Saturday, March 31, 2007

Segala kebenaran adalah kebenaran Tuhan, apa implikasinya bagi gereja dan kita?

Tulisan ini adalah hasil perenungan saya pribadi atas buku Arthur Holmes “All Truth is God’s Truth” dikaitkan dengan realita dalam kehidupan saat ini. Tulisan ini tidak dimaksudkan atau ditekankan sebagai tulisan yang membahas doctrin melainkan sebuah hasil perenungan pribadi.

Seorang Filsuf Kristen terkemuka Arthur F. Holmes dalam bukunya “All Truth is God’s Truth” (Momentum, 2000) mengemukakan beberapa pemikiran yang sangat penting, yaitu:
Bahwa segala kebenaran yang ditemukan adalah kebenaran Tuhan, kapanpun, dimanapun dan siapapun ‘penemu’nya. Jadi manusia berdosa masih mampu untuk merefleksikan wahyu umum Allah dan melakukan/mendapatkan beberapa kebenaran; tentu saja kebenaran di sini adalah kebenaran yang tidak bersifat fundamental dan tidak dapat menyelamatkan diri. Kebenaran di sini misalnya adalah science, seni, matematika (1+1=2) dll. Alkitab (wahyu khusus) bukanlah sebuah buku sihir yang memberikan semua tuntunan hidup secara mendetail, melainkan Alkitab memberikan tuntunan secara sufisien (cukup) bagi iman dan perilaku umat Allah. Saya percaya Alkitab memberikan semua prinsip-prinsip kehidupan yang diperlukan manusia di dunia.
Selama ini ada sebuah dikotomi yang salah namun dipercaya atau diterima sebagai kebenaran yaitu pembedaan antara ‘spiritual/sakral/religius/rohani’ dan ‘sekuler’. Istilah spiritual sering dimengerti sebagai hal-hal yang bersifat rohani yang terpisah dari keduniawian; sedangkan sekuler dimengerti sebagai hal-hal yang bersifat keduniawian. Sebenarnya ajaran Reformasi memberikan tuntutan yang sama bagi setiap orang percaya dalam hal iman dan devosi (kesalehan) apapun pekerjaan kita, baik pedagang, dokter, atau hamba Tuhan. Kehidupan beragama setiap orang tidak terbatas hanya pada aktivitas gerejawi atau kehidupan batiniah saja karena agama adalah sesuatu yang ter-integrasi dalam hidup orang percaya. Jadi setiap kegiatan dalam hidup kita baik bekerja maupun bermain, sains atau seni, semuanya adalah sakral sehingga pembedaan antara sakral dan sekuler adalah sikap yang keliru. (Holmes, hal. 34-35)
Secara sadar maupun tidak sadar kita cenderung untuk mengutamakan mandat penginjilan di atas mandat budaya. Ada dua hal yang harus kita perhatikan yaitu pertama, sebenarnya Allah memberikan mandat budaya mendahului mandat penginjilan. Kej 1: 27-28 menugaskan manusia untuk menginvestasikan hidup dan pekerjaan mereka bagi tugas-tugas ciptaan (budaya), yaitu memelihara dan memanfaatkan seluruh sumber alam dengan bijaksana. Kedua, Amanat Agung memerintahkan kepada kita semua untuk memuridkan (menjadikan semua suku bangsa murid Kristus). Kata kerja lain (pergi, baptis dan mengajar) menjelaskan bagaimana memuridkan itu dilaksanakan. Dengan demikian pemuridan mempunyai arti membawa seluruh pribadi dengan seluruh aspek hidupnya temasuk aktifitas social, seni dan intelektual kepada kehendak Allah (Holmes, hal. 46-47).

Pernyataan-pernyataan di atas jelas membawa suatu implikasi yang tidak main-main besarnya bagi gereja pada umumnya, bagi orang Kristen pada khususnya dan bagi para hamba Tuhan secara lebih khusus dan lebih lagi tuntutannya. Mengapa demikian?
Bagi gereja secara institusi (majelis dan aktifis) dituntut untuk kembali memikirkan apakah benar gereja kita sudah melaksanakan baik mandat budaya maupun mandat penginjilan secara bersama dan berimbang?, atau kita hanya melakukan salah satunya atau bahkan tidak melakukan apa-apa?. Berapa banyak yang sudah kita berikan untuk memikirkan dan bertindak bagi kepentingan gereja?. Saya rasa tolok ukurnya mudah saja: apakah kita memikirkan gereja seperti kita memikirkan keluarga, anak atau bisnis kita? Ataukah kita melarang hamba Tuhan untuk study lanjut (tapi menuntut kualitas yang tinggi) tapi mendorong anak kita untuk study se-tinggi-tingginya?
Bagi sinode, haruslah intropeksi diri apakah sudah melaksanakan apa yang seharusnya dilakukan untuk membantu ‘anak-anak-nya’ (gereja) dengan memberikan bantuan pelatihan, program, coaching dll dalam rangka melaksanakan mandat budaya dan mandat penginjilan.
Bagi orang Kristen, kita harus sadar bahwa ternyata tuntutan Allah sama terhadap kita semua untuk hidup secara terintegrasi dalam iman dan pekerjaan. Misalnya sebagai seorang dokter, kita harus berperilaku, berkarakter dan bertempramen seperti seorang dokter dan seorang yang beriman kristiani. Mari kita semua belajar teologi dengan baik karena itulah dasar dari kehidupan kita di dunia ini.
Bagi hamba Tuhan, jelas saya percaya tuntutan sebagai seorang hamba Tuhan pada saat ini (Februari 2007) jauh lebih kompleks dari pada waktu-waktu sebelumnya. Karena semua kebenaran adalah kebenaran Tuhan maka seyogyanya seorang hamba Tuhan tidak membatasi diri hanya mempelajari bidang teologi melainkan juga harus mempelajari ilmu management, organisasi dan kepemimpinan terutama bagi sang pemimpin atau gembala sidang.
Saya melihat kecenderungan beberapa hamba Tuhan yang agak alergi terhadap ilmu-ilmu yang salah kaprah mendapat cap sebagai ilmu sekuler. Memang gereja tidak tidak berasal dari dunia, tetapi bukankah gereja ditempatkan oleh Allah di dunia? Hal ini memberikan implikasi adanya interaksi dengan ‘dunia sekulerpun’ tidak terelakkan. Mengapa seringkali kita alergi pada ilmu yang bukan berasal dari bidang teologi? Dapatkah kita lepas darinya? Sadarkah kita setiap hari mempergunakan matematika, science, seni dll dalam hidup, dalam kehidupan gerejawi?. Secara ekstrim saya memikirkan bahwa betapa salahnya kita bila mengundang seorang awam untuk berkotbah dalam ibadah umum, tetapi sebaliknya berapa kurang tepat pula bila seorang hamba Tuhan yang mungkin tidak pernah belajar dan mempunyai pengalaman di luar bidang teologi diharapkan untuk memimpin ratusan jemaat, membuat system management organisasi, membuat dan melaksanakan program-program gerejawi dan menjadi ketua majelis tanpa mendapat pelatihan yang memadai. Yang terjadi adalah sang pemimpin memimpin dengan segala kekurangannya dan berdasarkan pengalaman saja. Tidaklah mengherankan bila organisasi gereja pada umumnya berjalan seadanya saja dan hanya berdasarkan kemauan sang pemimpin yang mana akan berubah bila ada pergantian pemimpin. Dengan berjalannya waktu suatu gereja bisa-bisa mandeg dalam kenyamanan hidupnya sendiri dan akan bereaksi keras terhadap pembaharuan-pembaharuan seperti tata kelola gereja dengan management organisasi yang modern. Kata-kata penolakan klise akan terdengar ‘kita tidak ada SDM-nya, kita tidak perlu itu karena sudah mempunyai visi dan cara sendiri, kita nggak ada dana untuk beli computer, majelisnya sulit dll’ atau dapat juga melaksanakan pembaharuan dengan setengah hati seperti dengan menyusun program-program dengan mencontoh/mengubah program gereja lain tanpa mengerti dari esensi atau filosofi atau tanpa mengerti dengan mendalam metode pelaksanaannya. Terus terang saya sangat heran dengan perilaku beberapa hamba Tuhan (gereja) yang menolak untuk belajar dari hamba Tuhan atau gereja yang lain misalnya dengan melakukan pembinaan secara tuntas dan study banding. Bukankah dalam hidup nyata di dunia sangat sedikit orang yang mau berbagi resep-resep ‘sukses’nya? Di dalam Tuhan, saya yakin semua hamba Tuhan atau gereja pasti mau saling membantu koleganya dengan gratis, lalu mengapa yang ‘perlu dibantu’ kadang justru tidak mau dan tidak merasa perlu?.

Saya percaya seorang hamba Tuhan harus terus menerus di’up-grade’ pengetahuannya baik secara teologi maupun yang di luar teologi dalam rangka ‘memberi makan’ jemaatnya sesuai dengan mandat budaya dan mandat penginjilan. Bila hanya belajar teologi saja, maka bagaimana caranya menjebatani Firman Tuhan kepada pendengarnya? Bila seorang dokter berbicara dengan pasiennya, misalnya seorang musisi dengan hanya mempergunakan istilah-istilah kedokteran, maka dapat dipastikan pembicaraan mereka tidak nyambung. Lain halnya bila sang dokter berbicara dengan koleganya, maka pembicaraan mereka akan nyambung. Jadi bila hamba Tuhan tidak mengerti pemikiran dan kehidupan nyata jemaatnya dan hanya hidup dalam ‘dunia’nya sendiri, bagaimana mungkin pembicaraan mereka nyambung?

Lalu bagaimana pemecahannya? Saya memikirkan beberapa alternative:
Seminary memberikan satu mata kuliah terpadu tentang managemen, organisasi dan kepemimpinan.
Seleksi calon mahasiswa dengan melakukan tes kepribadian, karakter dan temperamen. Demikian juga gereja agar tidak menerima hamba Tuhan hanya berdasarkan kemampuan kotbah tetapi juga harus dilihat dahulu karakternya.
Sinode menyediakan pusat pelatihan yang terpadu bagi hamba Tuhan junior maupun senior.
Melibatkan kaum awam untuk membantu organisasi gereja.
Kerja sama antar gereja yang se-azaz dalam pengembangan diri. Misalnya dengan mendirikan suatu center pelatihan bagi kaum awam untuk belajar teologi dan hamba Tuhan untuk belajar tentang coaching, kepemimpinan dll.
Kerja sama untuk saling mengirim hamba Tuhan junior untuk tukar mimbar pada persekutuan remaja dan pemuda.

Akhir kata, sebagai orang kristen kita harus menjalani proses hidup sesuai dengan profesi dan panggilan hidup masing-masing. Mari kita berlomba-lomba dalam ketekunan di dalam Tuhan dan menjalani proses penyucian bersama Roh Kudus sehingga pada akhirnya perbuatan dan karakter kita-pun menunjukkan identitas diri sebagai orang kristen yang semakin mirip dengan Kristus. Mari kita menjadi garam bagi dunia yang telah jatuh dalam dosa, mari kita melaksanakan mandat budaya dan mandat penginjilan sesuai dengan perintahNya. Bersatulah orang kristen!!!.
Soli Deo Gloria

No comments: