Thursday, November 13, 2008

Teladan Kasih Yesus

Teks: Yohanes 13:31-35

Pendahuluan
Beberapa minggu yang lalu di harian kompas Gde Prama memperkenalkan ucapan salam yang baru di awal pembicaraannya. Dia mengganti kata ‘salam sejahtera’ dengan kata ‘salam kasih’. Pada mulanya kata Gde Prama, orang-orang merasa aneh dengan kata salam kasih tetapi setelah dijelaskan bahwa kasih itu bersifat universal, maka orangpun menerima dengan senang hati.
Dari berita singkat itu, saya menangkap dua hal yaitu, pertama, orang merasa janggal dengan ucapan salam kasih karena kata ‘kasih’ selama ini konotasinya seakan-akan menjadi kata milik orang kristen. Kedua, rupa-rupanya kasih yang dimaksudkan oleh Gde Prama adalah kasih persaudaraan di antara bangsa Indonesia.
Ada sebuah pepatah barat yang berbunyi ‘like father, like son’ seperti apa bapaknya, seperti itu juga anaknya. Ternyata bangsa Indonesia juga mempunyai pepatah yang artinya sama yaitu ‘buah tak jatuh jauh dari pohonnya.’ Makna yang ingin dikatakan oleh kedua pepatah itu adalah suatu hal yang normal bila seorang anak mempunyai sifat yang mirip dengan ayahnya; adalah wajar bila seorang anak meneladani karakter ayahnya sehingga ayah dan anak punya sifat yang sama. Pepatah lain berkata anak bagaikan sebuah kertas kosong dan orang tua adalah penulis atau pelukisnya sehingga seperti apa jadinya anak itu setelah dewasa nanti adalah tanggung-jawab orang tuanya. Apakah saudara-saudara setuju?
Nah, dalam konteks orang kristen, apakah pepatah di atas berlaku atas diri kita? Apakah hidup makin lama sebagai orang kristen membuat kita semakin mirip dengan Kristus? apakah kita memiliki kasih seperti kasih Kristus?
Malam ini kita belajar bersama-sama untuk meneladani kasih Kristus.

Ayat 31-32. Latar belakang ayat ini adalah Perjamuan Malam Terakhir dan sebenarnya ketika Yudas pergi, Yesus tahu bahwa Yudas pergi untuk menyerahkan diri-Nya kepada orang Yahudi. Yesus tahu kini tibalah waktu bagi diri-Nya untuk menerima semua penderitaan dan Salib. Ternyata Yesus menerima penderitaan sebagai suatu kehormatan besar bagi diri-Nya. Mengapa begitu? Karena setelah Yudas pergi, Yesus berkata ‘Sekarang Anak Manusia dipermuliakan dan Allah dipermuliakan di dalam Dia.’ Artinya apa? hal ini tidak hanya sekedar bagi kemuliaan Allah Bapa melainkan harus dikaitkan dengan rencana keselamatan dalam kekekalan. Dari perkataan ini kita melihat motivasi utama Yesus adalah untuk menggenapi rencana penebusan manusia dan Dia rela mati ganti diri kita karena begitu besar kasih-Nya pada saudara dan saya yang berdosa dan tidak layak.
Nah, di sini kita melihat ada sebuah perbedaan yang mendasar antara kasih versi Gde Prama dengan kasih versi Yesus. Kasih yang dimaksud oleh Gde Prama adalah kasih Phileo yang artinya kasih persaudaraan. Kasih antara kakak dan adik, antara ibu dan anaknya. Kasih seperti ini dapat secara otomatis timbul dari hati seseorang dan bersifat bersyarat. Artinya saya mengasihi anak saya, ya, karena anak itu anak saya. Jika anak itu bukan anak saya, tentu kasih yang saya berikan tentu berbeda kadarnya.
Kasih Yesus adalah kasih Agape yaitu kasih yang tidak bersyarat. Saya mencoba menggambarkan kasih Agape sbb:

Tahun 1873 ada seorang misionari bernama Joseph Damien dari Belgia pergi ke satu pulau di Hawaii bernama pulau Molokai. Pulau Molokai adalah penampungan tempat orang-orang kusta ditaruh untuk tinggal di situ. Pastor Damien mengambil keputusan untuk melayani orang-orang kusta itu. Selama 12 tahun dia menjadi dokter yang merawat orang kusta, membangun rumah-rumah, membangun sekolah dan melayani dengan setia, tetapi tidak banyak orang percaya Tuhan. Akhirnya dia kecewa dan putus asa dan mengambil keputusan meninggalkan pulau itu. Waktu dia hendak berangkat dan naik ke kapal yang akan membawanya kembali ke Belgia, dia terkejut melihat di tangannya ada bercak-bercak putih dan merah dan dia tidak bisa merasakan sakit. Dia kena kusta. Langsung dia turun dan kembali, tidak jadi meninggalkan pulau Molokai. Dan kemudian di seluruh pulau itu tersebar kabar kalau pastor Damien kena kusta. Hari itu semua orang kusta datang ke rumah dia, dan hari minggu di gerejanya penuh sesak dengan orang kusta. Kenapa? Orang-orang kusta itu berlinang air mata, menangis haru karena tahu dia datang melayani sampai dia sendiri terkena penyakit kusta. Kasih seperti apakah itu? Hanya kasih Tuhan yang seperti itu. Itulah kasih Agape. Itulah yang Tuhan Yesus nyatakan kepada kita. Marilah kita juga belajar memiliki hati Tuhan seperti itu. Bukan hanya jatuh kasihan tetapi ‘sharing the pain.’ Itulah ‘the sanctification of emotion.’ Belajar bersukacita dengan apa yang mendatangkan sukacita Allah, mempunyai empati seperti Tuhan, menangis seperti Tuhan menangis.
Beberapa puluh tahun yang lalu, kisah hidup pastor Damien ini menginspirasi seorang wanita Jerman sehingga dia memberikan hidupnya melayani orang-orang kusta di NTT sampai sekarang. Nama wanita itu saya lupa, tapi kira-kira dua-tiga bulan yang lalu kisahnya muncul di acara Kick Andy.


Ayat 33 mengajarkan akibat atau harga yang harus dibayar oleh Yesus akibat kasih-Nya kepada kita yaitu mengorbankan nyawa-Nya.
Salah satu masalah terbesar gereja hari ini adalah hilangnya seni mengasihi di antara orang kristen. Hari-hari ini manusia sulit untuk berbelas kasih terhadap orang lain dan keadaan ini akan semakin bertambah parah di kemudian hari.
Apakah saudara setuju? Mengapa kita sulit untuk mengasihi orang lain? Saya memikirkan paling tidak ada dua alasan:
Pertama, Di tengah dunia yang begitu kompetitif dan begitu cepat berubah seperti hari ini, manusia dipaksa untuk memikirkan keadaan diri sendiri. Lingkungan kerja semakin menekan dan menyita waktu dan pikiran kita sementara lingkungan sekolahpun menuntut siswa berkutat seharian penuh di sekolah dan tempat les. Di Pekalongan saja, anak kelas 4 SD mempunyai jadwal sekolah dari pukul 07.00 sampai 14.30. Setelah itu dilanjutkan dengan les ini dan itu sampai sore bahkan kadang malam hari. Pertemuan dengan orang tua terjadi hanya beberapa jam setiap hari, dalam situasi kedua pihak sudah kecapean sehingga tidak jarang orang tua marah-marah pada anaknya. Ketika saya SD, seingat saya juara umum sekolah adalah anak yang mencapai nilai rata-rata 8. Hari ini kalau ada anak yang mendapat nilai rata-rata 8 artinya dia ranking satu dari belakang.
Pola hidup yang penuh tuntutan di mana anak tidak mendapatkan apa yang seharusnya didapatnya (kasih, perlidungan, perhatian orang tua dll) dan mendapatkan hal-hal yang seharusnya tidak ditanggungnya (tuntutan yang berlebih) mau tidak mau akan membentuk suatu pribadi yang tidak mengenal arti kasih karena memang tidak pernah merasakan dikasihi orang lain. Anak-anak ini akan tumbuh dewasa menjadi pribadi yang narsis. Pribadi narsis artinya dia akan berhubungan dengan orang lain hanya dengan satu tujuan yaitu untuk mendapatkan sesuatu dari orang lain. Jadi pikirannya hanya ‘apa yang saya bisa dapat dari kamu, apa yang kamu bisa berikan kepadaku.’ Saudara, bukankah tanda-tandanya sudah dapat kita lihat saat ini? Ketika orang datang ke gereja hanya dengan satu tujuan: apa yang Tuhan bisa berikan padaku? Bahkan kita lihat ada oknum pendeta yang membujuk jemaat seperti membujuk anak kecil: beri persembahan, beri perpuluhan, nanti Tuhan ganti berlipat kali ganda. Ini kan seperti kita bicara ke anak kecil: makan obat ini, nanti papa belikan kamu mainan. Saya tidak menyangkal Alkitab berisi banyak sekali janji-janji Allah, saya tidak anti berkat. Hanya orang gila yang tidak mau berkat Tuhan. Masalahnya Alkitab tidak hanya berisi janji tapi juga perintah untuk mengejar kekudusan, menyangkal diri dan pikul Salib. Hanya memberitakan berkat tanpa kewajiban artinya mengkorting isi Alkitab. Dalam menu 4 sahat 5 sempurna, berkat ibarat susu. Bayangkan kalau kita tiap hari hanya minum susu saja tanpa telur, nasi, sayur, dan daging. Dapatkah kita bertumbuh secara sehat?
Kakak saya adalah seorang pendeta yang melayani di Melbourne, suatu hari ada seorang pendeta temannya didekati oleh gereja lain. Rupa-rupanya gereja itu menawarkan teman kakak saya untuk bergabung dengan gereja mereka dengan janji gaji yang berlipat kali ganda. Syaratnya satu: ‘frekuensi’ khotbahnya dirubah menjadi teologi kemakmuran.

Kedua, kita sadar kasih sejati tidak murah, kasih sejati harganya mahal dan menuntut perbuatan nyata. Mari kita baca Lukas 10: 33-35. Mari kita hitung apa yang harus dibayar oleh orang Samaria akibat hatinya berbelas kasih: ayat 34: Pertama: membalut, berarti orang Samaria itu mengeluarkan kain-kain yang mungkin barang dagangannya, harga kedua yang dibayar: menyiraminya dengan minyak dan anggur, 3. menaikkan orang itu ke-keledai tunggangannya, artinya dia sendiri berjalan kali, membawanya ke penginapan dan merawatnya. Sudah cukup? Belum, kita baca ayat 35: harga keempat: menyerahkan uang dua dinar kepada pemilik penginapan, 5. meminta pemilik peningapan untuk merawat orang itu dan jika uang dua dinar masih kurang, akan dibayar kemudian ketika dia kembali.

