Pendahuluan
Teologi abu-abu adalah suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan ajaran pluralisme agama. Pluralisme agama adalah sebuah ide yang terdengar sangat menarik dan simpatik karena menyuarakan kerukunan beragama di antara para pemeluk agama-agama di dunia, termasuk di Indonesia. Walaupun demikian, sebenarnya pluralisme agama tidak sesuai dengan pandangan kristen, bahkan menyangkali iman kristen itu sendiri.
Tulisan singkat ini membahas beberapa hal yang berkaitan dengan pluralisme yaitu:
Asal Usul Pluralisme
Definisi dan faktor-faktor pendorong pluralisme.
Pandangan iman kristen terhadap pluralisme.
Teologi abu-abu kontemporer.
Asal Usul Pluralisme
Menilik asal-usulnya, semangat pluralisme bukanlah hal yang baru karena sejak zaman Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru, umat Allah terus diperhadapkan dengan tuntutan kemajemukan agama dan kepercayaan. Sebuah contoh yang paling jelas adalah masalah sinkretisme yang terus menjadi persoalan sepanjang sejarah gereja. Bahkan pada abad-abad pemulaan, gereja juga diperhadapkan pada tiga persoalaan besar yang berbau pluralisme iman yaitu pnyembahan pada kaisar, Yudaisme, dan filsafat Helenistik. (1)
Ide tentang pluralisme (pasca PB) berasal dari pemikiran dua orang Bapa gereja yaitu Clement dan Origenes. Paham ini semakin berkembang setelah reformasi dan zaman pencerahan dan berpuncak pada Friedrich Schleiermacher (1768-1834) yang merupakan bapak teologi modern yang menolak pengajaran Alkitab mengenai doktrin-doktrin yang sudah baku. Pemikiran para filsuf dan teolog liberal membawa paradigma baru dalam arus pemikiran teologi. Tokoh-tokoh itu adalah Descartes, Spinoza, Aquinas, Kant, Hume dll.
Salah satu titik tlak Pluralistas modern adalah relativitas. Relativitas tidak dapat dilepaskan dengan filsafat eksistensialisme yang diusung oleh Kant. Eksistensialisme adalah sistem filsafat yang berangkat dari titik tolak manusia sebagai pembuat dan penentu atas pemikiran dan segala sesuatu yang beredar dalam alam semesta.
Dengan berkembangnya pemikiran para filsuf dan teolog liberal modern, ada pergeseran paradigma eksklusivitas ke pluralisme (perubahan dari modernisme ke post-modernisme). Semangat post-modernisme melahirkan pluralisme dan relativisme makna. Akhirnya ide ini diperluas dan menghasilkan pandangan bahwa kebenaran iman kristen bersifat relatif di antara agama-agama lain. Post modernisme menghasilkan tiga paradigma teori religionum, yaitu eksklusivitas, inklusivitas, dan pluralisme. (2)
____________________________
1. Stevri Indra Lumintang, Theologia Abu-Abu. (Malang: Gandum Mas, Edisi Revisi 2009), 43-59.
2. Wisma Pandia, Teologi Pluralisme Agama-Agama. STT Injili Philadelphia, 5-11.
Definisi Dan Faktor-Faktor Pendorong Pluralisme Agama
Pluralisme agama mempunyai makna yang luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda, dan dipergunakan dalam cara yang berlain-lainan pula:
Sebagai pandangan dunia yang menyatakan bahwa agama seseorang bukanlah sumber satu-satunya yang eksklusif bagi kebenaran, dan dengan demikian di dalam agama-agama lain pun dapat ditemukan, setidak-tidaknya, suatu kebenaran dan nilai-nilai yang benar.
Sebagai penerimaan atas konsep bahwa dua atau lebih agama yang sama-sama memiliki klaim-klaim kebenaran yang eksklusif sama-sama sahih. Pendapat ini seringkali menekankan aspek-aspek bersama yang terdapat dalam agama-agama.
Kadang-kadang juga digunakan sebagai sinonim untuk ekumenisme, yakni upaya untuk mempromosikan suatu tingkat kesatuan, kerja sama, dan pemahaman yang lebih baik antar agama-agama atau berbagai denominasi dalam satu agama.
Dan sebagai sinonim untuk toleransi agama, yang merupakan prasyarat untuk ko-eksistensi harmonis antara berbagai pemeluk agama ataupun denominasi yang berbeda-beda. (3)
Daniel Breslauer menyebut pluralisme sebagai suatu situasi dimana bermacam-macam agama ber-interaksi dalam suasana saling menghargai dan dilandasi kesatuan rohani meskipun mereka berbeda. Sedangkan Jacob Agus mengemukakan bahwa pluralisme adalah pemahaman akan kesatuan dan perbedaan, yaitu kesadaran akan suatu ikatan kesatuan dalam arti tertentu bersama-sama dengan kesadaran akan keterpisahan dan perpecahan kategoris. (4)
Menurut Bedjo, ada beberapa cara untuk memahami pluralisme. Paling sedikit ada tiga kategori sbb:
Kategori sosial.
Dalam pengertian ini, pluralisme agama berarti ”semua agama berhak untuk ada dan hidup” dan para pemeluknya harus bersikap toleran dan bahkan saling menghormati.
Kategori etika atau moral.
Kategori ini berpendapat bahwa ”semua pandangan moral dari masing-masing agama bersifat relatif dan sah”. Penganut pandangan ini tidak boleh menghakimi penganut agama lain yang memiliki pandangan moral berbeda, misalnya terhadap isu pernikahan, aborsi, hukuman gantung, eutanasia, dll.
Kategori teologi-filosofi.
Secara sederhana berarti ”agama-agama pada hakekatnya setara, sama-sama benar dan sama-sama menyelamatkan”. (5)
_______________________________________
3. Pluralisme Agama, http://id.wikipedia.org/wiki/Pluralisme_agama, di akses pada 2 Agustus 2009.
4. Makalah Sahabat Awam, Pluraisme Agama & Dialog, Yabina, edisi 55, April 2000, halaman 10.
5. Bedjo, Pluralisme Agama Dalam Perspektif Kristen. Tersedia di http://fportfolio.petra.ac.id/user_files/05005/PLURALISME%20AGAMA%20DALAM%20PERSPEKTIF%20KRISTEN.doc; Internet; diakses pada 2 Agustus 2009.
Sementara itu ada beberapa faktor yang mendorong manusia untuk mengadopsi pandangan pluralisme, yaitu:
Iklim demokrasi.
Sejak kecil kita telah diajarkan untuk saling menghormati kemajemukan suku, bahasa, dan agama. Beranjak dari pandangan ini, toleransi agama menjadi penyamarataan semua agama.
2. Pragmatisme.
Akibat konflik antar umat beragama, keharmonisan hidup menjadi tema yang menarik dan pragmatisme menjadi tumbuh subur.
3. Relativisme.
Pandangan bahwa semua agama bersifat relatif, tergantung siapa yang melihatnya tumbuh subur dalam masa post-modern hari ini.
4. Perenialisme.
Pandangan bahwa Allah itu satu dan masing-masing agama meresponi dan membahasakannya secara berbeda sehingga muncullah banyak agama. Jadi hakekat dari semua agama adalah sama, hanya tampilan luarnya yang berbeda. (6)
Sonny Prayitno menyatakan beberapa ajaran dari kaum Pluralis antara lain:
Menolak dengan tegas Christ-Centris (berpusat pada Kristus) sebab hal tersebut dipandang ekslusif, sehingga mereka mengembangkan ajaran yang Theo-Centris (berpusat pada Allah)
Menolak Alkitab sebagai Wahyu Allah yang final. Menurut mereka, Allah menyatakan diri-Nya tidak hanya dalam suatu umat tertentu, melainkan kepada semua manusia dalam pelbagai konteks agama dan budaya yang ada.
Menolak Misi Proklamasi Injil dan Misi Penebusan. Bahwa misi Allah bukanlah misi yang berkenaan dengan urusan-urusan yang bersifat rohani dan kekal. Itu adalah urusan Allah. Persoalan utama manusia bukanlah nanti, tetapi persoalan kini, yaitu berkenaan dengan masalah penderitaan umat manusia, kemiskinan, dsb. Maka kaum pluralis menafsir ulang misi dalam perspektif sosial (Social Gospel). (7)
Dari ketiga penolakan di atas, penolakan Alkitab sebagai Wahyu Allah yang final berarti mengatakan bahwa Alkitab bukanlah keseluruhan Firman Tuhan yang bebas dari kesalahan.
Pandangan Iman Kristen Terhadap Pluralisme
Sebelum membahas pandangan iman kristen terhadap pluralisme, menarik untuk mengetahui pandangan Islam terhadap pluralisme. Ternyata pandangan pluralisme ini ditentang oleh pihak muslim. Munas MUI pada tanggal 29-07-2005 mengeluarkan fatwa haram terhadap tiga pandangan kontemporer, yaitu sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. (8)
________________________________________________
6. Bedjo, Pluralisme Agama Dalam Perspektif Kristen.
7. Sonny Prayitno, Racun Pluralisme Dalam Iman Kristen. Tersedia di http://groups.yahoo.com/group/METAMORPHE/message/3942; Internet; diakses pada 2 Agustus 2009.
8. M. Dawam Radharjo, Kala MUI mengharamkan Pluralisme. Tersedia di http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/08/01/brk,20050801-64630,id.html; Internet; diakses pada 2 Agustus 2009.
Pluralitas agama adalah kenyataan yang kita dapati dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia dengan eksistensi lima agama dan puluhan bahkan ratusan aliran kepercayaan. Pluralitas agama telah menjadi bagian dari apa artinya menjadi penduduk Indonesia sehingga menyangkal adanya realita ini adalah sebuah kenaifan. Kemajemukan agama dapat menjadi potensi yang kuat bila dihargai dan diterima dengan bijaksana oleh segenap unsur masyarakat yang ada. Di sisi lain, kemajemukan ini menyimpan potensi untuk menimbulkan masalah yang besar, yang bila tidak ditanggapi dengan bijaksana dapat memicu sebuah perikaian yang mendalam dan luas. (9)
Pandangan kristen menghormati toleransi, bahkan Alkitab memberikan dasar yang kuat tentang ide toleransi. Ajaran Yesus tentang kasih mempunyai implikasi terhadap kesamaan derajat semua manusia. Hanya saja toleransi yang dimaksud adalah suatu sikap terhadap seseorang, bukan terhadap suatu ide. Jadi toleransi adalah penghormatan terhadap hak seseorang untuk berpegang pada suatu pandangan walupun kita tidak setuju dengan pandangan tersebut. Dalam hal ini ketidaksetujuan itu tidak dilakukan secara arogan atau dengan cara pemaksaan atau manipulatif. (10)
Dengan mengutip Stevri Lumintang, Bobby Putrawan menyatakan bahwa toleransi bukanlah teologi melainkan suatu sikap etika yang tentu harus dibangun diatas prinsip-prinsip kebenaran. Dalam perspektif Kristen, etika toleransi adalah etika yang bersumberkan pada prinsip-prinsip kebenaran Kristen dan teologi Kristen. Etika ini bertentangan dengan apa yang diusulkan oleh kaum Pluralis Kristen, yaitu membangun etika toleransi yang sifatnya universal (etika global). Etika Pluralis adalah etika yang didasarkan pada semua prinsip-prinsip kebenaran yang diakui oleh semua agama-agama yang ada di dunia. Dengan pandangan kaum Pluralis ini, maka disangkalnya kebenaran yang absolut dari Alkitab. Bila hal ini diterima, maka misi penginjilan secara otomatis digugurkan atau tidak lagi dibutuhkan, sebab misi penginjilan pada dasarnya dianggap sebagai perusak harmonisasi hidup bersama dalam masyarakat majemuk. (11)
Sutjipto Subeno menyatakan bahwa pluralisme bertentangan dengan iman kristen yang percaya bahwa Alkitab bersifat infallible, innerant, verbal, plenary, konfluen, dan perspiculty. Pluralisme juga bertentangan dengan presuposisi kristen. Cornelius Van Til (18 -1987), seorang teolog dan filsuf abad ini telah dengan sedemikian serius menggumulkan permasalahan ini. Van Til melihat bahwa di dalam berpikir, yang mendasari seluruh konsep teologis dan praktis kehidupan seseorang, hanya ada dua presuposisi dasar yang sangat menentukan, yaitu:
1. Kedaulatan Allah. Kedaulatan Allah dengan presuposisi ini, manusia akan mengacu dan melihat segala sesuatu dari aspek kedaulatan Allah.
___________________________
9. Wahyu Pramudya, Pluralitas Agama: Tantangan “Baru” Bagi Pendidikan Ke-agamaan di Indonesia. Jurnal Teologi dan Pelayanan Veritas 6/2, (Malang: SAAT), 2005, 279.
10. Henry Efferin, Perjuangan Menantang Zaman bab 6: Toleransi Agama Dari Perspektif Injili. (Jakarta: Reformed Institute Press, 2000), 118-122.
11. Bobby K Putrawan. Nisbah Pluralisme Dengan Finalitas Kristus. Tersedia di http://bkputrawan.blogspot.com/2007/12/nisbah-pluralisme-dengan-finalitas.html; Internet; diakses pada 2 Agustus 2009.
Allah dipandang sebagai Sumber segala sesuatu, Dasar dan Tujuan segala sesuatu (Rom 11:36). Inilah dasar yang benar bagi pemikiran orang Kristen.
2. Otonomi Manusia. Setelah manusia jatuh ke dalam dosa, manusia berusaha mencari kebenarannya sendiri dan meninggalkan kebenaran Allah. Inilah ciri manusia berdosa sepanjang zaman. Ketika manusia mulai berpikir menurut pikirannya sendiri, paling tidak ada dua hal yang pasti akan terjadi yaitu non-proportional thinking dan inconsistency. (12)
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa iman kristiani menghormati adanya perbedaan agama bahkan menganjurkan sikap hidup yang saling bertoleransi di antara umat beragama. Tetapi iman kristen dengan jelas menolak adanya pandangan terhadap ide pluralisme agama yang mencampurkan pandangan agama-agama menjadi sebuah pandangan yang baru. Iman kristiani menolak pandangan kaum pluralis yang menolak semua klaim agama yang bersifat eksklusif, absolit, unik, dan final. Iman kristiani menolak untuk membuka diri terhadap pengapdosian kebenaran doktrin agama lainnya seperti yang dianjurkan kaum pluralis.
Teologi Abu-Abu Kontemporer (13)
Tema-tema kaum pluralis
1. Allah yang sama (Identifikasi Allah)
Kaum pluralis menyatakan bahwa Allah Alkitab identik dengan semua Allah dalam semua agama di dunia. Ada beberapa contoh sbb:
· Kesamaan fenomena ibadah dari John Hick
Hick menilai ada kesamaan di antara agama-agama dalam fenomena ibadah dalam tradisi-tradisi yang berbeda. Hick berpendapat ada satu Allah dan semua agama menyembah-Nya melalui konsep yang berbeda.
· Kesamaan Allah berdasar argumentasi sejarah bangsa Arab
Herlianto rupa-rupanya membedakan antara nama Allah dan konsep Allah.
· Kepada Allah yang tidak dikenal
Pandangan ini bertitik tolak dari Kis. 17: 16-34 mengenai khotbah Paulus di Athena yang menyinggung frase “kepada Allah yang tidak dikenal”.
______________________________________________
12. Sutjicto Subeno. Presuposisi Teologi. http://reformed.sabda.org/presuposisi_teologi; Internet; diakses pada 2 Agustus 2009.
13. Lumintang, Theologia Abu-Abu, 373-443
· Studi banding agama-agama
Studi banding dilakuan untuk mencari titik temu, menemukan kesamaan-kesamaan dengan dijiwai semangat menjalin kerukunan hidup. Upaya ini bersifat assertif (pembenaran) yang kebablasan dengan mengidentikkan Yesus Alkitb sebagai Isa dalam Al-Quran.
2. Kerajaan Allah bukan kerajaan Yesus
Topik ini dibahas ulang dengan menafsirkan ulang doktrin kerajaan Allah untuk menyangkal finalitas Yesus. Dengan demikian kerajaan Allah dipakai untuk mengakui kesaman hak semua agama di dunia.
· Model teosentris Paul Knitter
Knitter menilai misi pribadi Yesus adalah misi kerajaan Allah, yang artinya Allah Bapa adalah pusat. Sebagai akibatnya, keunikan Kristo-sentris tidak benar dan terjadi pertukaran konsep Teosentris menjadi Kristosentris. Dikatakan Knitter bahwa Yesus sendiri adalah teosentris dn setelah kematian-Nya, pengikut-Nya merubah fokus menjadi Kristosentris.
· Teori Kopernikus John Hick
Hick mengemukakan bahwa bukan kekristenan sebagai pusat seluruh dunia melainkan Allah. Sehingga iman kristen dan iman agama lainnya semuanya mengelilingi Allah sebagai pusat segala sesuatu.
· Kerajaan Allah menurut C.S. Song
Ia menyatakan bahwa Kerajaan Allah berpusat pada Allah Bapa, bukan pada Kristus. Alasannya karena Yesus sendiri memberitakan Kerajaan Allah Bapa, bukan diri-Nya sendiri. Karenanya semua orang “kafir” berada dalam kerajaan Allah dan dalam keselamatan Allah.
· Kerajaan Allah menurut Lesslie Newbigin
Newbigin menyatakan bahwa Yesus berbicara tentang Kerajaan Allah dan mengutus murid-murid-Nya untuk melakukan hal yang sama, tetapi orang kristen berbicara tentang Yesus.
· Kerajaan Allah menurut Pinnock
Pinnock menyatakan Allah menghendaki keselamatan semua orang. Ia menyatakan Allah Bapa hadir di dunia bukan hanya dalam nama Yesus saja, melainkan dalam segala bentuk kehidupan dunia baik sekuler maupun sakral dalam konteks keselamatan.
3. Matius 28: 16-20 di mata kaum pluralis
Kaum pluralis membangun konsep yang baru terhadap Amanat Agung sehingga tidak sekedar dipersempit artinya, tetapi lebih dari itu Amant Agung telah dirubah arti dan teksnya.
· Amanat Agung bukan dari Matius 28: 16-20 (Emanuel G. Singgih)
Singgih mengusulkan Amanat Agung bertolak dari teks khotbah di bukit (Mat. 5-7), ringkasan Taurat (Mat. 22: 37-40), dan penghakiman terakhir (Mat. 25: 31-46). Pandangan tentang keselamatan adalah berorientasi pada pembebasan manusia dan penderitaan karena ketimpangan sosial dll. Intinya dia menekankan pada pelayanan sosial sebagai ugas utama gereja di dunia.
· Amanat Agung bukan perintah untuk merubah kebudayaan (Lessle Newbigin)
Newbigin menyatakan Injil tidak boleh merubah budaya yang di Injili, pemuridan tidak melibatkan perubahan apapun (dalam budaya), pandangan bangsa-bangsa bukan berarti suku-suku bangsa melainkan pribadi-pribadi.
· Amanat Agung tidak pernah diamanatkan oleh Yesus (Eka Darmapura)
Darmaputra menyatakan bahwa Yesus sendii tidak pernah menyatakan Amanat Agung. Baginya amanat yang terbesar adalah amana kasih (Mat. 23: 34-40). Bagi Darmaputra tugas penginjilan adalah membawa Kristus kepada orang bukan membawa orang kepada Kristus dan tugas kita adalah mempertobatkan diri sendiri bukan mempertobatkan orang lain.
· Amanat Agung merupakan hambatan teologis (Martin L. Sinaga)
Sinaga menggolongkan Amanat Agung sebagai hambatan teologis dalam perjumpaan dengan orang yang beragama lain. Dengan kata lain Amanat Agung membuat kekristenan kurang mampu melihat hubungan agama-agama sebagai keharusan dalam mengembangkan teologi agama-agama sambil bersama umat lain mengolah persoalan sosial politik demi mencari daya pembebasan.
Hubungan teologi abu-abu dan teologi pembebasan
Teologi abu-abu dan teologi pembebasan mempunyai banyak sekali kemiripan. Teologi pembebasan mulai marak di belahan bumi bagian selatan (negara-negara dunia ketiga) sejak tahun 1970-an dengan ciri teologi yang menekankan sentuhan konteks atau teologi kontekstualisasi. Teologi pembebasan adalah teologi yang lahir dalam konteks perjuangan politik gereja menghadapi musuh dehumanisasi yang ada di negara-negara miskin. Sedangkan teologi abu-abu adalah teologi yang bangkit dalam semangat kemajemukan agama.
Kedua teologi ini mempunyai hubungan erat yang ditandai oleh kesamaan sistem hermeneutika, latar belakang dan kesamaan beberapa pokok pikiran teologis. Selain itu perkembangan teologi abu-abu di Asia dijiwai oleh semangat teologi pembebasan karena adanya kesamaan pergumulan sosial. Hal inilah yang membuat teologi abu-abu menjadi pendukung kuat teologi pembebasan. Hal ini dijelaskan sbb:
· Persamaan sistem hermeneutika.
Kedua teologi dibangun di atas dasar sistem hermeneutika kritik sosial atau penafsiran situasional. Dalam menyikapi masalah sosial yang terjadi karena kepincangan sosial yang terjadi karena persoalan kemajemukan agama, kaum pluralis membangun teologinya berangkat dari sistem penafsiran situasi sosial agama yang ada guna menemukan dasar berpijak yang sama. Sementara itu teologi pembebasan dalam menyikapi kepincangan sosial berupaya untuk membangun teologi yang dapat membebasakan manusia dari perbudakan kekuatan ekonomi kaum bangsawan. Jadi kedua pandangan ini selalu bertolak dari konteks, bukan dari teks Alkitab.
· Persamaan latar belakang konteks historisnya.
Pada umumnya kaum plralis merupakan penganut teologi pembebasan. Umumnya mereka hidup di negara-negara yang memiliki kesamaan latar belakang sosial politik dan agama yang beragam. Pandangan teologi mereka merupakan letupan protes dari kaum yang tertindas secara sosial dan ekonomi sehingga memiliki jiwa pemberontakan bagi kemerdekaan secara sosial, ekonomi, politik dan agama (kesatuan semua agama di dunia).
· Persamaan latar belakang konteks teologis.
Sejalan dengan perkembangan teologi, maka posisi gereja tertentu mengalami perubahan. Misalnya posisi gereja katolik berubah setelah konsili Vatikan II seperti keyakinan keselamatan di luar gereja dan pandangan terhadap agama-agama lain. Konsili Vatikan II ini merupakan pupuk yang menyuburkan teologi abu-abu. Ternyata konsili Vatikan II ini sangat banyak menye-sponsori pemunculan teologi pembebasan.
· Teologi abu-abu mendukung teologi pembebasan.
Seorang pluralis terkemuka di Asia adalah CS. Song yang mendukung bahkan melihat bahwa teologi pembebasan sebagai pola yang dapat diterapkan di Asia dengan telogi transposisinya. Song mempertanyakan apa yang menjadi keprihatinan teologi di Asia dan membangun teologinya dengan dasar penafsiran kritik sosial yang lahir dari keprihatinan sosial terhadap isu-isu sosial politik di Asia.
· Teologi abu-abu dan teologi pembebasan memiliki kesamaan akar pemikiran teologis.
Keduanya bersama teolog liberal menolak dan melepaskan banyak dogma ortodoksi kristen dalam usaha mencari makna kehidupan zaman ini. Contohnya adalah bertolak dari iman yang berpandangan naturalistik dan antroposentris, skeptical terhadap hal-hal supranatural, tidak mengakui Alkitab sebagai satu-satunya penyataan kebenaran Allah yang final, konsep kristologis non-inkarnatif, pandangan relativisme, konsep dosa dll.
· Kaum pluralis diinspirasikan oleh kaum liberalis.
Dunia yang penuh dengan penderitaan karena penyimpangan sosial mendorong kaum plralis untuk mengadopsi teologi pembebasan. Umumnya mereka memadukan persoalan politik negara dengan persoalan agama. Jadi mereka mendekati persoalan politik dalam perspektif agama.
Macam-macam teologi pembebasan kontemporer di Asia
Teologi Minjung dari Korea.
Teologi Minjung muncuk di tahun 1970 sebagai akibat gerakan rakyat bagi hak azasi manusi, demokratisasi, dan keadilan sosial ekonomi. Di antara kaum muda, konsep Minjung mengasimilasi dalam dirinya konsep mengenai revolusi sosial atau Marxisme.
Teologi Rakyat dari Korea.
Teologi ini berkenaan dengan penyatuan Korea Selatan dan Utara. Pertama, teologi ini memasukkan konsep Minjung dan menempatkan seluruh rakyat Korea sebagai subyek penyatuan. Lebih jauh, rakyat sebagai tema teologis, menekankan keharusan pembebasan nasional dari kekuasaan Internasional yang mendominasi.
Teologi perjuangan atau pergumulan di Filipina.
Latar belakangnya adalah: pertama, keterlibatan perjuangan rakyat sebagai bentuk refleksi teologi masa kini; kedua, konteks sejarah sosial, agama, budaya, dan politik; ketiga, warisan iman untuk menemukan dan menyatakan pencipta dan Tuhan dari sejaah pembebasan; keempat, pengalaman kehadiran Allah dibuat dalam simbol, bahasa, mitos, liturgi yang dapat dimengerti dan relevan bagi rakyat yang berjuang.
Teologi kemajemukan di Asia.
Di Asia dan Afrika, pandangan ini mengimplikasikan pemikiran ulang akan isi rohani dari agama dan kebudayaan. Perpaduan teologi seperti ini membutuhkan dialog, kensensitifan mendengarkan pandangan agama lain, pelayanan yang tidak berdasarkan interes, tanpa motif memperluas agama dll.
Kecenderungan perkembangan pemikiran abad 21
Setelah membicarakan pandangan teologi abu-abu sebagai teologi kontemporer, penulis menutup dengan pandangan Daniel Lukas Lukito tentang kecenderungan perkembangan pemikiran manusia kristen pada hari ini. Lukito menyatakan paling tidak ada empat kecenderungan sbb:
Teologi secara radikal akan dibangun di atas landasan immanensi.
Maksudnya adalah manusia cenderung menyimpulkan segala sesuatunya dengan bertitik tolak semata-mata dari alam dan natur manusia. Ketika berbicara tentang Allah dan karya-Nya, manusia akan menilainya dari perspektif manusia dan alam. Hal ini berakibat pada memudarnya sisi yang transenden dan wilayah natural ‘mencaplok’ wilayah supranatural.
Teolog akan diwarnai oleh semangat yang semakin kuat untuk mensisntesiskan lingkup sakral dan lingkup sekular.
Manusia mlihat realita hanya pada satu lapisan saja yaitu dunia ini saja. Artinya menolak segala sesuatu yang berciri ilahi dan hukum moralitas yang teosentris. Sebagai akibatnya manusia menampakkan ciri yang otonom dan terlepas dari otoritas manapun.
Teologi akan melanjutkan subjektivisme ekstensialisme.
Eksistensialisme adalah usaha untuk membangun sistem filsafat yang berangkat dari titik tolak manusia sebagai pembuat dan penentu atas pemikiran dan segala sesuatu yang beredar dalam lingkaran kehidupan ini. Mereka menilai hidup yang penuh dengan problema dengan satu penegasan yang berani, yaitu manusia adalah pencipta dan penyembuh bagi dirinya sendiri sehingga manusia harus berani menghadapi menghadapi segala macam masalah dan keterbatasan dirinya. kaum eksistensialis menolak keberadaan Allah dan ciptaan-Nya dan menolak Alkitab sebagai firman Allah. Lebih jauh dinyatakan bahwa kebenaan akan Allah bersifat subjektif dan personal, yaitu dimulai dalam situasi tertentu pada kehidupan seseorang.
Teologi akan semakin gencar mengadaptasi pluralisme.
Dalam suasana dunia yang serba semakin menyatu dewasa ini, fakta tentang pluralitas kehidupan manusia bukanlah sesuatu yang baru. Demikian pula ketika gereja dalam perjalanan sejarahnya harus berhadapan dengan masyarakat yang pluralis dimana-mana, mau tak mau realita pluralitas iman sebagai sebuah fakta kehidupan harus diakui dan diterima. Sebagai contoh, ketika umat Kristen mula-mula melakukan pekabaran Injil, mereka melakukannya di tengah dunia pluralis dengan lingkaran konteks masyarakat Yudaisme, Hellenisme, paganisme Romawi, bahkan sampai melebar ke daerah sebelah tenggara India dengan didirikannya gereja Mar Thoma. Data ini memberi indikasi bahwa gereja mula-mula telah menyadari dan mereka benar-benar berhadapan dengan pluralitas budaya dan pluralitas keyakinan yang ada pada waktu itu. Dengan perkataan lain, tindakan kaum pluralis melakukan akomodasi dan reduksi terhadap iman Kristen demi untuk dialog dan toleransi terhadap agama lain telah menyebabkan mereka menjual murah dasar iman Kristen serta sekaligus membentuk sejenis teologi yang asing bagi orang Kristen sendiri. Apakah ini harga yang harus dibayar untuk yang namanya "keterbukaan" dan "relevansi" iman? Rasanya terlalu "dilelang" murah nilai iman Kristen itu sendiri. (14)
____________________________
14. Daniel Lukas Lukito, Kecenderungan Perkembangan Pemikiran Abad 21, Sebuah Kajian Retrospektif Dan Prospektif. http://reformed.sabda.org/kecenderungan_perkembangan_pemikiran_abad_21_sebuah_kajian_retrospektif_dan_prospektif, diakses pada 3 Agustus 2009.
Kesimpulan
Secara akal sehat kaum pluralis tidak mungkin berhasil dalam misinya. Hal ini disebabkan mereka mencoba untuk membuat sebuah agama baru yang ‘sempurna’ dengan menggabungkan semua agama di dunia. Jika semua agama (termasuk kristen) dianggap tidak sempurna, bagaimana mungkin membuat sebuah agama yang sempurna dari gabungan agama-agama yang tidak sempurna?.
Pepatah berkata bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati. Kalimat ini sangat pas dikaitkan dengan semangat pluralitas yang melanda zaman kita hari ini. Walaupun sejarah mencatat bidat, pengajaran sesat dan filsafat dunia yang menyerang kekristenan datang dan pergi silih berganti, merupakan tindakan bijaksana untuk mempersiapkan diri dan jemaat untuk menghadapi tantangan-tantangan iman dengan sebuah kepercayaan yang kokoh akan kebenaran Alkitab sebagai satu-satunya otoritas yang benar dan final.
Sebagai penutup, penulis mengutip sebuah lirik lagu pop dari Kenny Rogers yang berbunyi: You don’t have to fight to be man, but sometimes you gotta fight when you are a man. Penulis menganalogikan syair itu dengan pengertian kita tidak perlu ‘bertentangan/berkelahi’ untuk belajar teologi yang benar, tapi ketika kebenaran itu di relatifkan, kita harus berjuang untuk mempertahankannya berapapun harganya.
Bibliografi
1. Bedjo, Pluralisme Agama Dalam Perspektif Kristen. Tersedia di http://fportfolio.petra.ac.id/user_files/05005/PLURALISME%20AGAMA%20DALAM%20PERSPEKTIF%20KRISTEN.doc; Internet; diakses pada 26 Februari 2009.
2. Efferin, Henry, Perjuangan Menantang Zaman bab 6: Toleransi Agama Dari Perspektif Injili. Jakarta: Reformed Institute Press, 2000, halaman118-122.
3. Lukito, Daniel Lukas. Kecenderungan Perkembangan Pemikiran Abad 21, Sebuah Kajian Retrospektif Dan Prospektif. http://reformed.sabda.org/kecenderungan_perkembangan_pemikiran_abad_21_sebuah_kajian_retrospektif_dan_prospektif, diakses pada 3 Agustus 2009.
4. Lumintang, Stevri Indra. Theologia Abu-Abu. (Malang: Gandum Mas, Edisi Revisi 2009)
5. Makalah Sahabat Awam, Pluraisme Agama & Dialog, Yabina, edisi 55, April 2000.
6. Pandia, Wisma, Teologi Pluralisme Agama-Agama. STT Injili Philadelphia, halaman 5-11.
7. Pluralisme Agama, http://id.wikipedia.org/wiki/Pluralisme_agama, di akses pada 2 Agustus 2009.
8. Pramudya, Wahyu. Pluralitas Agama: Tantangan “Baru” Bagi Pendidikan Ke-agamaan di Indonesia. Jurnal Teologi dan Pelayanan Veritas 6/2, (Malang: SAAT), 2005
9. Putrawan, Bobby K. Nisbah Pluralisme Dengan Finalitas Kristus. Tersedia di http://bkputrawan.blogspot.com/2007/12/nisbah-pluralisme-dengan-finalitas.html; Internet; diakses pada 26 Februari 2009.
10. Radharjo, M. Dawam, Kala MUI mengharamkan Pluralisme. Tersedia di http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/08/01/brk,20050801-64630,id.html; Internet; diakses pada 26 Februari 2009.
11. Sonny, Prayitno. Racun Pluralisme Dalam Iman Kristen. Tersedia di http://groups.yahoo.com/group/METAMORPHE/message/3942; Internet; diakses pada 26 Februari 2009.
12. Subeno, Sutjicto. Presuposisi Teologi. http://reformed.sabda.org/presuposisi_teologi; Internet; diakses pada 26 Februari 2009.
Tuesday, October 6, 2009
Monday, October 5, 2009
Kepemimpinan dan organisasi Misi
Pendahuluan
Topik tentang kepemimpinan adalah sebuah topik yang selalu aktual dalam sejarah hidup manusia. Dengan semakin banyaknya jumlah manusia di dunia dengan sumber alam yang semakin terbatas, berbagai macam persoalan dalam hidup manusia bermunculan bagaikan cendawan di musim hujan. Keadaan ini menuntut adanya pemimpin-pemimpin yang mampu memimpin dunia menuju keadaan yang lebih baik.
Saat ini ada lebih banyak gereja dan organisasi misi daripada masa sebelumnya. Keadaan ini menunjukkan adanya kebutuhan yang semakin besar akan pemimpin. Ironisnya, dalam sebuah konvensi Asosiasi Injili Nasional di Amerika Serikat beberapa tahun yang lalu, George Brushaber, seorang rektor perguruan tinggi berbicara tentang “sebuah generasi yang hilang”, yaitu para pemimpin muda yang siap mengambil posisi dari kelompok perintis injili senior pasca Perang Dunia II.
Makalah ini membahas arti penting kepemimpinan dalam organisasi, Kepemimpinan secara umum, Kepemimpinan rohani menurut Allah, Arti penting organisasi, dan Kepemimpinan dalam organisasi misi sebagai penutup yang berisi refleksi pribadi.
Pentingnya Peran Kepemimpinan Dalam Organisasi
1. Hukum Katup
Dalam salah satu bukunya yang menjadi best seller, John Maxwell menjelaskan bahwa kemampuan memimpin menentukan tingkat keefektifan seseorang dan organisasi. Dengan memberikan contoh kasus dua orang bersaudara, Dick dan Maurice yang merintis sebuah bisnis yang bergerak dalam makanan fast-food. Usaha mereka sangat sukses dalam membesarkan restoran pribadi tetapi mengalami kegagalan dalam usaha untuk menjual waralaba. Alasan kegagalan ini sederhana yaitu mereka tidak mempunyai kepemimpinan yang diperlukan untuk menjadikannya efektif. Beberapa tahun kemudian mereka menjual hak untuk menjual hak waralaba kepada seorang yang bernama Ray. Dalam waktu empat tahun berikutnya Ray membuka 100 restoran. Empat tahun berikutnya sudah ada 500 restoran dan hari ini ada lebih dari 21.000 restoran McDonald di lebih dari 100 negara di dunia. (1)
Kunci kesuksesan Ray Kroc ada dalam kepemimpinannya. Kemampuan memimpinnya menentukan tingkat keefektifan pribadi maupun organisasi yang dipimpinnya. Maxwell menyebut hal ini sebagai hukum katup di mana jika daya kepemimpinannya kuat maka katup keberhasilan akan terbuka lebih lebar lagi. Sebaliknya jika daya kepemimpinannya lemah, maka katup keberhasilan hanya sedikit terbuka. Hal ini tidak berarti seorang yang tidak mempunyai kepemimpinan yang kuat tidak dapat berhasil. Dari contoh
kasus McDonlad, Dick dan Maurice sebenarnya sudah berhasil dengan
penghasilan sebenar $100.000 pada tahun 1950-an setiap tahunnya. Hanya
untuk menjadi lebih berhasil lagi dibutuhkan sebuah kualifikasi khusus yang
________________________
1. John C. Maxwell, 21 Hukum Kepemimpinan Sejati (Batam: Interaksara, 2001), 30-43.
tidak dipunyai oleh Dick dan Maurice tapi sebaliknya dipunyai oleh Ray Kroc yaitu kepemimpinan.
