Monday, August 20, 2007

Pelayanan konseling

Konseling Dalam Pelayanan Gereja Masa Kini


Yesus mendekati mereka dan berkata: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Mat 28:18-20)

Injil Matius yang dimulai dengan catatan silsilah Yesus Kristus, ditutup dengan kalimat perintah yang agung seperti tertulis di atas. Secara umum, gereja yang berpegang pada doktrin Reformed mengimplementasikan AA (Amanat Agung) sebagai mandat penginjilan dan mandat budaya.

Amanat Agung memerintahkan kepada kita semua untuk memuridkan-mandat penginjilan (menjadikan semua suku bangsa murid Kristus). Kata kerja lain (pergi, baptis dan mengajar) menjelaskan bagaimana memuridkan itu dilaksanakan. Dengan demikian pemuridan mempunyai arti membawa seluruh pribadi dengan seluruh aspek hidupnya temasuk aktifitas sosial, seni dan intelektual kepada kehendak Allah-mandat budaya (Holmes, hal. 46-47).

Jadi Kristus menghendaki semua anak Tuhan untuk memahami dan melaksanakan mandat penginjilan dan mandat budaya AA berdasarkan kuasaNya.
Di dalam dunia yang sudah jatuh dalam dosa, terutama dalam zaman post-modern sekarang ini, gereja dituntut untuk memancarkan sinar kemuliaan Kristus dengan melaksanakan tugas mandat penginjilan dan mandat budaya secara proporsional secara bersama-sama. Sudah bukan waktunya lagi sebuah gereja hanya berkonsentrasi melaksanakan hanya salah satu mandat dalam AA.
Bagaimana melakukan mandat penginjilan rasanya sudah umum dilakukan oleh berbagai gereja; bagaimana melakukan mandat budaya juga sudah mulai banyak digali terutama oleh gereja Reformed dan Injili. Walaupun demikian, ada sebuah hal yang rasanya luput dari perhatian kita yaitu kalimat terakhir Matius 28:20 ‘Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman’. Sebuah kalimat yang sangat indah dan menguatkan hati dan rasio karena Kristus sendirilah yang memberikan jaminan penyertaan seumur hidup kepada anak-anakNya. Pdt. Julianto Simanjuntak dengan lugas menterjemahkan kalimat di atas sebagai ‘sebuah ladang pelayanan konseling dalam AA’. Mengapa? Karena jaminan seumur hidup bagi kita telah diberikan sejak detik kita menerima anugerah keselamatan, hanya masalahnya Kristus sendiri sudah meninggalkan dunia fana dan bertahta di sorga. Jadi sudah menjadi tugas kita dengan kekuatan dari Roh Kudus untuk melaksanakan ‘mandat konseling’ bagi saudara-saudara kita. Tugas seorang konselor adalah seperti sebuah bengkel yang memperbaiki motor/mobil yang bermasalah kapanpun juga karena jaminan yang diberikan oleh Kristus kepada umatNya adalah jaminan seumur hidup. Jaminan ini adalah jaminan yang kekal bukan sekedar jaminan manusia atau institusi yang tidak bernilai kekal.

Berdasarkan tulisan di atas, penulis menyimpulkan bahwa pelayanan konseling adalah bagian integral dari mandat budaya yang bahkan mendapatkan penekanan khusus dalam pelaksanaannya pada masa-masa ini.


Konseling

“Rancangan di dalam hati manusia itu seperti air yang dalam, tetapi orang yang pandai tahu menimbanya” (Ams 20:5)

Bahasa asli ‘rancangan’ adalah tebuna, yang artinya sesuatu yang sangat rahasia, yang terkadang ada dalam alam tak sadar.
Orang tidak menyadarinya, namun melalui percakapan konseling hal itu dapat muncul di alam sadar (Pdt. Yakub Susabda)

Penulis percaya Allah menyingkapkan maksudNya pada waktuNya dan percaya bahwa waktu-waktu sekarang adalah masa-masa yang penuh kesempatan bagi perkembangan pelayanan konseling karena sepanjang sejarah belum pernah manusia mengalami hidup yang sedemikian rusak dan menyedihkan seperti hari ini.

Pentingnya pelayanan konseling dicetuskan oleh seorang pendeta yang bernama Anton Boisen. Kisah hidup Boisen yang selama belasan tahun mengidap skizofrenia menjadi pencetus kesadaran gereja akan pentingnya pelayanan konseling. Setelah sembuh, Boisen mengkritisi gereja dengan mengatakan: Jika orang kristen patah kaki, semua rumah sakit dapat mengobatinya, bahkan dengan biaya gereja. Lain halnya bila orang kristen mengalami ‘patah/sakit hati’, maka dia akan dikirim ke rumah sakit jiwa dan dilupakan untuk selamanya.
Dalam realita kehidupan, bukankah seperti yang pernah dikatakan John Calvin bahwa gereja adalah sekumpulan orang lemah, yang dipimpin oleh orang yang lemah pula. Bukankah perkataan ini mencerminkan kebenaran doktrin yang paling fundamental dari kekristenan?. Di hadapan Allah, kita semua adalah manusia berdosa yang hanya karena anugerah-Nya mendapatkan keselamatan dan setelah natur dosa kita dipulihkan, kita masih dapat (dan pasti) berbuat dosa sehingga proses penyucian harus kita jalani bersama Roh Kudus seumur hidup kita. Bukankah bertolak dari kebenaran doktrin ini kita dapat melihat signifikansi pelayanan konseling?. Begitu banyak orang kristen yang bergumul dengan dosa dan problem kehidupan di tengah gencetan dunia yang sudah jatuh dalam dosa ini. Bagi orang-orang kristen yang kita sebut sebagai saudara seiman, yang mengalami badai kehidupan, siapkah kita ber-empati dan menyingsingkan lengan baju?

Agar mendapatkan pandangan yang lebih jelas, pertama kita harus memahami perbedaan antara psikologi, psikiatri dan konseling. Menurut Pdt. Dr. Dwijo Saputro, psikologi adalah ilmu yang mempelajari suatu bidang yang menyangkut perilaku dan otak. Ilmu psikologi yang berhubungan dengan konseling adalah yang berhubungan dengan kesehatan mental, di mana dipelajari dasar-dasar bagaimana seseorang berperilaku, berpikir, memiliki emosi, mampu berelasi, berkembang dan memecahkan masalah yang ia hadapi sehari-hari.
Ilmu psikiatri adalah cabang dari ilmu kedokteran yang berkaitan dengan pengobatan, penyembuhan, gangguan masalah, penyakit yang berkaitan dengan perilaku yang berkaitan dengan otak.
Hal ini perlu dipahami karena banyak orang mencampur-adukkan istilah-istilah di atas sehingga menimbulkan kerancuan. Jadi memang ilmu konseling tidak dapat terlepas dari ilmu psikologi. Dalam melakukan pelayanan konseling di gereja, seorang konselor haruslah mengintegrasikan semua ilmu psikologi dan konselingnya dengan teologi. Hal ini bukan berarti menjadi teologi plus karena teologi dengan Alkitab sebagai kebenaran yang sejatilah yang menjadi filter dari ilmu psikologi.

Ada banyak sekali kisah-kisah nyata yang sangat memalukan dan memilukan yang dialami dan dilakukan oleh orang kristen, bahkan para hamba Tuhan. Selain pengalaman pribadi ber-relasi dengan hamba Tuhan, melalui milis konseling, penulis mendapat informasi bahwa banyak sekali hamba Tuhan yang hidupnya rusak, yang bergelut dengan dosa-dosa, ingin lepas tapi gagal terus dll. Sering kita lupa bahwa para pemimpin, hamba Tuhan juga adalah manusia berdosa seperti diri kita di mana merekapun hidup dalam dunia yang up-side-down, sehingga setiap manusia pasti mempunyai luka-luka jiwa yang harus disembuhkan terlebih dahulu sehingga mereka dapat melayani jemaat dengan jauh lebih baik.


Siapakah yang membutuhkan konselor?

Terus terang, selama beberapa bulan terakhir ini penulis bergumul dengan beberapa pertanyaan: Sejauh mana kehendak bebas orang percaya dikaitkan dengan pandangan doktrin Calvinis, mengapa antar orang percaya, yang mempunyai Roh yang sama pada prakteknya sering terjadi pertengkaran?, apakah segala sesuatu yang kita lakukan baik dan buruk sudah ditentukan oleh Allah berdasar Rom 8:28?. Puji Tuhan setelah beberapa kali ‘konseling’ dengan beberapa teman yang hamba Tuhan dan aktivis, penulis akhirnya mendapatkan pencerahan. Contoh ini adalah sebuah masalah yang berakhir happy ending. Pertanyaan berikutnya: bila seorang jemaat menghadapi masalah kehidupan praktis yang lebih berat, ke mana mereka akan bertanya? Beranikah mereka bertanya ke hamba Tuhan, apakah hamba Tuhannya siap, mau dan mampu memberikan pembimbingan atau hanya memberikan ayat dan mendoakannya tanpa involve ke dalam?
Persoalan akan menjadi lebih pelik bila ternyata sang hamba Tuhan-lah yang mempunyai banyak luka jiwa yang belum dibereskan sehingga alih-alih berkarakter seperti gembala, ia malah lebih berperan sebagai serigalanya. Hal ini akan menjadi kontra produktif dalam pelayanan bukan?.