Stanley Jones, seorang misionari yang melayani di India suatu hari bertemu dengan Mahatma Gandhi dan dia tahu Gandhi menyimpan selipan “Khotbah Tuhan Yesus di Bukit.” Yang selalu dibacanya setiap hari.
Jones bertanya, “Mahatma, dapatkah anda memberikan saran bagaimana agar kekristenan bisa lebih diterima oleh orang India?”
Saudara tahu apa jawab Mahatma Gandhi? Ia mengatakan, “Saya percaya orang India akan banyak menerima kekristenan hanya dengan simple saja, please you all christians live like Christ.”
Ini adalah sebuah kalimat yang indah luar biasa yang keluar dari mulut seorang non-kristen sekaligus tamparan telak di wajah kita. Benar, saat ini cukup banyak gereja yang mengajar jemaatnya untuk mengejar harta dunia dan tidak pernah mengajar untuk mengejar karakter Kristus, sifat-sifat Kristus dalam hidupnya. Dan secara psikologis hal ini dapat dijelaskan yaitu umumnya tidak ada manusia yang suka ditegur, dikoreksi tapi manusia senang jika mendengar janji-janji. Martin Luther pernah mengatakan: “A religion that gives nothing, costs nothing, and suffers nothing, is worth nothing.” Artinya mengikut Yesus harus siap membayar harga. Tanpa menyangkal diri dan pikul Salib, kekristenan tidak berarti apa-apa.


Ayat 34 menyatakan kita harus saling mengasihi seperti Kristus sudah mengasihi kita lebih dulu. Artinya saling mengasihi bukanlah karena dia itu teman saya tetapi karena dia itu milik Kristus.
Ada satu kalimat yang paling indah pernah dikeluarkan oleh John Bunyan dalam bukunya “Pilgrim Progress,” kita belum menjalani apa artinya hidup kalau kita belum pernah memberi kepada orang yang tidak bisa membalas kita kembali. Karena pada waktu kita memberi kepada orang yang sanggup membalas kembali, itu artinya tukar kado. Tetapi kalau kita bisa memberi kepada orang yang tidak sanggup untuk memberi kita kembali, itu adalah sacrifice, itu adalah giving, itu adalah pemberian.
Untuk dapat mengasihi lebih dulu dibutuhkan sebuah penerimaan tanpa syarat. Apakah ini hal yang mudah atau hal yang sulit?
Sayangnya, mengasihi lebih dulu di kebudayaan gerejapun menjadi suatu seni yang terlupakan. Secara doktrin kita mengakui kita adalah manusia berdosa yang mendapat anugrah keselamatan secara gratis. Tetapi pada prakteknya gereja menampilkan diri sebagai kumpulan orang-orang terhormat, baik-baik, dan suci sehingga kesaksian di mimbarpun selalu bersifat past tense. ‘saya dulu jahat ini dan itu, sekarang sudah baik.’ tidak pernah saya mendengar kesaksian kalau dia sedang bergumul dari dosa perzinahan misalnya. Wah, kalau itu terjadi mungkin dia akan dijauhi seisi gereja!.
Dalam keadaan seperti ini tidak heran kalau kelompok Alcoholics Anonymous (AA) lebih dapat merubah manusia seperti kesaksian seorang yang bernama Jake yang ditulis oleh Dr. Henry Cloud dalam bukunya ‘Changes That Heal’:
‘Ketika saya berada di gereja atau bersama dengan teman-teman kristen saya, mereka hanya mengatakan kepada saya bahwa minum-minum itu dosa dan saya harus bertobat. Mereka tidak tahu berapa kali saya berusaha berhenti, berapa kali saya sudah berusaha menjadi orang kristen yang baik.’
‘Ketika saya masuk AA, saya mendapati saya dapat bersikap jujur mengenai kegagalan-kegagalan saya, dan yang lebih penting, saya dapat bersikap jujur mengenai keputusasaan saya. Pada waktu saya mendapati bahwa Allah dan AA menerima saya (tanpa syarat) dalam ketergantungan dan keputusasaan saya akan minuman keras, barulah saya mempunyai harapan’.
‘Sering kali gereja mengkhotbahkan kasih karunia, tapi saya tidak pernah menemukan penerimaan di sana untuk keberadaan saya sebenarnya dan selalu mengharapkan saya berubah. Dalam kelompok AA, mereka tidak hanya mengharapkan saya berubah, tapi juga mengatakan dengan diri saya sendiri, saya akan gagal. Mereka menyediakan diri untuk membantu dia.’
Kelepasan Jake pada minuman keras akhirnya terjadi ketika dia dapat menjadi dirinya sendiri dalam relasinya dengan Allah dan orang lain.


Kesimpulan
Banyak orang berkata bahwa kasih itu sifatnya universal. Malam ini kita belajar bahwa di atas kasih yang universal itu, orang kristen seharusnya meneladani kasih Kristus yaitu kasih yang tidak bersyarat, kasih yang berkorban. Motivasi utama Yesus adalah untuk menggenapi rencana penebusan manusia dan karena kasihlah Dia menyerahkan nyawa di kayu Salib.
Mari kita meneladani kasih Kristus dan belajar untuk saling mengasihi seperti Kristus sudah mengasihi kita lebih dulu.

Sebuah kisah terakhir berikut ini kiranya menjadi bahan renungan bagi kita semua:
Menjelang berakhirnya perang dunia II, Eropa mulai bangkit kembali. Sebagian dari negara Inggris telah diporak-porandakan oleh perang dan dalam keadaan hancur. Barangkali pemandangan yang paling menyedihkan dari semuanya adalah banyaknya anak yatim piatu yang kelaparan, berkeliaran di jalan-jalan di kota-kota yang hancur oleh perang.
Suatu pagi yang dingin, seorang serdadu Amerika sedang menuju baraknya di kota London. Ketika ia sedang berbelok dengan jeep-nya, ia melihat seorang anak kecil dengan hidung yang ditempelkan ke jendela kaca sebuah toko kue. Di dalam toko itu, nampak seorang koki sedang membuat adonan untuk donat. Anak perempuan tesebut hanya memandang tanpa kata-kata, mengamati tiap gerak-gerik koki itu. Serdadu itu segera menuju pinggiran jalan, memarkir jeep-nya dan turun menghampiri anak tersebut. Melalui kaca yang buram ia dapat melihat potongan-potongan kue panas yang membangkitkan selera dikeluarkan dari panggangan. Anak perempuan itu mengeluarkan air liur dan menarik nafas panjang melihat sang koki menempatkan kue-kue tersebut di rak pajangan.

Serdadu yang berdiri di samping anak itu merasa kasihan pada anak yatim piatu tanpa nama itu.
‘Nak,.....kamu mau ku-kue itu?’
Anak laki-laki itu terperanjat.
‘Ya, ya,......saya mau!’
Serdadu itu masuk ke dalam dan membeli selusin kue, memasukkannya ke dalam kantong, dan kembali menuju tempat anak perempuan tadi sedang berdiri di tengah-tengah dinginnya pagi kota London yang berkabut. Ia tersenyum, menyerahkan bungkusan kue tersebut dan berkata:
‘Ini buat kamu.’
Ketika berbalik pergi, ia merasa ada tarikan di jubahnya. Ia menengok ke belakang dan mendengar anak itu berkata dengan perlahan:
‘Tuan,......apakah engkau Tuhan?’

Saudara, ketika kita memberikan sesuatu pada orang yang tidak mampu membalas pemberian kita, saat itulah kita paling mirip dengan Tuhan.
Ketika kita menyangkal diri dan memberikan diri kita kepada orang ang tidak layak menerimanya, saat itulah saudara dan saya paling mirip dengan Tuhan.


Undangan
Sebelum kita masuk dalam doa perkenankanlah saya bertanya adakah kasih Allah yang merelakan Anak-Nya mati di kayu Salib menebus dosa saudara dan saya menyentuh hati sadara?. Adakah orang yang mau menerima Yesus sebagai Tuhan? Keselamatan itu mahal, keselamatan tidak dapat dibeli dengan harta dunia dan perbuatan baik manusia. Keselamatan itu seharga darah suci Yesus yang dicurahkan di kayu Salib. Adakah yang berpikir, Tuhan Yesus aku ini orang berdosa dan tidak layak, ampuni semua dosa-dosaku, jadilah Tuhan dan Juruselamatku. Kalau ada, jangan tahan hatimu, angkatlah tanganmu.
Pertanyaan terakhir, adakah orang yang malam ini sadar bahwa selama ini saya sudah hidup jauh dari Tuhan dan saat ini berketetapan untuk kembali ke jalan Tuhan? Kalau ada silahkan angkat tangan saudara.

081108
On His Grace,
hendra

Pengenalan Misi

Teologi vs Penginjilan, Teladan Paulus (Filipi 3: 17)
Siapakah Paulus, seorang teolog atau seorang penginjil?.
Melalui teladan yang diberikan oleh Paulus, sudah seharusnya dualisme antara teologi dan penginjilan diakhiri. Sebagai seorang teolog dan penginjil terbesar, Paulus tidak pernah mempertentangkan teologi dan penginjilan sebaliknya dia memberikan contoh sebagai seorang teolog yang mengerti Kitab Suci secara mendalam, yang berdasarkan pengenalannya akan Firman itulah Paulus melakukan penginjilan. Berdasarkan teladan Paulus, saya menyimpulkan bahwa teologi dan penginjilan sebenarnya bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Mengutip ucapan dosen saya: seorang yang belajar teologi yang benar dan secara benar tidak bisa tidak pasti akan melakukan penginjilan.
Di sini kita melihat sebuah kebenaran yang tidak boleh dibalik: pertama teologi, kedua penginjilan. Penginjilan harus berdasar pada teologi, dan teologi harus berdasar pada wahyu Allah dalam Alkitab. Pernyataan penginjilan harus berdasar pada teologi tidaklah diartikan kita harus belajar teologi secara mendalam, mendapat gelar STh, M. Div, MTh, Doktor barulah layak memberitakan Injil. Setiap orang yang sudah mendapat anugrah keselamatan seyogyanya membagikan bagian yang sudah diketahinya kepada orang lain. Sebuah ilustrasi dapat membantu untuk lebih mengerti bagian ini: sebuah mobil yang melakukan perjalanan dari Jogya ke Jakarta pada malam hari pasti menyalakan lampu. Kita tidak akan menengur supirnya karena lampunya tidak bersinar sampai ke Jakarta, melainkan hanya bersinar sepanjang kira-kira 60 meter. Jarak 60 meter adalah jarak yang memadai karena setelah berjalan 60 meter akan ada sinar untuk 60 meter lagi. Sering dalam khotbah-khotbah diserukan agar kita menjadi being like Christ, but you can not be liked Christ whithout doing like Christ.

Saudara-saudara, dalam sejarah peradaban manusia, belum pernah dunia menjadi sedemikian terbuka seperti hari ini.
Kemajuan teknologi dan transportasi membuat dunia menjadi ‘borderless world’ dan semakin ‘kecil’. Malam ini kita mengadakan dinner meeting di Magelang, kalau mau besok pagi kita dapat ikut breakfast meeting di Singapura, lunch meeting di China. Inilah masa paling mudah bagi misi PI bukan?
Dewasa ini jumlah penduduk dunia ada kira-kira 6,5 milyar manusia, sedangkan jumlah orang kristen dan katolik ada kira-kira 2 milyar. Di seluruh dunia ada kira-kira 240 negara dengan 16.000 kelompok suku dengan kira-kira 9.100 diangap terjangkau dan 6.900 masih terabaikan. Sebagian besar suku yang masih terabaikan hidup dalam jendela 10/40 LU yaitu di sekitar Afrika Utara, Timur sampai Asia.
Bila kita melihat sejarah misi, maka masa kini kita berada dalam era ketiga misi modern. Era pertama menjangkau daerah-daerah pesisir (1792-1910 M) dengan William Carey sebagai bapa misi modern, era kedua (1865-1980 M) menjangkau daerah-daerah pedalaman dengan tokohnya yang terkenal, Hudson Taylor. Saudara, siapakah Hudson Taylor? Dia adalah misionaris generasi pertama di China dan sampai hari ini lima generasi Huson Taylor mengabdikan diri menjadi misionaris di China. Ada dua buah ucapan Hudson Taylor yang sangat berkesan buat saya:
God's work, done in God's way, will never lack for supplies.
If I had a thousand pounds, China should have it. If I had a thousand lives, China should have them.
Sekarang ini, setiap harinya ratusan ribu penduduk China menerima Kristus sebagai Juruselamatnya.

Era ketiga dimulai 1934 sampai sekarang dengan strategi menjangkau suku-suku bangsa yang tersembunyi dan terabaikan. Apa itu suku terabaikan, kita akan lihat nanti.
Mengapa saya bercerita banyak mengenai misi penginjilan?.
Hal ini tidak bukan karena dua hal yaitu:
Pertama: Perintah Tuhan melalui Amanat Agung di Matius 28:19-20. “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman."
Kata ‘semua bangsa’ dalam bahasa Yunani diartikan sebagai suku-suku bangsa. Perintah artinya harus dilakukan oleh semua umat kristiani bukan hanya hamba Tuhan dan penginjil.
Matius 28:16 seakan-akan menunjukkan bahwa Amanat Agung hanya diberikan kepada sebelas murid-Nya, tetapi penelaahan lebih cermat menunjukkan bahwa bersama sebelas murid itu ada “lebih daripada 500 saudara” (1Kor 15:6). Jelas bahwa Amanat Agung diberikan kepada semua orang percaya dan tidak hanya ditujukan kepada pendeta, penginjil, guru Injil saja.
Jadi sebagai inisiator, Allah berkenan untuk melibatkan manusia dalam rencana misi-Nya. Kita semua mendapat kehormatan untuk bekerja dan dipakai Allah untuk menggenapi Amanat Agung-Nya. Keselamatan kita adalah anugerah semata karena kita yang berdosa sebenarnya tidak layak, tidak berhak untuk mendapatnya, tetapi ternyata Allah bahkan bertindak lebih dari itu dengan menjadikan semua orang percaya menjadi co-worker-Nya, untuk menjadi alat-Nya bagi keselamatan orang lain. Bukankah ini luar biasa?

Peran Sebagai Senders
Lalu apakah semua orang kristen harus menjadi misionari?
Dalam suratnya kepada jemaat Roma, Paulus mendefinisikan dengan indah pengelompokan tugas orang percaya, yaitu mereka yang diutus (goers) dan mereka yang mengutus (senders). Roma 10: 14-15 “Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia. Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya? Dan bagaimana mereka dapat memberitakan-Nya, jika mereka tidak diutus? Seperti ada tertulis: “Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik!”.
Di sini kita melihat semua orang percaya diperintahkan untuk terlibat dalam Amanat Agung, tetapi tidak semua orang harus menjadi misionari. Setiap kita mempunyai peran masing-masing: sebagai misionari dan sebagai orang yang mengirim, sebagai goers dan sebagai senders.

Saya ulangi: terlibat dalam misi bukan berarti harus menjadi misionaris tapi terlibat dalam pekerjaan misi. Sebuah misi terdiri dari orang yang dikirim dan orang-orang yang mengirim. Seperti sebuah team sepakbola, yang bermain dilapangan hanya 11 orang tapi yang terlibat sebagai team management dll bisa ratusan orang.

Neal Pirolo menulis bahwa ternyata bentuk dukungan dari para pengutus tidak hanya sekedar dukungan finansial. Secara lengkap bentuk dukungan yang diperlukan adalah sebagai berikut:
· Dukungan moral.
· Dukungan logistik
· Dukungan finansial.
· Dukungan doa.
· Dukungan komunikasi.
· Dukungan ketika pulang.
Semua dukungan di atas sangat penting karena sebagai seorang manusia normal, seorang misionaris membutuhkan dukungan dari komunitasnya mulai dari sebelum keberangkatannya ke ladang misi, selama di ladang misi, dan setelah kepulangannya dari ladang misi. Sebagai contoh, seorang misinaris akan menghadapi dua kali kejutan budaya. Pertama, di tempat ladang misi dan kedua, ketika dia kembali pulang ke rumahnya. Jadi pekerjaan misi tidak se-simple kelihatannya melainkan pekerjaan besar yang melibatkan banyak orang dalam tingkat komitmen yang tinggi.
2/3 orang yang belum pernah mendengar Injil diberitakan hidup di negara-negara yang paling miskin dan paling tertutup bagi para misionaris. Di sinilah kaum awam profesional sekuler (tent-maker) yang mendapat pelatihan misi mempunyai peran yang sangat penting bagi misi. Contoh TKW Filipina, TKW di Arab Saudi.

Kedua: Matius 24: 3 “Ketika Yesus duduk di atas Bukit Zaitun, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya untuk bercakap-cakap sendirian dengan Dia. Kata mereka: "Katakanlah kepada kami, bilamanakah itu akan terjadi dan apakah tanda kedatangan-Mu dan tanda kesudahan dunia?". Murid-murid Yesus menanyakan kapankah kiamat akan terjadi. Yesus menjawab dalam ayat 14: “Dan Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya." Jadi sebelum Injil diberitakan kepada semua suku bangsa, kiamat belumlah akan tiba. Kalau mau cepat kiamat gampang, semua orang kristiani se-dunia besok pagi menginjili 2-3 orang, sorenya mungkin Yesus datang.
Amanat Agung diberikan Yesus setelah kebangkitan-Nya, jadi ada suatu masa di antara Amanat Agung dan penggenapan Mat 24:14 yang disebut grace period. Inilah masa sekarang di mana anugerah keselamatan masih dicurahkan. Sampai kapan? Sampai semua suku di dunia mendengar pemberitaan Injil.

Megingat pentingnya misi PI, pertanyaan saya: sudah berapa banyak kita dan gereja kita sudah melakukan sesuatu bagi misi penginjilan? Istilah penginjilan sebenarnya berbeda dengan misi. Penginjilan biasanya dilakukan dalam sebuah budaya yang sama, sedangkan misi umumnya dilakukan secara lintas budaya. Misalnya orang Magelang dikirim ke Afrika. Tetapi, misi lintas budaya tidak harus pergi ke luar negeri. Misalnya di Jogya atau Jepara kan banyak orang asing?

Mengapa gereja yang misioner langka? Karena dianggap mahal dan memang hanya sedikit orang kristiani yang mempunyai visi akan PI. Sebenarnya misi tidak mahal. Contoh gereja di Ngresep. Gereja itu hanya mempunyai 150 anggota yang sebagian besar berstatus karyawan biasa. Kalau kita lihat pastorinya, wah, bergaya modern yaitu minimalis. Saking minimalisnya sampai tidak ada perabotnya!. Bahkan motor saja tidak punya. Tapi, mereka punya 7 cabang, mereka gereja yang misioner di mana 30% pendapatannya digunakan untuk misi. Setiap minggu setiap jemaat memberikan persembahan khusus untuk pekerjaan misi minimal Rp. 100,- ternyata dalam satu tahn terkumpul lebih dari Rp. 20 juta. Coba kita bandingkan dengan gereja kita.
Bila kita sudah menangkap visi Tuhan dan visi itu sudah menangkap diri kita, pasti kita akan menjadi orang kristen yang misioner. Misi berbeda dengan membagi sembako pada orang-orang di sekitar gereja. Membagi sembako itu pelayanan kasih atau diakonia.

Alasan sebenarnya hanya dua: belum tahu perintah Tuhan atau sengaja mengabaikannya.
Kemajuan dunia dewasa ini mau tidak mau mempunyai dampak pada kehidupan dan gaya hidup masyarakat. Tanpa sadar kehidupan kita diarahkan untuk menjadi semakin individualistis. Misalnya kalau kita perhatikan anak-anak kita sekarang sukanya apa? nonton TV dan main game komputer bukan? Kita dulu suka main sepakbola, main bareng-bareng bukan?. Kemajuan yang pada akhirnya membuat sebagian masyarakat menjadi semakin makmur dan individulistis (terutama dunia barat) ternyata mempunyai dampak pada kekristenan:

Tahun
1972
1982
1992
2000
Jumlah misionaris
non-barat
5.000
15.000
40.000
100.000

Tahun
1800
1900
1950
1980
2000
% jumlah umat
Kristiani non-barat
1%
9%
32%
50%
80%


Terjangkau
Belum terjangkau
Total
Jumlah suku bangsa
9.100
6.900
16.000
Jumlah misionaris
74%
26%
100%

Pikiran apa yang terbesit dalam benak saudara melihat data di atas?

Rick Warren dalam PDL secara tepat menyatakan bahwa manusia harus mempunyai tujuan hidup dan tujuan hidup itu tidak akan kita temukan dalam diri kita sendiri. Tujuan hidup itu harus kita temukan melalui Sang Pencipta karena Sang Penciptalah yang paling tahu, Ia menciptakan sesuatu dengan tujuan apa.
Ada lima tujuan Allah bagi hidup kita masing-masing yaitu:
Kita direncanakan bagi kesenangan Allah-Penyembahan.
Kita dibentuk untuk keluarga Allah-Persekutuan.
Kita diciptakan untuk menjadi serupa dengan Kristus-Pemuridan.
Kita dibentuk untuk melayani Allah-Pelayanan.
Kita diciptakan untuk sebuah misi-Penginjilan.

Saya menyimpulkan bahwa:
Penyembahan adalah gaya hidup kita dalam berhubungan dengan Allah secara vertikal, Tujuan 2 menjalin hubungan dengan saudara seiman, berkomunitas. T3 adalah ‘kawah candimuka’ di mana kita belajar teologi, doktrin dll. T4 kita praktek untuk belajar melayani saudara seiman dalam lingkungan gereja. T5 adalah praktek melakukan Amanat Agung (Mat 28:19-20). Bukankah Allah kita adalah Allah yang sangat sistematis? Urutan ini jangan dibalik-balik karena urutan ini merupakan tahapan yang harus dilalui kita semua.
Gereja pada umumnya jarang yang melaksanakan 5 tujuan di atas secara terpadu. Ada yang menekankan pemuridan, atau pelayanan, atau penyembahan, atau persekutuan tapi gereja yang misioner sangatlah langka. Sebuah survey menyatakan bahwa dari 100% penerimaan uang di gereja, 95,5% digunakan untuk keperluan intern, 4% untuk membuka cabang, dan 0.5% untuk misi. Apakah gambaran gereja yang Alkitabiah seperti ini?