Hukum katup tidak hanya berlaku dalam bisnis melainkan juga berlaku dalam organisasi non-profit bahkan negara. Ketika sebuah team sepakbola mengalami serentetan kekalahan, seorang pelatih yang baru akan diangkat. Ketika sebuah negara mengalami krisis besar, seorang pemimpin baru akan dipilih melalui pemilihan umum. Bahkan ketika gereja kehilangan sebagian besar jemaatnya, sinode akan mencari seorang pendeta senior yang baru.
Dari gambaran di atas menunjukkan bahwa seorang pemimpin mempunyai peran yang sangat besar untuk menentukan keberhasilan atau kegagalan sebuah organisasi yang dipimpinnya.
2. Data Kepemimpinan Dalam Alkitab
Beberapa tahun yang lalu Bobby Clinton, seorang profesor kepemimpinan di Fuller menerbitkan sebuah makalah yang merupakan hasil studi kepemimpinan dalam Alkitab. Clinton mencatat ada kira-kira 1.000 orang pemimpin. Ada pemimpin patriarkhal, militer, sipil, agama (imam), nabi, hakim, rasul, penginjil, gembala, pengajar dan Yesus. Sebagian besar namanya hanya dicatat atau disebutkan perannya, sebagian mendapat perhatian lebih, tetapi tetap informasi tentang kehiupan mereka sedikit sekali disertakan. Dari 1.000 orang pemimpin itu, ada 100 orang pemimpin yang terkemuka, dan hanya 49 orang yang memiliki catatan memadai untuk mengetahui kehidupan dan pelayanannya. Berikut adalah hasil yang didapat Clinton tentang bagaimana mereka menyelesaikan tugasnya:
Dihentikan di awal tugasnya
Para pemimpin ini berhenti memimpin karena pembunuhan, gugur dalam perang, ditolak atau dijatuhkan dari posisinya dengan nubuat ilahi. Sebagian dari penyebabnya terkait dengan Allah, baik secara positif ataupun negatif.
Abimelek, Simson, Absalom, Ahab, Yosia, Yohanes Pembaptis, Yakobus.
Menyelesaikan dengan buruk
Mereka menuruni lembah pada akhir pelayanan mereka. Hal ini mungkin karena hubungan mereka dengan Allah atau karena kompetensi mereka dalam pelayanan.
Gideon, Simson, Eli, Saul, Salomo.
Menyelesaikan setengah-setengah
Mereka menjalankan tugasnya dengan baik, tapi pelayanan mereka dicemari oleh dosa. Mereka tidak sepenuhnya menyelesaikan apa yang dikehendaki oleh Allah atau memiliki sejumlah konsekuensi negatif dalam hidup dan pelayanan meskipun secara pribadi berjalan bersama Allah.
Daud, Yosafat, Hizkia.
Menyelesaikan dengan tuntas
Mereka tetap berjalan bersama Allah pada akhir hidupnya, mereka terlibat dalam perwujutan rencana Allah dengan penuh ketaatan. Mereka memenuhi tugas pelayanan yang diberikan Allah.
Abraham, Ayub, Yusuf, Kaleb, Samuel, Elia, Yeremia, Daniel, Yesus, Yohanes, Paulus, Petrus. (2)
________________________
2. Richard Clinton dan Paul Leavenworth, Memulai Dengan Baik: Membangun Kepemimpinan Yang Kokoh (Jakarta: Metanoia, 2004), 15-17
Dari data di atas, Clinton menemukan hanya sekitar 30% para pemimpin dalam Alkitab yang menyelesaikan pelayanannya dengan tuntas. Hal ini berarti 2 dari 3 orang tidak menyelesaikan pelayanannya dengan tuntas. Apakah arti data di atas bagi masa kini?. Clinton memperkirakan persentase pemimpin masa kini yang berhasil menyelesaikan pelayanannya dengan tuntas adalah maksimal sebesar angka 30% juga. Hal ini antara lain diakibatkan oleh stress yang ditimbulkan oleh pelayanan terhadap para pemimpin dan keluarganya. Tentu saja ada berbagai hal lain yang dapat menyebabkan kejatuhan seorang pemimpin. Jika demikian halnya, apa sebenarnya kepemimpinan itu dan bagaimanakah caranya agar seorang kuat bertahan dari terpaan godaan dunia yang membius dan menipu?
Kepemimpinan Secara Umum
Pemimpin, Dilahirkan atau Dibentuk?
Ada pendapat umum dalam masyarakat bahwa seorang pemimpin itu dilahirkan (secara alamiah). Pendapat ini didukung oleh Oswald Sanders yang dinyatakan dalam buku yang ditulis pada tahun 1974, Kepemimpinan Rohani. Sanders mengatakan bahwa sifat-sifat alamiah berasal dari Allah dan akan mencapai efektifitas tertinggi jika digunakan untuk melayani-Nya. (3)
Sementara itu 21 tahun kemudian, John Maxwell menyatakan bahwa memang ada orang-orang tertentu yang dilahirkan dengan kualitas pemimpin, tetapi di luar itu kepemimpinan dapat diajarkan (yang berarti dapat dipelajari). Paling tidak ada tiga hal yang penting dalam pengembangan kepemimpinan bagi orang yang tidak dilahirkan dengan kualitas kepemimpinan:
Telah melihat model kepemimpinan sepanjang hidupnya.
Telah mempelajari tambahan ilmu kepemimpinan melalui latihan.
Mempunyai disiplin pribadi untuk menjadi pemimpin besar. (4)
Pada umumnya orang yang dilahirkan dengan kualitas pemimpin tidaklah banyak jumlahnya dan lebih banyak orang yang menjadi pemimpin melalui poses pembelajaran secara terus menerus. Dalam dunia sekitar, kita mendapati bahwa pemimpin besar tidak dilahirkan melainkan dibentuk. Tanpa proses pembelajaran, seorang yang mempunyai kualitas kepemimpinan tidak dapat mencapai hasil yang optimal. Sebaliknya seorang dengan bakat yang biasa-biasa saja tapi menempa dirinya dengan keras dapat menjadi seorang pemimpin yang sukses. Hal ini dapat dengan mudah dilihat dalam segala bidang seperti olah raga atau negara.
Sebuah contoh yang sangat baik adalah kisah hidup berikut:
Pada tahun 1932 ia kalah dalam pemilihan kepala daerah.
Tahun 1849 gagal menjadi komisioner dari General Land Office.
Tahun 1855 dan 1858 kalah dalam pemilihan senat.
Tahun 1856 kalah dalam nominasi wakil presiden. (5)
_____________________
3. J. Oswald Sanders, Kepemimpinan Rohani (Bandung: Kalam Hidup, 1974), 20-21.
4. John C. Maxwell, Mengembangkan Kepemimpinan Di Dalam Diri Ada (Jakarta: Binarupa Aksara, 1995), I-V.
5. ________, Anda Dapat Menjadi Seorang Pengubah Dunia (Bandung: Pionir Jaya, 2008), 141-143.
Dari track record ini jelas bahwa orang ini tidaklah dilahirkan dengan bakat khusus sebagai pemimpin. Hanya melalui perjuangan keras akhirnya seluruh dunia mengenalnya sebagai salah satu presiden terbaik Amerika Serikat sepanjang sejarah yang bernama Abraham Lincoln.
Natur Kepemimpinan
Baik Sanders maupun Maxwell sepakat bahwa inti dari semua definisi kepemimpinan hanya satu kata yaitu pengaruh. Kepemimpinan bukan kemampuan untuk mendapatkan pengikut, bukan untuk mencapai kedudukan, jabatan atau pangkat dan setelah berhasil mendapatkannya kemudian berpikir bahwa mereka sudah menjadi pemimpin.
Para ahli sosiologi mengatakan bahwa setiap manusia (bahkan yang paling tertutup) mempengaruhi paling sedikit 10.000 manusia lainnya selama hidupnya. Oleh karenanya yang menjadi persoalan bukan apakah kita mampu mempengaruhi orang lain, melainkan pengaruh macam apa yang kta berikan kepada orang lain. Dengan mengutip ucapan Robert Dilenschneider, Maxwell melontarkan gagasan tentang “segitiga kekuasaan” untuk membantu para pemimpin maju. (6) Yang dimaksud dengan segitiga kekuasaan adalah komunikasi, pengakuan, dan pengaruh. Ketika kita mulai berkomunikasi secara efektif dengan orang lain, hal ini menuntun kepada pengakuan mereka akan kompetensi kita. Pada akhirnya pengakuan itu akan sampai pada pengaruh (pengaruh kita terhadap orang lain).
Meningkatkan Pengaruh Seorang Pemimpin
Setiap orang dapat meningkatkan pengaruh dan potensi kepemimpinannya. Salah satu alat yang berguna adalah dengan memahami tingkat kepemimpinan kita yang sekarang sehingga dapat meningkatkannya ke level berikutnya. Maxwell memberikan lima tingkatan kepemimpinan sebagai berikut:
Kepemimpinan yang didapat dari kedudukan (hak).
Seorang yang memimpin berdasarkan kedudukannya adalah tingkat yang paling dasar dalam kepemimpinan. Satu-satunya pengaruh yang dipunyai adalah jabatannya sehingga orang lain hanya mengikuti pemimpinnya karena harus dan berdasar wewenang yang dinyatakan. Level ini adalah pintu menuju kepemimpinan.
Kepemimpinan yang didapat dari izin (hubungan).
Di level kedua ini orang mengikuti pemimpin berdasarkan keinginannya sendiri. Orang mengikuti pemimpin melampaui wewenang yang dinyatakan. Level ini adalah fondasi kepemimpinan.
Kepemimpinan yang didapat dari produksi (hasil).
Pada level ini pemimpin mendapatkan momentum karena para pengikut menyukai pemimpin dan apa yang dilakukan pemimpin. Perbedaan dengan tingkat sebelumnya adalah pada tingkat “hubungan”, orang mengikuti pemimpin tanpa ada tujuan yang jelas (berdasar pada karisma). Pada level “hasil” semua orang mengikuti pemimpin berdasar rasa suka dan adanya tujuan yang jelas.
Kepemimpinan yang didapat dari pengembangan manusia (reproduksi).
Pada level ini seorang pemimpin dikatakan hebat bukan karena
_______________
6. Maxwell, Mengembangkan Kepemimpinan Di Dalam Diri Ada, 5
kekuasaannya, tetapi karena kemampuannya membuat pengikutnya tumbuh secara pribadi melalui bimbingan pemimpinnya. Dapat dikatakan pemimpin telah berhasil mendapatkan hati, cinta, dan loyalitas para pengikutnya.
Kepemimpinan yang didapat dari kemampuan menguasai pribadi (rasa hormat).
Level ini sangat sulit untuk dicapai. Hanya pemimpin yang sudah teruji kebenarannya melalui proses yang sulit yang mampu mencapai tingkat ini. Orang mengikuti sang pemimpin karena “siapa diri si pemimpin dan apa yang diwakilinya.” (7)
Dari apa yang dipaparkan di atas, jelas perjalanan menjadi seorang pemimpin adalah sebuah jalan yang sulit, panjang, curam, dan penuh cobaan. Satu hal yang penting untuk dipikirkan adalah apa tuntutan Tuhan bagi orang percaya berkaitan dengan kepemimpinan?. Yesus adalah pemimpin, tetapi Hitler, Mussolini, Stalin dll juga seorang pemimpin. Tentunya Tuhan tidak menginginkan anak-anak-Nya menjadi pemimpin seperti Hitler. Jadi tantangan bagi orang kristen tidak sekedar menjadi pemimpin yang baik melainkan menjadi pemimpin rohani seperti Kristus sendiri. Menjadi pemimpin rohani lebih dari sekedar menjadi seorang pemimpin karena selain sifat alamiah (bakat) dan proses pembelajaran, masih ada satu kualifikasi lainnya. Sanders mengatakan: Seorang pemimpin rohani mempengaruhi orang lain bukan dengan kekuatan pribadinya saja, melainkan dengan kepribadian yang diterangi, ditembusi dan dikuatkan oleh Roh Kudus. Kepemimpinan rohani adalah masalah kuasa rohani yang lebih tinggi nilainya dan yang tidak dapat ditimbulkan dari diri sendiri (8).
Kepemimpinan Rohani Menurut Allah
Model Kepemimpinan menurut Alkitab
Sebagai orang percaya yang Injili kita semua percaya bahwa Alkitab adalah satu-satunya otoritas tertinggi yang menjadi acuan bagi setiap usaha pencarian kebenaran dalam dunia. Oleh karenanya kita harus mengacu pada model kepemimpinan dalam Alkitab. Seperti yang sudah dibahas dalam bagian “Data Kepemimpinan Dalam Alkitab”, hanya ada sekitar 30% pemimpin yang berhasil menyelesaikan tugasnya sampai akhir dengan baik. Walaupun demikian, mereka bukanlah acuan utama kita karena bagaimanapun mereka tetap seorang mansia yang tidak lepas dari kelemahan dan dosa. Satu-satunya acuan mutlak model kepemimpinan yang sempurna bagi orang percaya adalah Kristus saja.
Model kepemimpinan yang diajarkan oleh Yesus dapat dilihat dalam Matius 20:25-28: “Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata: "Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa
ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu;
________________
7. Ibid., 5-14.
8. Sanders, 20-21.
sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." Model kepemimpinan ini disebut sebagai servant leadership (kepemimpinan yang menghamba/melayani).
Dewasa ini konsep/model servant leadership menjadi sebuah konsep yang mulai dipelajari oleh baik orang percaya maupun orang tidak percaya. Rober Greenleaf dan kemudian diikuti oleh penulis-penulis seperti Stephen Covey, Peter Block, Peter Senge, Max DePree, Margaret Wheatley, dan Ken Blanchard memopulerkan istilah servant leadership. (9) Tentu saja pemahaman atau penafsiran para penulis di atas akan arti sebenarnya dari servant leadership dapat berbeda satu dengan lainnya.
Servant Leadership
Di luar sedikit orang yang mulai menggali konsep servant leadership, pandangan dunia pada umumnya ternyata tidak cocok dengan pandangan Yesus tentang kepemimpinan. Sementara dunia memandang kepemimpinan sebagai masalah kekuasaan, gaya/cara atau teknik memimpin, Yesus menyatakan bahwa kepemimpinan adalah masalah karakter. Berdasarkan Mat. 20:25-28, John MacArthur menulis bahwa menurut Kristus, jenis kepemimpinan yang paling sejati dan benar adalah yang mengutamakan pelayanan, pengorbanan, dan sikap tidak mementingkan diri sendiri. Orang yang sombong dan mengagungkan diri sendiri, jauh dari citra pemimpin yang berdasar pada Kristus, tidak perduli seseorang itu memiliki kekuatan politik atau memegang kekuasaan yang besar (10).
Dengan kata lain MacArthur menggambarkan sosok seorang pemimpin sebagai seorang pelayan yang melayani. Bagi seorang percaya, peran sebagai pemimpin mempunyai dimensi rohani karena kepemimpinan adalah tanggung jawab secara rohani dan orang-orang yang kita pimpin adalah amanah dari Tuhan yang harus dipertanggung-jawabkan suatu hari kelak (Mat. 25:14-30) (11)
Sementara itu Robert Greenleaf memberikan definisi servant leadership sebagai "It begins with the natural feeling that one wants to serve, to serve first. Then conscious choice brings one to aspire to lead…The difference manifest itself in the care taken by the servant-first to make sure that other people’s highest priority needs are being served. The best test, and difficult to administer, is: do those served grow as persons, do they grow while being served, become healthier, wiser, freer, more autonomous, more likely themselves to become servants?"(12) (Dimulai dengan perasaan yang natural bahwa seseorang yang ingin melayani harus terlebih dahulu melayani. Kemudian pilihan secara sadar membawa seseorang untuk memimpin. Perbedaan yang jelas dalam penekanan bahwa melayani terlebih dahulu, untuk memastikan kepentingan orang lain adalah prioritas untuk dilayani. Tes yang paling baik dan sulit untuk diatur adalah apakah mereka yang dilayani tumbuh secara pribadi, apakah mereka bertumbuh ketika dilayani, menjadi lebih sehat, bijak, bebas, lebih independen, lebih serupa dengan mereka sendiri untuk menjadi pelayan).
_____________________
9. Servant Leadership, http://en.wikipedia.org/wiki/Servant_leadership.
10. John MacArthur, Kitab Kepemimpinan: 26 Karakter Pemimpin Sejati (Jakarta: BPK, 2009), vii-ix.
11. ibid., viii-ix.
12. Servant Leadership, http://en.wikipedia.org/wiki/Servant_leadership
Dari dua konsep servant leadership versi Yesus dan versi ‘dunia’ terlihat ada kemiripan yaitu untuk melayani kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi. Namun jika diteliti lebih lanjut terlihat ada beberapa perbedaan yang mencolok:
Ada dimensi rohani yang membedakan antara servant leadership versi Alkitab dan servant leadership versi dunia yaitu peran Roh Kudus. Transformasi karakter orang percaya tidak hanya berdasar kekuatan diri sendiri melainkan kerja sama antara Roh Kudus dan diri sendiri. Transformasi non-kristen hanya bergantung pada diri sendiri 100%.
Ada perbedaan pengertian istilah “servant”. Salah satu istilah yang ada dalam Alkitab adalah doulos yang berarti sebagai budak. Jelas ada perbedaan besar antara seorang pelayan dan seorang budak. Seorang pelayan masih mempunyai hak sedangkan seorang budak tidak mempunyai hak apapun juga.
Ada perbedaan motivasi. Dunia memandang ‘servant leadership’ sebagai salah satu metode agar dapat memimpin dengan lebih baik. Motivasi orang percaya adalah untuk menjadi serupa dengan karakter Kristus dan melaksanakan servant leadership adalah akibat langsung dari perubahan karakter kita.
Arti Penting Organisasi
Pengertian Arti Penting Organisasi
Kehidupan manusia di dunia tidak dapat terlepas dari organisasi. Setiap hari kita berhubungan dan terlibat dengan organisasi dan hidup kita dipengaruhi dan mempengaruhi organisasi dalam derajat yang berbeda-beda. Secara sadar kita terlibat dalam organisasi sebagai siswa, karyawan, anggota gereja, warga negara dll.
Organisasi dapat didefinisikan sebagai suatu kelompok individu yang bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan bersama (13). Definisi yang lain menyatakan organisasi sebagai kesatuan yang memungkinkan masyarakat mencapai suatu tujuan yang tidak dapat dicapai individu secara perorangan (14). Dari dua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa organisasi dibentuk ‘by design’ untuk melayani kebutuhan manusia yang tidak dapat dicapai secara individu. Organisasi lebih dari sekedar alat untuk menyediakan barang dan jasa tetapi juga menyediakan lingkungan di mana sebagian besar dari kita menghabiskan kehidupan.
Sebuah studi tentang organisasi (termasuk oganisasi misi) terdiri dari individu, kelompok individu, struktur dan proses organisasi. Gibson, Ivancevich,dan Donnelly menggambarkan model organisasi sbb:
Perilaku di dalam organisasi: Individu
Perilaku dan perbedaan individu
Teori motivasi dan aplikasinya
Imbalan, hukuman, dan disiplin
Stress dan individu
_________________
______ 13. Zaki Baridwan, Sistem Akuntansi: Penyusunan Prosedur dan Metode (Yogyakarta: BPFE, 1990), 23.
14. James L. Gibson, John M. Ivancevich, dan James H. Donnelly, Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses (Jakarta: Erlangga, 1991), 7.
Perilaku dalam organisasi: kelompok dan pengaruh antar pribadi
Perilaku kelompok
Perilaku antar-kelompok dan penanganan konflik
Kekuasaan dan politik
Kepemimpinan
Struktur organisasi
Desain organisasi
Desain pekerjaan
Proses organisasi
Komunikasi
Pengambilan keputusan
Evaluasi prestasi kerja
Sosialisasi/karier
(15)
Semua komponen dari model organisasi di atas menunjukkan bahwa setiap perubahan variabel dapat mempengaruhi perilaku organisasi dan perilaku individu. Setiap perubahan pimpinan, perubahan struktur dan proses organisasi dll pasti mempunyai pengaruh dalam perilaku organisasi. Sebuah organisasi yang baik mempunyai visi dan misi yang jelas. Visi dan misi ini berfungsi sebagai dasar acuan organisasi untuk mencapai tujuan. Model organisasi di atas dibangun dengan dasar visi dan misi organisasi.
Ada perbedaan tujuan akhir antara organisasi dunia dan organisasi misi. Organisasi dunia di desain untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan oleh pemilik organisasi tersebut. Organisasi misi ada untuk melaksanakan Amanat Agung Kristus.
Visi dan Misi Organisasi Misi
Sebuah organisasi misi yang baik tentu dibangun dengan dasar-dasar kebenaran Alkitab. Kebenaran Alkitab adalah dasar penyusunan visi dan misi organisasi misi. Visi dan misi berfungsi sebagai acuan penyusunan model organisasi. Sebuah organisasi misi dapat mengalami perubahan dalam model organisasinya sesuai dengan konteks dan zaman tetapi visi dan misinya tidak boleh pernah berubah.
Perubahan dalam model organisasi dan manajemen organisasi misi adalah sebuah kebutuhan dalam zaman yang terus berubah ini. Hari ini organisasi misi terus bertumbuh dalam jumlah. Ironisnya persentase orang percaya di dunia tidak bertambah bahkan cenderung berkurang. Hal ini dapat dilihat dari tabel berikut: (16)
Tahun
Penduduk
Dunia
Orang
Kristen
Non-
Kristen
Persentase penduduk
Kristen terhadap pendu-
duk dunia
30
170 juta
?
170 juta
-
1900
1.620 juta
588 juta
1.602 juta
36,70
1960
3.010 juta
1.008 juta
2.002 juta
33,49
1981
4.585 juta
1.473 juta
3.019 juta
32,13
2000
6.240 juta
1.900 juta
4.340 juta
30,49
_________________
15. ibid., 12.
16. Veronika J. Elbers, Doa dan Misi (Malang: SAAT, 2007) 4.
Data di atas sudah seharusnya membunyikan alarm di kepala kita. Hal ini menuntut adanya evaluasi menyeluruh dari setiap gereja dan organisasi
misi akan efektifitas kegiatan program penginjilan di tempat masing-masing. Hal ini tentunya tidak mudah tapi perlu dan harus dilakukan. Saat ini memang benar ladang sudah menguning dan siap dituai tapi siapakah yang mau diutus untuk menuai? Mengapa ladang Tuhan sampai “kekurangan” pekerja-pekarja?. Tentunya hal ini rumit dan sangat kompleks untuk dibahas. Penulis mencoba membahas hanya dari satu segi saja dengan mengkaitkan peran kepemimpinan dalam organisasi misi sebagai penutup.
Penutup (Refleksi Pribadi)
Kepemimpinan Dalam Organisasi Misi
Ketika tokoh-tokoh seperti Sanders, Maxwell, MacArthur, Clinton, dll berteriak bahwa kita mengalami kekurangan pemimpin yang baik, pemimpin yang berkarakter seperti Kristus, sudah sepantasnya dan seharusnya kita semua berhenti sejenak dari rutinitas kegiatan sehari-hari dan memikirkan masalah ini.
Semakin hari gereja dan orang percaya mendapatkan serangan yang makin dahsyat baik dari dalam gereja (berupa perpecahan, perselisihan, lunturnya kepercayaan terhadap Alkitab, dll) dan dari luar gereja (serangan terhadap iman kristen, pengaruh negatif dunia seperti narsisme, hedonisme, matinya akal sehat dan hati nurani, dll). Di tengah kancah peperangan rohani yang semakin dahsyat hanya kata-kata Yesus di Yoh. 16:33 “....dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia” yang menjadi hiburan dan keyakinan bahwa Tuhan masih terus berkarya.
Mencermati maraknya gereja-gereja tertentu di Jakarta yang aktif membuka cabang di daerah-daerah (ibu kota provinsi) yang nota bene sudah dipenuhi oleh gereja-gereja yang sudah eksis menimbulkan pertanyaan: apakah gereja melakukan penginjilan atau berebut domba yang sudah ada?. Harus diakui dengan pertumbuhan jumlah orang kristen melalui angka kelahiran saja merupakan daya tarik untuk membuka cabang. Tapi pertanyaannya masih sama: inikah arti penginjilan?
Sementara itu gereja-gereja lainnya juga tidak kalah sibuk dengan dirinya yaitu sibuk mempertahankan tradisi, sibuk mempertahankan peraturan-peraturan tata cata gerejawi yang sebenarnya perlu di revisi agar sesuai dengan perkembangan zaman tanpa berkompromi dengan prinsip-prinsip kebenaran. Jumlah anggota terus berkurang tapi belum merasa perlu untuk berubah.
Di tengah situasi sulit seperti ini ada juga gereja-gereja yang sudah menyangkali imannya dengan ketidak-percayaan mereka terhadap ketidak-bersalahan teks Alkitab. Memang hal ini tidak dikatakan secara langsung pada jemaatnya tapi dukungan terhadap pandangan pluralisme yang mengedepankan universialisme keselamatan menjadi tanda bagi kita yang mencermatinya.
Pertanyaannya: apa penyebabnya?? dan apa solusinya??.
Penulis berpendapat penyebab dan solusinya sama, yaitu peran para pemimpin. Pemimpin dengan pengaruhnya mampu membawa pengikutnya ke manapun yang diinginkannya dengan memperalat Firman Tuhan.
Saat ini cukup banyak hamba Tuhan lulusan STT Injli yang sebenarnya belum siap untuk terjun ke masyarakat. Kurangnya pelajaran tentang manajemen, komunikasi, organisasi, kurangnya wawasan pribadi sangat mungkin menjadi gesekan dengan jemaat yang pada akhirnya membuat gap yang lebar. Karena itu solusi harus dimulai dari STT sebagai ‘pencetak’ hamba-hamba Tuhan yang siap pakai dalam dunia. Sudah waktunya STT membekali para mahasiswa dengan ilmu-ilmu praktis yang akan sangat berguna dalam ladang pelayanan. Kemudian pekerja-pekerja di ladang hendaknya terus meng-up grade ilmunya dengan terus belajar, baik ilmu teologi maupun ilmu pengetahuan praktis yang berguna untuk menunjang pelayanan.
Ada sebuah fenomena yang terjadi hari-hari ini yaitu ‘kebangkitan kaum awam’ dalam belajar teologi. Situs SADBA, Yabina, IRECS, Harvest, dll membuka kesempatan bagi non full timers untuk belajar teologi sampai tingkat D3. Bahkan STRIJ Jakarta baru saja melanjutkan program D3 menjadi D4 yang artinya setara dengan STh. Jangan sampai gereja dan organisasi misi melewatkan momentum ini begitu saja. ‘Kaum awam’ ini adalah bantuan yang dikirim Tuhan untuk lebih memperkaya dan memberikan wawasan baru bagi pelayanan kristen. Tentu saja agar kerja sama dapat terjadi diperlukan seorang pemimpin yang dihormati dan rajin, karena bagaimana ‘kaum awam’ dapat menghormati sang pemimpin jika malas?. Jadi hal ini adalah bantuan dan sekaligus peringatan bagi pemimpin untuk tidak diam dalam comfort zone pribadi.
Bibliografi
Baridwan, Zaki. Sistem Akuntansi: Penyusunan Prosedur dan Metode. Yogyakarta: BPFE, 1990.
Clinton, Richard dan Leavenworth, Paul. Memulai Dengan Baik: Membangun Kepemimpinan Yang Kokoh. Jakarta: Metanoia, 2004.
Elbers, Veronika J. Doa dan Misi, Malang: SAAT, 2007
Gibson, James L., Ivancevich, John M., dan Donnelly, James H. Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses. Jakarta: Erlangga, 1991.
MacArthur, John. Kitab Kepemimpinan: 26 Karakter Pemimpin Sejati. Jakarta: BPK, 2009.
Maxwell, John C. 21 Hukum Kepemimpinan Sejati. Batam: Interaksara, 2001.
Maxwell, John C. Mengembangkan Kepemimpinan Di Dalam Diri Anda. Jakarta: Binarupa Aksara, 1995.
Sanders, J. Oswald. Kepemimpinan Rohani. Bandung: Kalam Hidup, 1974.
_____________. Anda Bisa Menjadi Seorang Pengubah Dunia. Bandung: Pionir Jaya, 2008.
Sumber dari Internet:
Servant Leadership. http://en.wikipedia.org/wiki/Servant_leadership. diakses pada 03-06-2009.
Topik tentang kepemimpinan adalah sebuah topik yang selalu aktual dalam sejarah hidup manusia. Dengan semakin banyaknya jumlah manusia di dunia dengan sumber alam yang semakin terbatas, berbagai macam persoalan dalam hidup manusia bermunculan bagaikan cendawan di musim hujan. Keadaan ini menuntut adanya pemimpin-pemimpin yang mampu memimpin dunia menuju keadaan yang lebih baik.
Saat ini ada lebih banyak gereja dan organisasi misi daripada masa sebelumnya. Keadaan ini menunjukkan adanya kebutuhan yang semakin besar akan pemimpin. Ironisnya, dalam sebuah konvensi Asosiasi Injili Nasional di Amerika Serikat beberapa tahun yang lalu, George Brushaber, seorang rektor perguruan tinggi berbicara tentang “sebuah generasi yang hilang”, yaitu para pemimpin muda yang siap mengambil posisi dari kelompok perintis injili senior pasca Perang Dunia II.
Makalah ini membahas arti penting kepemimpinan dalam organisasi, Kepemimpinan secara umum, Kepemimpinan rohani menurut Allah, Arti penting organisasi, dan Kepemimpinan dalam organisasi misi sebagai penutup yang berisi refleksi pribadi.
Pentingnya Peran Kepemimpinan Dalam Organisasi
1. Hukum Katup
Dalam salah satu bukunya yang menjadi best seller, John Maxwell menjelaskan bahwa kemampuan memimpin menentukan tingkat keefektifan seseorang dan organisasi. Dengan memberikan contoh kasus dua orang bersaudara, Dick dan Maurice yang merintis sebuah bisnis yang bergerak dalam makanan fast-food. Usaha mereka sangat sukses dalam membesarkan restoran pribadi tetapi mengalami kegagalan dalam usaha untuk menjual waralaba. Alasan kegagalan ini sederhana yaitu mereka tidak mempunyai kepemimpinan yang diperlukan untuk menjadikannya efektif. Beberapa tahun kemudian mereka menjual hak untuk menjual hak waralaba kepada seorang yang bernama Ray. Dalam waktu empat tahun berikutnya Ray membuka 100 restoran. Empat tahun berikutnya sudah ada 500 restoran dan hari ini ada lebih dari 21.000 restoran McDonald di lebih dari 100 negara di dunia. (1)
Kunci kesuksesan Ray Kroc ada dalam kepemimpinannya. Kemampuan memimpinnya menentukan tingkat keefektifan pribadi maupun organisasi yang dipimpinnya. Maxwell menyebut hal ini sebagai hukum katup di mana jika daya kepemimpinannya kuat maka katup keberhasilan akan terbuka lebih lebar lagi. Sebaliknya jika daya kepemimpinannya lemah, maka katup keberhasilan hanya sedikit terbuka. Hal ini tidak berarti seorang yang tidak mempunyai kepemimpinan yang kuat tidak dapat berhasil. Dari contoh
kasus McDonlad, Dick dan Maurice sebenarnya sudah berhasil dengan
penghasilan sebenar $100.000 pada tahun 1950-an setiap tahunnya. Hanya
untuk menjadi lebih berhasil lagi dibutuhkan sebuah kualifikasi khusus yang
________________________
1. John C. Maxwell, 21 Hukum Kepemimpinan Sejati (Batam: Interaksara, 2001), 30-43.
tidak dipunyai oleh Dick dan Maurice tapi sebaliknya dipunyai oleh Ray Kroc yaitu kepemimpinan.
Hukum katup tidak hanya berlaku dalam bisnis melainkan juga berlaku dalam organisasi non-profit bahkan negara. Ketika sebuah team sepakbola mengalami serentetan kekalahan, seorang pelatih yang baru akan diangkat. Ketika sebuah negara mengalami krisis besar, seorang pemimpin baru akan dipilih melalui pemilihan umum. Bahkan ketika gereja kehilangan sebagian besar jemaatnya, sinode akan mencari seorang pendeta senior yang baru.
Dari gambaran di atas menunjukkan bahwa seorang pemimpin mempunyai peran yang sangat besar untuk menentukan keberhasilan atau kegagalan sebuah organisasi yang dipimpinnya.
2. Data Kepemimpinan Dalam Alkitab
Beberapa tahun yang lalu Bobby Clinton, seorang profesor kepemimpinan di Fuller menerbitkan sebuah makalah yang merupakan hasil studi kepemimpinan dalam Alkitab. Clinton mencatat ada kira-kira 1.000 orang pemimpin. Ada pemimpin patriarkhal, militer, sipil, agama (imam), nabi, hakim, rasul, penginjil, gembala, pengajar dan Yesus. Sebagian besar namanya hanya dicatat atau disebutkan perannya, sebagian mendapat perhatian lebih, tetapi tetap informasi tentang kehiupan mereka sedikit sekali disertakan. Dari 1.000 orang pemimpin itu, ada 100 orang pemimpin yang terkemuka, dan hanya 49 orang yang memiliki catatan memadai untuk mengetahui kehidupan dan pelayanannya. Berikut adalah hasil yang didapat Clinton tentang bagaimana mereka menyelesaikan tugasnya:
Dihentikan di awal tugasnya
Para pemimpin ini berhenti memimpin karena pembunuhan, gugur dalam perang, ditolak atau dijatuhkan dari posisinya dengan nubuat ilahi. Sebagian dari penyebabnya terkait dengan Allah, baik secara positif ataupun negatif.
Abimelek, Simson, Absalom, Ahab, Yosia, Yohanes Pembaptis, Yakobus.
Menyelesaikan dengan buruk
Mereka menuruni lembah pada akhir pelayanan mereka. Hal ini mungkin karena hubungan mereka dengan Allah atau karena kompetensi mereka dalam pelayanan.
Gideon, Simson, Eli, Saul, Salomo.
Menyelesaikan setengah-setengah
Mereka menjalankan tugasnya dengan baik, tapi pelayanan mereka dicemari oleh dosa. Mereka tidak sepenuhnya menyelesaikan apa yang dikehendaki oleh Allah atau memiliki sejumlah konsekuensi negatif dalam hidup dan pelayanan meskipun secara pribadi berjalan bersama Allah.
Daud, Yosafat, Hizkia.
Menyelesaikan dengan tuntas
Mereka tetap berjalan bersama Allah pada akhir hidupnya, mereka terlibat dalam perwujutan rencana Allah dengan penuh ketaatan. Mereka memenuhi tugas pelayanan yang diberikan Allah.
Abraham, Ayub, Yusuf, Kaleb, Samuel, Elia, Yeremia, Daniel, Yesus, Yohanes, Paulus, Petrus. (2)
________________________
2. Richard Clinton dan Paul Leavenworth, Memulai Dengan Baik: Membangun Kepemimpinan Yang Kokoh (Jakarta: Metanoia, 2004), 15-17
Dari data di atas, Clinton menemukan hanya sekitar 30% para pemimpin dalam Alkitab yang menyelesaikan pelayanannya dengan tuntas. Hal ini berarti 2 dari 3 orang tidak menyelesaikan pelayanannya dengan tuntas. Apakah arti data di atas bagi masa kini?. Clinton memperkirakan persentase pemimpin masa kini yang berhasil menyelesaikan pelayanannya dengan tuntas adalah maksimal sebesar angka 30% juga. Hal ini antara lain diakibatkan oleh stress yang ditimbulkan oleh pelayanan terhadap para pemimpin dan keluarganya. Tentu saja ada berbagai hal lain yang dapat menyebabkan kejatuhan seorang pemimpin. Jika demikian halnya, apa sebenarnya kepemimpinan itu dan bagaimanakah caranya agar seorang kuat bertahan dari terpaan godaan dunia yang membius dan menipu?
