Teologi Misi
Pandangan Umum
Misi? Misi penginjilan? Apakah misi penginjilan penting dan masih relevan dalam kekristenan? Apa hubungan antara misi dan diri saya? Bukankah memasuki zaman post-modern hari ini kita bagitu sibuk dengan pekerjaan, keluarga dan pelayanan di gereja? Kan tidak mungkin (dan saya tidak mau) meninggalkan keluarga dan pekerjaan untuk menjadi misionaris di negara antah berantah.
Misi bukan tugas saya, itu tugas para hamba Tuhan dan para misionaris. Tugas saya adalah melayani di bagian yang saya suka dan mampu atau pada bagian yang diminta oleh pendeta bagi kemuliaan-Nya. Bukankah hanya itu yang diinginkan oleh Tuhan pada manusia yaitu melayani-Nya di gereja?. Lagian pak pendeta juga tidak pernah berkotbah pentingnya misi dan keharusan untuk terlibat dalam misi. Lho, memangnya ada ayatnya ya?.
Ilustrasi di atas mungkin menggambarkan dengan baik apa yang menjadi pikiran banyak orang kristen dewasa ini, bahkan sampai beberapa bulan yang lalu, itulah yang penulis pikirkan juga. Pemikiran-pemikiran seperti itu cukup baik dan “wajar” (karena kurangnya pengajaran tentang misi), hanya saja kita perlu untuk bertindak satu langkah lebih jauh yaitu mencocokkan dan mengkoreksi worldview kita dengan sumber kebenaran itu sendiri yaitu Alkitab.
Penginjilan dan Misi
Kata penginjilan dan misi pada dasarnya mempunyai tujuan dan esensi yang sama. Sebuah perbedaan di antara keduanya yang dapat dipikirkan oleh penulis adalah jangkauannya. Penginjilan mempunyai jangkauan yang lebih luas, sedangkan misi mempunyai jangkauan yang lebih sempit dan spesifik. Kegiatan-kegiatan gerejawi seperti kotbah, KKR, penginjilan ke penjara, pelayanan kotbah ke luar kota bahkan ke luar negeri selama beberapa hari dapat digolongkan sebagai penginjilan.
Misi adalah sebuah kegiatan penginjilan lintas budaya kepada suku tertentu yang belum pernah mendengar berita keselamatan Kristus, dengan cara hidup di tengah-tengah mereka selama waktu yang relatif lama.
Esensi penginjilan dan misi adalah memberitakan Kabar Baik keselamatan Kristus. Definisi penginjilan adalah proklamasi karya keselamatan yang dikerjakan Kristus melalui kematian dan kebangkitan-Nya, di dalam kuasa Roh Kudus dan menuntut adanya tanggapan pribadi, yaitu bertobat, beriman dan menerima-Nya sebagai Juruselamat; serta menjadi murid yang rela menyangkal diri, memikikul salib dan melayani Dia. (1)
Misi, Pilihan atau Kewajiban?
Berdasarkan Lukas 24: 45-47, Don Richardson menyimpulkan ada dua buah tema besar dalam Alkitab yaitu Mesias yang menderita aniaya dan misi (2).
Setelah manusia jatuh dalam dosa, manusia hidup terpisah dari hadapan Allah dan mengalami kerusakan secara total sehingga tidak mampu memikirkan hal-hal yang baik dan selalu dan semata-mata berbuat dosa (3). Dalam dunia yang sudah jatuh dalam dosa, manusia tidak mampu untuk mengusahakan keselamatan bagi dirinya sehingga satu-satunya jalan adalah Allah sendiri yang harus merendahkan diri-Nya untuk menyelamatkan manusia.
Jadi keselamatan manusia dimulai oleh Allah sendiri sebagai sang inisiator, yang diwujutkan dalam inkarnasi Kristus ke dunia. Tetapi sesungguhnya rencana keselamatan bukan sebuah ‘contigency plan’ akibat kejatuhan manusia dalam dosa, melainkan sudah direncanakan Allah dalam kekekalan. Dalam Alkitab, misi Allah untuk menyelamatkan manusia melalui pekerjaan misi sudah dimulai dalam Kej. 12: 1-3, Mazmur 67 dan terus berlanjut secara progresif hingga mencapai puncaknya melalui kedatangan, kematian dan kebangkitan Kristus. Sebelum kenaikan-Nya ke sorga, Yesus memberikan Amanat Agung-Nya yang tercatat dalam Matius 28:19-20 “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”
Ada sebuah unsur dasar dalam Amanat Agung yaitu ‘menjadikan semua bangsa murid Tuhan’ dengan membaptis mereka dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus dan mengajarkan segala sesuatu yang telah diperintahkan-Nya kepada kita secara serempak. Pernyataan lain yang tidak sama persis tapi merupakan pelengkap dapat kita lihat dalam Markus 16:5 yang menekankan kotbah dan proklamasi, dan Lukas 24: 46-49 menekankan proklamasi dan kesaksian (4).
