Thursday, November 13, 2008

Teladan Kasih Yesus

Teks: Yohanes 13:31-35

Pendahuluan
Beberapa minggu yang lalu di harian kompas Gde Prama memperkenalkan ucapan salam yang baru di awal pembicaraannya. Dia mengganti kata ‘salam sejahtera’ dengan kata ‘salam kasih’. Pada mulanya kata Gde Prama, orang-orang merasa aneh dengan kata salam kasih tetapi setelah dijelaskan bahwa kasih itu bersifat universal, maka orangpun menerima dengan senang hati.
Dari berita singkat itu, saya menangkap dua hal yaitu, pertama, orang merasa janggal dengan ucapan salam kasih karena kata ‘kasih’ selama ini konotasinya seakan-akan menjadi kata milik orang kristen. Kedua, rupa-rupanya kasih yang dimaksudkan oleh Gde Prama adalah kasih persaudaraan di antara bangsa Indonesia.
Ada sebuah pepatah barat yang berbunyi ‘like father, like son’ seperti apa bapaknya, seperti itu juga anaknya. Ternyata bangsa Indonesia juga mempunyai pepatah yang artinya sama yaitu ‘buah tak jatuh jauh dari pohonnya.’ Makna yang ingin dikatakan oleh kedua pepatah itu adalah suatu hal yang normal bila seorang anak mempunyai sifat yang mirip dengan ayahnya; adalah wajar bila seorang anak meneladani karakter ayahnya sehingga ayah dan anak punya sifat yang sama. Pepatah lain berkata anak bagaikan sebuah kertas kosong dan orang tua adalah penulis atau pelukisnya sehingga seperti apa jadinya anak itu setelah dewasa nanti adalah tanggung-jawab orang tuanya. Apakah saudara-saudara setuju?
Nah, dalam konteks orang kristen, apakah pepatah di atas berlaku atas diri kita? Apakah hidup makin lama sebagai orang kristen membuat kita semakin mirip dengan Kristus? apakah kita memiliki kasih seperti kasih Kristus?
Malam ini kita belajar bersama-sama untuk meneladani kasih Kristus.

Ayat 31-32. Latar belakang ayat ini adalah Perjamuan Malam Terakhir dan sebenarnya ketika Yudas pergi, Yesus tahu bahwa Yudas pergi untuk menyerahkan diri-Nya kepada orang Yahudi. Yesus tahu kini tibalah waktu bagi diri-Nya untuk menerima semua penderitaan dan Salib. Ternyata Yesus menerima penderitaan sebagai suatu kehormatan besar bagi diri-Nya. Mengapa begitu? Karena setelah Yudas pergi, Yesus berkata ‘Sekarang Anak Manusia dipermuliakan dan Allah dipermuliakan di dalam Dia.’ Artinya apa? hal ini tidak hanya sekedar bagi kemuliaan Allah Bapa melainkan harus dikaitkan dengan rencana keselamatan dalam kekekalan. Dari perkataan ini kita melihat motivasi utama Yesus adalah untuk menggenapi rencana penebusan manusia dan Dia rela mati ganti diri kita karena begitu besar kasih-Nya pada saudara dan saya yang berdosa dan tidak layak.
Nah, di sini kita melihat ada sebuah perbedaan yang mendasar antara kasih versi Gde Prama dengan kasih versi Yesus. Kasih yang dimaksud oleh Gde Prama adalah kasih Phileo yang artinya kasih persaudaraan. Kasih antara kakak dan adik, antara ibu dan anaknya. Kasih seperti ini dapat secara otomatis timbul dari hati seseorang dan bersifat bersyarat. Artinya saya mengasihi anak saya, ya, karena anak itu anak saya. Jika anak itu bukan anak saya, tentu kasih yang saya berikan tentu berbeda kadarnya.
Kasih Yesus adalah kasih Agape yaitu kasih yang tidak bersyarat. Saya mencoba menggambarkan kasih Agape sbb:

Tahun 1873 ada seorang misionari bernama Joseph Damien dari Belgia pergi ke satu pulau di Hawaii bernama pulau Molokai. Pulau Molokai adalah penampungan tempat orang-orang kusta ditaruh untuk tinggal di situ. Pastor Damien mengambil keputusan untuk melayani orang-orang kusta itu. Selama 12 tahun dia menjadi dokter yang merawat orang kusta, membangun rumah-rumah, membangun sekolah dan melayani dengan setia, tetapi tidak banyak orang percaya Tuhan. Akhirnya dia kecewa dan putus asa dan mengambil keputusan meninggalkan pulau itu. Waktu dia hendak berangkat dan naik ke kapal yang akan membawanya kembali ke Belgia, dia terkejut melihat di tangannya ada bercak-bercak putih dan merah dan dia tidak bisa merasakan sakit. Dia kena kusta. Langsung dia turun dan kembali, tidak jadi meninggalkan pulau Molokai. Dan kemudian di seluruh pulau itu tersebar kabar kalau pastor Damien kena kusta. Hari itu semua orang kusta datang ke rumah dia, dan hari minggu di gerejanya penuh sesak dengan orang kusta. Kenapa? Orang-orang kusta itu berlinang air mata, menangis haru karena tahu dia datang melayani sampai dia sendiri terkena penyakit kusta. Kasih seperti apakah itu? Hanya kasih Tuhan yang seperti itu. Itulah kasih Agape. Itulah yang Tuhan Yesus nyatakan kepada kita. Marilah kita juga belajar memiliki hati Tuhan seperti itu. Bukan hanya jatuh kasihan tetapi ‘sharing the pain.’ Itulah ‘the sanctification of emotion.’ Belajar bersukacita dengan apa yang mendatangkan sukacita Allah, mempunyai empati seperti Tuhan, menangis seperti Tuhan menangis.
Beberapa puluh tahun yang lalu, kisah hidup pastor Damien ini menginspirasi seorang wanita Jerman sehingga dia memberikan hidupnya melayani orang-orang kusta di NTT sampai sekarang. Nama wanita itu saya lupa, tapi kira-kira dua-tiga bulan yang lalu kisahnya muncul di acara Kick Andy.


Ayat 33 mengajarkan akibat atau harga yang harus dibayar oleh Yesus akibat kasih-Nya kepada kita yaitu mengorbankan nyawa-Nya.
Salah satu masalah terbesar gereja hari ini adalah hilangnya seni mengasihi di antara orang kristen. Hari-hari ini manusia sulit untuk berbelas kasih terhadap orang lain dan keadaan ini akan semakin bertambah parah di kemudian hari.
Apakah saudara setuju? Mengapa kita sulit untuk mengasihi orang lain? Saya memikirkan paling tidak ada dua alasan:
Pertama, Di tengah dunia yang begitu kompetitif dan begitu cepat berubah seperti hari ini, manusia dipaksa untuk memikirkan keadaan diri sendiri. Lingkungan kerja semakin menekan dan menyita waktu dan pikiran kita sementara lingkungan sekolahpun menuntut siswa berkutat seharian penuh di sekolah dan tempat les. Di Pekalongan saja, anak kelas 4 SD mempunyai jadwal sekolah dari pukul 07.00 sampai 14.30. Setelah itu dilanjutkan dengan les ini dan itu sampai sore bahkan kadang malam hari. Pertemuan dengan orang tua terjadi hanya beberapa jam setiap hari, dalam situasi kedua pihak sudah kecapean sehingga tidak jarang orang tua marah-marah pada anaknya. Ketika saya SD, seingat saya juara umum sekolah adalah anak yang mencapai nilai rata-rata 8. Hari ini kalau ada anak yang mendapat nilai rata-rata 8 artinya dia ranking satu dari belakang.
Pola hidup yang penuh tuntutan di mana anak tidak mendapatkan apa yang seharusnya didapatnya (kasih, perlidungan, perhatian orang tua dll) dan mendapatkan hal-hal yang seharusnya tidak ditanggungnya (tuntutan yang berlebih) mau tidak mau akan membentuk suatu pribadi yang tidak mengenal arti kasih karena memang tidak pernah merasakan dikasihi orang lain. Anak-anak ini akan tumbuh dewasa menjadi pribadi yang narsis. Pribadi narsis artinya dia akan berhubungan dengan orang lain hanya dengan satu tujuan yaitu untuk mendapatkan sesuatu dari orang lain. Jadi pikirannya hanya ‘apa yang saya bisa dapat dari kamu, apa yang kamu bisa berikan kepadaku.’ Saudara, bukankah tanda-tandanya sudah dapat kita lihat saat ini? Ketika orang datang ke gereja hanya dengan satu tujuan: apa yang Tuhan bisa berikan padaku? Bahkan kita lihat ada oknum pendeta yang membujuk jemaat seperti membujuk anak kecil: beri persembahan, beri perpuluhan, nanti Tuhan ganti berlipat kali ganda. Ini kan seperti kita bicara ke anak kecil: makan obat ini, nanti papa belikan kamu mainan. Saya tidak menyangkal Alkitab berisi banyak sekali janji-janji Allah, saya tidak anti berkat. Hanya orang gila yang tidak mau berkat Tuhan. Masalahnya Alkitab tidak hanya berisi janji tapi juga perintah untuk mengejar kekudusan, menyangkal diri dan pikul Salib. Hanya memberitakan berkat tanpa kewajiban artinya mengkorting isi Alkitab. Dalam menu 4 sahat 5 sempurna, berkat ibarat susu. Bayangkan kalau kita tiap hari hanya minum susu saja tanpa telur, nasi, sayur, dan daging. Dapatkah kita bertumbuh secara sehat?
Kakak saya adalah seorang pendeta yang melayani di Melbourne, suatu hari ada seorang pendeta temannya didekati oleh gereja lain. Rupa-rupanya gereja itu menawarkan teman kakak saya untuk bergabung dengan gereja mereka dengan janji gaji yang berlipat kali ganda. Syaratnya satu: ‘frekuensi’ khotbahnya dirubah menjadi teologi kemakmuran.

Kedua, kita sadar kasih sejati tidak murah, kasih sejati harganya mahal dan menuntut perbuatan nyata. Mari kita baca Lukas 10: 33-35. Mari kita hitung apa yang harus dibayar oleh orang Samaria akibat hatinya berbelas kasih: ayat 34: Pertama: membalut, berarti orang Samaria itu mengeluarkan kain-kain yang mungkin barang dagangannya, harga kedua yang dibayar: menyiraminya dengan minyak dan anggur, 3. menaikkan orang itu ke-keledai tunggangannya, artinya dia sendiri berjalan kali, membawanya ke penginapan dan merawatnya. Sudah cukup? Belum, kita baca ayat 35: harga keempat: menyerahkan uang dua dinar kepada pemilik penginapan, 5. meminta pemilik peningapan untuk merawat orang itu dan jika uang dua dinar masih kurang, akan dibayar kemudian ketika dia kembali.

Stanley Jones, seorang misionari yang melayani di India suatu hari bertemu dengan Mahatma Gandhi dan dia tahu Gandhi menyimpan selipan “Khotbah Tuhan Yesus di Bukit.” Yang selalu dibacanya setiap hari.
Jones bertanya, “Mahatma, dapatkah anda memberikan saran bagaimana agar kekristenan bisa lebih diterima oleh orang India?”
Saudara tahu apa jawab Mahatma Gandhi? Ia mengatakan, “Saya percaya orang India akan banyak menerima kekristenan hanya dengan simple saja, please you all christians live like Christ.”
Ini adalah sebuah kalimat yang indah luar biasa yang keluar dari mulut seorang non-kristen sekaligus tamparan telak di wajah kita. Benar, saat ini cukup banyak gereja yang mengajar jemaatnya untuk mengejar harta dunia dan tidak pernah mengajar untuk mengejar karakter Kristus, sifat-sifat Kristus dalam hidupnya. Dan secara psikologis hal ini dapat dijelaskan yaitu umumnya tidak ada manusia yang suka ditegur, dikoreksi tapi manusia senang jika mendengar janji-janji. Martin Luther pernah mengatakan: “A religion that gives nothing, costs nothing, and suffers nothing, is worth nothing.” Artinya mengikut Yesus harus siap membayar harga. Tanpa menyangkal diri dan pikul Salib, kekristenan tidak berarti apa-apa.