Apakah semua masalah dapat diselesaikan dengan memberikan Firman Tuhan saja tanpa ada ‘prolog dan epilognya?’. Penulis berpendapat bahwa dalam ke-beragaman karakter manusia dan faktor kebebasan manusia, ada orang-orang tertentu yang cukup mendengar Firman Tuhan secara langsung dapat langsung merubah rasio dan hatinya sehingga mampu menyelesaikan masalah kehidupannya karena memang Firman itu mampu menembus dan membelah roh kita. Di pihak lain, ada kelompok manusia lain yang dengan keunikan pribadinya membutuhkan pendampingan dan pembimbingan secara pribadi atau kelompok. Bukankah anggota keluarga kandung saja dapat mempunyai karakter dan kebutuhan emosi yang berbeda, yang membutuhkan pendekatan yang berbeda pula?. Mereka-mereka inilah yang membutuhkan pendampingan ‘prolog dan epilog’, di mana pelayanan konseling mampu untuk mengisi celah ini.
Oleh karena itu marilah kita semua jangan buru-buru menghakimi karena pada dasarnya semua manusia mempunyai belief system yang mempengaruhi word view kita terhadap suatu masalah.
Sebuah contoh menarik:
Martin Luther pernah mengalami depresi. Keadaan ini dibahas bertahun-tahun oleh para ahli untuk mencari jawaban mengapa Luther bisa depresi. Ada beberapa jawaban yang berbeda-beda:
Kondisi emosi Luther sangat berat dan mencekam.
Sejarah hidup Luther penuh dengan trauma.
Luther bekerja terlalu keras, kurang istirahat dan tanggung jawab yang besar.
Karena serangan iblis.

Perbedaan jawaban ini karena memang manusia mempunyai word view yang berbeda karena berbagai sebab misal pendidikan, culture, pengalaman dll.
Ada orang yang punya pengalaman kenal dengan seorang hamba Tuhan yang emosional dan meminta dihormati agak berlebihan (dari world viewnya), ternyata hal ini dikarenakan perbedaan culture. Si hamba Tuhan berasal dari daerah yang menganggap seorang hamba Tuhan seperti ‘1/2 dewa’ sehingga di daerah asalnya dia sangat dihormati secara tidak pada porsinya. Secara tidak sadar hal ini sudah mendarah daging dalam dirinya sehingga ketika dia berada dalam lingkungan culture yang berbeda terjadi benturan.


Pro Kontra Pelayanan Konseling

Dalam realita, bidang psikologi dan konseling mendapat banyak hambatan dan tantangan dari berbagai pihak termasuk dari kalangan gereja sendiri. Ada yang curiga psikologi hendak mengambil-alih peran Firman Allah dll.
Bagi penulis ada beberapa hal yang harus dimengerti dalam menyikapi pro dan kontra pelayanan konseling, yaitu:
Kitab Yesaya sendiri menyebut Kristus sebagai Great Counsellor.
Pdt. Yakub Susabda dalam National Conference and Healing Conference 1 berkata bahwa konseling adalah talenta (bagi kristen dan non-kristen) dan spiritual gift khusus bagi iman kristen. Karunia untuk memberikan nasehat ada dalam 1 Kor 12:7-11; Roma 12 dan Efesus 4 memuat daftar karunia rohani, walau tidak lengkap, yang mencantumkan karunia konseling. Bukankah tujuan hidup orang percaya adalah menjadi serupa dengan Kristus?. Dalam konteks pembangunan tubuh Kristus, maka semua kegiatan gerejawi seperti kotbah, PD, PA, pembesukan dll adalah sarana dalam pembangunan tubuh Kristus. Jika demikian, mengapa kita mencurigai pastoral konseling hendak memainkan role ‘playing God?’.
Harus di akui memang ada perbedaan mendasar antara psikologi dan konseling duniawi dengan psikologi dan konseling kristen. Ilmu duniawi berangkat dari satu asumsi bahwa manusia itu pada dasarnya baik; sedangkan ke-kristenan berangkat dari suatu kepastian bahwa semua manusia dilahirkan dalam natur berdosa. Karena perbedaan ini maka tidak semua cara dan metode duniawi diterima oleh konselor kristen. Konselor kristen mempunyai sebuah tolok ukur yang sangat jelas, yaitu Alkitab (Wahyu Khusus, hanya dianugerahkan pada orang kristen). Filsuf kristen, Arthur Holmes dalam bukunya “Semua Kebenaran Adalah Kebenaran Allah” menjelaskan bahwa Allah memberikan wahyu umum kepada semua orang, kristen dan non-kristen. Dari wahyu umum, manusiapun dapat menemukan kebenaran-kebenaran yang tidak bersifat fundamental dan tidak dapat menyelamatkan diri, misalnya ilmu Aljabar yang ditemukan oleh non-kristen.

Dari argumen di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa ilmu psikologi dan konseling, juga semua ilmu-ilmu lain serta kebenaran-kebenaran dunia harus ditundukkan dan diperiksa oleh satu-satunya sumber otoritas, yaitu Alkitab. Penulis sangat percaya Alkitab tidak menulis semua kebenaran tetapi semua prinsip-prinsip kebenaran ada di dalam Alkitab. Psikologi yang ditundukkan dalam kebenaran prinsip-prinsip Firman Tuhan dapat menjadi helping tools yang sangat berguna bagi pelayanan gereja secara umum dan secara khusus bagi jemaat yang membutuhkan.


Pandangan yang keliru dalam pelayanan konseling

Beberapa pandangan yang salah dalam pelayanan konseling:
Semua hamba Tuhan pasti mempunyai talenta dan karunia konseling. Kadang kita lupa bahwa sebenarnya skill dasar dari hamba Tuhan dan konselor bertentangan dalam arti hamba Tuhan berbicara dan konselor mendengarkan, menganalisa dan membantu konseli menyadari kesalahannya sendiri dan kemudian mengambil keputusan yang benar.
Konselor hanya memberi nasihat dan mendoakan konseli. Hal ini sering dilakukan oleh beberapa hamba Tuhan yang sebenarnya belum pernah belajar konseling tanpa mau mengerti akar dari masalahnya.
Konselor hanyalah mencoba ‘mengobati’ masalah yang hanya bersifat kesementaraan. Konselor kristen haruslah selalu mengkaitkan pelayanannya dengan tujuan kekekalan.
Konselor mengajarkan tindakan-tindakan yang harus dilakukan oleh konseli. Konselor berperan sebagai tutor dan konseli sebagai muridnya. Konseling bukan ‘menggiring domba agar MAU masuk ke kandang, melainkan menuntun domba sedemikian rupa sehingga MASUK ke kandang dengan kesadarannya sendiri’.
Dari pengalaman pribadi saya mendapati bahwa masyarakat mengangap konseling hanya untuk manusia yang ‘agak gila’. Mungkin konseling adalah hal terakhir yang dipikirkan manusia ketika menghadapi suatu masalah pribadi. Ketika istri penulis berpikir untuk membawa anak kami ke seorang psikolog karena kami menganggap anak ini terlalu introvert, teman-teman dan gurunya kok memandang dengan pandangan yang agak aneh. Hal ini diperberat dengan lingkungan gereja yang juga ‘kurang celik arti penting konseling’. Rasanya kultur kita harus mengalami transformasi terlebih dahulu.


Keunikan pastoral konseling

Ada beberapa keunikan konseling pastoral dibanding sekuler sbb:
Konseling pastoral menempatkan orang dalam relasinya dengan Allah.
Menjadikan Allah sebagai realita. Dengan menyadari bahwa Allah adalah real, suatu kesadaran yang baru telah muncul dan siap dilanjutkan dalam tahap berikutnya.
Wilayah kerja dan kompetensi konselor pastoral adalah pertumbuhan spiritual. Membantu konseli menemukan keutuhan spiritual sebagai pusat pertumbuhan manusia secara utuh dengan bahasa yang eksplist dan tidak formal.
Menggunakan sumber-sumber agamis dalam konseling. Dalam hal ini pengetahuan akan teologi dan pengalaman hidup yang diubahkan dapat menjadi tools yang sangat berguna bila digunakan tepat guna dan tepat sasaran.
Membantu orang dalam belajar untuk hidup. Kata-kata yang sangat indah bagi saya. Memang manusia tidak ada yang ahli dalam semua bidang dan mempunyai kelemahan dibanyak bidang sehingga ini adalah proses seumur hidup. Hal ini selaras dengan proses penyucian diri bersama Roh Kudus.
Membantu orang dalam pengembangan kompetensi hubungan antar-pribadi. Inilah salah satu implementasi dari mandat budaya. Komunikasi adalah hal penting yang sering menentukan hubungan antar sesama.


Fungsi konseling pastoral

Sedangkan fungsi konseling pastoral adalah:
Penyembuhan.
Untuk mengatasi kerusakan dengan menuntun dan mengembalikan fungsi dan kondisi sebelumnya.
Penopangan.
Menolong konseli untuk bertahan dan melewati kesulitannya/problemnya.
Pembimbingan.
Membantu konseli untuk menentukan pilihan di antara berbagai alternatif.
Pendamaian.
Me-rekonstruksi ulang relasi manusia dengan sesama dan Allahnya. Hal ini di mulai dari pengakuan, pengampunan dan disiplin.


Kesimpulan

Diperlukan suatu integrasi ilmu psikologi, konseling dan teologi dengan teologi sebagai ‘ratunya’ yang menjadi dasar acuannya.

Integrasi adalah sinergi antara beberapa disiplin ilmu yang berlainan tanpa menghilangkan ciri ilmu masing-masing. Beberapa disiplin ilmu yang berlainan tersebut bersifat saling melengkapi untuk memberikan suatu world view yang lebih luas sehingga dapat memberikan pemahaman yang lebih utuh dalam melihat suatu fenomena.

Menurut penulis, Teologi adalah dasar atau jangkar yang paling esensial dalam memahami diri sendiri, orang lain dan Tuhan. Sedangkan psikiatri adalah cabang dari ilmu kedokteran yang berkaitan dengan pengobatan, penyembuhan penyakit yang berkaitan dengan perilaku. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku dan hubungan antara otak dan perilaku manusia sehari-hari, sedangkan konseling adalah ilmu yang berkaitan dengan kesehatan mental. Penulis percaya, Teologi memberikan ‘rambu-rambu’ dan batasan-batasan dalam penggalian dan penerapan ilmu psikologi dan psikiatri misalnya dalam hal etika. Tanpa dasar Teologi yang benar dan kokoh, seseorang yang belajar psikologi dan psikiatri dapat tergelincir dalam pemikiran yang antroposentris dan menomor-duakan Tuhan.

Integrasi diperlukan dengan Teologi sebagai dasarnya. Memang psikologi dan psikiatri dapat memberikan pencerahan tentang perilaku manusia, tetapi kita harus ingat bahwa inilah bagian dari wahyu umum yang diberikan Allah kepada semua umat manusia tanpa terkecuali. Kita harus akan ingat prinsip bahwa wahyu umum haruslah diperiksa dalam terang wahyu khusus (Alkitab). Jadi bagian-bagian ilmu yang bertentangan dengan Firman Tuhan harus kita copot berdasarkan iluminasi dari Roh Kudus. Saya rasa hal ini bisa menjadi relatif karena perbedaan dasar pemahaman doktrin (Teologi) seorang dengan lainnya. Jadi Teologi menentukan dasar, alasan bahkan batasan integrasi-nya dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya termasuk psikologi dan integrasi yang sehat didasarkan atas pandangan teologi yang sehat pula.

Sudah sepantasnya sebuah gereja mempunyai paling tidak seorang konselor, idealnya seorang konselor yang belajar di seminari (misal M.K.). Pada nyatanya, sedikit sekali kesadaran akan hal ini di kalangan gereja.


*) Ditulis oleh Hendra, sebagai refleksi seorang awam pembelajar Alkitab dan pembelajar konseling, sekaligus sebagai tugas akhir semester 1 program KKJJ di IKPT. Tulisan ini jauh dari sempurna bahkan mungkin ada kesalahan-kesalahan yang semoga tidak fatal, karenanya masukan dari saudara dinantikan.
**) Tulisan ini sebenarnya satu bagian integral dari satu topik Pelayanan Gereja Masa Kini. Bagian lain adalah refleksi penulis terhadap peran Kepemimpinan dalam Gereja (belum selesai).

Bibliografi

Dasar-dasar Teori dan Praktek Konseling, sebuah diktat pembelajaran konseling jarak jauh oleh IKPT (Institute konseling & parenting terapan) oleh Pdt. Julianto Simanjuntak dkk.
Pastoral Konseling jilid 1 & 2 oleh Pdt. Yakub Susabda
Perlengkapan Seorang Konselor, Pdt. Julianto Simanjuntak
Kotbah Chinese Philosophy, Pdt. Stephen Tong
Psikologi Yang Sebenarnya, W. Stanley Heath
Segala Kebenaran Adalah Kebenaran Allah, Arthur F. Holmes
Masa Penuh Kesempatan, Paul David Tripp
Konseling Krisis & Terapi Singkat, Pdt. Hadi P. Saharjo
Konseling Yang Efektif & Alkitabiah, Larry Crabb
Pengantar Konseling Alkitabiah, John Mac Arthur JR & Wayne A. Mack