Tuhan tidak hanya sekedar memberi perintah yang berat tanpa membekali anak-anak-Nya. Kis. 1:8 mencatat bahwa Dia akan memperlengkapi orang percaya dengan Roh Kudus sehingga dengan kuasa-Nya, kita akan dimampukan untuk bersaksi sampai ke ujung dunia, kepada semua suku-suku bangsa.
Matius 28:16 seakan-akan menunjukkan bahwa Amanat Agung hanya diberikan kepada sebelas murid-Nya, tetapi penelaahan lebih cermat menunjukkan bahwa bersama sebelas murid itu ada “lebih daripada 500 saudara” (1Kor 15:6) (5). Jelas bahwa Amanat Agung diberikan kepada semua orang percaya dan tidak hanya ditujukan kepada pendeta, penginjil, guru Injil saja.
Jadi sebagai inisiator, Allah berkenan untuk melibatkan manusia dalam rencana misi-Nya. Kita semua mendapat kehormatan untuk bekerja dan dipakai Allah untuk menggenapi Amanat Agung-Nya. Keselamatan kita adalah anugerah semata karena kita yang berdosa sebenarnya tidak layak, tidak berhak untuk mendapatnya, tetapi ternyata Allah bahkan bertindak lebih dari itu dengan menjadikan semua orang percaya menjadi co-worker-Nya, untuk menjadi alat-Nya bagi keselamatan orang lain. Bukankah ini luar biasa?
Sebagai co-worker Allah, adakah syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi?.
Firman Tuhan hanya memberikan satu syarat yaitu sebagai orang percaya (yang mendapat panggilan secara pribadi tentunya!). Walaupun demikian, setiap orang percaya mempunyai tingkat kesiapan dan beban yang berbeda dari Roh Kudus sehingga tidak setiap orang percaya dapat menjadi misonari hanya karena hatinya tergerak. Hanya membaca beberapa jilid buku biografi para misionari, lalu ingin terjun dalam ladang misi, adalah sangat berbahaya. Kenyataannya, makin banyak misionaris muda yang jatuh di tengah jalan. Mereka yang pernah berikrar dan bersumpah untuk rela dipenjarakan atau mati syahid dapat menjadi tawar hati dan patah semangat (6).
Syarat menjadi misionari adalah sebagai orang percaya tetapi tidak semua orang percaya layak untuk menjadi misionari. Selain faktor panggilan secara pribadi, ada beberapa hal yang perlu dipikirkan antara lain motivasi yang benar.
Motivasi Penginjilan
Selain Amanat Agung, ada beberapa motivasi dalam memberitakan Injil: (7)
Kasih Kristus.
Motivasi Paulus melayani Kristus adalah kasih-Nya yang menguasai dan mendorongnya untuk memberitakan Injil, sehingga ia rela untuk mengorbankan miliknya, bahkan memberkan dirinya bagi mereka yang dilayaninya (2Kor. 5:14, 12:15).
Kehendak Allah dan Pimpinan Roh Kudus.
Filipi 2:13 menyatakan bahwa Allah sendiri yang mengerjakan seluruh kemauan dan pekerjaan menurut kerelaan-Nya.
Perasaan Berhutang.
Perasaan ini seharunya muncul setelah mendapat anugerah keselamatan yang sebenarnya tidak layak kita terima. Paulus mengatakan bahwa ia berhutang untuk memberitakan Injil kepada orang Yunani maupun orang non-Yunani (Roma 1:4).
Pengharapan Masa Mendatang.
Pekabaran Injil berkaitan dengan kesudahan alam semesta ini. Ketika Injil telah diberitakan ke seluruh suku bangsa di dunia, maka tibalah kesudahannya (Matius 24:14).
Peran Sebagai Goers dan Senders
Dalam suratnya kepada jemaat Roma, Paulus mendefinisikan dengan indah pengelompokan tugas orang percaya, yaitu mereka yang diutus (goers) dan mereka yang mengutus (senders) (8). Roma 10: 14-15 “Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia. Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya? Dan bagaimana mereka dapat memberitakan-Nya, jika mereka tidak diutus? Seperti ada tertulis: “Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik!”.
