Friday, June 1, 2007

Reverend, Can I Study Abroad? (3)

Dalam beberapa minggu terakhir sebenarnya ada banyak sekali kejadian yang mengganggu pikiran dan hati saya. Berikut beberapa di antaranya:

Beberapa hari yang lalu saya mendapat telpon dari ibu saya. Dia meminta saya untuk mengkopikan beberapa VCD kotbah, yang menurutnya sangat bagus. Ternyata sang pengkotbah adalah seorang kristen yang nota bene adalah anak seorang majelis sebuah gereja ‘tradisional’ yang kemudian menjadi pemimpin sebuah kelenteng di Jakarta dan setelah 25 tahun kemudian bertobat dan sekarang menjadi seorang hamba Tuhan. Ibu saya sendiri lahir bukan dari keluarga kristen dan menerima anugerah keselamatan kira-kira 20 tahun yang lalu. Selama ini dia beribadah di sebuah gereja’ tradisional’ dan sempat menjabat sebagai majelis dalam beberapa periode. Setelah melihat VCD-nya saya jadi ingat bahwa VCD yang sama pernah dipinjamkan kepada saya oleh seorang pemuda di gereja tempat saya beribadah, beberapa bulan yang lalu. Didorong rasa penasaran, saya melihat dan mendengarkan kotbahnya. Ternyata memang tidak jauh dari perkiraan saya sebelumnya: pemaparan doktrinnya cukup ‘kacau’ dan mencomoti ayat-ayat bukan untuk didalami dan dipaparkan maksudnya, melainkan ayat-ayat tsb digunakan untuk mendukung apa yang dia katakan. Yang lebih ngeri adalah dia berkata: manusia yang tidak melakukan semua perintah Alkitab tempatnya di neraka. Wah...wah... keras sekali dan ngawur doktrinnya karena kita diselamatkan semata-mata anugerah dan bukannya atas jasa perbuatan kita. Perjanjian kerja semasa PL telah terbukti gagal ditaati manusia dan bahkan seorang Paulus-pun mempunyai kelemahan, seorang Petrus juga punya kekurangan. Jadi siapakah kita selain manusia berdosa pengejar kenikmatan hidup?. Berpikir flash back, saya juga pernah mengalami suatu masa yang penuh keraguan tentang keselamatan pribadi karena mendengar kotbah-kotbah semacam itu.
Dalam beberapa bulan terakhir, kegiatan rohani di kota kami yang kecil sungguh booming. Secara latar belakang, kota kami adalah kota yang sangat terkenal dengan ‘kehijauannya’ dan seumur hidup saya, belum pernah terjadi ‘KKR dalam skala besar’ terjadi secara berurutan apalagi sampai empat kali. KKR yang pertama (kalo ndak salah ingat 2 bulan yang lalu) dibawakan oleh seorang hamba Tuhan dari Jakarta yang biasa mengisi acara di TV swasta dan suka sekali mengakhiri setiap kalimatnya dengan Haleluya. Selain acara KKR juga ada acara seminar tentang rumah tangga dengan membayar @ Rp. 50.000. Singkat cerita, ‘nama besar’ sang hamba Tuhan rupanya menjadi magnet bagi orang kristen dan bahkan katolik untuk hadir. Acara kedua adalah seminar tentang akhir jaman yang diadakan sebuah gereja. Tidak seperti biasanya, acara ini diselenggarakan selama beberapa hari pada pagi sampai siang hari yang tentunya sangat panas. Melihat dari jumlah mobil dan motor yang diparkir, rasanya secara kuantitas: sukses. Acara yang ketiga akan berlangung beberapa hari lagi, yaitu KKR kesembuhan yang akan dilayani oleh seorang hamba Tuhan dari Semarang (yang saya singgung pada tulisan ‘Reverend,... 1 dan 2). Satu hal: persiapan KKR ini bagus sekali karena dari akhir bulan lalu, posternya sudah terpasang di beberapa tempat umum. Acara yang ke-empat dilakukan oleh gereja katolik selang satu hari setelah acara ke-tiga!!. Saya bisa melihat bahwa rasanya persiapan untuk acara katolik ini terburu-buru dan reaktif. Kenapa? Karena selebaran yang ditempel kecil, tidak menarik dan black & white, yang kontras dengan poster besar yang full color dengan kalimat-kalimat bombastis yang secara ilmu marketing: excellent.