Kepemimpinan Secara Umum
Pemimpin, Dilahirkan atau Dibentuk?
Ada pendapat umum dalam masyarakat bahwa seorang pemimpin itu dilahirkan (secara alamiah). Pendapat ini didukung oleh Oswald Sanders yang dinyatakan dalam buku yang ditulis pada tahun 1974, Kepemimpinan Rohani. Sanders mengatakan bahwa sifat-sifat alamiah berasal dari Allah dan akan mencapai efektifitas tertinggi jika digunakan untuk melayani-Nya. (3)
Sementara itu 21 tahun kemudian, John Maxwell menyatakan bahwa memang ada orang-orang tertentu yang dilahirkan dengan kualitas pemimpin, tetapi di luar itu kepemimpinan dapat diajarkan (yang berarti dapat dipelajari). Paling tidak ada tiga hal yang penting dalam pengembangan kepemimpinan bagi orang yang tidak dilahirkan dengan kualitas kepemimpinan:
Telah melihat model kepemimpinan sepanjang hidupnya.
Telah mempelajari tambahan ilmu kepemimpinan melalui latihan.
Mempunyai disiplin pribadi untuk menjadi pemimpin besar. (4)
Pada umumnya orang yang dilahirkan dengan kualitas pemimpin tidaklah banyak jumlahnya dan lebih banyak orang yang menjadi pemimpin melalui poses pembelajaran secara terus menerus. Dalam dunia sekitar, kita mendapati bahwa pemimpin besar tidak dilahirkan melainkan dibentuk. Tanpa proses pembelajaran, seorang yang mempunyai kualitas kepemimpinan tidak dapat mencapai hasil yang optimal. Sebaliknya seorang dengan bakat yang biasa-biasa saja tapi menempa dirinya dengan keras dapat menjadi seorang pemimpin yang sukses. Hal ini dapat dengan mudah dilihat dalam segala bidang seperti olah raga atau negara.
Sebuah contoh yang sangat baik adalah kisah hidup berikut:
Pada tahun 1932 ia kalah dalam pemilihan kepala daerah.
Tahun 1849 gagal menjadi komisioner dari General Land Office.
Tahun 1855 dan 1858 kalah dalam pemilihan senat.
Tahun 1856 kalah dalam nominasi wakil presiden. (5)
_____________________
3. J. Oswald Sanders, Kepemimpinan Rohani (Bandung: Kalam Hidup, 1974), 20-21.
4. John C. Maxwell, Mengembangkan Kepemimpinan Di Dalam Diri Ada (Jakarta: Binarupa Aksara, 1995), I-V.
5. ________, Anda Dapat Menjadi Seorang Pengubah Dunia (Bandung: Pionir Jaya, 2008), 141-143.
Dari track record ini jelas bahwa orang ini tidaklah dilahirkan dengan bakat khusus sebagai pemimpin. Hanya melalui perjuangan keras akhirnya seluruh dunia mengenalnya sebagai salah satu presiden terbaik Amerika Serikat sepanjang sejarah yang bernama Abraham Lincoln.
Natur Kepemimpinan
Baik Sanders maupun Maxwell sepakat bahwa inti dari semua definisi kepemimpinan hanya satu kata yaitu pengaruh. Kepemimpinan bukan kemampuan untuk mendapatkan pengikut, bukan untuk mencapai kedudukan, jabatan atau pangkat dan setelah berhasil mendapatkannya kemudian berpikir bahwa mereka sudah menjadi pemimpin.
Para ahli sosiologi mengatakan bahwa setiap manusia (bahkan yang paling tertutup) mempengaruhi paling sedikit 10.000 manusia lainnya selama hidupnya. Oleh karenanya yang menjadi persoalan bukan apakah kita mampu mempengaruhi orang lain, melainkan pengaruh macam apa yang kta berikan kepada orang lain. Dengan mengutip ucapan Robert Dilenschneider, Maxwell melontarkan gagasan tentang “segitiga kekuasaan” untuk membantu para pemimpin maju. (6) Yang dimaksud dengan segitiga kekuasaan adalah komunikasi, pengakuan, dan pengaruh. Ketika kita mulai berkomunikasi secara efektif dengan orang lain, hal ini menuntun kepada pengakuan mereka akan kompetensi kita. Pada akhirnya pengakuan itu akan sampai pada pengaruh (pengaruh kita terhadap orang lain).
Meningkatkan Pengaruh Seorang Pemimpin
Setiap orang dapat meningkatkan pengaruh dan potensi kepemimpinannya. Salah satu alat yang berguna adalah dengan memahami tingkat kepemimpinan kita yang sekarang sehingga dapat meningkatkannya ke level berikutnya. Maxwell memberikan lima tingkatan kepemimpinan sebagai berikut:
Kepemimpinan yang didapat dari kedudukan (hak).
Seorang yang memimpin berdasarkan kedudukannya adalah tingkat yang paling dasar dalam kepemimpinan. Satu-satunya pengaruh yang dipunyai adalah jabatannya sehingga orang lain hanya mengikuti pemimpinnya karena harus dan berdasar wewenang yang dinyatakan. Level ini adalah pintu menuju kepemimpinan.
Kepemimpinan yang didapat dari izin (hubungan).
Di level kedua ini orang mengikuti pemimpin berdasarkan keinginannya sendiri. Orang mengikuti pemimpin melampaui wewenang yang dinyatakan. Level ini adalah fondasi kepemimpinan.
Kepemimpinan yang didapat dari produksi (hasil).
Pada level ini pemimpin mendapatkan momentum karena para pengikut menyukai pemimpin dan apa yang dilakukan pemimpin. Perbedaan dengan tingkat sebelumnya adalah pada tingkat “hubungan”, orang mengikuti pemimpin tanpa ada tujuan yang jelas (berdasar pada karisma). Pada level “hasil” semua orang mengikuti pemimpin berdasar rasa suka dan adanya tujuan yang jelas.
Kepemimpinan yang didapat dari pengembangan manusia (reproduksi).
Pada level ini seorang pemimpin dikatakan hebat bukan karena
_______________
6. Maxwell, Mengembangkan Kepemimpinan Di Dalam Diri Ada, 5
kekuasaannya, tetapi karena kemampuannya membuat pengikutnya tumbuh secara pribadi melalui bimbingan pemimpinnya. Dapat dikatakan pemimpin telah berhasil mendapatkan hati, cinta, dan loyalitas para pengikutnya.
Kepemimpinan yang didapat dari kemampuan menguasai pribadi (rasa hormat).
Level ini sangat sulit untuk dicapai. Hanya pemimpin yang sudah teruji kebenarannya melalui proses yang sulit yang mampu mencapai tingkat ini. Orang mengikuti sang pemimpin karena “siapa diri si pemimpin dan apa yang diwakilinya.” (7)
Dari apa yang dipaparkan di atas, jelas perjalanan menjadi seorang pemimpin adalah sebuah jalan yang sulit, panjang, curam, dan penuh cobaan. Satu hal yang penting untuk dipikirkan adalah apa tuntutan Tuhan bagi orang percaya berkaitan dengan kepemimpinan?. Yesus adalah pemimpin, tetapi Hitler, Mussolini, Stalin dll juga seorang pemimpin. Tentunya Tuhan tidak menginginkan anak-anak-Nya menjadi pemimpin seperti Hitler. Jadi tantangan bagi orang kristen tidak sekedar menjadi pemimpin yang baik melainkan menjadi pemimpin rohani seperti Kristus sendiri. Menjadi pemimpin rohani lebih dari sekedar menjadi seorang pemimpin karena selain sifat alamiah (bakat) dan proses pembelajaran, masih ada satu kualifikasi lainnya. Sanders mengatakan: Seorang pemimpin rohani mempengaruhi orang lain bukan dengan kekuatan pribadinya saja, melainkan dengan kepribadian yang diterangi, ditembusi dan dikuatkan oleh Roh Kudus. Kepemimpinan rohani adalah masalah kuasa rohani yang lebih tinggi nilainya dan yang tidak dapat ditimbulkan dari diri sendiri (8).
Kepemimpinan Rohani Menurut Allah
Model Kepemimpinan menurut Alkitab
Sebagai orang percaya yang Injili kita semua percaya bahwa Alkitab adalah satu-satunya otoritas tertinggi yang menjadi acuan bagi setiap usaha pencarian kebenaran dalam dunia. Oleh karenanya kita harus mengacu pada model kepemimpinan dalam Alkitab. Seperti yang sudah dibahas dalam bagian “Data Kepemimpinan Dalam Alkitab”, hanya ada sekitar 30% pemimpin yang berhasil menyelesaikan tugasnya sampai akhir dengan baik. Walaupun demikian, mereka bukanlah acuan utama kita karena bagaimanapun mereka tetap seorang mansia yang tidak lepas dari kelemahan dan dosa. Satu-satunya acuan mutlak model kepemimpinan yang sempurna bagi orang percaya adalah Kristus saja.
Model kepemimpinan yang diajarkan oleh Yesus dapat dilihat dalam Matius 20:25-28: “Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata: "Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa
ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu;
________________
7. Ibid., 5-14.
8. Sanders, 20-21.
sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." Model kepemimpinan ini disebut sebagai servant leadership (kepemimpinan yang menghamba/melayani).
Dewasa ini konsep/model servant leadership menjadi sebuah konsep yang mulai dipelajari oleh baik orang percaya maupun orang tidak percaya. Rober Greenleaf dan kemudian diikuti oleh penulis-penulis seperti Stephen Covey, Peter Block, Peter Senge, Max DePree, Margaret Wheatley, dan Ken Blanchard memopulerkan istilah servant leadership. (9) Tentu saja pemahaman atau penafsiran para penulis di atas akan arti sebenarnya dari servant leadership dapat berbeda satu dengan lainnya.
Servant Leadership
Di luar sedikit orang yang mulai menggali konsep servant leadership, pandangan dunia pada umumnya ternyata tidak cocok dengan pandangan Yesus tentang kepemimpinan. Sementara dunia memandang kepemimpinan sebagai masalah kekuasaan, gaya/cara atau teknik memimpin, Yesus menyatakan bahwa kepemimpinan adalah masalah karakter. Berdasarkan Mat. 20:25-28, John MacArthur menulis bahwa menurut Kristus, jenis kepemimpinan yang paling sejati dan benar adalah yang mengutamakan pelayanan, pengorbanan, dan sikap tidak mementingkan diri sendiri. Orang yang sombong dan mengagungkan diri sendiri, jauh dari citra pemimpin yang berdasar pada Kristus, tidak perduli seseorang itu memiliki kekuatan politik atau memegang kekuasaan yang besar (10).
Dengan kata lain MacArthur menggambarkan sosok seorang pemimpin sebagai seorang pelayan yang melayani. Bagi seorang percaya, peran sebagai pemimpin mempunyai dimensi rohani karena kepemimpinan adalah tanggung jawab secara rohani dan orang-orang yang kita pimpin adalah amanah dari Tuhan yang harus dipertanggung-jawabkan suatu hari kelak (Mat. 25:14-30) (11)
Sementara itu Robert Greenleaf memberikan definisi servant leadership sebagai "It begins with the natural feeling that one wants to serve, to serve first. Then conscious choice brings one to aspire to lead…The difference manifest itself in the care taken by the servant-first to make sure that other people’s highest priority needs are being served. The best test, and difficult to administer, is: do those served grow as persons, do they grow while being served, become healthier, wiser, freer, more autonomous, more likely themselves to become servants?"(12) (Dimulai dengan perasaan yang natural bahwa seseorang yang ingin melayani harus terlebih dahulu melayani. Kemudian pilihan secara sadar membawa seseorang untuk memimpin. Perbedaan yang jelas dalam penekanan bahwa melayani terlebih dahulu, untuk memastikan kepentingan orang lain adalah prioritas untuk dilayani. Tes yang paling baik dan sulit untuk diatur adalah apakah mereka yang dilayani tumbuh secara pribadi, apakah mereka bertumbuh ketika dilayani, menjadi lebih sehat, bijak, bebas, lebih independen, lebih serupa dengan mereka sendiri untuk menjadi pelayan).
_____________________
9. Servant Leadership, http://en.wikipedia.org/wiki/Servant_leadership.
10. John MacArthur, Kitab Kepemimpinan: 26 Karakter Pemimpin Sejati (Jakarta: BPK, 2009), vii-ix.
11. ibid., viii-ix.
12. Servant Leadership, http://en.wikipedia.org/wiki/Servant_leadership
Dari dua konsep servant leadership versi Yesus dan versi ‘dunia’ terlihat ada kemiripan yaitu untuk melayani kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi. Namun jika diteliti lebih lanjut terlihat ada beberapa perbedaan yang mencolok:
Ada dimensi rohani yang membedakan antara servant leadership versi Alkitab dan servant leadership versi dunia yaitu peran Roh Kudus. Transformasi karakter orang percaya tidak hanya berdasar kekuatan diri sendiri melainkan kerja sama antara Roh Kudus dan diri sendiri. Transformasi non-kristen hanya bergantung pada diri sendiri 100%.
Ada perbedaan pengertian istilah “servant”. Salah satu istilah yang ada dalam Alkitab adalah doulos yang berarti sebagai budak. Jelas ada perbedaan besar antara seorang pelayan dan seorang budak. Seorang pelayan masih mempunyai hak sedangkan seorang budak tidak mempunyai hak apapun juga.
Ada perbedaan motivasi. Dunia memandang ‘servant leadership’ sebagai salah satu metode agar dapat memimpin dengan lebih baik. Motivasi orang percaya adalah untuk menjadi serupa dengan karakter Kristus dan melaksanakan servant leadership adalah akibat langsung dari perubahan karakter kita.
Arti Penting Organisasi
Pengertian Arti Penting Organisasi
Kehidupan manusia di dunia tidak dapat terlepas dari organisasi. Setiap hari kita berhubungan dan terlibat dengan organisasi dan hidup kita dipengaruhi dan mempengaruhi organisasi dalam derajat yang berbeda-beda. Secara sadar kita terlibat dalam organisasi sebagai siswa, karyawan, anggota gereja, warga negara dll.
Organisasi dapat didefinisikan sebagai suatu kelompok individu yang bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan bersama (13). Definisi yang lain menyatakan organisasi sebagai kesatuan yang memungkinkan masyarakat mencapai suatu tujuan yang tidak dapat dicapai individu secara perorangan (14). Dari dua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa organisasi dibentuk ‘by design’ untuk melayani kebutuhan manusia yang tidak dapat dicapai secara individu. Organisasi lebih dari sekedar alat untuk menyediakan barang dan jasa tetapi juga menyediakan lingkungan di mana sebagian besar dari kita menghabiskan kehidupan.
Sebuah studi tentang organisasi (termasuk oganisasi misi) terdiri dari individu, kelompok individu, struktur dan proses organisasi. Gibson, Ivancevich,dan Donnelly menggambarkan model organisasi sbb:
Perilaku di dalam organisasi: Individu
Perilaku dan perbedaan individu
Teori motivasi dan aplikasinya
Imbalan, hukuman, dan disiplin
Stress dan individu
_________________
______ 13. Zaki Baridwan, Sistem Akuntansi: Penyusunan Prosedur dan Metode (Yogyakarta: BPFE, 1990), 23.
14. James L. Gibson, John M. Ivancevich, dan James H. Donnelly, Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses (Jakarta: Erlangga, 1991), 7.
Perilaku dalam organisasi: kelompok dan pengaruh antar pribadi
Perilaku kelompok
Perilaku antar-kelompok dan penanganan konflik
Kekuasaan dan politik
Kepemimpinan
Struktur organisasi
Desain organisasi
Desain pekerjaan
Proses organisasi
Komunikasi
Pengambilan keputusan
Evaluasi prestasi kerja
Sosialisasi/karier
(15)
Semua komponen dari model organisasi di atas menunjukkan bahwa setiap perubahan variabel dapat mempengaruhi perilaku organisasi dan perilaku individu. Setiap perubahan pimpinan, perubahan struktur dan proses organisasi dll pasti mempunyai pengaruh dalam perilaku organisasi. Sebuah organisasi yang baik mempunyai visi dan misi yang jelas. Visi dan misi ini berfungsi sebagai dasar acuan organisasi untuk mencapai tujuan. Model organisasi di atas dibangun dengan dasar visi dan misi organisasi.
Ada perbedaan tujuan akhir antara organisasi dunia dan organisasi misi. Organisasi dunia di desain untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan oleh pemilik organisasi tersebut. Organisasi misi ada untuk melaksanakan Amanat Agung Kristus.
Visi dan Misi Organisasi Misi
Sebuah organisasi misi yang baik tentu dibangun dengan dasar-dasar kebenaran Alkitab. Kebenaran Alkitab adalah dasar penyusunan visi dan misi organisasi misi. Visi dan misi berfungsi sebagai acuan penyusunan model organisasi. Sebuah organisasi misi dapat mengalami perubahan dalam model organisasinya sesuai dengan konteks dan zaman tetapi visi dan misinya tidak boleh pernah berubah.
Perubahan dalam model organisasi dan manajemen organisasi misi adalah sebuah kebutuhan dalam zaman yang terus berubah ini. Hari ini organisasi misi terus bertumbuh dalam jumlah. Ironisnya persentase orang percaya di dunia tidak bertambah bahkan cenderung berkurang. Hal ini dapat dilihat dari tabel berikut: (16)
Tahun
Penduduk
Dunia
Orang
Kristen
Non-
Kristen
Persentase penduduk
Kristen terhadap pendu-
duk dunia
30
170 juta
?
170 juta
-
1900
1.620 juta
588 juta
1.602 juta
36,70
1960
3.010 juta
1.008 juta
2.002 juta
33,49
1981
4.585 juta
1.473 juta
3.019 juta
32,13
2000
6.240 juta
1.900 juta
4.340 juta
30,49
_________________
15. ibid., 12.
16. Veronika J. Elbers, Doa dan Misi (Malang: SAAT, 2007) 4.
Data di atas sudah seharusnya membunyikan alarm di kepala kita. Hal ini menuntut adanya evaluasi menyeluruh dari setiap gereja dan organisasi
misi akan efektifitas kegiatan program penginjilan di tempat masing-masing. Hal ini tentunya tidak mudah tapi perlu dan harus dilakukan. Saat ini memang benar ladang sudah menguning dan siap dituai tapi siapakah yang mau diutus untuk menuai? Mengapa ladang Tuhan sampai “kekurangan” pekerja-pekarja?. Tentunya hal ini rumit dan sangat kompleks untuk dibahas. Penulis mencoba membahas hanya dari satu segi saja dengan mengkaitkan peran kepemimpinan dalam organisasi misi sebagai penutup.
Penutup (Refleksi Pribadi)
Kepemimpinan Dalam Organisasi Misi
Ketika tokoh-tokoh seperti Sanders, Maxwell, MacArthur, Clinton, dll berteriak bahwa kita mengalami kekurangan pemimpin yang baik, pemimpin yang berkarakter seperti Kristus, sudah sepantasnya dan seharusnya kita semua berhenti sejenak dari rutinitas kegiatan sehari-hari dan memikirkan masalah ini.
Semakin hari gereja dan orang percaya mendapatkan serangan yang makin dahsyat baik dari dalam gereja (berupa perpecahan, perselisihan, lunturnya kepercayaan terhadap Alkitab, dll) dan dari luar gereja (serangan terhadap iman kristen, pengaruh negatif dunia seperti narsisme, hedonisme, matinya akal sehat dan hati nurani, dll). Di tengah kancah peperangan rohani yang semakin dahsyat hanya kata-kata Yesus di Yoh. 16:33 “....dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia” yang menjadi hiburan dan keyakinan bahwa Tuhan masih terus berkarya.
Mencermati maraknya gereja-gereja tertentu di Jakarta yang aktif membuka cabang di daerah-daerah (ibu kota provinsi) yang nota bene sudah dipenuhi oleh gereja-gereja yang sudah eksis menimbulkan pertanyaan: apakah gereja melakukan penginjilan atau berebut domba yang sudah ada?. Harus diakui dengan pertumbuhan jumlah orang kristen melalui angka kelahiran saja merupakan daya tarik untuk membuka cabang. Tapi pertanyaannya masih sama: inikah arti penginjilan?
Sementara itu gereja-gereja lainnya juga tidak kalah sibuk dengan dirinya yaitu sibuk mempertahankan tradisi, sibuk mempertahankan peraturan-peraturan tata cata gerejawi yang sebenarnya perlu di revisi agar sesuai dengan perkembangan zaman tanpa berkompromi dengan prinsip-prinsip kebenaran. Jumlah anggota terus berkurang tapi belum merasa perlu untuk berubah.
Di tengah situasi sulit seperti ini ada juga gereja-gereja yang sudah menyangkali imannya dengan ketidak-percayaan mereka terhadap ketidak-bersalahan teks Alkitab. Memang hal ini tidak dikatakan secara langsung pada jemaatnya tapi dukungan terhadap pandangan pluralisme yang mengedepankan universialisme keselamatan menjadi tanda bagi kita yang mencermatinya.
Pertanyaannya: apa penyebabnya?? dan apa solusinya??.
Penulis berpendapat penyebab dan solusinya sama, yaitu peran para pemimpin. Pemimpin dengan pengaruhnya mampu membawa pengikutnya ke manapun yang diinginkannya dengan memperalat Firman Tuhan.
Saat ini cukup banyak hamba Tuhan lulusan STT Injli yang sebenarnya belum siap untuk terjun ke masyarakat. Kurangnya pelajaran tentang manajemen, komunikasi, organisasi, kurangnya wawasan pribadi sangat mungkin menjadi gesekan dengan jemaat yang pada akhirnya membuat gap yang lebar. Karena itu solusi harus dimulai dari STT sebagai ‘pencetak’ hamba-hamba Tuhan yang siap pakai dalam dunia. Sudah waktunya STT membekali para mahasiswa dengan ilmu-ilmu praktis yang akan sangat berguna dalam ladang pelayanan. Kemudian pekerja-pekerja di ladang hendaknya terus meng-up grade ilmunya dengan terus belajar, baik ilmu teologi maupun ilmu pengetahuan praktis yang berguna untuk menunjang pelayanan.
Ada sebuah fenomena yang terjadi hari-hari ini yaitu ‘kebangkitan kaum awam’ dalam belajar teologi. Situs SADBA, Yabina, IRECS, Harvest, dll membuka kesempatan bagi non full timers untuk belajar teologi sampai tingkat D3. Bahkan STRIJ Jakarta baru saja melanjutkan program D3 menjadi D4 yang artinya setara dengan STh. Jangan sampai gereja dan organisasi misi melewatkan momentum ini begitu saja. ‘Kaum awam’ ini adalah bantuan yang dikirim Tuhan untuk lebih memperkaya dan memberikan wawasan baru bagi pelayanan kristen. Tentu saja agar kerja sama dapat terjadi diperlukan seorang pemimpin yang dihormati dan rajin, karena bagaimana ‘kaum awam’ dapat menghormati sang pemimpin jika malas?. Jadi hal ini adalah bantuan dan sekaligus peringatan bagi pemimpin untuk tidak diam dalam comfort zone pribadi.
Bibliografi
Baridwan, Zaki. Sistem Akuntansi: Penyusunan Prosedur dan Metode. Yogyakarta: BPFE, 1990.
Clinton, Richard dan Leavenworth, Paul. Memulai Dengan Baik: Membangun Kepemimpinan Yang Kokoh. Jakarta: Metanoia, 2004.
Elbers, Veronika J. Doa dan Misi, Malang: SAAT, 2007
Gibson, James L., Ivancevich, John M., dan Donnelly, James H. Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses. Jakarta: Erlangga, 1991.
MacArthur, John. Kitab Kepemimpinan: 26 Karakter Pemimpin Sejati. Jakarta: BPK, 2009.
Maxwell, John C. 21 Hukum Kepemimpinan Sejati. Batam: Interaksara, 2001.
Maxwell, John C. Mengembangkan Kepemimpinan Di Dalam Diri Anda. Jakarta: Binarupa Aksara, 1995.
Sanders, J. Oswald. Kepemimpinan Rohani. Bandung: Kalam Hidup, 1974.
_____________. Anda Bisa Menjadi Seorang Pengubah Dunia. Bandung: Pionir Jaya, 2008.
Sumber dari Internet:
Servant Leadership. http://en.wikipedia.org/wiki/Servant_leadership. diakses pada 03-06-2009.
Etika Bisnis Kristen
Pendahuluan
Seorang teman berkata bahwa bisnis itu buta etika, buta segala-galanya kecuali uang. Dengan kata lain dia mengatakan bahwa bisnis adalah sebuah dunia tersendiri yang terlepas dari nilai-nilai dan norma-norma kecuali peraturan yang berlaku saat itu, di tempat itu. Apa yang dilarang oleh peraturan, boleh jadi menjadi legal di waktu mendatang sehingga etika tidak lebih dari seperangkat peraturan yang dapat berubah tergantung situasi.
Boleh jadi pendapat di atas mewakili sebagian besar pendapat para pebisnis di dunia baik kristen maupun non-kristen. Harus diakui sebagai sebuah kegiatan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan hidup, bisnis merupakan ‘as’ yang menggerakkan kegiatan ekonomi. Perputaran modal yang sangat besar seringkali menghisap dan menghancurkan etika yang paling kokoh sekalipun. Karya tulis ini bermaksud untuk membahas perspektif etika kristen dalam bisnis secara teori dan dilengkapi dengan sebuah kasus nyata yang terjadi beserta rekomendasi keputusan etis yang perlu dilakukan berdasar iman kristen yang sejati.
Definisi Etika dan Moral
Ada berbagai macam definisi etika yang di berikan oleh para ahli. Iman mengutip dua di antara sebagai berikut:
Ethics is the discipline that deals with what is good and bad and with moral duty and obligation. Ethics can also be regarded as a set of moral principles or values. Morality is a doctrine or system of moral conduct. Moral conduct refers to that which relates to principles of right and wrong in behavior. Business ethics, therefore, is concerned with good and bad or right and wrong behavior that takes place within a business context. Concepts of right and wrong are increasingly being interpreted today to include the more difficult and subtle questions of fairness, justice, and equity.(Caroll & Buchholtz).
Ethics is a philosophical term derived from the Greek word “ethos,” meaning character or custom. This definition is germane to effective leadership in organizations in that it connotes an organization code conveying moral integrity and consistent values in service to the public (R. Sims).[1]
Etika adalah disiplin yang berkenaan dengan apa yang dianggap baik dan buruk dan dengan kewajiban moral dan kewajiban. Etika dapat juga diartikan sebagai seperangkat prinsip-prinsip moral atau nilai-nilai. Moralitas adalah doktrin atau sistem kebiasaan moralitas. Hal ini menunjukkan hubungan kepada prinsip-prinsip dari apa yang biasa dikatakan benar atau salah. Oleh karenanya, etika bisnis berkaitan dengan kebiasaan yang baik atau salah dalam suatu konteks tertentu. Konsep dari benar dan salah banyak diinterpretasikan hari ini untuk memahami pertanyaan sulit akan kepantasan, keadilan dan kesamaan (Caroll & Buchholtz).
Etika adalah istilah philosofis yang berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti karakter atau tradisi. Definisi ini relevan untuk menggambarkan kepemimpinan yang efektif dalam organisasi yang mengindikasikan sebuah kode organisasi yang berisi integritas moral dan nilai-nilai yang konsisten dalam melayani masyarakat (R. Sims).
Dari dua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa etika adalah seperangkat prinsip-prinsip moral atau nilai-nilai yang membedakan apa yang baik dan apa yang tidak baik. Sedangkan moral adalah sistem perbuatan yang mengacu pada prinsip-prinsip yang benar dan salah. McClendon, Jr. Mengatakan bahwa etika dan moral berkaitan baik dalam teori dan praktek. Etika adalah studi dari moral, sementara moral berarti tindakan nyata dari pandangan masyarakat dengan perhatian untuk benar dan salah, baik dan jahat, berkualitas tinggi dan berkualitas rendah. Etika biasanya diaplikasikan dari teori-teori moral yaitu cara atau gaya hidup. Dari sudut pandang sempit, moralitas terdiri dari studi tentang pemilihan dalam mengambil keputusan dan etika adalah bagaimana keputusan-keputusan dibuat atau bagaimana keputusan akan dibuat.[2] Dari pengertian tentang etika dan moral yang berlaku secara umum pada semua kepercayaan, timbul dua buah pertanyaan apakah ada perbedaan antara etika dunia dan etika kristen, dan antara etika bisnis dan etika bisnis kristen.
Etika Kristen dan Etika Bisnis Kristen
Konsep Etika Kristen dan Etika Non-Kristen
Etika kristen menurut McClendon, Jr. adalah mengacu pada teori-teori dari gaya hidup hidup kristen[3]. Sedangkan Hill mendefinisikan etika kristen sebagai aplikasi dari nilai-nilai kristiani terhadap proses pengambilan keputusan itu[4]. Dari definisi di atas, ternyata ada sebuah perbedaan fundamental antara etika kristen dan etika non-kristen yaitu pada acuan dasarnya. Etika non-kristen mengacu pada nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat tertentu, dalam waktu yang tertentu dan dapat berubah. Sebaliknya, etika kristen mengacu pada kebenaran prinsip-prinsip Firman Tuhan yang berlaku secara universal dan tidak akan pernah berubah. Dengan kata lain etika non-kristen mempunyai dasar kebenaran yang relatif sedangkan etika kristen mempunyai dasar kebenaran asali yang kekal. Dengan adanya perbedaan yang mendasar antara etika non-kristen dan etika kristen, apakah ada perbedaan serupa antara etika bisnis dan etika bisnis kristen?
Etika Bisnis dan Etika Bisnis Kristen
Sebelum mengulas lebih jauh, ada baiknya kita meninjau pengertian dari etika bisnis terlebih dahulu. Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan,vinstitusi, dan perilaku bisnis. Etika bisnis merupakan studi standar formal dan bagaimana standar itu diterapkan ke dalam system dan organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa dan diterapkan kepada orang-orang yang ada di dalam organisasi. [5]
Di pihak lain, pandangan gereja terhadap bisnis dapat berbeda-beda. Sejarah mencatat dunia Yunani tidak mempunyai konsep tentang “panggilan” (vocation) dan menganggap bekerja adalah sebagai kutukan. Pola pikir ini sangat mempengaruhi pandangan gereja mula-mula sehingga sebagian besar bapa-bapa gereja mula-mula (kecuali Clement dari Alexandria) menerapkan pendekatan “atas dan bawah” dalam kehidupan. Berada dalam urutan tertinggi adalah rohaniawan yang tidak melakukan pekerjaan biasa di dunia. Secara universal, bidang bisnis biasanya menempati urutan kedua atau bahkan ketiga. Pada abad ke-15, hanya para rohaniawan yang dianggap menerima panggilan sedangkan orang percaya lainnya dianggap tidak mempunyai panggilan. Pandangan ini mulai berubah ketika Martin Luther dan diikuti John Calvin dan kaum Puritan mengungkapkan bahwa “kita tidak memilih, kita dipanggil, dan kita semua dipanggil”. [6] Pandangan para reformator benar-benar menjadi dasar bagi bisnis yang dilakukan oleh orang percaya dan membongkar pandangan umum yang selama ini salah kaprah karena “panggilan telah disekulerkan di dunia dan disakralkan di gereja”.
Walaupun konsep bekerja telah dikembalikan ke posisinya semula melalui para reformator, dewasa ini masih ada gereja yang berpandangan mendua tentang bisnis, seperti yang dikutip oleh Krisanto mengenai sikap gereja terhadap dunia bisnis dalam artikel utama majalah ‘Mitra GKI’ yang mengelompokkan sikap gereja ke dalam lima macam:
(1) Bukan urusan – ekonomi adalah urusan duniawi, gereja tidak sepatutnya mengurusi masalah perekonomian.
(2) Krisis/Anti – berbeda dengan yang pertama, pandangan ini tidak anti-ekonomi melainkan anti-kapitalisme serta menekankan social gospel.
(3) Mengatur – agak jarang di Indonesia, gereja mengatur perekonomian jemaatnya, menerapkan pajak untuk gereja dan tidak jarang praktek-praktek yang menggambarkan bahwa tak bedanya sebuah perusahaan.
(4) Kolaborasi – pada prinsipnya bahwa gereja dan ekonomi saling mendukung. Seperti yang ditemukan secara tidak disengaja oleh Max Weber (sosiolog Jerman), tentang pengaruh etika protestan (Calvinisme) terhadap kemajuan ekonomi dibeberapa negara Eropa Barat bagian utara.
(5) Alternatif – reaksi dari sistem perekonomian kapitalis yang terlalu membuka kesempatan individu untuk meraih kesuksesan tanpa memperdulikan pihak lain, pandangan ini berupaya membuat alternatif lain dalam dunia ekonomi.[7]
Dengan kegamangan sebagian gereja dalam menyikapi bisnis seperti yang diungkapkan di atas, merupakan hal yang lebih sulit untuk berbicara tentang etika bisnis. Oleh karenanya penulis mengambil sikap berdasarkan referensi dari buku-buku dari Paul Stevens, Michael Baer, Robert Banks, dan Gordon Smith bahwa melakukan bisnis adalah panggilan dari Allah dan sama nilainya dengan panggilan-panggilan yang lain termasuk panggilan sebagai hamba Tuhan.
Rupa-rupanya dengan pengertian bahwa melakukan bisnis adalah panggilan dari Allah sendiri, John Maxwell memberikan sebuah pernyataan yang cukup mengejutkan bahwa etika bisnis (kristen) tidak ada. Maksud Maxwell adalah etika bisnis (kristen) tidak ada, yang ada hanyalah etika tunggal bagi setiap aspek kehidupan. Dengan menerapkan satu set etika bagi hidup profesional, satu set etika bagi hidup spiritual, dan satu lagi untuk kehidupan bersama keluarga, akan menjerumuskan manusia dalam kesulitan.[8] Dari penjelasan ini kita mendapati bahwa etika bisnis kristen sebenarnya bukanlah sekedar mengaplikasikan prinsip-prinsip nilai dan norma kristiani dalam bisnis, melainkan suatu aplikasi dari perubahan hidup orang percaya yang memancar dari dalam ke luar. Perubahan hidup itu merubah seluruh aspek hidup pribadi menjadi semakin serupa dengan karakter Kristus.
Etika Kristen
Maxwell mengungkapkan adanya satu peraturan/pedoman bagi semua orang yaitu aturan emas yang diambil dari Matius 7:12a, yaitu “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka”. Menurut Maxwell, peraturan emas melintasi batas-batas budaya dan agama serta dianut banyak orang di seluruh penjuru dunia karena merupakan pedoman etika paling universal yang dapat ditemukan manusia.[9]
Maxwell mungkin terlalu menyederhanakan etika hanya dengan sebuah ayat dalam Firman Tuhan karena Barnette mendefinisikan etika kristen sebagai “Penjelasan yang sistematis dari contoh-contoh moral dan pengajaran dari Yesus yang diaplikasikan terhadap hidup secara total dari pribadi manusia dalam lingkungan sosial dan diaktualisasikan oleh kekuatan Roh.[10] Senada dengan Barnette, Ramsey mengatakan bahwa etika kristen berakar dalam Kitab Suci dan dalam aktivitas Kovenan Tuhan dengan manusia. Kovenan Tuhan dengan manusia menghasilkan kasih Tuhan dalam dua sumber yaitu kebenaran Tuhan dan kerajaan Tuhan dalam ajaran Yesus.[11]
Dari penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa etika bisnis kristen adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari etika kristen. Etika kristen yang sejati berdasarkan transformasi hidup yang dilakukan oleh Roh Kudus sehingga rasio, emosi, dan kehendaknya semakin hari semakin diproses sehingga mampu hidup sesuai dengan prinsip-prinsip Firman Tuhan. Dengan kata lain sebagai orang-orang yang lahir baru, kita mendapatkan hidup yang baru dan berjalan dalam proses pengudusan bersama Roh Kudus agar tabiat dan kepribadian kita diubah-Nya dari dalam ke luar. Batin yang diperbaharui akan menghasilkan perbuatan yang baik pula. Jadi Yesus menekankan pada pembaharuan hati (motivasi) daripada perilaku secara lahiriah.
Contoh Kasus Pengambilan Keputusan etis
Untuk mengambil keputusan etis dalam bisnis diperlukan beberapa pedoman. Brownlee menyajikan lima faktor yang mempengaruhi keputusan etis, yaitu: iman, tabiat, lingkungan sosial, norma-norma, dan situasi.
