat, Intim, dan Stabil (DCIS). Berdasar tes kita akan mendapati kita masuk dalam golongan mana. Setiap golongan mempunyai kekuatan dan kelemahan dan melalui hasil tes kita dapat belajar untuk memperbaiki diri.
Saya merasa pembinaan ini sangat berguna untuk belajar lebih mengenali diri sendiri dan orang lain sehingga mengurangi konflik antar pribadi. Tentu saja pengetahuan psikologi tidak dimaksudkan untuk ‘mengkotak-kotakkan’ atau membatasi kemampuan seseorang dalam pelayanan melainkan hanya menjadi sebuah bahan pertimbangan. Selain DCIS juga ada berbagai macam tes lainnya.
Akhir kata, saya percaya setiap orang kristen harus mengalami proses perubahan karakter secara pribadi mulai dari sang hamba Tuhan, majelis, aktivis sampai jemaat sehingga orang dunia dapat menilai bahwa orang Kristen memang berbeda dengan orang dunia. Anugerah keselamatan haruslah kita tanggapi dengan ‘mengerjakan keselamatan kita’ sebaik-baiknya sehingga rasa kita menjadi asin karena kitalah garam- garam dalam dunia. Ingatlah kita mendapat anugerah keselamatan untuk ikut berbagian dalam pekerjaan Tuhan, untuk melaksanakan kehendak-Nya bukan untuk hanya sekedar mendapat berkat.
Hendra, 210207
Saturday, March 31, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment