Mohon maaf terlebih dahulu jika tulisan ini mengganggu comfort zone saudara. Tulisan ini hanya sekedar curahan hati yang jujur tanpa maksud mengkritik pihak-pihak tertentu. Ingat, ini tidak wajib untuk dibaca, pilihan ada ditangan kita!! Tulisan ini sengaja saya biarkan mengalir begitu saja sehingga mungkin pembaca akan agak kesulitan menangkap alurnya, jadi sorry ya....
Kemarin sore istri saya melihat tayangan indovision channel 69 dan kemudian menceritakannya kepada saya. Kebetulan yang sedang disiarkan adalah kotbah Joel Olsten, seorang gembala dari suatu gereja karismatik di Amerika. Sepanjang yang saya pernah saya dengar sebelumnya tentang Mr. Joel adalah: ayahnya seorang pendeta yang kemudian meninggal dunia dan ‘mewariskan’ gerejanya kepada anaknya. Akhirnya Joel Olsten berganti profesi dan menjadi pendeta. Saya pribadi beberapa kali sempat mendengarkan kotbahnya secara sebentar-sebentar karena saya kurang tertarik dan tahu doktrinnya kurang beres walau mengakui keahlian ‘ilmu homiletiknya’, bahasa tubuh dan wajahnya yang selalu tersenyum dan selalu memberitakan hal-hal yang penuh pengharapan dan positif.
Sore itu dia berbicara tentang suatu topik yang menarik yaitu tentang habit. Dia berkata bad habit sangat mudah untuk dimulai tetapi sangat sukar untuk dihentikan. Bad habit yang dilakukan terus menerus akhirnya akan membentuk karakter buruk seseorang dengan mengikis karakter baiknya. Sebaliknya good habit sangat sulit untuk dimulai walau akan berdampak baik untuk kita. Jadi yang perlu kita lakukan adalah bergerak maju dalam good habit walaupun sulit dengan minta pertolongan Tuhan.
Ini adalah sebuah renungan yang sangat baik bukan?
Malam harinya sambil melihat tayangan Arsenal vs Fulham, saya ingat ada kotbah di channel 69 oleh seorang pendeta dari Semarang. Lagi-lagi dari gereja karismatik ceritanya........ (kapan ya giliran pak Tong, pak Benny Solihin, pak Yohan, pak Robby Chandra). Jadi akhirnya saya pindah channel dan pas si pendeta berkata bahwa perasaan minder adalah sebuah belenggu dalam hidup manusia. Ada perasaan minder yang ‘baik’, yang hanya diam atau menghindar bila diganggu orang lain. Sampai di sini, saya sudah mau pindah channel lagi ketika perkataan si pendeta berikutnya mengejutkan saya: perasaan minder yang buruk diwujutkan dengan menekan, menghalangi orang yang mempunyai kemampuan di atas kita. Sebagai ilustrasi dia mencontohkan Pol Pot yang membantai orang-orang pandai (sarjana, profesor dll) karena dia sendiri tidak pernah sekolah, jadi dia tidak mau ada yang lebih pintar dari dirinya sendiri. Contoh kedua adalah kolonel Khadaffy. Perbuatan yang dilakukannya pertama kali sewaktu berkuasa adalah menurunkan pangkat semua jendral-jendral karena dirinya hanya seorang kolonel. Sampai di sini dengan hati yang kacau, saya mengganti channel.......karena saya sadar, memang semakin masuk ke dalam pelayanan, semakin saya melihat sendiri ‘sisi-sisi’ gelap para pelayan seperti misalnya kagak mau dengar pendapat orang lain, kita ngomong apa saja dibilang tukang kritik dll. (seperti yang dikatakan oleh pak Jeffry dalam “dosa dan pelayanan”). Tapi memang semakin lama melayani semakin saya didewasakan. Ternyata setelah direnungkan, apa yang telah saya keluarkan dalam pelayanan, Tuhan telah kembalikan lebih lagi (penekanannya bukan pada materi lho, walau Tuhan selalu memberkati dan mencukupkan saya) melalui wawasan berpikir, perubahan karakter, kesabaran dll. Jadi kesimpulannya: melayani ternyata mendapatkan!!.
Siang hari ini sambil menuliskan tulisan ini saya merenungkan dua kilasan kotbah yang saya dengar semalam. Ada beberapa poin yang memang kurang terorganisasi penulisannya:
- Kelemahan dari karismatik adalah sedikitnya (atau nggak ada) hamba Tuhannya yang jebolan seminary yang sungguh-sungguh ketat seperti SAAT, Reformed, ITA, AA dll. Hal ini membawa konsekuensi Firman yang disampaikan tercampur-baur antara amanat teks (hasil eksegesis yang ketat) dan amanat diri sendiri. Hal ini umum terjadi dengan mencomot ayat-ayat dari sana-sini yang dapat mendukung tema yang akan dikotbahkan.