Seorang hamba Tuhan pernah berkata bahwa pada krisis ekonomi 97-98, gereja-gereja di Jakarta mendadak menjadi penuh. Saya pikir beberapa orang disadarkan dan mencari kehendak Tuhan, beberapa lainnya mencari berkat dari Tuhan dan beberapa lainnya ‘memaksa’ Tuhan untuk memberikan berkat tanpa perduli pada Tuhan-nya. Dalam konteks KKR beruntun di kota saya, mungkin sekali fenomena 97-98 terjadi lagi karena kehidupan ekonomi sulit dan sulit. Bila pemikiran saya ada benarnya, maka masalahnya apa peran saya dan saudara dalam hal ini? Apa peran gereja-gereja Injili dalam menyikapi hal ini?. Bukankah ini adalah sebuah peluang bagus untuk melakukan penginjilan dan kesempatan untuk melakukan pengajaran doktrin yang sehat.
Kemarin malam, mertua saya dan seorang karyawan saya berkomentar bahwa membaca koran (kompas lho, bukan pos kota) sekarang ini kok penuh dengan hal-hal yang mengerikan. Saya berpikir sebenarnya sih kejadian-kejadian seperti ibu membunuh anak-anaknya, anak kelas tiga SD (SD kristen lho!!) menganiaya temannya sampai meninggal, majikan menganiaya pembantu sampai mati dsb sebenarnya di satu sisi sangat mengagetkan dan mengganggu pikiran dan hati saya, tetapi di sisi lain sebenarnya ketika hal ini direnungkan lebih dalam menjadi tidak mengagetkan sama sekali. Mengapa? Karena memang Firman Tuhan sudah mengatakan bahwa di hari-hari terakhir akan terjadi hal-hal yang ‘mengerikan’ sehingga saya percaya saat ini kita memang hidup di jaman narcis di mana akal sehat sudah mati dan hati manusia telah menjadi sebuah monumen, sebuah fosil. Hal ini bukan terjadi hanya bagi orang non-kristen karena pada kenyataannya di dalam gerejapun terjadi hal yang sama. Saudara, dengan jujur saya katakan bahwa hal inipun terjadi pada diri pribadi saya. Melihat dan mendengar hal-hal ‘mengerikan’ memang mengganggu pikiran dan hati saya sehingga saya menulis ini, tetapi jujur belum pernah saya berbelas kasih sampai menangisi mereka, belum pernah saya menempatkan kaki saya dalam sepatu mereka yang sempit (kalo punya sepatu). Rasanya hanya sekali ketika tahun lalu saya masuk ke pedalaman Kalimantan dan hidup seperti mereka hidup selama beberapa hari. Kita hidup di mana rasio dan kebebasan telah menjadi ‘ilah’ sehingga akhirnya kebebasan tak terkendali akhirnya justru menjadi penjara bagi diri sendiri. Bukankah seorang yang mengandalkan rasio akan ‘kolaps’ ketika semua rasionya berlawanan dengan kenyataan hidup yang di alami?. Kita hidup dalam masa post-modern di mana standar moral adalah sekedar tidak saling ‘bergesekan’ satu sama lain sehingga sebuah nasehat tulus dan niat yang tulus akan dianggap sebagai serangan pada pribadi dan mengusik comfort zone. Kita hidup dalam masa di mana dibutuhkan banyak sekali pundak untuk menangis, telinga untuk mendengar, mulut untuk menghibur dan tangan untuk menolong. Saya percaya belum pernah konseling dibutuhkan lebih dari hari-hari ini dan belum pernah gereja (Kristus) dibutuhkan lebih dari saat ini. Pertanyaannya: siapkah, maukah kita berubah dan bayar harganya?

Hendra, 260507