Ayat 34 menyatakan kita harus saling mengasihi seperti Kristus sudah mengasihi kita lebih dulu. Artinya saling mengasihi bukanlah karena dia itu teman saya tetapi karena dia itu milik Kristus.
Ada satu kalimat yang paling indah pernah dikeluarkan oleh John Bunyan dalam bukunya “Pilgrim Progress,” kita belum menjalani apa artinya hidup kalau kita belum pernah memberi kepada orang yang tidak bisa membalas kita kembali. Karena pada waktu kita memberi kepada orang yang sanggup membalas kembali, itu artinya tukar kado. Tetapi kalau kita bisa memberi kepada orang yang tidak sanggup untuk memberi kita kembali, itu adalah sacrifice, itu adalah giving, itu adalah pemberian.
Untuk dapat mengasihi lebih dulu dibutuhkan sebuah penerimaan tanpa syarat. Apakah ini hal yang mudah atau hal yang sulit?
Sayangnya, mengasihi lebih dulu di kebudayaan gerejapun menjadi suatu seni yang terlupakan. Secara doktrin kita mengakui kita adalah manusia berdosa yang mendapat anugrah keselamatan secara gratis. Tetapi pada prakteknya gereja menampilkan diri sebagai kumpulan orang-orang terhormat, baik-baik, dan suci sehingga kesaksian di mimbarpun selalu bersifat past tense. ‘saya dulu jahat ini dan itu, sekarang sudah baik.’ tidak pernah saya mendengar kesaksian kalau dia sedang bergumul dari dosa perzinahan misalnya. Wah, kalau itu terjadi mungkin dia akan dijauhi seisi gereja!.
Dalam keadaan seperti ini tidak heran kalau kelompok Alcoholics Anonymous (AA) lebih dapat merubah manusia seperti kesaksian seorang yang bernama Jake yang ditulis oleh Dr. Henry Cloud dalam bukunya ‘Changes That Heal’:
‘Ketika saya berada di gereja atau bersama dengan teman-teman kristen saya, mereka hanya mengatakan kepada saya bahwa minum-minum itu dosa dan saya harus bertobat. Mereka tidak tahu berapa kali saya berusaha berhenti, berapa kali saya sudah berusaha menjadi orang kristen yang baik.’
‘Ketika saya masuk AA, saya mendapati saya dapat bersikap jujur mengenai kegagalan-kegagalan saya, dan yang lebih penting, saya dapat bersikap jujur mengenai keputusasaan saya. Pada waktu saya mendapati bahwa Allah dan AA menerima saya (tanpa syarat) dalam ketergantungan dan keputusasaan saya akan minuman keras, barulah saya mempunyai harapan’.
‘Sering kali gereja mengkhotbahkan kasih karunia, tapi saya tidak pernah menemukan penerimaan di sana untuk keberadaan saya sebenarnya dan selalu mengharapkan saya berubah. Dalam kelompok AA, mereka tidak hanya mengharapkan saya berubah, tapi juga mengatakan dengan diri saya sendiri, saya akan gagal. Mereka menyediakan diri untuk membantu dia.’
Kelepasan Jake pada minuman keras akhirnya terjadi ketika dia dapat menjadi dirinya sendiri dalam relasinya dengan Allah dan orang lain.


Kesimpulan
Banyak orang berkata bahwa kasih itu sifatnya universal. Malam ini kita belajar bahwa di atas kasih yang universal itu, orang kristen seharusnya meneladani kasih Kristus yaitu kasih yang tidak bersyarat, kasih yang berkorban. Motivasi utama Yesus adalah untuk menggenapi rencana penebusan manusia dan karena kasihlah Dia menyerahkan nyawa di kayu Salib.
Mari kita meneladani kasih Kristus dan belajar untuk saling mengasihi seperti Kristus sudah mengasihi kita lebih dulu.

Sebuah kisah terakhir berikut ini kiranya menjadi bahan renungan bagi kita semua:
Menjelang berakhirnya perang dunia II, Eropa mulai bangkit kembali. Sebagian dari negara Inggris telah diporak-porandakan oleh perang dan dalam keadaan hancur. Barangkali pemandangan yang paling menyedihkan dari semuanya adalah banyaknya anak yatim piatu yang kelaparan, berkeliaran di jalan-jalan di kota-kota yang hancur oleh perang.
Suatu pagi yang dingin, seorang serdadu Amerika sedang menuju baraknya di kota London. Ketika ia sedang berbelok dengan jeep-nya, ia melihat seorang anak kecil dengan hidung yang ditempelkan ke jendela kaca sebuah toko kue. Di dalam toko itu, nampak seorang koki sedang membuat adonan untuk donat. Anak perempuan tesebut hanya memandang tanpa kata-kata, mengamati tiap gerak-gerik koki itu. Serdadu itu segera menuju pinggiran jalan, memarkir jeep-nya dan turun menghampiri anak tersebut. Melalui kaca yang buram ia dapat melihat potongan-potongan kue panas yang membangkitkan selera dikeluarkan dari panggangan. Anak perempuan itu mengeluarkan air liur dan menarik nafas panjang melihat sang koki menempatkan kue-kue tersebut di rak pajangan.

Serdadu yang berdiri di samping anak itu merasa kasihan pada anak yatim piatu tanpa nama itu.
‘Nak,.....kamu mau ku-kue itu?’
Anak laki-laki itu terperanjat.
‘Ya, ya,......saya mau!’
Serdadu itu masuk ke dalam dan membeli selusin kue, memasukkannya ke dalam kantong, dan kembali menuju tempat anak perempuan tadi sedang berdiri di tengah-tengah dinginnya pagi kota London yang berkabut. Ia tersenyum, menyerahkan bungkusan kue tersebut dan berkata:
‘Ini buat kamu.’
Ketika berbalik pergi, ia merasa ada tarikan di jubahnya. Ia menengok ke belakang dan mendengar anak itu berkata dengan perlahan:
‘Tuan,......apakah engkau Tuhan?’

Saudara, ketika kita memberikan sesuatu pada orang yang tidak mampu membalas pemberian kita, saat itulah kita paling mirip dengan Tuhan.
Ketika kita menyangkal diri dan memberikan diri kita kepada orang ang tidak layak menerimanya, saat itulah saudara dan saya paling mirip dengan Tuhan.


Undangan
Sebelum kita masuk dalam doa perkenankanlah saya bertanya adakah kasih Allah yang merelakan Anak-Nya mati di kayu Salib menebus dosa saudara dan saya menyentuh hati sadara?. Adakah orang yang mau menerima Yesus sebagai Tuhan? Keselamatan itu mahal, keselamatan tidak dapat dibeli dengan harta dunia dan perbuatan baik manusia. Keselamatan itu seharga darah suci Yesus yang dicurahkan di kayu Salib. Adakah yang berpikir, Tuhan Yesus aku ini orang berdosa dan tidak layak, ampuni semua dosa-dosaku, jadilah Tuhan dan Juruselamatku. Kalau ada, jangan tahan hatimu, angkatlah tanganmu.
Pertanyaan terakhir, adakah orang yang malam ini sadar bahwa selama ini saya sudah hidup jauh dari Tuhan dan saat ini berketetapan untuk kembali ke jalan Tuhan? Kalau ada silahkan angkat tangan saudara.

081108
On His Grace,
hendra

No comments: