Sambung lagi ya…..
Ternyata pada hari rabu malam, channel 69 menayangkan ulang kotbah dan sebuah pujian dari sang pendeta ‘lokal’ dalam tulisan saya yang pertama. Jadi saya dan istri dengan cukup antusias mendengarkan berita yang disampaikan dari atas mimbar dari awal. Setelah beberapa ayat dibaca, mulailah dibahas dan anehnya yang dibicarakan tidak banyak menguraikan teks malahan melebar kemana-mana. Walaupun begitu ada sebuah visi yang disampaikannya membuat saya tercengang-cengang. Dikisahkan bahwa mereka tengah membangun sekolah yang bermutu bagus dengan uang sekolah yang sangat ringan. Dengan gedung sekolah yang masih dibangun, mereka telah menerima hampir 400 murid yang kebanyakan berasal dari jemaat. Apakah uang untuk membangun sekolah sudah tersedia? Ternyata sebagian besar belum, walaupun demikian mereka berani melangkah maju.
Di kota lain, sebuah gereja juga mempunyai sebuah sekolah dasar yang menggunakan bahasa pengantar Inggris sehingga anak sekolahnya lebih mahir berbicara dengan bahasa Inggris daripada Indonesia. Bila seorang anak absen, maka materi pelajaran akan dikirimkan melalui internet karena setiap anak murid mempunyai sebuah lap top pribadi!!.
Di kota yang lain saya mendengar sebuah sekolah sedang dibangun oleh sebuah gereja pula. Melihat besar dan sistem manajemen gereja tersebut, saya yakin sekolah tsb tentunya akan ‘menggemparkan’ pula. Sebagai informasi, ketiga sekolah tersebut berada di bawah pengelolaan gereja ‘tertentu’ dan berada di jawa tengah.
Saya tidak menentang sekolah yang dikelola gereja ‘tertentu’, juga tidak menentang gereja ‘karismatik’ yang umumnya berkembang dengan sangat pesat. Hanya saja saya berpikir kenapa hal itu relatif tidak terjadi dalam gereja-gereja ‘tradisional’?. Jika dalam tulisan pertama saya memikirkan dua hal, maka saat ini saya memikirkan hal yang ketiga yaitu: mungkin kita kurang berani untuk melangkah seperti mereka sehingga Allah ijinkan mereka untuk berkembang secara (relatif) pesat!!, lebih dari kita. Sampai di sini saya merenungkan sebuah ironi: kita yang belajar doktrin lebih banyak kadang kurang berani untuk melangkah (atau berani melangkah tapi mendapat tantangan dari dalam gereja sendiri karena mengganggu comfort zone beberapa orang?), sementara orang lain yang kurang belajar doktrin malah berani melangkah lebih dari kita.
Tentu saja hal ini bisa diperdebatkan panjang, bahkan saya sendiripun mempertanyakan motivasi dibalik keberanian mereka, karena saya sendiri pernah mempunyai pengalaman sbb: gereja saya dahulu (waktu di jakarta) pernah mengadakan acara pengumpulan dana untuk membeli sebuah mobil bagi hamba Tuhan pembantu. Singkat cerita acara sukses dan sebuah mobil dibeli. Hanya suatu saat saya melihat sendiri bahwa STNK mobil tersebut atas nama sang pendeta utama, bukan atas nama gereja. Saat ini sang gembala sudah meninggal dan menurut saudara saya yang masih beribadah di sana, yang menjadi gembala sekarang ini adalah istri sang gembala yang meninggal tsb!!!, yang setahu saya nggak pernah belajar teologi. Demikian juga saya tidak tahu bagaimana status kepemilikan sekolah-sekolah yang dikelola gereja ‘tertentu’ tsb? Jika atas nama gereja bagus sekali, bila atas nama pribadi: bahaya!!.
Kembali ke gereja-gereja tradisional.
Bulan lalu saya secara pribadi (bukan diutus gereja) mengikuti Youth Leader Meeting (YLM) yang diselenggarakan oleh SAAT. Jumlah pesertanya dibatasi sampai 100 orang saja dan datang tidak hanya dari pulau jawa saja. Berbagai acara yang kami ikuti sangat berkesan dan membuka wawasan karena ada acara sharing beberapa hamba Tuhan dan gereja.
Dari berbagai percakapan dengan hamba-hamba Tuhan dan aktivis gereja, saya mendapati suatu benang merah persoalan-persoalan klasik yang dihadapi di gereja masing-masing. Ada seorang hamba Tuhan yang adalah seorang alumnus sebuah universitas di Jerman, yang akhirnya menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan dalam usia yang tidak muda lagi. Saya sangat sedih mendapati untuk menghadiri YLM, dia menghadapi berbagai rintangan justru dari kalangan gereja sendiri. Permintaannya untuk mengikuti YLM ditolak oleh majelis yang tidak mau mengeluarkan uang. Ketika saya tanya: bagaimana bapak akhirnya bisa datang? Dia hanya tersenyum dan tidak mau menjawabnya..... Ada juga seorang hamba Tuhan yang mendapat rintangan untuk hadir dari pendeta (gembalanya) sendiri.....entah bagaimana jalan pemikiran gembala tsb........
Di balik semua cerita sedih di atas, tentu saja ada banyak hal positif seperti semangat pelayanan hamba-hamba Tuhan muda, kemauan untuk maju, untuk terus belajar, untuk berubah, untuk belajar mengkoreksi diri sendiri dll.
Saya pribadi sangat, sangat bersyukur karena banyak beban pemikiran saya tentang pelayanan ternyata mendapatkan affirmative yang positif dari pihak pembicara. Dari acara tersebut, saya menarik kesimpulan bahwa akhirnya Tuhan mengijinkan sebuah perubahan dalam cara, metode dan sarana pelayanan yang penting akan terjadi atau sedang berlangsung. Terus terang hal ini sangat menguatkan saya pribadi karena sebelumnya saya pernah demikian kecewa dan sempat menolak pelayanan sebagai liturgis dua kali selama beberapa bulan terakhir, bahkan sebenarnya saat inipun saya tidak melayani seperti bagaimana saya melayani tahun lalu. Saya bergumul dan akhirnya sadar bahwa waktu untuk perubahan adalah waktunya Tuhan dan saat ini tugas saya adalah belajar dan berdiam diri.
Dalam YLM 2007, saya menilai (ini pendapat pribadi lho!) perubahan dalam cara dan metode pelayanan itu sudah dimulai dari beberapa pembicara, di antaranya dosen SAAT sendiri sehingga saya pribadi percaya hal ini akan menghasilkan lulusan hamba-hamba Tuhan yang mempunyai visi dan misi (atau ‘tradisi?’) yang selaras dengan visi dan misi seminari tsb. Tentu saja ini bukan suatu hal yang mutlak dan takes time. Sebenarnya angin perubahan tidak dimulai dari YLM karena dalam SAAT Preaching Conference tahun lalupun angin perubahan sudah ditiupkan.
Saya mengakui bahwa topik perubahan dalam pelayanan gerejawi memang sangat menarik hati. Dasar pemikiran saya adalah dari pengamatan bahwa disadari atau tidak disadari, setiap denominasi atau gereja lokal mempunyai gaya dan ciri khas masing-masing di mana style tersebut akan ‘diwariskan’ kepada generasi penerus sehingga akhirnya menjadi tradisi. Hal ini OK saja sampai suatu saat menjadi tidak OK lagi ketika suatu perubahan jaman yang wajar terjadi di mana hal ini bersinggungan/bertentangan dengan tradisi gereja tsb. Ketika pergesekan antar generasi terjadi, biasanya golongan senior akan semerta-meta mempertahankan tradisi dan menolak perubahan yang diusung generasi muda. Sedihnya, legalisme seperti ini adalah hal yang biasa terjadi dalam berbagai gereja masa kini. Kita bisa begitu keras kepala dan mengkritik semua orang yang sedikit berbeda dengan kita tanpa mau melihat kelebihan mereka.
Sebagai orang kristen memang kita tidak berasal dari dunia ini, tetapi kan kita masih hidup di dunia?. Bagaimanakah cara terbaik untuk ‘menantang jaman?’. Apakah dengan frontal, maju tak gentar menabrak semua rintangan? Atau dengan hidup bergaul dengan mereka sehingga kita dapat diterima dan ada peluang untuk memberitakan doktrin yang benar? Bagaimana pendapat saudara?
Hendra, 180507
Friday, May 18, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment