Pendahuluan
Seorang teman berkata bahwa bisnis itu buta etika, buta segala-galanya kecuali uang. Dengan kata lain dia mengatakan bahwa bisnis adalah sebuah dunia tersendiri yang terlepas dari nilai-nilai dan norma-norma kecuali peraturan yang berlaku saat itu, di tempat itu. Apa yang dilarang oleh peraturan, boleh jadi menjadi legal di waktu mendatang sehingga etika tidak lebih dari seperangkat peraturan yang dapat berubah tergantung situasi.
Boleh jadi pendapat di atas mewakili sebagian besar pendapat para pebisnis di dunia baik kristen maupun non-kristen. Harus diakui sebagai sebuah kegiatan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan hidup, bisnis merupakan ‘as’ yang menggerakkan kegiatan ekonomi. Perputaran modal yang sangat besar seringkali menghisap dan menghancurkan etika yang paling kokoh sekalipun. Karya tulis ini bermaksud untuk membahas perspektif etika kristen dalam bisnis secara teori dan dilengkapi dengan sebuah kasus nyata yang terjadi beserta rekomendasi keputusan etis yang perlu dilakukan berdasar iman kristen yang sejati.
Definisi Etika dan Moral
Ada berbagai macam definisi etika yang di berikan oleh para ahli. Iman mengutip dua di antara sebagai berikut:
Ethics is the discipline that deals with what is good and bad and with moral duty and obligation. Ethics can also be regarded as a set of moral principles or values. Morality is a doctrine or system of moral conduct. Moral conduct refers to that which relates to principles of right and wrong in behavior. Business ethics, therefore, is concerned with good and bad or right and wrong behavior that takes place within a business context. Concepts of right and wrong are increasingly being interpreted today to include the more difficult and subtle questions of fairness, justice, and equity.(Caroll & Buchholtz).
Ethics is a philosophical term derived from the Greek word “ethos,” meaning character or custom. This definition is germane to effective leadership in organizations in that it connotes an organization code conveying moral integrity and consistent values in service to the public (R. Sims).[1]
Etika adalah disiplin yang berkenaan dengan apa yang dianggap baik dan buruk dan dengan kewajiban moral dan kewajiban. Etika dapat juga diartikan sebagai seperangkat prinsip-prinsip moral atau nilai-nilai. Moralitas adalah doktrin atau sistem kebiasaan moralitas. Hal ini menunjukkan hubungan kepada prinsip-prinsip dari apa yang biasa dikatakan benar atau salah. Oleh karenanya, etika bisnis berkaitan dengan kebiasaan yang baik atau salah dalam suatu konteks tertentu. Konsep dari benar dan salah banyak diinterpretasikan hari ini untuk memahami pertanyaan sulit akan kepantasan, keadilan dan kesamaan (Caroll & Buchholtz).
Etika adalah istilah philosofis yang berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti karakter atau tradisi. Definisi ini relevan untuk menggambarkan kepemimpinan yang efektif dalam organisasi yang mengindikasikan sebuah kode organisasi yang berisi integritas moral dan nilai-nilai yang konsisten dalam melayani masyarakat (R. Sims).
Dari dua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa etika adalah seperangkat prinsip-prinsip moral atau nilai-nilai yang membedakan apa yang baik dan apa yang tidak baik. Sedangkan moral adalah sistem perbuatan yang mengacu pada prinsip-prinsip yang benar dan salah. McClendon, Jr. Mengatakan bahwa etika dan moral berkaitan baik dalam teori dan praktek. Etika adalah studi dari moral, sementara moral berarti tindakan nyata dari pandangan masyarakat dengan perhatian untuk benar dan salah, baik dan jahat, berkualitas tinggi dan berkualitas rendah. Etika biasanya diaplikasikan dari teori-teori moral yaitu cara atau gaya hidup. Dari sudut pandang sempit, moralitas terdiri dari studi tentang pemilihan dalam mengambil keputusan dan etika adalah bagaimana keputusan-keputusan dibuat atau bagaimana keputusan akan dibuat.[2] Dari pengertian tentang etika dan moral yang berlaku secara umum pada semua kepercayaan, timbul dua buah pertanyaan apakah ada perbedaan antara etika dunia dan etika kristen, dan antara etika bisnis dan etika bisnis kristen.