- Harus diakui ke-lihaian (di luar faktor motivasi) mereka-mereka ‘meramu’ Firman dengan pergumulan jemaat masa kini sehingga dengan mudah jemaat akan berkata: Firman ini memang cocok dengan keadaan saya sekarang, kok bisa pas dengan pergumulan saya dll. Sampai akhirnya jemaat akan merasa Tuhan menjawab langsung melalui penyampaian Firman tsb.
- Harus diakui mereka memang pandai memanfaatkan semua sarana yang ada untuk membuat jemaat merasa nyaman, merasa ini adalah komunitas saya yang cocok. Sarana ini dapat berupa tempat yang nyaman, penyambutan yang super ramah, musik yang membius kesadaran, pelayan-pelayan dan hamba Tuhan yang selalu tersenyum ramah dll.
- Untuk saya pribadi contoh dua buah kilasan kotbah di atas dapat diterima dan bahkan memang harus disampakan oleh gereja. OK, sebelum diprotes, saya klarifikasikan: Jenis kotbah atau lebih baik disebut renungan yang semacam itu (yang berkaitan dengan hidup nyata jemaat) sebaiknya disampaikan gereja bukan melalui ibadah umum melainkan pada sesi pembinaan-pembinaan kaum awam. Maksud saya, gereja masa kini mempunyai ‘hutang’ atau kewajiban untuk memberikan lebih dari penguraian Firman Tuhan karena pada dasarnya pengetahuan tanpa implementasi adalah sia-sia. Hal ini seperti iman tanpa perbuatan yang mati adanya.
- Karismatik bisanya lemah dalam pengetahuan tentang Firman tetapi kuat dalam ilustrasi dan implementasi. Sedangkan Injili kuat dalam Firman (ini juga nggak semua lho!), tetapi kadang lemah dalam ilustrasi dan implementasinya. Juga kurang menunjukkan rasa empatinya sementara banyak hamba Tuhan karismatik yang menunjukkan rasa empatinya. (seorang pendeta yang ketika berkotbah sangat kuat memancarkan empatinya sampai saya merasa tidak sedang mendengar kotbah melainkan seorang konselor berbicara adalah Pdt. Benny Solihin, dosen homiletik SAAT, tentunya juga pak Yakub dan pak Paul yang memang seorang konselor). Pak Benny pernah berkata: hamba Tuhan yang setelah lulus dari seminary kemudian tidak rajin belajar maka biasanya kotbahnyapun akan seperti itu-itu saja. Maksudnya (contoh) bila berkotbah tentang Roh Kudus maka, apapun temanya, akan selalu membicarakan Roh Kudus dari satu sisi yang dia ketahui walau sebenarnya nggak cocok dengan temanya.
- Sedihnya, saya mendapati kenyataan, para aktivis di lingkungan saya, yang puluhan tahun melayani ternyata pengetahuan doktrinnya amburadul seperti cap cay, mungkin karena campur baur dengan karismatik? Apakah mereka selama ini tidak kenyang makan di rumah sendiri? Siapa yang bertanggung jawab? Saya nggak berani jawab deh..... Kalo di dunia tentara sih yang bertanggung jawab ya pemimpinnya. Itu di militer lho..... Tapi, jangan salahkan jemaat kalo jajan (study abroad) karena nggak kenyang makan di rumah sendiri.
Sampai di sini saya berpikir kenapa cukup banyak gereja karismatik bertumbuh sangat pesat? Atau yang Injili (walau dapat banyak kritik juga) misalnya Saddleback Church yang digembalakan oleh Rick Warren. Apakah pertumbuhan mereka itu wajar atau tidak? Adakah yang dapat kita pelajari dari Rick Warren? Saya setuju memang ajaran Rick Warren ada yang ‘miring-miring’, tapi mari kita geser fokus kita pada kebaikan dan kelebihannya yang dapat kita adopsi daripada hanya sekedar mengkritisinya. Udah capek mengkritisi, nggak dapat manfaat apa-apa. Rugi dobel kan?.
Yang jelas sebagai penganut Calvinis saya percaya Allah mengijinkan mereka bertumbuh luar biasa atau dengan kata lain semua ini sudah ditetapkan Allah dalam kekekalan. Pertanyaannya mengapa, mengapa gereja kita tidak seperti itu?
Apakah dengan pengajaran yang ketat berarti akan menghasilkan hanya (relatif) sedikit pertumbuhan? Saya pikir Tuhan sangat baik dengan terus memberi kesempatan bagi karismatik kesempatan untuk memperbaiki diri. Sebaliknya saya pikir Tuhan juga mau menunjukkan kepada kita pola, metode, sarana pelayanan yang baru melalui gereja karismatik. (dan juga Tuhan menegur kita yang keras kepala melalui pertumbuhan gereja karismatik). Mari kita berhenti sejenak mengkritisi gerakan karismatik, kita ambil pelajaran dari sana dan perbaiki diri sendiri.
Saya percaya 100% kita dapat mendapat pengajaran yang Injili dan ketat dan gereja akan bertumbuh dengan pesat bila kita mau membuka diri terhadap perubahan jaman. Kenapa saya yakin? Karena dalam Youth Leader Meeting yang diadakan oleh SAAT pertengahan April lalu saya mendengar sendiri sharing dari beberapa gereja yang tradisionalnya tradisional. Ternyata setelah mengadopsi beberapa metode pelayanan yang baru, gereja mereka bertumbuh pesat. Pengajarannya? Jangan ragu, Reformed Injili abis. Contoh metode yang dipakai adalah dengan membentuk komunitas daripada komisi, (lagi-lagi) musik kontemporer yang bermutu, aransemen yang baru dll. Memang ada orang yang fanatik hymn mengatakan: hymn sudah terbukti bertahan berabad-abad, lihat kontemporer setelah beberapa bulan kemana?. Ya jawabnya mudah: hymn terus dinyanyikan karena dibukukan dan tiap minggu kita nyanyinya pakai buku hymn tsb. Sementara kontemporer selalu berganti. Kalo mau kumpulin lagu kontemporer yang bermutu dan dibukukan dan dipakai tiap minggu, maka 100 tahun lagi ya masih terus dinyanyiin!!.
Tentu saja untuk berubah harga yang harus dibayar sangat mahal karena pada dasarnya semua manusia suka pada kenyamanan, sehingga ketika perubahan terjadi, akan sangat sakit bagi kita untuk mengikutinya. Pada waktu itu saya bertanya faktor apa yang menjadi pendorongnya (agent of change). Di jawab: diperlukan seorang pemimpin yang kuat, yang mempunyai visi dan dapat mengkomunikasikan visi tsb kepada majelis dan aktivis. Jadi jelasnya seorang pemimpin yang mau bekerja keras, yang mau membayar harganya. Sampai di kamar, saya berbincang-bincang dengan teman saya seorang hamba Tuhan. Saya mengemukakan kekaguman saya kepada sang pemimpin yang kuat tsb dan di jawab teman saya: pak ...... itu sebenarnya seorang phlegmatik lho!! Puji Tuhan, memang Allah berkuasa untuk memproses seorang phlegmatik menjadi seorang pemimpin yang kuat. Tinggal maukah kita bayar harganya?
Saya ingat tulisan dari ahli manajemen, Rhenald Kasali Phd diharian kompas bulan lalu sbb: Untuk melakukan perubahan, ada dua macam manusia: yang pertama, yang dengan dipaparkan akibatnya bila tidak berubah, menjadi takut dan kemudian didorong oleh rasa takutnya mampu mendorong dirinya untuk berubah. Jenis manusia yang kedua adalah manusia yang tidak mempan hanya dengan rasa takut. Jenis manusia ini baru akan berubah ketika rasa sakit datang menimpanya karena tidak mau berubah sebelumnya. Mudah-mudahan tidak ada jenis yang ketiga: yang tetap tidak mau berubah walau rasa sakit sudah dideritanya, karena bagi orang seperti ini mungkin hanya ada satu kemungkinan: mati seperti dinosaurus.
Saya berharap, kita semua termasuk jenis manusia pertama, yang mau berubah dengan melihat keadaan dunia masa kini, yang tidak menunggu tangan Tuhan turun atas diri kita............Mari kita bersama berlutut dan mohon Roh Kudus untuk merubah karakter kita.
Tuhan inilah hidupku
Tuhan inilah hidupku kuserahkan padaMU
Segala cita-citaku masa depanku menjadi milikMu
Jadikan api terangMu di tengah keg’lapan dunia
Membawa bangsa-bangsa kepadaMu
Tuhan ini kerinduanku
***
Bagimu Tuhan seluruh hidupku
Pakailah Tuhan bagi kemuliaanMu
Genapi seluruh rencanaMu
Sampai bumi penuh kemulianMu
Hendra, 020507
No comments:
Post a Comment