Di sini kita melihat semua orang percaya diperintahkan untuk terlibat dalam Amanat Agung, tetapi tidak semua orang harus menjadi misionari. Setiap kita mempunyai peran masing-masing: sebagai misionari dan sebagai orang yang mengirim, sebagai goers dan sebagai senders.
Neal Pirolo menulis bahwa ternyata bentuk dukungan dari para pengutus tidak hanya sekedar dukungan finansial. Secara lengkap bentuk dukungan yang diperlukan adalah sebagai berikut: (9)
· Dukungan moral.
· Dukungan logistik
· Dukungan finansial.
· Dukungan doa.
· Dukungan komunikasi.
· Dukungan ketika pulang.
Semua dukungan di atas sangat penting karena sebagai seorang manusia normal, seorang misionaris membutuhkan dukungan dari komunitasnya mulai dari sebelum keberangkatannya ke ladang misi, selama di ladang misi, dan setelah kepulangannya dari ladang misi. Sebagai contoh, seorang misinaris akan menghadapi dua kali kejutan budaya. Pertama, di tempat ladang misi dan kedua, ketika dia kembali pulang ke rumahnya. Jadi pekerjaan misi tidak se-simple kelihatannya melainkan pekerjaan besar yang melibatkan banyak orang dalam tingkat komitmen yang tinggi. Oleh karena kompleksnya pekerjaan misi maka diperlukan kualifikasi-kualifikasi minimal seorang utusan Injil.
Standar Utusan Injil
Bagus Surjantoro memberikan acuan standar minimal seorang utusan misi berdasar kitab Kisah Para Rasul:
Orang-orang yang dewasa rohani dan sudah terbukti kehidupan dan pelayanannya di gereja lokal (13:1).
Memberikan diri dan hidupnya, memenuhi syrat untuk pelayanan mengajar, menasehati (13:43), berani (13:46), siap menderita karena Injil (13:52; 14:19), tidak mencari keuntungan dan kemuliaan diri sendiri (14:11-18).
Orang yang mampu mempertanggungjawabkan pelayanannya (14:27).
Mereka milik satu gereja lokal dan memiliki satu gereja lokal shingga pelayanan mereka merupakan pelayanan gereja lokal mereka sehingga akuntabilitasnya dapat dipertanggungjawabkan.
Orang yang mampu men-transfer visi dan menggairahkan jemaat pengutus untuk melihat perbuatan Allah di antara bangsa-bangsa (14:27) (10).
Dari standar minimal seorang misionaris di atas, penulis menggaris-bawahi kedewasaan rohani calon misionaris. Kedewasaan seperti apa yang diharapkan?
Tahapan-Tahapan Kedewasaan Rohani
Rick Warren menulis dalam The Purpose Driven Life (11) menulis bahwa manusia mempunyai lima tujuan dalam hidupnya yaitu penyembahan, persekutuan, pemuridan, pelayanan dan misi. Menurut hemat penulis, lima tujuan hidup manusia juga merupakan urutan logis perkembangan kedewasaan rohani umat kristiani sekaligus merupakan ‘sebuah kesatuan paket’ yang holistik kehidupan anak Tuhan sehari-hari.
Penyembahan adalah hubungan pribadi secara vertikal antara manusia dan Tuhan yang merupakan dasar kehidupan rohani.
Persekutuan berupa hubungan secara horisontal di mana sesama saudara seiman berkomunitas adalah langkah berikutnya.
Pemuridan adalah tahap di mana kita belajar baik-baik secara lebih mendalam akan Firman Tuhan.
Pelayanan adalah tahapan ketika kita mulai melayani sesama orang percaya dan belum percaya dalam lingkungan gereja dan persekutuan.
Misi adalah tahapan terakhir yang dapat dicapai setelah empat tahap di atas dilalui.
Bukan sebuah kebetulan jika misi ditempatkan pada bagian terakhir, seperti juga bukan kebetulan jika Amanat Agung (Mat 28: 19-20) diberikan terakhir menjelang kembalinya Yesus ke sorga. Bagaikan seorang bayi yang bertumbuh menjadi dewasa, yang harus menjalani berbagai tahapan agar ia dapat bertubuh menjadi manusia dewasa yang sehat. Demikian juga kehidupan kekristenan harus menjalani sebuah proses seumur hidup, di bawah pimpinan Roh Kudus agar dapat bertumbuh menjadi manusia yang mempunyai karakter seperti Yesus.
Seyogyanyalah seorang misionaris mempunyai tingkat kedewasaan rohani yang tinggi yang benar-benar siap untuk membagikan dirinya kepada orang lain.
Kedewasaan rohani juga mencakup faktor kepribadian dan karakter.
Faktor Kepribadian dan Karakter
Faktor kepribadian dan karakter mempunyai peran yang sangat penting bagi seorang misionaris melebihi seorang pendeta yang melayani di gereja lokal. Hal ini dikarenakan seorang misionaris yang memberitakan Kabar Baik tidak akan berkotbah doktrin yang sulit, melainkan kehidupan pribadinyalah yang menjadi Alkitab berjalan, menjadi contoh dari apa yang ia beritakan. Hal ini berbeda dengan seorang pendeta yang setelah berkotbah di atas mimbar mempunyai intensitas yang relatif rendah dalam ber-relasi dengan jemaatnya.
Demikian juga seorang introver relatif lebih sulit menjadi misionaris perintis dibandingkan dengan seorang ekstrover. Pekerjaan misi perlu memikirkan tipe kepribadian tertentu yang lebih cocok bagi misionari perintis dan tipe kepribadian lainnya bagi yang melanjutkan pekerjaan perintis tersebut.
Oleh karena itu selain syarat-syarat minimal sebagai misionaris seperti yang sudah dibahas di atas, penulis mengusulkan perlunya memakai pendekatan psikologi kristiani seperti tes kepribadian sebagai bahan pertimbangan pemilihan dan penempatan misonaris. Tes kepribadian (Sanguinis, Koleris, Melankolis, Phlegmatis) seperti yang dipakai Florence Littauer dalam bukunya “Personality Plus” atau DCIS (Dominan, Cermat, Intim, Stabil) dapat menjadi suatu tools yang sangat berguna.
Selain itu calon misonaris perlu dibekali dengan ilmu-ilmu seperti management, komunikasi, kepemimpinan termasuk coaching dan mentoring serta membekali diri dengan survey-survey kekristenan yang up to date. Buku-buku yang ditulis oleh Pdt. Robby Chandra, John Maxwell, dan George Barna dapat menjadi sumber yang sangat berharga, yang dapat memperluas worldview seorang misinaris. Bahkan ide Rev. James W. Fowler dalam bukunya “The Stages of Faith” yang cukup kontroversial dapat pula dipertimbangkan. Sebuah referensi menarik tentang topik ini dapat diakses di: http://faculty.plts.edu/gpence/html/fowler.htm
Semua ide penulis mengenai pemakaian bahan-bahan di luar Teologi didasarkan pada pernyataan bahwa semua kebenaran adalah kebenaran Allah. Pernyataan ini berarti bahwa semua kebenaran pada dasarnya diketahui oleh Allah sehingga disebut “kebenaran Allah”, di manapun kebenaran itu ditemukan, apakah itu terdapat di dalam Alkitab atau di tempat lain. Jadi walau segala kebenaran adalah kebenaran Allah, tidak berarti semua kebenaan itu terkandung di dalam Alkitab atau dapat disimpulkan dari Alkitab. Sebagai contoh, pengetahuan tentang matematika dan sains muncul dari sumber lain di luar Alkitab. Kolose 2:3 seharusnya ditafsirkan bahwa Kristus adalah pusat di mana segala kebenaran mengenai segala sesuatu dalam ciptaan harus dikaitkan. Semua hasil karya manusia pada dasarnya bersumber pada daya yang diberikan Allah sehingga setiap kebenaran yang didapat pada hakekatnya adalah kebenaran Allah. (12)
Penulis percaya bahwa tahapan-tahapan di atas berfungsi sebagai acuan sekaligus sebagai balancing sehingga kita tidak jatuh dalam pola pikir yang ekstrim. Kita menyaksikan banyak penginjil yang melalaikan teologi, dan sebaliknya banyak teolog yang tidak mengabarkan Injil (13). Hal ini sangatlah ironis karena memberitakan Injil tanpa mengetahui esensi yang benar dari Injil sesungguhnya bukanlah melakukan penginjilan melainkan melakukan proseletism. Di pihak lain mempelajari teologi secara mendalam tanpa membagikan kabar baik Injil sesungguhnya merupakan suatu sikap yang egois dan tidak peka terhadap kebutuhan sesama manusia akan keselamatan.
Dalam melakukan kehendak Tuhan, Alkitab memberikan banyak sekali contoh-contoh nyata. Seorang tokoh yang patut kita teladani adalah Paulus.
Teologi vs Penginjilan, Teladan Hidup Paulus (Filipi 3: 17)
Siapakah Paulus, seorang teolog atau seorang penginjil?.
Melalui teladan yang diberikan oleh Paulus, sudah seharusnya dualisme antara teologi dan penginjilan diakhiri. Sebagai seorang teolog dan penginjil terbesar, Paulus tidak pernah mempertentangkan teologi dan penginjilan sebaliknya dia memberikan contoh sebagai seorang teolog yang mengerti Kitab Suci secara mendalam, yang berdasarkan pengenalannya akan Firman itulah Paulus melakukan penginjilan. Berdasarkan teladan Paulus, penulis menyimpulkan bahwa teologi dan penginjilan sebenarnya bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Mengutip ucapan pak Bambang Sriyanto di dalam kelas, seorang yang belajar teologi yang benar dan secara benar tidak bisa tidak pasti akan melakukan penginjilan.
Di sini kita melihat sebuah kebenaran yang tidak boleh dibalik: pertama teologi, kedua penginjilan. Penginjilan harus berdasar pada teologi, dan teologi harus berdasar pada wahyu Allah dalam Alkitab (14). Pernyataan penginjilan harus berdasar pada teologi tidaklah diartikan kita harus belajar teologi secara mendalam, mendapat gelar STh, M. Div, MTh, Doktor barulah layak memberitakan Injil. Setiap orang yang sudah mendapat anugrah keselamatan seyogyanya membagikan bagian yang sudah diketahinya kepada orang lain. Sebuah ilustrasi dapat membantu untuk lebih mengerti bagian ini: sebuah mobil yang melakukan perjalanan dari Jogya ke Jakarta pada malam hari pasti menyalakan lampu. Kita tidak akan menengur supirnya karena lampunya tidak bersinar sampai ke Jakarta, melainkan hanya bersinar sepanjang kira-kira 60 meter. Jarak 60 meter adalah jarak yang memadai karena setelah berjalan 60 meter akan ada sinar untuk 60 meter lagi (15).
Demikian juga kita tidak dapat menunggu agar ‘sinar’ kita mencapai Jakarta, melainkan kita harus bertindak sambil terus belajar dan penulis percaya selama perjalanan hidup kita, Tuhan terus menyertai dan semakin memperlengkapi sehingga sinar kita akan semakin menjangkau jauh. Manusia hidup memang harus mempunyai tujuan, tetapi hidup itu sendiri adalah sebuah perjalanan bersama Allah.
Teladan Doa Paulus
Selain memberikan teladan dalam mendalami Firman Tuhan dan melakukan penginjilan, Paulus memberikan sebuah keteladanan dalam berdoa.
Paulus menyadari bahwa doa mempunyai peranan yang sangat penting dalam pekabaran Injil. Dalam Roma 15:30 dia menulis “Tetapi demi Kristus, Tuhan kita, dan demi kasih Roh, aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, untuk bergumul bersama-sama dengan aku dalam doa kepada Allah untuk aku”, dalam Efesus 6:18-20, Kolose 4:3-4, 1 Tes. 5:25, 2Kor. 1:11. (16)
Penulis berpendapat bahwa doa berfungsi sebagai ikatan yang mempersatukan antara visi, misi, keinginan dan iman. Jika diibaratkan doa sebagai butiran air, maka doa-doa yang dipersatukan sama dengan kumpulan butiran air yang mempunyai kekuatan yang sangat besar.
Dalam peperangan rohani yang dihadapi, doa sebenarnya adalah alat komunikasi ‘walkie-talkie’ dalam peperangan bagi pekerjaan gereja sementara pekerjaan pelayanan itu maju melawan kuasa gelap dan ketidakpercayaan. Kita dapat meng-kontak markas besar untuk apapun yang kita butuhkan sementara kerajaan Kristus maju di dunia ini. Doa menjunjung supremasi Allah dan menghubungkan kita dengan kasih karunia-Nya yang tidak terbatas. (17)
Dalam suratnya kepada Timotius, Paulus menggambarkan dirinya sebagai seorang prajurit (2Tim. 2:4), bahkan dalam suratnya kepada jemaat Efesus (6:12-18), Paulus memerinci satu persatu perlengkapan senjata Allah. Paulus sadar bahwa pelayanannya tidaklah mengandalkan kekuatan dan kepandaian diri sendiri tapi berdasar pada kekuatan dan anugerah Allah.
Teladan yang diberikan oleh Paulus baik dalam bertindak dan berdoa berlaku sepanjang Kristus belum datang untuk yang kedua kalinya, termasuk hari ini untuk kita semua.
Keadaan Sekarang
Sebuah kenyataan yang pahit terjadi dewasa ini karena setelah 2.000 tahun Amanat Agung diberikan, masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, begitu banyak ‘hutang’ kepada Allah yang harus dibayar. Beberapa tabel di bawah ini menggambarkan keadaan misi penginjilan dewasa ini:
Tahun
1972
1982
1992
2000
Jumlah misionaris
non-barat
5.000
15.000
40.000
100.000
Tahun
1800
1900
1950
1980
2000
% jumlah umat
Kristiani non-barat
1%
9%
32%
50%
80%
Terjangkau
Belum terjangkau
Jumlah suku bangsa
9.100
6.900
Jumlah misionaris
74%
26%
Sumber: Kairos (18)
Sebuah kenyataan yang menyedihkan dan pahit membaca data bahwa 6.900 suku bangsa belum pernah mendengar tentang Kristus, suatu jumlah lebih dari 2,5 milyar manusia, yang artinya hampir 1/3 dari populasi dunia. Bahkan pada kenyataannya, jumlah orang yang membutuhkan Kabar Baik, semakin tahun semakin bertambah jumlahnya seperti tabel di bawah ini: (19)
Tahun
Penduduk Dunia
Orang Kristen
Non-Kristen
30
170 juta
?
170 juta
1900
1.620 juta
588 juta
1.602 juta
1960
3.010 juta
1.008 juta
2.002 juta
1981
4.585 juta
1.473 juta
3.019 juta
2000
6.240 juta
1.900 juta
4.340 juta
Di tengah tantangan berat penjangkauan suku-suku bangsa yang tersisa terutama di jendela 10/40, kita menghadapi kenyataan hambatan besar dalam misi penginjilan. Hambatan pertama adalah tertutupnya akses masuk para misionaris di negara-negara tersebut dan kedua adalah adanya ancaman hukuman mati bagi mereka yang akan berpindah kepercayaan.
Untuk menyiasati keadaan ini, peran kaum awam yang sudah mendapat pelatihan penginjilan menjadi cukup penting. Kaum awam yang bekerja secara profesional di negara-negara yang menutup akses masuk para misionaris diharapkan dapat membagikan Kabar Baik secara informal kepada teman-teman kerjanya. Kaum awam yang membagikan Kabar Baik umumnya disebut sebagai tentmakers. Ada banyak badan misi yang memberikan pelatihan kepada kaum tentmakers, misalnya:
TENTMAKERNET: www.tentmakernet.com
TentMakers: www.globaltentmakers.org
Jadi jumlah misionaris yang ada sangatlah kecil dan jauh dari memadai. Pertanyaannya, adalah mengapa?
Beberapa Kemungkinan Kurangnya Kesadaran Misi
Penulis membagi dua kemungkinan penyebab kurangnya orang percaya terlibat dalam misi, yaitu faktor eksternal di mana orang percaya tidak melaksanakan pekerjaan misi karena ketidaktahuannya, dan faktor internal di mana orang percaya tahu harus mengambil bagian dalam pekerjaan misi tapi belum melakukannya.
Faktor Eksternal.
Ada beberapa kemungkinan penyebabnya, yaitu:
Pengajaran yang tidak berimbang.
Dewasa ini cukup banyak hamba Tuhan yang menyimpang dari Firman Tuhan dengan sekedar mengajarkan bagian-bagian Injil yang menyenangkan hati jemaatnya daripada memberitakan Injil sejati yang mengkoreksi dosa-dosa manusia dan menuntut penyangkalan diri. Fenomena seperti ini secara otomatis menutup keterlibatan jemaat pada pekerjaan misi. Ketika banyak mimbar hanya meneriakkan berkat yang didapat kalau percaya kepada Yesus, maka ide untuk mengorbankan diri demi pekerjaan misi menjadi suara minor yang sumbang di tengah koor janji kemakmuran.
Pengajaran lain yang kurang berimbang adalah pengajaran dengan penekanan ke fungsi sosial gereja dan mengabaikan tujuan-tujuan penginjilan.
Hamba Tuhan di gereja tidak pernah/jarang menyinggungnya.
Suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa di kalangan gereja-gereja Injilipun, pengajaran tentang pekerjaan misi sangat sedikit disinggung. Selama bertahun-tahun sebagai orang percaya, penulis tidak dapat mengingat sebuah kotbah tentang pekerjaan misi. Bahkan, jangankan pekerjaan misi, ketika STT SETIA mendapat perlakuan yang sangat tidak adilpun (Juli 2008-sekarang) berapa banyak gereja yang ‘berteriak’ dan membantu secara finansial dan tidak sekedar berdoa?.
Teladan sehari-hari.
Kepemimpinan seorang hamba Tuhan menjadi sangat penting dalam mobilisasi pekerjaan Tuhan. Seorang hamba Tuhan biasanya akan membawa jemaat sesuai dengan karunia yang dimilikinya. Misalnya sang pemimpin kuat dalam pengajaran, maka jemaat akan dibawa ke pengajaran dan pengajaran. Jemaat yang tidak cocok harus menyesuaikan diri atau pindah gereja. Masalahnya di sini, sedikitnya hamba Tuhan yang mempunyai beban dalam pekerjaan misi, sehingga bisa saja mnyebut diri sebagai gereja yng misioner atau bahkan nama gerejanya ‘memberitakan Injil’ tapi pada kenyataannya hanya berputar-putar pada kenyamanan diri sendiri. Sebuah kesimpulan oleh George Barna yang dikutip oleh Ronald J. Sider terasa sangat menohok hati penulis: “Setiap hari, Gereja justru menjadi lebih seperti dunia yang semestnya diubahnya” (120)
Faktor Internal.
Beberapa kemungkinan penyebabnya adalah:
Alasan financial.
Sebuah alasan klasik yang sebenarnya memang masuk akal di tengah kesulitan ekonomi bangsa kita. Hanya saja pertanyaannya, ketika pendapatan kita bertambah, apakah persembahan kita juga bertambah? Pada kenyataannya persentase persembahan ke gereja terus merosot dari tahun ketahun (21). Hal ini memang tidak dapat dijadikan sebuah ‘judgement’ kegagalan transformasi karakter kristiani, tetapi jelas merupakan waktu yang baik untuk melakukan perenungan pribadi, perubahan-perubahan pribadi seperti apa yang sudah kita lakukan di bawah pimpinan Roh Kudus?.
Tidak tahu harus memulai dari mana (informasi jaringan).
Sebagai orang awam yang relatif kurang ‘melek’ informasi, tentunya banyak jemaat yang merasa asing dengan badan-badan misi. Jemaat relatif tidak mempunyai hubungan ke jaringan misi dan tidak tahu harus menari ke mana.
Menghindar dengan melakukan pelayanan yang lain.
Karena melakukan pekerjaan misi dituntut komitmen yang tinggi, sebagian jemaat lebih suka melibatkan diri dalam pelayanan yang lain yang mempunyai level komitmen lebih rendah.
Pengertian yang keliru.
Salah pengertian bahwa terlibat pekerjaan misi artinya dikirim sebagai misionaris. Padahal status sebagai ‘goers’ jauh lebih sedikit daripada ‘senders’. Seperti sebuah klub sepak bola, jumlah pemainnya hanya 22 orang, tapi jumlah orang-orang yang bekerja di luar lapangan dapat mencapai ratusan orang bahkan ribuan dengan jaringan di dalam dan luar negeri.
Penutup
Setiap orang percaya yang mendapat anugerah keselamatan tidak hanya dipanggil ke dalam, dengan pengertian untuk bertransformasi menjadi semakin mirip Kristus. Melainkan juga dipanggil ke luar untuk terlibat dalm penggenapan Amanat Agung. Kesadaran akan hal ini akan sangat dipengaruhi oleh gereja sebagai sebuah ‘organisasi’ yang mengajarkan Firman Tuhan kepada jemaatnya. Sebuah gereja Amanat Agung adalah sebuah gereja yang secara agresif berusaha melakukan tugasnya untuk menggenapi Amanat Agung. Definisi ini membawa implikasi lima ciri khas sebuah gereja Amanat Agung:
Tertangkap oleh Kristus.
Gereja Amanat Agung adalah sebuah gereja yang kasihnya kepada Juru Selamat membawa mereka berbagi keperdulian Juru Selamat untuk dunia.
Taat pada Firman.
Sebuah gereja Amanat Agung menyadari bahwa penginjilan dunia bukan sekedar satu di antara banyak program gereja melainkan penginjilan dunia adalah sentral keberadaan gereja. Oleh sebab itu, prioritas penginjilan dunia tercermin pada pernyataan maksud gereja, sasaran-sasarannya, dan tujuan-tujuannya.
Menggerakkan sumber-sumber dayanya.
Karena sebuah gereja Amanat Agung dengan sungguh-sungguh memuridkan segala bangsa, maka gereja mengerakkan sumber dayanya dalam penginjilan dunia.
Menghasilkan misionaris.
Sebuah gereja yang aktif untuk menarik, melatih, mengutus, dan mendukung para misionaris.
Bekerja pada sebuah tim.
Sebuah gereja sebagai satu kesatuan yan berkomitmen melakukan apa yang dapat dilakukan guna membantu menjangkau mereka yang belum terjangkau. Jadi sebuah gereja yang di dalamnya siapa yang pergi dan siapa yang tinggal, bekerja sama untuk menjangkau mereka yang belum terjangkau. (23)
Usulan
Seperti mahasiswa seminari jurusan misiologi harus belajar teologi dengan baik dan benar, seyogyanya STT juga mewajibkan mahasiswa jurusan teologi untuk belajar misiologi dan manajemen gereja. Dengan manajemen gereja yang baik, maka diharapkan alasan klasik akan kurangnya dana akan dapat di atasi dengan baik.
STT mewajibkan mahasiswa jurusan misiologi untuk terlibat dalam badan misi seperti misalnya OM. Diharapkan keterlibatan itu dapat dibawa ke gereja lokal masing-masing.
Badan misi menjangkau jemaat gereja melalui strategi menjangkau berbagai persekutuan-persekutuan seperti misalnya FGBMFI (Full Gospel). Komunitas Full Gospel biasanya terdiri dari aktivis-aktivis gereja-gereja lokal bahkan majelis yang mempunyai “suara” di dalam gereja.
Selalu mengkaji setiap strategi yang digunakan agar dapat digunakan secara optimal.
Apakah sudah waktunya kita memikirkan ulang (fungsi) gereja? Sebuah buku tulisan Dr. James Emery White, “Rethinking the Church” terbitan Mitra Pustaka kiranya wajib dibaca oleh setiap mahasiswa seminary.
Bibliografi
Matakupan, Thomy J. Prinsip-Prinsip Penginjilan, Surabaya: Momentum, 2002, Halaman 5.
Winter, Ralph dan Hawthorne, Steven (Ed), Kairos, Butuan City: Living Springs International, Edisi ketiga, 2004, Halaman 2-18.
Palmer, Edwin H., Lima Pokok Calvinisme, Surabaya: Momentum, 2005, Halaman 8-9.
Hesselgrave, David J., Communicating Christ Cross-Culturally, Malang: SAAT, 2nd edition, 005, Halaman 77-78.
Pfeiffer, Charles F., & Harrison, Everett F., (Ed), The Wycliffe Bible Commentary vol. 3, Malang: Gandum Mas, 2001, Halaman 132-133.
Wongso, Peter, Tugas Gereja dan Misi Masa Kini, Malang: SAAT, Edisi ketiga, 1999, Halaman 166-167.
Matakupan, idem, Halaman 8-9.
Surjantoro, Bagus, Misi Dari Dalam Krisis, 46-47
Pirolo, Neal, Melayani Sebagai Pengutus, OM Indonesia.
Surjantoro, idem, Halaman 91-92.
Warren, Rick, The Purpose Driven Life. Malang: Gandum Mas, Edisi ketiga, 2005.
Holmes, Arthur, F., Segala Kebenaran Adalah Kebenaran Allah, Surabaya: Momentum, 2000, Halaman 20-31.
Tong, Stephen, Teologi Penginjilan, Surabaya: Momentum, Edisi keempat, 2004, Halaman 7-10.
idem.
Brownlee, Malcolm, Pengambilan Keputusan Etis Dan Faktor-faktor di Dalamnya, Jakarta: BPK Gunung Mulia, Halaman 250.
Elbers, Veronika J., Malang: SAAT, Doa dan Misi, Halaman 4.
Piper, John, Jadikan Sekalian Bangsa Bersukacita!, Halaman 63-68.
Kairos, idem, Halaman 4-11, 4-12, 6-6
Elbers, idem.
Sider, Ronald J., Skandal Hati Nurani Kaum Injili, Surabaya: Literatur Perkantas Jawa Timur, Halaman 23.
idem, hal 31-35.
Wiebracht, Dean. Menjawab Tantangan Amanat Agung. Yogyakarta: Andi, Edisi keempat, Juni 2008, Halaman 47-54.
Wednesday, August 5, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment