Judul di atas pastilah terdengar aneh bagi saudara. Sejujurnya, bagi sayapun memang terdengar aneh, karena itu jangan terlalu diambil serius. Nikmati tulisan ringan ini sambil tersenyum, jangan sambil berkerut dahi.
Judul pertama yaitu “Wenger’ adalah Arsene Wenger, seorang berkebangsaan Perancis pelatih kesebelasan sepakbola Arsenal di Inggris sana. Sekitar sepuluh tahun yang lalu Wenger dikontrak Arsenal untuk meng-coach kesebelasan Arsenal yang ‘compang-camping’, lebih sering kalah daripada menang, yang lebih sering memalukan daripada membanggakan. Tantangan yang dihadapi Wenger jelas jauh dari mudah. Salah satu bintang impornya, Dennis Bergkamp pernah mengeluh kepada pers bahwa selama sesi latihan, mulut rekan-rekannya selalu ‘berbau naga’ (miras). Ya, dalam dunia olah raga profesional, bagaimana mungkin memenangkan sebuah trophy dengan pasukan drunken master?, bagaimana mungkin menyaingi Manchester United dengan Sir Alex dan the Theather of Dream-nya, Liverpool dengan Anfield-nya yang sangat angker (bisa buat shooting film Indo tuh) dengan puluhan ribu suporter yang super militan (ingat tragedy Heysel?) yang ‘extra joss’ selama 90 menit penuh meneriakkan dukungan dan menyanyikan lagu legendarisnya yang mendengar judulnya saja saya merinding: You’ll Never Walk Alone!!. Ruuuar biasa bukan? Apapun hasilnya, suporter selalu menyertai mereka dengan penerimaan tanpa syarat. Saya jadi berpikir mungkin composer lagu ini menyadur dari Amanat Agung kita? Who knows?
Dalam keadaan kejepit atau dengan sengaja menjepitkan diri, apa yang dilakukan Wenger? Alih-alih mengikuti tradisi, melatih sesuai text book, Wenger malah nekat ‘menulis’ text book-nya sendiri. Kenapa saya katakan nekat? Karena sebenarnya Wenger sendiri saat itu bukanlah pelatih yan top-top amat, CV-nya hanya melatih beberapa klub di Perancis dan team nasional Jepang yang prestasinya pas-pasan. Dengan perlahan tapi pasti Wenger mendobrak dan mengubah beberapa hal (sistem dan metode) yang fundamental dalam sepak bola Inggris secara khusus dan dunia secara umum al:
Sistem dan metode kepelatihan.
Wenger membawa beberapa orang-orangnya yang masing-masing mempunyai tugas sendiri-sendiri dalam team pelatih. Tiap-tiap pemain mempunyai program diet yang ketat, latihan berjalan secara sistematis dengan durasi yang pendek. Semua hal di atas adalah umum dilakukan hari ini, tetapi Wenger-lah sang pelopor.
Mengubah kultur sepakbola Inggris.
Wenger meninggalkan sistem Kick and Rush yang kuno menjadi permainan kolektif yang sarat dengan kreatifitas, kekuatan dan kecepatan. Citra Arsenal yang berantakan dengan permainan kasar ditransformasikan dengan permainan yang indah ditonton dan mematikan bagi lawan.
Berani untuk bertindak, membayar harga demi visinya.
Tentunya penjualan sang kapten nan-karismatis, Patrick Viera dan sang ‘magician’ Thiery Henry yang sampai membuatnya di cap ‘gila’ oleh para pengamat ahli sebenarnya menunjukkan kejeniusan visinya. Alih-alih bertopang pada pakem tradisi, dia berani melangkah keluar dari ‘rumah kura-kuranya’ dan mengambil resiko dengan mengandalkan sekumpulan young guns seperti Fabregas, Adebayor, Van Persie dll yang membuat mata dunia terbelalak dengan bibir mencibir dan ramalan akan doomsday-pun datang kepadanya. Sampai detik ini ternyata hasil yang di dapat Arsenal sangat di luar dugaan siapapun. Situs detik bahkan menulis dengan judul Arsenal berada dalam sorga langit ke tujuh.
Pemerhati sepakbola liga Inggris tentunya mahrum dengan kelihaian sang profesor, julukan bagi Wenger yang telah merubah Arsenal dari klub kelas dua di Inggris menjadi klub top dunia dalam waktu 10 tahun saja, dari klub mediocre di Inggris menjadi klub dengan keuntungan tertinggi di Inggris dan salah satu klub terkaya di dunia, dengan prestasi demi prestasi, trophy demi trophy, ....... Jasa Wenger bagi Arsenal dan dunia sepakbola mungkin dapat diilustrasikan sebagai jasa para reformator bagi kita.
Judul kedua sih umum sekali terutama di bulan Ramadan ini.
Pagi hari ini setelah mengantar anak ke sekolah, kami melihat banyak fakir miskin yang berkumpul di sebuah rumah menunggu jatah zakat. Yang menarik dari peristiwa ini adalah di tengah-tengah peminta zakat yang umumnya wanita dan anak-anak ada beberapa pedagang yang sangat luar biasa nalurinya!!. Ya, ada berbagai penjual seperti penjual es krim, bakso dan entah apa lagi. Mungkin pikiran mereka: para fakir miskin setelah mendapat uang zakat tentunya merupakan pasar potensial bagi dagangan mereka. Dan memang, siang hari sewaktu menjemput anak di sekolah, kami melihat sampah berserakan di halaman rumah yang memberikan zakat.
Para pedagang kecil itu secara tidak sadar telah melakukan suatu proses manajemen yang baik karena mereka mampu melihat peluang dan mengejarnya. Metode tunggu bola sontak berubah menjadi jemput bola, mereka mampu membaca perubahan jaman dan mereformasi ‘cara kerjanya’.
Judul yang ketiga tentunya asing tetapi bagi penggemar AXN tentunya paham bahwa dr. House adalah sebuah tokoh cerita serial TV. Dr. House adalah seorang dokter yang sangat pandai dan berani ‘mengekspolasi’ berbagai inovasi yang sering bertentangan dengan koleganya, berani mengambil resiko dalam metode pengobatannya yang jauh dari konvensional. Karakter dr. Gregory House sendiri digambarkan sebagai seorang yang egois, sinis, agak licik, pokoknya bukan karakter yang perlu dicontoh.
Dalam episode yang diputar kemarin malam, kami (saya dan istri) menonton bersama dan kebetulan sama-sama terkesan dengan sebuah kalimat. Ceritanya dr. House mepunyai pasien seorang anak kecil yang autis. Setiap kali mau diobati si anak selalu menjerit-jerit sehingga para asisten dr. House mengalami kesulitan. Dalam satu adegan digambarkan seorang asisten dokter akan membius si anak dengan cara memasang selang di mulutnya, si anak menolak dengan keras sampai menjerit-jerit. Semua bingung dan dr. House sebagai pemimpin maju mengambil alih dengan melakukan sebuah perbuatan yang sangat menarik: mula-mula dia memasang selang bius itu di mulutnya sendiri dan setelah itu memasangnya di mulut si anak. Setelah mengulanginya dua kali, ajaib!! Si anak berhenti menjerit dan mau memakai selang itu secara suka rela!!. Asistennya yang kagum bertanya mengapa begitu? Dr. House menjawab seenaknya: monyet makan stroberry. What??? Ya, seekor monyet tidak mau memakan stroberry sampai dia melihat monyet lainnya makan strobery itu!!.
Ok lah, cukup ngelanturnya, terus apa maksudnya menulis si Wenger, Zakat dan dr. House? Ya, Firman Tuhan berkata bahwa apa yang ada dalam hati manusia akan meluap keluar. Tak jarang kita mendapati para pemuka agama yang melakukan apa yang tidak dikotbahkannya dan tidak melakukan apa yang dikotbahkan dirinya sendiri. Bukannya sok suci karena memang saya jauh dari suci dan nama saya juga bukan suci. Pak Sucianto yang hamba Tuhan aja bukan orang suci kok apalagi saya!!. Setiap kisah di atas cukup mengesankan saya dan lagi-lagi saya memikirkannya dalam konteks pelayanan gerejawi.
Ada beberapa hal yang saya pikirkan:
Di balik kesuksesan Wenger, sebenarnya semua prinsip-prinsip yang benar (yang baik belum tentu benar, yang benar pasti baik walau harga yang harus dibayar mahal-bukan dari segi materi lho) sudah ada dalam Alkitab kita. Sayang masih ada gereja yang walau dari luar nampak seperti melayani Tuhan tetapi sebenarnya melayani dirinya sendiri, ada yang disetir oleh majelis, ada juga yang gembalanya menyetir majelis. Hierarki kepemimpinan yang dilakukan adalah semu karena ulah seorang manusia yang mengatur gereja seperti milik pribadinya. Ciri gereja seperti ini biasanya adalah: jumlah jemaat yang stagnan bahkan berkurang, SDM yang bermutu rendah, pelayanan yang dilakukan berjalan secara mekanis, tidak ada kegairahan dalam pelayanan dll. Menarik yang ditulis oleh Rick Warren dalam Purpose Driven Church: dalam ibadah minggu gereja Saddleback, lebih dari separonya adalah pengunjung yang berarti mereka ada di sana karena diundang oleh temannya yang merupakan jemaat. Di gereja kita jangan-jangan jumlah jemaat yang tercatat lebih dari 400 orang tapi hanya 100-an yang menghadiri ibadah?.
Berlindung dibalik seperangkat aturan dan tradisi. Mari kita intropeksi, apakah pelayanan kita benar sesuai dengan pinsip-prinsip Alkitab atau hanya melestarikan tradisi?. Gereja yang bertumpu pada tradisi akan mengalami status quo, tidak memiliki visi dan tujuan yang jelas dan tidak rela membayar harga. Bila kondisi ini berkelanjutan, tidak heran bila Tuhan memakai gereja lain untuk menjangkau umatNya.
Dunia telah lama dan semakin cepat dan jelas menantang nilai-nilai kristiani. Mau tidak mau, siap tidak siap saat ini kita telah berada dalam era post Christian mind di mana generasi muda banyak yang tidak mengenal Injil, sebuah hal yang berbeda dengan generasi sebelumnya. George Barna menunjukkan dalam risetnya bahwa seorang hamba Tuhan bukan lagi merupakan figur yang dihormati dan dipercayai. Dalam dunia yang berubah kadang kita masih melakukan strategi, metode, gaya dan cara seperti yang diperkenalkan beberapa puluh tahun yang lalu. Tak heran bila kita ketinggalan kereta. Kita lupa bahwa cara dan metode yang kita pakai sekarang memang merupakan cara dan metode yang cocok dengan konteks jaman dulu. Hal yang perlu direnungkan: apakah masih relevan dengan dunia yang sudah berubah sekarang ini?
Bila mereka yang bekerja untuk kesementaraan dapat melakukan berbagai inovasi, bagaimana dengan kita yang bekerja di ladang Tuhan, yang mendapat kehormatan bekerja dalam kekekalan?. Saya sungguh merasa ngeri ketika seseorang berkata kepada saya bahwa kekristenan sudah berada dalam titik nadir dan rasanya sebuah reformasi baru akan segera dilakukan Tuhan. Hal ini selaras dengan apa yang dicetuskan oleh Larry Crabb dalam bukunya ‘Shattered Dreams’. Quo Vadis Gereja?
Hendra, 271007
Sunday, October 28, 2007
Subscribe to:
Posts (Atom)