Saya menutup renungan malam ini dengan sebuah kisah nyata yang diambil dari sebuah milis:

Sebuah Kisah Dari Afrika
Pada tahun 1921, dua pasang suami istri dari Stockholm (Swedia), menjawab
panggilan Allah untuk melayani misi penginjilan diAfrika. Kedua pasang suami istri ini menyerahkan hidupnya untuk mengabarkan Injil dalam suatu kebaktian pengutusan Injil. Mereka terbeban untuk melayani negara Belgian Kongo, yang sekarang bernama Zaire. Mereka adalah David dan Svea Flood, serta Joel dan Bertha Erickson.
Setelah tiba di Zaire, mereka melapor ke kantor Misi setempat. Lalu dengan menggunakan parang, mereka membuka jalan melalui hutan pedalaman yang dipenuhi nyamuk malaria. David dan Svea membawa anaknya David Jr. yang masih berumur 2 tahun. Dalam perjalanan, David Jr. terkena penyakit malaria.
Tiba di tengah hutan, mereka menemukan sebuah desa di pedalaman. Namun penduduk desa ini tidak mengijinkan mereka memasuki desanya.
Karena tidak menemukan desa lain, mereka akhirnya terpaksa tinggal di hutan dekat desa tersebut. Setelah beberapa bulan tinggal di tempat itu, Mereka menderita kesepian dan kekurangan gizi. Selain itu, mereka juga jarang mendapat kesempatan untuk berhubungan dengan penduduk desa.
Setelah enam bulan berlalu, keluarga Erickson memutuskan untuk kembali ke kantor misi. Namun keluarga Flood memilih untuk tetap tinggal, apalagi karena saat Itu Svea baru hamil dan sedang menderita malaria yang cukup buruk.
Selama beberapa bulan Svea mencoba bertahan melawan demamnya yang Semakin memburuk. Namun di tengah keadaan seperti itu ia masih menyediakan waktunya untuk melakukan bimbingan rohani kepada seorang anak kecil penduduk asli dari desa tersebut.
Dapat dikatakan anak kecil itu adalah satu-satunya hasil pelayanan Injil melalui keluarga Flood ini. Saat Svea melayaninya, anak kecil ini Hanya tersenyum kepadanya. Penyakit malaria yang diderita Svea semakin Memburuk sampai ia hanya bisa berbaring saja. Tapi bersyukur bayi perempuannya berhasil lahir dengan selamat tidak kurang suatu apa.
Namun Svea tidak mampu bertahan. Seminggu kemudian keadaannya sangat buruk dan menjelang kepergiannya, ia berbisik kepada David, "Berikan nama Aina pada anak kita," lalu ia meninggal.
David amat sangat terpukul dengan kematian istrinya. Ia membuat peti Mati buat Svea, lalu menguburkannya. Saat dia berdiri di samping kuburan, ia memandang pada anak laki-lakinya sambil mendengar tangis bayi Perempuannya dari dalam gubuk yang terbuat dari lumpur. Timbul kekecewaan yang sangat dalam di hatinya. Dengan emosi yang tidak terkontrol David berseru, "Tuhan, mengapa Kau ijinkan hal ini terjadi? Bukankah kami datang kemari untuk memberikan hidup kami dan melayani Engkau?! Istriku yang cantik dan pandai, sekarang telah tiada. Anak sulungku kini baru berumur 3 tahun dan Nyaris tidak terurus, apalagi si kecil yang baru lahir. Setahun lebih kami Ada di hutan ini dan kami hanya memenangkan seorang anak kecil yang bahkan mungkin belum cukup memahami berita Injil yang kami ceritakan. Kau telah mengecewakan aku, Tuhan. Betapa sia-sianya hidupku!"
Kemudian David kembali ke kantor misi Afrika. Saat itu David bertemu Lagi dengan keluarga Erickson. David berteriak dengan penuh kejengkelan:
"Saya akan kembali ke Swedia! Saya tidak mampu lagi mengurus anak ini. Saya ingin titipkan bayi perempuanku kepadamu." Kemudian David memberikan Aina kepada keluarga Erickson untuk dibesarkan. Sepanjang perjalanan ke Stockholm, David Flood berdiri di atas dek kapal. Ia merasa sangat kesal kepada Allah. Ia menceritakan kepada semua orang tentang pengalaman pahitnya, bahwa ia telah mengorbankan segalanya tetapi berakhir dengan kekecewaan. Ia yakin bahwa ia sudah berlaku setia tetapi Tuhan membalas hal itu dengan cara tidak mempedulikannya.
Setelah tiba di Stockholm, David Flood memutuskan untuk memulai usaha di bidang import. Ia mengingatkan semua orang untuk tidak menyebut nama Tuhan didepannya. Jika mereka melakukan itu, segera ia naik pitam dan marah. David akhirnya terjatuh pada kebiasaan minum-minuman keras.
Tidak lama setelah David Flood meninggalkan Afrika, pasangan suami-istri Erikson yang merawat Aina meninggal karena diracun oleh kepala suku dari daerah dimana mereka layani. Selanjutnya si kecil Aina diasuh oleh Arthur dan Anna Berg. Pada saat-saat sendirian si Aggie sering bermain dengan khayalan.
Ia sering membayangkan bahwa ia memiliki empat saudara laki-laki dan satu saudara perempuan, dan ia memberi nama kepada masing-masing saudara khayalannya.
Kadang-kadang ia menyediakan meja untuk bercakap-cakap dengan saudara khayalannya. Dalam khayalannya ia melihat bahwa saudara perempuannya selalu memandang dirinya. Keluarga Berg akhirnya kembali ke Amerika dan menetap di Minneapolis.
Setelah dewasa, Aggie berusaha mencari ayahnya tapi sia-sia. Aggie menikah dengan Dewey Hurst, yang kemudian menjadi presiden dari sekolah Alkitab Northwest Bible College. Sampai saat itu Aggie tidak mengetahui bahwa ayahnya telah menikah lagi dengan adik Svea, yang tidak mengasihi Allah dan telah mempunyai anak lima, empat putra dan satu putri (tepat seperti khayalan Aggie). Suatu ketika Sekolah Alkitab memberikan tiket pada Aggie dan suaminya untuk pergi ke Swedia. Ini merupakan kesempatan bagi Aggie untuk mencari ayahnya. Saat transit di London, Aggie dan suaminya berjalan kaki di dekat Royal Albert Hall.
Ditengah jalan mereka melihat ada suatu pertemuan penginjilan. Lalu mereka masuk dan mendengarkan seorang pengkotbah kulit hitam yang sedang bersaksi bahwa Tuhan sedang melakukan perkara besar di Zaire. Hati Aggie terperanjat.
Setelah selesai acara ia mendekati pengkotbah itu dan bertanya, "Pernahkah anda mengetahui pasangan penginjil yang bernama David dan Svea Flood?"
Pengkotbah kulit hitam ini menjawab, "Ya, Svea adalah orang yang membimbing saya kepada Tuhan waktu saya masih anak-anak.
Mereka memiliki bayi perempuan tetapi saya tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang." Aggie segera berseru: "Sayalah bayi perempuan itu! Saya adalah Aggie - Aina!" Mendengar seruan itu si Pengkotbah segera menggenggam tangan Aggie dan memeluk sambil menangis dengan sukacita.
Aggie tidak percaya bahwa orang ini adalah bocah yang dilayani ibunya. Ia bertumbuh menjadi seorang penginjil yang melayani bangsanya dan pekerjaan Tuhan berkembang pesat dengan 110.000 orang Kristen, 32 Pos penginjilan, beberapa sekolah Alkitab dan sebuah rumah sakit dengan 120 tempat tidur.
Esok harinya Aggie meneruskan perjalanan ke Stockholm dan berita telah tersebar luas bahwa mereka akan datang. Setibanya di hotel ke-empat saudara laki-lakinya telah menunggu mereka di sana dan akhirnya Aggie mengetahui bahwa ia benar-benar memiliki saudara lima orang. Ketika Aggie bertanya tentang kabar ayahnya, David Jr. menjadi marah. Ternyata semua saudaranya membenci ayahnya dan sudah bertahun-tahun tidak membicarakan ayahnya. Lalu Aggie bertanya: "Bagaimana dengan saudaraku perempuan?" Tak lama kemudian saudara perempuannya datang ke hotel itu dan memeluk Aggie dan berkata: "Sepanjang hidupku aku telah merindukanmu. Biasanya aku membuka peta dunia dan menaruh sebuah mobil mainan yang berjalan di atasnya, seolah-olah aku sedang mengendarai mobil itu untuk mencarimu kemana-mana." Saudara perempuannya itu juga telah menjauhi ayahnya, tetapi ia berjanji untuk membantu Aggie mencari ayahnya. Lalu mereka memasuki sebuah bangunan tidak terawat. Setelah mengetuk pintu datanglah seorang wanita dan mempersilahkan mereka masuk. Di dalam ruangan itu penuh dengan botol minuman, tapi di sudut ruangan nampak seorang terbaring di ranjang kecil, yaitu ayahnya yang dulunya seorang penginjil.
Ia berumur 73 tahun dan menderita diabetes, stroke dan katarak yang menutupi kedua matanya. Aggie jatuh disisinya dan menangis, "Ayah, aku adalah si kecil yang kau tinggalkan di Afrika." Sesaat orang tua itu menoleh dan memandangnya. Air mata membasahi matanya, lalu ia menjawab, "Aku tak pernah bermaksud membuangmu, aku hanya tidak mampu untuk mengasuhnya lagi."
Aggie menjawab, "Tidak apa-apa, Ayah. Tuhan telah memelihara aku". Tiba-tiba, wajah ayahnya menjadi gelap, "Tuhan tidak memeliharamu!" Ia mengamuk. "Ia telah menghancurkan seluruh keluarga kita! Ia membawa kita ke Afrika lalu meninggalkan kita. Tidak ada satupun hasil di sana. Semuanya sia-sia belaka!"
Aggie kemudian menceritakan pertemuannya dengan seorang pengkotbah kulit hitam dan bagaimana perkembangan penginjilan di Zaire. Penginjil itulah si anak kecil yang dahulu pernah dilayani oleh ayah dan ibunya. "Sekarang semua orang mengenal anak kecil, si pengkotbah itu. Dan kisahnya telah dimuat di semua surat kabar."
Saat itu Roh Kudus turun ke atas David Flood. Ia sadar dan tidak sanggup menahan air mata lalu bertobat.
Tak lama setelah pertemuan itu David Flood meninggal, tetapi Allah telah memulihkan semuanya, kepahitan hatinya dan kekecewaannya.

Sebagai penutup, dapatkah seseorang membaca Kisah 29:10?
Saudara, Kisah Para Rasul ditutup pada pasal 28. Dalam tanda kutip, pasal 29:1 adalah kisah Hudson Taylor, Don Richardson, Billy Graham dll. Ayat yang kesepuluh adalah kisah saudara dan saya. Kisah seperti apa yang akan tercatat disitu??


He must be greater, I must be less,
Hendra, 081108 at Magelang