Iman
Ada empat unsur iman yang membentuk satu kesatuan yang hidup:
· Iman sebagai kepercayaan dan kesetiaan kita kepada sesuatu yang kita anggap terpenting.
· Iman sebagai hubungan perorangan dengan Allah.
· Iman sebagai pengikutsertaan dalam pekerjaan Allah.
· Iman sebagai pendirian tentang apa yang benar.
Tabiat atau Karakter
Tabiat adalah susunan batin (sifat) seseorang yang dibentuk melalui interaksi dengan lingkungan dan Allah, yang memberi arah kepada keinginan dan perbuatan orang itu. Sedangkan watak adalah pembawaan lahir sehinga bersifat tetap.
Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial mempengaruhi pengambilan keputusan etis tapi tidak menentukan keputusan etis. Lingkungan sosial seperti keluarga, sekolah, gereja, dan budaya mempengaruhi norma-norma dan nilai-nilai moral walau pada akhirnya kita sendiri yang memutuskan dan bertanggung jawab pada keputusan dan perbuatan diri sendiri.
Norma-norma
Norma adalah patokan yang dipakai untuk menilai perbuatan manusia dan menolong manusia untuk mengambil keputusan yang benar. Dua jenis norma yang terpenting adalah prinsip-prinsip yang memberikan bimbingan secara umum dan peraturan-peraturan yang lebih spesifik. Sumber yang paling berotoritas untuk norma-norma bagi orang kristen adalah Alkitab.
Situasi
Pengertian mengenai situasi penting karena:
Agar dapat menerapkan norma-norma dan nilai-nilai etis kepada situasi tersebut.
Agar dapat melakukan perbuatan yang tepat dan berguna dalam situasi tersebut.
Agar dapat mengetahui masalah-masalah yang memerlukan perhatian. [12]
Kasus: Merck dan River Blindness
Tidak ada cara yang paling baik untuk memulai penelaahan hubungan antara etika dan bisnis selain dengan mengamati, bagaimanakah perusahaan riil telah benar-benar berusaha untuk menerapkan etika ke dalam bisnis. Dalam hal ini kasus perusahaan Merck and Company dalam menangani masalah “river blindness” dapat menjadi kasus yang sempurna. River blindness adalah penyakit sangat tak tertahankan yang menjangkau 18 juta penduduk miskin di desa-desa terpencil di pinggiran sungai Afrika dan Amerika Latin. Penyakit dengan penyebab cacing parasit ini berpindah dari tubuh melalui gigitan lalat hitam. Cacing ini hidup dibawah kulit manusia, dan bereproduksi dengan melepaskan jutaan keturunannya yang disebut microfilaria yang menyebar ke seluruh tubuh dengan bergerak-gerak di bawah kulit, meninggalkan bercak-bercak, menyebabkan lepuh-lepuh dan gatal yang amat sangat tak tertahankan, sehingga korban kadang-kadang memutuskan bunuh diri.
Pada tahun 1979, Dr. Wiliam Campbell, ilmuwan peneliti pada Merck and Company, perusahaan obat Amerika, menemukan bukti bahwa salah satu obat-obatan hewan yang terjual laris dari perusahaan itu, Invernectin, dapat menyembuhkan parasit penyebab river blindness. Campbell dan tim risetnya mengajukan permohonan kepada Direktur Merck, Dr. P. Roy Vagelos, agar mengijinkan mereka mengembangkan obat tersebut untuk manusia.
Para manajer Merck sadar bahwa kalau sukses mengembangkan obat tersebut, penderita river blindness terlalu miskin untuk membelinya. Padahal biaya riset medis dan tes klinis berskala besar untuk obat-obatan manusia dapat menghabiskan lebih dari 100 juta dollar. Bahkan, kalau obat tersebut terdanai, tidak mungkin dapat mendistribusikannya, karena penderita tinggal di daerah terpencil. Kalau obat itu mengakibatkan efek samping, publisitas buruk akan berdampak pada penjualan obat Merck. Kalau obat murah tersedia, obat dapat diselundupkan ke pasar gelap dan dijual untuk hewan,sehingga menghancurkan penjualan Invernectin ke dokter hewan yang selama ini menguntungkan.
Meskipun Merck penjualannya mencapai $2 milyar per tahun, namun pendapatan
bersihnya menurun akibat kenaikan biaya produksi, dan masalah lainnya, termasuk
kongres USA yang siap mengesahkan Undang-Undang Regulasi Obat yang akhirnya akan berdampak pada pendapatan perusahaan. Karena itu, para manajer Merck enggan membiayai proyek mahal yang menjanjikan sedikit keuntungan, seperti untuk river blindness. Namun tanpa obat, jutaan orang terpenjara dalam penderitaan menyakitkan.
Melewati banyak diskusi, mereka sampai pada kesimpulan bahwa keuntungan manusiawi atas obat untuk river blindness terlalu signifikan untuk diabaikan. Keuntungan manusiawi inilah, secara moral perusahaan wajib mengenyampingkan biaya dan imbal ekonomis yang kecil. Tahun 1980 disetujuilah anggaran besar untuk mengembangkan Invernectin versi manusia.
Tujuh tahun riset mahal dilakukan dengan banyak percobaan klinis, Merck berhasil
membuat pil obat baru yang dimakan sekali setahun akan melenyapkan seluruh jejak parasit penyebab river blindness dan mencegah infeksi baru. Sayangnya tidak ada yang mau membeli obat ajaib tersebut, termasuk saran kepada WHO, pemerintah AS dan pemerintah negara-negara yang terjangkit penyakit tersebut, mau membeli untuk melindungi 85 juta orang beresiko terkena penyakit ini, tapi tak satupun menanggapi permohonan itu. Akhirnya Merck memutuskan memberikan secara gratis obat tersebut, namun tidak ada saluran distribusi untuk menyalurkan kepada penduduk yang memerlukan. Bekerjasama dengan WHO, perusahaan membiayai komite untuk mendistribusikan obat secara aman kepada negara dunia ketiga, dan memastikan obat tidak akan dialihkan ke pasar gelap dan menjualnya untuk hewan. Tahun 1996, komite mendistribusikan obat untuk jutaan orang, yang secara efektif mengubah hidup penderita dari penderitaan yang amat sangat, dan potensi kebutaan akibat penyakit tersebut.
Merck menginvestasikan banyak uang untuk riset, membuat dan mendistribusikan obat yang tidak menghasilkan uang, karena menurut Vegalos pilihan etisnya adalah mengembangkannya, dan penduduk dunia ketiga akan mengingat bahwa Merck membantu mereka dan akan mengingat di masa yang akan datang. Selama bertahun-tahun perusahaan belajar bahwa tindakan semacam itu memiliki keuntungan strategis jangka panjang yang penting.[13]
Tanggapan
Secara sekilas kasus Merck dengan penyakit river blindness merupakan contoh pengambilan etika bisnis yang sempurna. Dari lima faktor yang dikemukakan oleh Brownlee, Merck telah bertindak dengan tepat hampir pada setiap faktor. Hanya pada kategori iman yang tidak dijadikan alasan pengambilan keputusan untuk melakukan riset, memproduksi dan mendistribusikan obat invernectin kepada para penderita ‘river blindness’ di dunia ketiga.
Satu hal yang mengurangi pujian kepada Merck adalah kenyataan bahwa pemberiaan obat invernectin secara gratis adalah motivasi bahwa penduduk dunia ketiga akan mengingat budi baik Merck sehingga bisnis Merck mendapatkan keuntungan secara jangka panjang. Bahkan pemberian gratis obat invernectin dapat dipertanyakan bila keuntungan yang didapat Merck dalam jangka panjang akan jauh lebih besar dari pada biaya yang digunakan untuk membuat dan mendistribusikan invernectin. Bila hal ini yang terjadi, ada kemungkinan Merck hanya menganggap invernectin sebagai biaya advertising jangka panjang. Melihat omzet Merck sebesar $ 2 milyar, maka biaya invernectin sebesar $100 juta hanyalah sebesar 5% saja. Jumlah 5% bagi industri obat sangatlah kecil dibandingkan keuntungan puluhan persen yang didapat secara normal dalam bisnisnya. Penulis memperkirakan hal ini mengingat perbandingan harga antara harga obat generik yang mempunyai komposisi sama dengan obat yang ber-merk hanyalah sekitar 10% saja. Perhitungan secara kasar menunjukkan bahwa perusahaan obat mendapatkan keuntungan kotor lebih dari 90%. 5% yang dikeluarkan Merck dapat dianggap sebagai biaya atau investasi yang bahkan di Amerika Serikat dapat diperhitungkan sebagai sumbangan yang mengurangi pembayaran pajak kepada negara.
Terlepas dari perhitungan strategi jangka panjang Merck, apa yang dilakukan sungguh bagaikan oase di tengah padang gurun. Di tengah dunia yang narsis, ternyata masih ada perusahaan multi-nasional yang ‘ringan tangan’ dalam membantu sesama.
Etika bisnis Merck ditinjau dari iman kristiani hanya mempunyai satu kekurangan yaitu iman dikaitkan dengan motivasi. Bagaimanapun apa yang dilakukan Merck masih mengandung motivasi bagi keuntungan diri sendiri. Di pihak lain, iman kristiani mengajarkan etika adalah apa yang keluar dari dalam hati tanpa mempunyai motivasi bagi keuntungan diri sendiri. Apa yang keluar dari dalam hati adalah berdasar pada karakter Allah sehingga pengambilan etika harus berdasar pada kekudusan, kasih, dan keadilan Allah.[14] Jadi perbedaan antara etika bisnis kristen dan non-kristen adalah pada faktor iman dalam Kristus.
Penutup
Dasar dari etika kristen dalam berbisnis bukan nilai-nilai atau moralitas yang berlaku dalam sebuah masyarakat melainkan pada karakter Allah yang dinyatakan dalam Firman-Nya. Nilai-nilai dan moralitas akan dan pasti mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan zaman, tetapi Allah Alkitab tidak pernah berubah dulu, sekarang, dan selama-lamanya.
Bisnis orang kristen sebagai salah satu bagian dari kehidupan kristiani selayaknya menaklukkan diri di bawah terang Firman Tuhan dan tidak terombang-ambingkan mengikuti etika dunia yang selalu berubah. Hanya melalui kelahiran baru dan proses pengudusan yang dikerjakan oleh Roh Kudus yang memungkinkan orang percaya menjadi manusia yang orisinil. Menjadi manusia yang orisinil adalah menjadi manusia yang seutuhnya, yang mempunyai etika yang sama di gereja, di kantor, dan di keluarga.
[1] Nofie Iman, Etika Bisnis Dan Bisnis Beretika, http://nofieiman.com/2006/10/etika-bisnis-dan-bisnis-beretika/. Diakses pada 30 Agustus 2009.
[2] James William McCleandon, Jr., Systematic Theology Ethics, (Nashville, TN: Abingdon Press, 1986), 47.
[3] Ibid., 47.
[4] Alexander Hill, Bisnis Yang Benar, (Bandung: Kalam Hidup, 2001), 10.
[5] Etika Dan Bisnis, http://entrepreneur.gunadarma.ac.id/elearning/attachments/040_etika%20bisnis%20dan%20kewirausahaan.pdf. Diakses pada 30 Agustus 2009.
[6] Paul Stevens, God’s Business: Memaknai Bisnis Secara Kristiani, (Jakarta: BPK, 2008), 55-64.
[7] Martin Krisanto N., Dunia Bisnis Dalam Perspektif Kristen, http://forumteologi.com/blog/2007/04/25/dunia-bisnis-dalam-perspektif-kristen/. Diakses pada 31 Agustus 2009.
[8] John C. Maxwell, Etika: Yang Perlu Diketahui Setiap pemimpin, (Jakarta: Libri, 2008), xi.
[9] Ibid., 17-19.
[10] Henlee H. Barnette, Introducing Christian Ethics, (Nashville, Tennessee: Broadman Press, 1961), 3.
[11] Paul Ramsey, Basic Christian Ethics, (Louisville, Kentucky: Westminster/John Knox Press, 1993), xiii-xiv.
[12] Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis Dan Faktor-Faktor Di Dalamnya, (Jakarta: BPK, 1987), 70-214.
[13] Ibid., Etika Dan Bisnis.
[14] Ibid., Bisnis Yang Benar, 15.
Seorang teman berkata bahwa bisnis itu buta etika, buta segala-galanya kecuali uang. Dengan kata lain dia mengatakan bahwa bisnis adalah sebuah dunia tersendiri yang terlepas dari nilai-nilai dan norma-norma kecuali peraturan yang berlaku saat itu, di tempat itu. Apa yang dilarang oleh peraturan, boleh jadi menjadi legal di waktu mendatang sehingga etika tidak lebih dari seperangkat peraturan yang dapat berubah tergantung situasi.
Boleh jadi pendapat di atas mewakili sebagian besar pendapat para pebisnis di dunia baik kristen maupun non-kristen. Harus diakui sebagai sebuah kegiatan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan hidup, bisnis merupakan ‘as’ yang menggerakkan kegiatan ekonomi. Perputaran modal yang sangat besar seringkali menghisap dan menghancurkan etika yang paling kokoh sekalipun. Karya tulis ini bermaksud untuk membahas perspektif etika kristen dalam bisnis secara teori dan dilengkapi dengan sebuah kasus nyata yang terjadi beserta rekomendasi keputusan etis yang perlu dilakukan berdasar iman kristen yang sejati.
Definisi Etika dan Moral
Ada berbagai macam definisi etika yang di berikan oleh para ahli. Iman mengutip dua di antara sebagai berikut:
Ethics is the discipline that deals with what is good and bad and with moral duty and obligation. Ethics can also be regarded as a set of moral principles or values. Morality is a doctrine or system of moral conduct. Moral conduct refers to that which relates to principles of right and wrong in behavior. Business ethics, therefore, is concerned with good and bad or right and wrong behavior that takes place within a business context. Concepts of right and wrong are increasingly being interpreted today to include the more difficult and subtle questions of fairness, justice, and equity.(Caroll & Buchholtz).
Ethics is a philosophical term derived from the Greek word “ethos,” meaning character or custom. This definition is germane to effective leadership in organizations in that it connotes an organization code conveying moral integrity and consistent values in service to the public (R. Sims).[1]
Etika adalah disiplin yang berkenaan dengan apa yang dianggap baik dan buruk dan dengan kewajiban moral dan kewajiban. Etika dapat juga diartikan sebagai seperangkat prinsip-prinsip moral atau nilai-nilai. Moralitas adalah doktrin atau sistem kebiasaan moralitas. Hal ini menunjukkan hubungan kepada prinsip-prinsip dari apa yang biasa dikatakan benar atau salah. Oleh karenanya, etika bisnis berkaitan dengan kebiasaan yang baik atau salah dalam suatu konteks tertentu. Konsep dari benar dan salah banyak diinterpretasikan hari ini untuk memahami pertanyaan sulit akan kepantasan, keadilan dan kesamaan (Caroll & Buchholtz).
Etika adalah istilah philosofis yang berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti karakter atau tradisi. Definisi ini relevan untuk menggambarkan kepemimpinan yang efektif dalam organisasi yang mengindikasikan sebuah kode organisasi yang berisi integritas moral dan nilai-nilai yang konsisten dalam melayani masyarakat (R. Sims).
Dari dua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa etika adalah seperangkat prinsip-prinsip moral atau nilai-nilai yang membedakan apa yang baik dan apa yang tidak baik. Sedangkan moral adalah sistem perbuatan yang mengacu pada prinsip-prinsip yang benar dan salah. McClendon, Jr. Mengatakan bahwa etika dan moral berkaitan baik dalam teori dan praktek. Etika adalah studi dari moral, sementara moral berarti tindakan nyata dari pandangan masyarakat dengan perhatian untuk benar dan salah, baik dan jahat, berkualitas tinggi dan berkualitas rendah. Etika biasanya diaplikasikan dari teori-teori moral yaitu cara atau gaya hidup. Dari sudut pandang sempit, moralitas terdiri dari studi tentang pemilihan dalam mengambil keputusan dan etika adalah bagaimana keputusan-keputusan dibuat atau bagaimana keputusan akan dibuat.[2] Dari pengertian tentang etika dan moral yang berlaku secara umum pada semua kepercayaan, timbul dua buah pertanyaan apakah ada perbedaan antara etika dunia dan etika kristen, dan antara etika bisnis dan etika bisnis kristen.
Etika Kristen dan Etika Bisnis Kristen
Konsep Etika Kristen dan Etika Non-Kristen
Etika kristen menurut McClendon, Jr. adalah mengacu pada teori-teori dari gaya hidup hidup kristen[3]. Sedangkan Hill mendefinisikan etika kristen sebagai aplikasi dari nilai-nilai kristiani terhadap proses pengambilan keputusan itu[4]. Dari definisi di atas, ternyata ada sebuah perbedaan fundamental antara etika kristen dan etika non-kristen yaitu pada acuan dasarnya. Etika non-kristen mengacu pada nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat tertentu, dalam waktu yang tertentu dan dapat berubah. Sebaliknya, etika kristen mengacu pada kebenaran prinsip-prinsip Firman Tuhan yang berlaku secara universal dan tidak akan pernah berubah. Dengan kata lain etika non-kristen mempunyai dasar kebenaran yang relatif sedangkan etika kristen mempunyai dasar kebenaran asali yang kekal. Dengan adanya perbedaan yang mendasar antara etika non-kristen dan etika kristen, apakah ada perbedaan serupa antara etika bisnis dan etika bisnis kristen?
Etika Bisnis dan Etika Bisnis Kristen
Sebelum mengulas lebih jauh, ada baiknya kita meninjau pengertian dari etika bisnis terlebih dahulu. Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan,vinstitusi, dan perilaku bisnis. Etika bisnis merupakan studi standar formal dan bagaimana standar itu diterapkan ke dalam system dan organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa dan diterapkan kepada orang-orang yang ada di dalam organisasi. [5]
Di pihak lain, pandangan gereja terhadap bisnis dapat berbeda-beda. Sejarah mencatat dunia Yunani tidak mempunyai konsep tentang “panggilan” (vocation) dan menganggap bekerja adalah sebagai kutukan. Pola pikir ini sangat mempengaruhi pandangan gereja mula-mula sehingga sebagian besar bapa-bapa gereja mula-mula (kecuali Clement dari Alexandria) menerapkan pendekatan “atas dan bawah” dalam kehidupan. Berada dalam urutan tertinggi adalah rohaniawan yang tidak melakukan pekerjaan biasa di dunia. Secara universal, bidang bisnis biasanya menempati urutan kedua atau bahkan ketiga. Pada abad ke-15, hanya para rohaniawan yang dianggap menerima panggilan sedangkan orang percaya lainnya dianggap tidak mempunyai panggilan. Pandangan ini mulai berubah ketika Martin Luther dan diikuti John Calvin dan kaum Puritan mengungkapkan bahwa “kita tidak memilih, kita dipanggil, dan kita semua dipanggil”. [6] Pandangan para reformator benar-benar menjadi dasar bagi bisnis yang dilakukan oleh orang percaya dan membongkar pandangan umum yang selama ini salah kaprah karena “panggilan telah disekulerkan di dunia dan disakralkan di gereja”.
Walaupun konsep bekerja telah dikembalikan ke posisinya semula melalui para reformator, dewasa ini masih ada gereja yang berpandangan mendua tentang bisnis, seperti yang dikutip oleh Krisanto mengenai sikap gereja terhadap dunia bisnis dalam artikel utama majalah ‘Mitra GKI’ yang mengelompokkan sikap gereja ke dalam lima macam:
(1) Bukan urusan – ekonomi adalah urusan duniawi, gereja tidak sepatutnya mengurusi masalah perekonomian.
(2) Krisis/Anti – berbeda dengan yang pertama, pandangan ini tidak anti-ekonomi melainkan anti-kapitalisme serta menekankan social gospel.
(3) Mengatur – agak jarang di Indonesia, gereja mengatur perekonomian jemaatnya, menerapkan pajak untuk gereja dan tidak jarang praktek-praktek yang menggambarkan bahwa tak bedanya sebuah perusahaan.
(4) Kolaborasi – pada prinsipnya bahwa gereja dan ekonomi saling mendukung. Seperti yang ditemukan secara tidak disengaja oleh Max Weber (sosiolog Jerman), tentang pengaruh etika protestan (Calvinisme) terhadap kemajuan ekonomi dibeberapa negara Eropa Barat bagian utara.
(5) Alternatif – reaksi dari sistem perekonomian kapitalis yang terlalu membuka kesempatan individu untuk meraih kesuksesan tanpa memperdulikan pihak lain, pandangan ini berupaya membuat alternatif lain dalam dunia ekonomi.[7]
Dengan kegamangan sebagian gereja dalam menyikapi bisnis seperti yang diungkapkan di atas, merupakan hal yang lebih sulit untuk berbicara tentang etika bisnis. Oleh karenanya penulis mengambil sikap berdasarkan referensi dari buku-buku dari Paul Stevens, Michael Baer, Robert Banks, dan Gordon Smith bahwa melakukan bisnis adalah panggilan dari Allah dan sama nilainya dengan panggilan-panggilan yang lain termasuk panggilan sebagai hamba Tuhan.
Rupa-rupanya dengan pengertian bahwa melakukan bisnis adalah panggilan dari Allah sendiri, John Maxwell memberikan sebuah pernyataan yang cukup mengejutkan bahwa etika bisnis (kristen) tidak ada. Maksud Maxwell adalah etika bisnis (kristen) tidak ada, yang ada hanyalah etika tunggal bagi setiap aspek kehidupan. Dengan menerapkan satu set etika bagi hidup profesional, satu set etika bagi hidup spiritual, dan satu lagi untuk kehidupan bersama keluarga, akan menjerumuskan manusia dalam kesulitan.[8] Dari penjelasan ini kita mendapati bahwa etika bisnis kristen sebenarnya bukanlah sekedar mengaplikasikan prinsip-prinsip nilai dan norma kristiani dalam bisnis, melainkan suatu aplikasi dari perubahan hidup orang percaya yang memancar dari dalam ke luar. Perubahan hidup itu merubah seluruh aspek hidup pribadi menjadi semakin serupa dengan karakter Kristus.
Etika Kristen
Maxwell mengungkapkan adanya satu peraturan/pedoman bagi semua orang yaitu aturan emas yang diambil dari Matius 7:12a, yaitu “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka”. Menurut Maxwell, peraturan emas melintasi batas-batas budaya dan agama serta dianut banyak orang di seluruh penjuru dunia karena merupakan pedoman etika paling universal yang dapat ditemukan manusia.[9]
Maxwell mungkin terlalu menyederhanakan etika hanya dengan sebuah ayat dalam Firman Tuhan karena Barnette mendefinisikan etika kristen sebagai “Penjelasan yang sistematis dari contoh-contoh moral dan pengajaran dari Yesus yang diaplikasikan terhadap hidup secara total dari pribadi manusia dalam lingkungan sosial dan diaktualisasikan oleh kekuatan Roh.[10] Senada dengan Barnette, Ramsey mengatakan bahwa etika kristen berakar dalam Kitab Suci dan dalam aktivitas Kovenan Tuhan dengan manusia. Kovenan Tuhan dengan manusia menghasilkan kasih Tuhan dalam dua sumber yaitu kebenaran Tuhan dan kerajaan Tuhan dalam ajaran Yesus.[11]
Dari penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa etika bisnis kristen adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari etika kristen. Etika kristen yang sejati berdasarkan transformasi hidup yang dilakukan oleh Roh Kudus sehingga rasio, emosi, dan kehendaknya semakin hari semakin diproses sehingga mampu hidup sesuai dengan prinsip-prinsip Firman Tuhan. Dengan kata lain sebagai orang-orang yang lahir baru, kita mendapatkan hidup yang baru dan berjalan dalam proses pengudusan bersama Roh Kudus agar tabiat dan kepribadian kita diubah-Nya dari dalam ke luar. Batin yang diperbaharui akan menghasilkan perbuatan yang baik pula. Jadi Yesus menekankan pada pembaharuan hati (motivasi) daripada perilaku secara lahiriah.
Contoh Kasus Pengambilan Keputusan etis
Untuk mengambil keputusan etis dalam bisnis diperlukan beberapa pedoman. Brownlee menyajikan lima faktor yang mempengaruhi keputusan etis, yaitu: iman, tabiat, lingkungan sosial, norma-norma, dan situasi.
Iman
Ada empat unsur iman yang membentuk satu kesatuan yang hidup:
· Iman sebagai kepercayaan dan kesetiaan kita kepada sesuatu yang kita anggap terpenting.
· Iman sebagai hubungan perorangan dengan Allah.
· Iman sebagai pengikutsertaan dalam pekerjaan Allah.
· Iman sebagai pendirian tentang apa yang benar.
Tabiat atau Karakter
Tabiat adalah susunan batin (sifat) seseorang yang dibentuk melalui interaksi dengan lingkungan dan Allah, yang memberi arah kepada keinginan dan perbuatan orang itu. Sedangkan watak adalah pembawaan lahir sehinga bersifat tetap.
Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial mempengaruhi pengambilan keputusan etis tapi tidak menentukan keputusan etis. Lingkungan sosial seperti keluarga, sekolah, gereja, dan budaya mempengaruhi norma-norma dan nilai-nilai moral walau pada akhirnya kita sendiri yang memutuskan dan bertanggung jawab pada keputusan dan perbuatan diri sendiri.
Norma-norma
Norma adalah patokan yang dipakai untuk menilai perbuatan manusia dan menolong manusia untuk mengambil keputusan yang benar. Dua jenis norma yang terpenting adalah prinsip-prinsip yang memberikan bimbingan secara umum dan peraturan-peraturan yang lebih spesifik. Sumber yang paling berotoritas untuk norma-norma bagi orang kristen adalah Alkitab.
Situasi
Pengertian mengenai situasi penting karena:
Agar dapat menerapkan norma-norma dan nilai-nilai etis kepada situasi tersebut.
Agar dapat melakukan perbuatan yang tepat dan berguna dalam situasi tersebut.
Agar dapat mengetahui masalah-masalah yang memerlukan perhatian. [12]
Kasus: Merck dan River Blindness
Tidak ada cara yang paling baik untuk memulai penelaahan hubungan antara etika dan bisnis selain dengan mengamati, bagaimanakah perusahaan riil telah benar-benar berusaha untuk menerapkan etika ke dalam bisnis. Dalam hal ini kasus perusahaan Merck and Company dalam menangani masalah “river blindness” dapat menjadi kasus yang sempurna. River blindness adalah penyakit sangat tak tertahankan yang menjangkau 18 juta penduduk miskin di desa-desa terpencil di pinggiran sungai Afrika dan Amerika Latin. Penyakit dengan penyebab cacing parasit ini berpindah dari tubuh melalui gigitan lalat hitam. Cacing ini hidup dibawah kulit manusia, dan bereproduksi dengan melepaskan jutaan keturunannya yang disebut microfilaria yang menyebar ke seluruh tubuh dengan bergerak-gerak di bawah kulit, meninggalkan bercak-bercak, menyebabkan lepuh-lepuh dan gatal yang amat sangat tak tertahankan, sehingga korban kadang-kadang memutuskan bunuh diri.
Pada tahun 1979, Dr. Wiliam Campbell, ilmuwan peneliti pada Merck and Company, perusahaan obat Amerika, menemukan bukti bahwa salah satu obat-obatan hewan yang terjual laris dari perusahaan itu, Invernectin, dapat menyembuhkan parasit penyebab river blindness. Campbell dan tim risetnya mengajukan permohonan kepada Direktur Merck, Dr. P. Roy Vagelos, agar mengijinkan mereka mengembangkan obat tersebut untuk manusia.
Para manajer Merck sadar bahwa kalau sukses mengembangkan obat tersebut, penderita river blindness terlalu miskin untuk membelinya. Padahal biaya riset medis dan tes klinis berskala besar untuk obat-obatan manusia dapat menghabiskan lebih dari 100 juta dollar. Bahkan, kalau obat tersebut terdanai, tidak mungkin dapat mendistribusikannya, karena penderita tinggal di daerah terpencil. Kalau obat itu mengakibatkan efek samping, publisitas buruk akan berdampak pada penjualan obat Merck. Kalau obat murah tersedia, obat dapat diselundupkan ke pasar gelap dan dijual untuk hewan,sehingga menghancurkan penjualan Invernectin ke dokter hewan yang selama ini menguntungkan.
Meskipun Merck penjualannya mencapai $2 milyar per tahun, namun pendapatan
bersihnya menurun akibat kenaikan biaya produksi, dan masalah lainnya, termasuk
kongres USA yang siap mengesahkan Undang-Undang Regulasi Obat yang akhirnya akan berdampak pada pendapatan perusahaan. Karena itu, para manajer Merck enggan membiayai proyek mahal yang menjanjikan sedikit keuntungan, seperti untuk river blindness. Namun tanpa obat, jutaan orang terpenjara dalam penderitaan menyakitkan.
Melewati banyak diskusi, mereka sampai pada kesimpulan bahwa keuntungan manusiawi atas obat untuk river blindness terlalu signifikan untuk diabaikan. Keuntungan manusiawi inilah, secara moral perusahaan wajib mengenyampingkan biaya dan imbal ekonomis yang kecil. Tahun 1980 disetujuilah anggaran besar untuk mengembangkan Invernectin versi manusia.
Tujuh tahun riset mahal dilakukan dengan banyak percobaan klinis, Merck berhasil
membuat pil obat baru yang dimakan sekali setahun akan melenyapkan seluruh jejak parasit penyebab river blindness dan mencegah infeksi baru. Sayangnya tidak ada yang mau membeli obat ajaib tersebut, termasuk saran kepada WHO, pemerintah AS dan pemerintah negara-negara yang terjangkit penyakit tersebut, mau membeli untuk melindungi 85 juta orang beresiko terkena penyakit ini, tapi tak satupun menanggapi permohonan itu. Akhirnya Merck memutuskan memberikan secara gratis obat tersebut, namun tidak ada saluran distribusi untuk menyalurkan kepada penduduk yang memerlukan. Bekerjasama dengan WHO, perusahaan membiayai komite untuk mendistribusikan obat secara aman kepada negara dunia ketiga, dan memastikan obat tidak akan dialihkan ke pasar gelap dan menjualnya untuk hewan. Tahun 1996, komite mendistribusikan obat untuk jutaan orang, yang secara efektif mengubah hidup penderita dari penderitaan yang amat sangat, dan potensi kebutaan akibat penyakit tersebut.
Merck menginvestasikan banyak uang untuk riset, membuat dan mendistribusikan obat yang tidak menghasilkan uang, karena menurut Vegalos pilihan etisnya adalah mengembangkannya, dan penduduk dunia ketiga akan mengingat bahwa Merck membantu mereka dan akan mengingat di masa yang akan datang. Selama bertahun-tahun perusahaan belajar bahwa tindakan semacam itu memiliki keuntungan strategis jangka panjang yang penting.[13]
Tanggapan
Secara sekilas kasus Merck dengan penyakit river blindness merupakan contoh pengambilan etika bisnis yang sempurna. Dari lima faktor yang dikemukakan oleh Brownlee, Merck telah bertindak dengan tepat hampir pada setiap faktor. Hanya pada kategori iman yang tidak dijadikan alasan pengambilan keputusan untuk melakukan riset, memproduksi dan mendistribusikan obat invernectin kepada para penderita ‘river blindness’ di dunia ketiga.
Satu hal yang mengurangi pujian kepada Merck adalah kenyataan bahwa pemberiaan obat invernectin secara gratis adalah motivasi bahwa penduduk dunia ketiga akan mengingat budi baik Merck sehingga bisnis Merck mendapatkan keuntungan secara jangka panjang. Bahkan pemberian gratis obat invernectin dapat dipertanyakan bila keuntungan yang didapat Merck dalam jangka panjang akan jauh lebih besar dari pada biaya yang digunakan untuk membuat dan mendistribusikan invernectin. Bila hal ini yang terjadi, ada kemungkinan Merck hanya menganggap invernectin sebagai biaya advertising jangka panjang. Melihat omzet Merck sebesar $ 2 milyar, maka biaya invernectin sebesar $100 juta hanyalah sebesar 5% saja. Jumlah 5% bagi industri obat sangatlah kecil dibandingkan keuntungan puluhan persen yang didapat secara normal dalam bisnisnya. Penulis memperkirakan hal ini mengingat perbandingan harga antara harga obat generik yang mempunyai komposisi sama dengan obat yang ber-merk hanyalah sekitar 10% saja. Perhitungan secara kasar menunjukkan bahwa perusahaan obat mendapatkan keuntungan kotor lebih dari 90%. 5% yang dikeluarkan Merck dapat dianggap sebagai biaya atau investasi yang bahkan di Amerika Serikat dapat diperhitungkan sebagai sumbangan yang mengurangi pembayaran pajak kepada negara.
Terlepas dari perhitungan strategi jangka panjang Merck, apa yang dilakukan sungguh bagaikan oase di tengah padang gurun. Di tengah dunia yang narsis, ternyata masih ada perusahaan multi-nasional yang ‘ringan tangan’ dalam membantu sesama.
Etika bisnis Merck ditinjau dari iman kristiani hanya mempunyai satu kekurangan yaitu iman dikaitkan dengan motivasi. Bagaimanapun apa yang dilakukan Merck masih mengandung motivasi bagi keuntungan diri sendiri. Di pihak lain, iman kristiani mengajarkan etika adalah apa yang keluar dari dalam hati tanpa mempunyai motivasi bagi keuntungan diri sendiri. Apa yang keluar dari dalam hati adalah berdasar pada karakter Allah sehingga pengambilan etika harus berdasar pada kekudusan, kasih, dan keadilan Allah.[14] Jadi perbedaan antara etika bisnis kristen dan non-kristen adalah pada faktor iman dalam Kristus.
Penutup
Dasar dari etika kristen dalam berbisnis bukan nilai-nilai atau moralitas yang berlaku dalam sebuah masyarakat melainkan pada karakter Allah yang dinyatakan dalam Firman-Nya. Nilai-nilai dan moralitas akan dan pasti mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan zaman, tetapi Allah Alkitab tidak pernah berubah dulu, sekarang, dan selama-lamanya.
Bisnis orang kristen sebagai salah satu bagian dari kehidupan kristiani selayaknya menaklukkan diri di bawah terang Firman Tuhan dan tidak terombang-ambingkan mengikuti etika dunia yang selalu berubah. Hanya melalui kelahiran baru dan proses pengudusan yang dikerjakan oleh Roh Kudus yang memungkinkan orang percaya menjadi manusia yang orisinil. Menjadi manusia yang orisinil adalah menjadi manusia yang seutuhnya, yang mempunyai etika yang sama di gereja, di kantor, dan di keluarga.
[1] Nofie Iman, Etika Bisnis Dan Bisnis Beretika, http://nofieiman.com/2006/10/etika-bisnis-dan-bisnis-beretika/. Diakses pada 30 Agustus 2009.
[2] James William McCleandon, Jr., Systematic Theology Ethics, (Nashville, TN: Abingdon Press, 1986), 47.
[3] Ibid., 47.
[4] Alexander Hill, Bisnis Yang Benar, (Bandung: Kalam Hidup, 2001), 10.
[5] Etika Dan Bisnis, http://entrepreneur.gunadarma.ac.id/elearning/attachments/040_etika%20bisnis%20dan%20kewirausahaan.pdf. Diakses pada 30 Agustus 2009.
[6] Paul Stevens, God’s Business: Memaknai Bisnis Secara Kristiani, (Jakarta: BPK, 2008), 55-64.
[7] Martin Krisanto N., Dunia Bisnis Dalam Perspektif Kristen, http://forumteologi.com/blog/2007/04/25/dunia-bisnis-dalam-perspektif-kristen/. Diakses pada 31 Agustus 2009.
[8] John C. Maxwell, Etika: Yang Perlu Diketahui Setiap pemimpin, (Jakarta: Libri, 2008), xi.
[9] Ibid., 17-19.
[10] Henlee H. Barnette, Introducing Christian Ethics, (Nashville, Tennessee: Broadman Press, 1961), 3.
[11] Paul Ramsey, Basic Christian Ethics, (Louisville, Kentucky: Westminster/John Knox Press, 1993), xiii-xiv.
[12] Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis Dan Faktor-Faktor Di Dalamnya, (Jakarta: BPK, 1987), 70-214.
[13] Ibid., Etika Dan Bisnis.
[14] Ibid., Bisnis Yang Benar, 15.
Subscribe to:
Posts (Atom)