Etika Kristen dan Etika Bisnis Kristen
Konsep Etika Kristen dan Etika Non-Kristen
Etika kristen menurut McClendon, Jr. adalah mengacu pada teori-teori dari gaya hidup hidup kristen[3]. Sedangkan Hill mendefinisikan etika kristen sebagai aplikasi dari nilai-nilai kristiani terhadap proses pengambilan keputusan itu[4]. Dari definisi di atas, ternyata ada sebuah perbedaan fundamental antara etika kristen dan etika non-kristen yaitu pada acuan dasarnya. Etika non-kristen mengacu pada nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat tertentu, dalam waktu yang tertentu dan dapat berubah. Sebaliknya, etika kristen mengacu pada kebenaran prinsip-prinsip Firman Tuhan yang berlaku secara universal dan tidak akan pernah berubah. Dengan kata lain etika non-kristen mempunyai dasar kebenaran yang relatif sedangkan etika kristen mempunyai dasar kebenaran asali yang kekal. Dengan adanya perbedaan yang mendasar antara etika non-kristen dan etika kristen, apakah ada perbedaan serupa antara etika bisnis dan etika bisnis kristen?
Etika Bisnis dan Etika Bisnis Kristen
Sebelum mengulas lebih jauh, ada baiknya kita meninjau pengertian dari etika bisnis terlebih dahulu. Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan,vinstitusi, dan perilaku bisnis. Etika bisnis merupakan studi standar formal dan bagaimana standar itu diterapkan ke dalam system dan organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa dan diterapkan kepada orang-orang yang ada di dalam organisasi. [5]
Di pihak lain, pandangan gereja terhadap bisnis dapat berbeda-beda. Sejarah mencatat dunia Yunani tidak mempunyai konsep tentang “panggilan” (vocation) dan menganggap bekerja adalah sebagai kutukan. Pola pikir ini sangat mempengaruhi pandangan gereja mula-mula sehingga sebagian besar bapa-bapa gereja mula-mula (kecuali Clement dari Alexandria) menerapkan pendekatan “atas dan bawah” dalam kehidupan. Berada dalam urutan tertinggi adalah rohaniawan yang tidak melakukan pekerjaan biasa di dunia. Secara universal, bidang bisnis biasanya menempati urutan kedua atau bahkan ketiga. Pada abad ke-15, hanya para rohaniawan yang dianggap menerima panggilan sedangkan orang percaya lainnya dianggap tidak mempunyai panggilan. Pandangan ini mulai berubah ketika Martin Luther dan diikuti John Calvin dan kaum Puritan mengungkapkan bahwa “kita tidak memilih, kita dipanggil, dan kita semua dipanggil”. [6] Pandangan para reformator benar-benar menjadi dasar bagi bisnis yang dilakukan oleh orang percaya dan membongkar pandangan umum yang selama ini salah kaprah karena “panggilan telah disekulerkan di dunia dan disakralkan di gereja”.
Walaupun konsep bekerja telah dikembalikan ke posisinya semula melalui para reformator, dewasa ini masih ada gereja yang berpandangan mendua tentang bisnis, seperti yang dikutip oleh Krisanto mengenai sikap gereja terhadap dunia bisnis dalam artikel utama majalah ‘Mitra GKI’ yang mengelompokkan sikap gereja ke dalam lima macam:
(1) Bukan urusan – ekonomi adalah urusan duniawi, gereja tidak sepatutnya mengurusi masalah perekonomian.
(2) Krisis/Anti – berbeda dengan yang pertama, pandangan ini tidak anti-ekonomi melainkan anti-kapitalisme serta menekankan social gospel.
(3) Mengatur – agak jarang di Indonesia, gereja mengatur perekonomian jemaatnya, menerapkan pajak untuk gereja dan tidak jarang praktek-praktek yang menggambarkan bahwa tak bedanya sebuah perusahaan.
(4) Kolaborasi – pada prinsipnya bahwa gereja dan ekonomi saling mendukung. Seperti yang ditemukan secara tidak disengaja oleh Max Weber (sosiolog Jerman), tentang pengaruh etika protestan (Calvinisme) terhadap kemajuan ekonomi dibeberapa negara Eropa Barat bagian utara.
(5) Alternatif – reaksi dari sistem perekonomian kapitalis yang terlalu membuka kesempatan individu untuk meraih kesuksesan tanpa memperdulikan pihak lain, pandangan ini berupaya membuat alternatif lain dalam dunia ekonomi.[7]
Dengan kegamangan sebagian gereja dalam menyikapi bisnis seperti yang diungkapkan di atas, merupakan hal yang lebih sulit untuk berbicara tentang etika bisnis. Oleh karenanya penulis mengambil sikap berdasarkan referensi dari buku-buku dari Paul Stevens, Michael Baer, Robert Banks, dan Gordon Smith bahwa melakukan bisnis adalah panggilan dari Allah dan sama nilainya dengan panggilan-panggilan yang lain termasuk panggilan sebagai hamba Tuhan.
Rupa-rupanya dengan pengertian bahwa melakukan bisnis adalah panggilan dari Allah sendiri, John Maxwell memberikan sebuah pernyataan yang cukup mengejutkan bahwa etika bisnis (kristen) tidak ada. Maksud Maxwell adalah etika bisnis (kristen) tidak ada, yang ada hanyalah etika tunggal bagi setiap aspek kehidupan. Dengan menerapkan satu set etika bagi hidup profesional, satu set etika bagi hidup spiritual, dan satu lagi untuk kehidupan bersama keluarga, akan menjerumuskan manusia dalam kesulitan.[8] Dari penjelasan ini kita mendapati bahwa etika bisnis kristen sebenarnya bukanlah sekedar mengaplikasikan prinsip-prinsip nilai dan norma kristiani dalam bisnis, melainkan suatu aplikasi dari perubahan hidup orang percaya yang memancar dari dalam ke luar. Perubahan hidup itu merubah seluruh aspek hidup pribadi menjadi semakin serupa dengan karakter Kristus.
Etika Kristen
Maxwell mengungkapkan adanya satu peraturan/pedoman bagi semua orang yaitu aturan emas yang diambil dari Matius 7:12a, yaitu “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka”. Menurut Maxwell, peraturan emas melintasi batas-batas budaya dan agama serta dianut banyak orang di seluruh penjuru dunia karena merupakan pedoman etika paling universal yang dapat ditemukan manusia.[9]
Maxwell mungkin terlalu menyederhanakan etika hanya dengan sebuah ayat dalam Firman Tuhan karena Barnette mendefinisikan etika kristen sebagai “Penjelasan yang sistematis dari contoh-contoh moral dan pengajaran dari Yesus yang diaplikasikan terhadap hidup secara total dari pribadi manusia dalam lingkungan sosial dan diaktualisasikan oleh kekuatan Roh.[10] Senada dengan Barnette, Ramsey mengatakan bahwa etika kristen berakar dalam Kitab Suci dan dalam aktivitas Kovenan Tuhan dengan manusia. Kovenan Tuhan dengan manusia menghasilkan kasih Tuhan dalam dua sumber yaitu kebenaran Tuhan dan kerajaan Tuhan dalam ajaran Yesus.[11]
Dari penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa etika bisnis kristen adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari etika kristen. Etika kristen yang sejati berdasarkan transformasi hidup yang dilakukan oleh Roh Kudus sehingga rasio, emosi, dan kehendaknya semakin hari semakin diproses sehingga mampu hidup sesuai dengan prinsip-prinsip Firman Tuhan. Dengan kata lain sebagai orang-orang yang lahir baru, kita mendapatkan hidup yang baru dan berjalan dalam proses pengudusan bersama Roh Kudus agar tabiat dan kepribadian kita diubah-Nya dari dalam ke luar. Batin yang diperbaharui akan menghasilkan perbuatan yang baik pula. Jadi Yesus menekankan pada pembaharuan hati (motivasi) daripada perilaku secara lahiriah.
Contoh Kasus Pengambilan Keputusan etis
Untuk mengambil keputusan etis dalam bisnis diperlukan beberapa pedoman. Brownlee menyajikan lima faktor yang mempengaruhi keputusan etis, yaitu: iman, tabiat, lingkungan sosial, norma-norma, dan situasi.
Iman
Ada empat unsur iman yang membentuk satu kesatuan yang hidup:
· Iman sebagai kepercayaan dan kesetiaan kita kepada sesuatu yang kita anggap terpenting.
· Iman sebagai hubungan perorangan dengan Allah.
· Iman sebagai pengikutsertaan dalam pekerjaan Allah.
· Iman sebagai pendirian tentang apa yang benar.
Tabiat atau Karakter
Tabiat adalah susunan batin (sifat) seseorang yang dibentuk melalui interaksi dengan lingkungan dan Allah, yang memberi arah kepada keinginan dan perbuatan orang itu. Sedangkan watak adalah pembawaan lahir sehinga bersifat tetap.
Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial mempengaruhi pengambilan keputusan etis tapi tidak menentukan keputusan etis. Lingkungan sosial seperti keluarga, sekolah, gereja, dan budaya mempengaruhi norma-norma dan nilai-nilai moral walau pada akhirnya kita sendiri yang memutuskan dan bertanggung jawab pada keputusan dan perbuatan diri sendiri.
Norma-norma
Norma adalah patokan yang dipakai untuk menilai perbuatan manusia dan menolong manusia untuk mengambil keputusan yang benar. Dua jenis norma yang terpenting adalah prinsip-prinsip yang memberikan bimbingan secara umum dan peraturan-peraturan yang lebih spesifik. Sumber yang paling berotoritas untuk norma-norma bagi orang kristen adalah Alkitab.
Situasi
Pengertian mengenai situasi penting karena:
Agar dapat menerapkan norma-norma dan nilai-nilai etis kepada situasi tersebut.
Agar dapat melakukan perbuatan yang tepat dan berguna dalam situasi tersebut.
Agar dapat mengetahui masalah-masalah yang memerlukan perhatian. [12]
Kasus: Merck dan River Blindness
Tidak ada cara yang paling baik untuk memulai penelaahan hubungan antara etika dan bisnis selain dengan mengamati, bagaimanakah perusahaan riil telah benar-benar berusaha untuk menerapkan etika ke dalam bisnis. Dalam hal ini kasus perusahaan Merck and Company dalam menangani masalah “river blindness” dapat menjadi kasus yang sempurna. River blindness adalah penyakit sangat tak tertahankan yang menjangkau 18 juta penduduk miskin di desa-desa terpencil di pinggiran sungai Afrika dan Amerika Latin. Penyakit dengan penyebab cacing parasit ini berpindah dari tubuh melalui gigitan lalat hitam. Cacing ini hidup dibawah kulit manusia, dan bereproduksi dengan melepaskan jutaan keturunannya yang disebut microfilaria yang menyebar ke seluruh tubuh dengan bergerak-gerak di bawah kulit, meninggalkan bercak-bercak, menyebabkan lepuh-lepuh dan gatal yang amat sangat tak tertahankan, sehingga korban kadang-kadang memutuskan bunuh diri.
Pada tahun 1979, Dr. Wiliam Campbell, ilmuwan peneliti pada Merck and Company, perusahaan obat Amerika, menemukan bukti bahwa salah satu obat-obatan hewan yang terjual laris dari perusahaan itu, Invernectin, dapat menyembuhkan parasit penyebab river blindness. Campbell dan tim risetnya mengajukan permohonan kepada Direktur Merck, Dr. P. Roy Vagelos, agar mengijinkan mereka mengembangkan obat tersebut untuk manusia.
Para manajer Merck sadar bahwa kalau sukses mengembangkan obat tersebut, penderita river blindness terlalu miskin untuk membelinya. Padahal biaya riset medis dan tes klinis berskala besar untuk obat-obatan manusia dapat menghabiskan lebih dari 100 juta dollar. Bahkan, kalau obat tersebut terdanai, tidak mungkin dapat mendistribusikannya, karena penderita tinggal di daerah terpencil. Kalau obat itu mengakibatkan efek samping, publisitas buruk akan berdampak pada penjualan obat Merck. Kalau obat murah tersedia, obat dapat diselundupkan ke pasar gelap dan dijual untuk hewan,sehingga menghancurkan penjualan Invernectin ke dokter hewan yang selama ini menguntungkan.
Meskipun Merck penjualannya mencapai $2 milyar per tahun, namun pendapatan
bersihnya menurun akibat kenaikan biaya produksi, dan masalah lainnya, termasuk
kongres USA yang siap mengesahkan Undang-Undang Regulasi Obat yang akhirnya akan berdampak pada pendapatan perusahaan. Karena itu, para manajer Merck enggan membiayai proyek mahal yang menjanjikan sedikit keuntungan, seperti untuk river blindness. Namun tanpa obat, jutaan orang terpenjara dalam penderitaan menyakitkan.
Melewati banyak diskusi, mereka sampai pada kesimpulan bahwa keuntungan manusiawi atas obat untuk river blindness terlalu signifikan untuk diabaikan. Keuntungan manusiawi inilah, secara moral perusahaan wajib mengenyampingkan biaya dan imbal ekonomis yang kecil. Tahun 1980 disetujuilah anggaran besar untuk mengembangkan Invernectin versi manusia.
Tujuh tahun riset mahal dilakukan dengan banyak percobaan klinis, Merck berhasil
membuat pil obat baru yang dimakan sekali setahun akan melenyapkan seluruh jejak parasit penyebab river blindness dan mencegah infeksi baru. Sayangnya tidak ada yang mau membeli obat ajaib tersebut, termasuk saran kepada WHO, pemerintah AS dan pemerintah negara-negara yang terjangkit penyakit tersebut, mau membeli untuk melindungi 85 juta orang beresiko terkena penyakit ini, tapi tak satupun menanggapi permohonan itu. Akhirnya Merck memutuskan memberikan secara gratis obat tersebut, namun tidak ada saluran distribusi untuk menyalurkan kepada penduduk yang memerlukan. Bekerjasama dengan WHO, perusahaan membiayai komite untuk mendistribusikan obat secara aman kepada negara dunia ketiga, dan memastikan obat tidak akan dialihkan ke pasar gelap dan menjualnya untuk hewan. Tahun 1996, komite mendistribusikan obat untuk jutaan orang, yang secara efektif mengubah hidup penderita dari penderitaan yang amat sangat, dan potensi kebutaan akibat penyakit tersebut.
Merck menginvestasikan banyak uang untuk riset, membuat dan mendistribusikan obat yang tidak menghasilkan uang, karena menurut Vegalos pilihan etisnya adalah mengembangkannya, dan penduduk dunia ketiga akan mengingat bahwa Merck membantu mereka dan akan mengingat di masa yang akan datang. Selama bertahun-tahun perusahaan belajar bahwa tindakan semacam itu memiliki keuntungan strategis jangka panjang yang penting.[13]
Tanggapan
Secara sekilas kasus Merck dengan penyakit river blindness merupakan contoh pengambilan etika bisnis yang sempurna. Dari lima faktor yang dikemukakan oleh Brownlee, Merck telah bertindak dengan tepat hampir pada setiap faktor. Hanya pada kategori iman yang tidak dijadikan alasan pengambilan keputusan untuk melakukan riset, memproduksi dan mendistribusikan obat invernectin kepada para penderita ‘river blindness’ di dunia ketiga.
Satu hal yang mengurangi pujian kepada Merck adalah kenyataan bahwa pemberiaan obat invernectin secara gratis adalah motivasi bahwa penduduk dunia ketiga akan mengingat budi baik Merck sehingga bisnis Merck mendapatkan keuntungan secara jangka panjang. Bahkan pemberian gratis obat invernectin dapat dipertanyakan bila keuntungan yang didapat Merck dalam jangka panjang akan jauh lebih besar dari pada biaya yang digunakan untuk membuat dan mendistribusikan invernectin. Bila hal ini yang terjadi, ada kemungkinan Merck hanya menganggap invernectin sebagai biaya advertising jangka panjang. Melihat omzet Merck sebesar $ 2 milyar, maka biaya invernectin sebesar $100 juta hanyalah sebesar 5% saja. Jumlah 5% bagi industri obat sangatlah kecil dibandingkan keuntungan puluhan persen yang didapat secara normal dalam bisnisnya. Penulis memperkirakan hal ini mengingat perbandingan harga antara harga obat generik yang mempunyai komposisi sama dengan obat yang ber-merk hanyalah sekitar 10% saja. Perhitungan secara kasar menunjukkan bahwa perusahaan obat mendapatkan keuntungan kotor lebih dari 90%. 5% yang dikeluarkan Merck dapat dianggap sebagai biaya atau investasi yang bahkan di Amerika Serikat dapat diperhitungkan sebagai sumbangan yang mengurangi pembayaran pajak kepada negara.
Terlepas dari perhitungan strategi jangka panjang Merck, apa yang dilakukan sungguh bagaikan oase di tengah padang gurun. Di tengah dunia yang narsis, ternyata masih ada perusahaan multi-nasional yang ‘ringan tangan’ dalam membantu sesama.
Etika bisnis Merck ditinjau dari iman kristiani hanya mempunyai satu kekurangan yaitu iman dikaitkan dengan motivasi. Bagaimanapun apa yang dilakukan Merck masih mengandung motivasi bagi keuntungan diri sendiri. Di pihak lain, iman kristiani mengajarkan etika adalah apa yang keluar dari dalam hati tanpa mempunyai motivasi bagi keuntungan diri sendiri. Apa yang keluar dari dalam hati adalah berdasar pada karakter Allah sehingga pengambilan etika harus berdasar pada kekudusan, kasih, dan keadilan Allah.[14] Jadi perbedaan antara etika bisnis kristen dan non-kristen adalah pada faktor iman dalam Kristus.
Penutup
Dasar dari etika kristen dalam berbisnis bukan nilai-nilai atau moralitas yang berlaku dalam sebuah masyarakat melainkan pada karakter Allah yang dinyatakan dalam Firman-Nya. Nilai-nilai dan moralitas akan dan pasti mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan zaman, tetapi Allah Alkitab tidak pernah berubah dulu, sekarang, dan selama-lamanya.
Bisnis orang kristen sebagai salah satu bagian dari kehidupan kristiani selayaknya menaklukkan diri di bawah terang Firman Tuhan dan tidak terombang-ambingkan mengikuti etika dunia yang selalu berubah. Hanya melalui kelahiran baru dan proses pengudusan yang dikerjakan oleh Roh Kudus yang memungkinkan orang percaya menjadi manusia yang orisinil. Menjadi manusia yang orisinil adalah menjadi manusia yang seutuhnya, yang mempunyai etika yang sama di gereja, di kantor, dan di keluarga.
[1] Nofie Iman, Etika Bisnis Dan Bisnis Beretika, http://nofieiman.com/2006/10/etika-bisnis-dan-bisnis-beretika/. Diakses pada 30 Agustus 2009.
[2] James William McCleandon, Jr., Systematic Theology Ethics, (Nashville, TN: Abingdon Press, 1986), 47.
[3] Ibid., 47.
[4] Alexander Hill, Bisnis Yang Benar, (Bandung: Kalam Hidup, 2001), 10.
[5] Etika Dan Bisnis, http://entrepreneur.gunadarma.ac.id/elearning/attachments/040_etika%20bisnis%20dan%20kewirausahaan.pdf. Diakses pada 30 Agustus 2009.
[6] Paul Stevens, God’s Business: Memaknai Bisnis Secara Kristiani, (Jakarta: BPK, 2008), 55-64.
[7] Martin Krisanto N., Dunia Bisnis Dalam Perspektif Kristen, http://forumteologi.com/blog/2007/04/25/dunia-bisnis-dalam-perspektif-kristen/. Diakses pada 31 Agustus 2009.
[8] John C. Maxwell, Etika: Yang Perlu Diketahui Setiap pemimpin, (Jakarta: Libri, 2008), xi.
[9] Ibid., 17-19.
[10] Henlee H. Barnette, Introducing Christian Ethics, (Nashville, Tennessee: Broadman Press, 1961), 3.
[11] Paul Ramsey, Basic Christian Ethics, (Louisville, Kentucky: Westminster/John Knox Press, 1993), xiii-xiv.
[12] Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis Dan Faktor-Faktor Di Dalamnya, (Jakarta: BPK, 1987), 70-214.
[13] Ibid., Etika Dan Bisnis.
[14] Ibid., Bisnis Yang Benar, 15.
Monday, October 5, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment