Friday, May 18, 2007

Reverend, Can I Study Abroad? (2)

Sambung lagi ya…..
Ternyata pada hari rabu malam, channel 69 menayangkan ulang kotbah dan sebuah pujian dari sang pendeta ‘lokal’ dalam tulisan saya yang pertama. Jadi saya dan istri dengan cukup antusias mendengarkan berita yang disampaikan dari atas mimbar dari awal. Setelah beberapa ayat dibaca, mulailah dibahas dan anehnya yang dibicarakan tidak banyak menguraikan teks malahan melebar kemana-mana. Walaupun begitu ada sebuah visi yang disampaikannya membuat saya tercengang-cengang. Dikisahkan bahwa mereka tengah membangun sekolah yang bermutu bagus dengan uang sekolah yang sangat ringan. Dengan gedung sekolah yang masih dibangun, mereka telah menerima hampir 400 murid yang kebanyakan berasal dari jemaat. Apakah uang untuk membangun sekolah sudah tersedia? Ternyata sebagian besar belum, walaupun demikian mereka berani melangkah maju.
Di kota lain, sebuah gereja juga mempunyai sebuah sekolah dasar yang menggunakan bahasa pengantar Inggris sehingga anak sekolahnya lebih mahir berbicara dengan bahasa Inggris daripada Indonesia. Bila seorang anak absen, maka materi pelajaran akan dikirimkan melalui internet karena setiap anak murid mempunyai sebuah lap top pribadi!!.
Di kota yang lain saya mendengar sebuah sekolah sedang dibangun oleh sebuah gereja pula. Melihat besar dan sistem manajemen gereja tersebut, saya yakin sekolah tsb tentunya akan ‘menggemparkan’ pula. Sebagai informasi, ketiga sekolah tersebut berada di bawah pengelolaan gereja ‘tertentu’ dan berada di jawa tengah.

Saya tidak menentang sekolah yang dikelola gereja ‘tertentu’, juga tidak menentang gereja ‘karismatik’ yang umumnya berkembang dengan sangat pesat. Hanya saja saya berpikir kenapa hal itu relatif tidak terjadi dalam gereja-gereja ‘tradisional’?. Jika dalam tulisan pertama saya memikirkan dua hal, maka saat ini saya memikirkan hal yang ketiga yaitu: mungkin kita kurang berani untuk melangkah seperti mereka sehingga Allah ijinkan mereka untuk berkembang secara (relatif) pesat!!, lebih dari kita. Sampai di sini saya merenungkan sebuah ironi: kita yang belajar doktrin lebih banyak kadang kurang berani untuk melangkah (atau berani melangkah tapi mendapat tantangan dari dalam gereja sendiri karena mengganggu comfort zone beberapa orang?), sementara orang lain yang kurang belajar doktrin malah berani melangkah lebih dari kita.
Tentu saja hal ini bisa diperdebatkan panjang, bahkan saya sendiripun mempertanyakan motivasi dibalik keberanian mereka, karena saya sendiri pernah mempunyai pengalaman sbb: gereja saya dahulu (waktu di jakarta) pernah mengadakan acara pengumpulan dana untuk membeli sebuah mobil bagi hamba Tuhan pembantu. Singkat cerita acara sukses dan sebuah mobil dibeli. Hanya suatu saat saya melihat sendiri bahwa STNK mobil tersebut atas nama sang pendeta utama, bukan atas nama gereja. Saat ini sang gembala sudah meninggal dan menurut saudara saya yang masih beribadah di sana, yang menjadi gembala sekarang ini adalah istri sang gembala yang meninggal tsb!!!, yang setahu saya nggak pernah belajar teologi. Demikian juga saya tidak tahu bagaimana status kepemilikan sekolah-sekolah yang dikelola gereja ‘tertentu’ tsb? Jika atas nama gereja bagus sekali, bila atas nama pribadi: bahaya!!.

Kembali ke gereja-gereja tradisional.
Bulan lalu saya secara pribadi (bukan diutus gereja) mengikuti Youth Leader Meeting (YLM) yang diselenggarakan oleh SAAT. Jumlah pesertanya dibatasi sampai 100 orang saja dan datang tidak hanya dari pulau jawa saja. Berbagai acara yang kami ikuti sangat berkesan dan membuka wawasan karena ada acara sharing beberapa hamba Tuhan dan gereja.
Dari berbagai percakapan dengan hamba-hamba Tuhan dan aktivis gereja, saya mendapati suatu benang merah persoalan-persoalan klasik yang dihadapi di gereja masing-masing. Ada seorang hamba Tuhan yang adalah seorang alumnus sebuah universitas di Jerman, yang akhirnya menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan dalam usia yang tidak muda lagi. Saya sangat sedih mendapati untuk menghadiri YLM, dia menghadapi berbagai rintangan justru dari kalangan gereja sendiri. Permintaannya untuk mengikuti YLM ditolak oleh majelis yang tidak mau mengeluarkan uang. Ketika saya tanya: bagaimana bapak akhirnya bisa datang? Dia hanya tersenyum dan tidak mau menjawabnya..... Ada juga seorang hamba Tuhan yang mendapat rintangan untuk hadir dari pendeta (gembalanya) sendiri.....entah bagaimana jalan pemikiran gembala tsb........
Di balik semua cerita sedih di atas, tentu saja ada banyak hal positif seperti semangat pelayanan hamba-hamba Tuhan muda, kemauan untuk maju, untuk terus belajar, untuk berubah, untuk belajar mengkoreksi diri sendiri dll.
Saya pribadi sangat, sangat bersyukur karena banyak beban pemikiran saya tentang pelayanan ternyata mendapatkan affirmative yang positif dari pihak pembicara. Dari acara tersebut, saya menarik kesimpulan bahwa akhirnya Tuhan mengijinkan sebuah perubahan dalam cara, metode dan sarana pelayanan yang penting akan terjadi atau sedang berlangsung. Terus terang hal ini sangat menguatkan saya pribadi karena sebelumnya saya pernah demikian kecewa dan sempat menolak pelayanan sebagai liturgis dua kali selama beberapa bulan terakhir, bahkan sebenarnya saat inipun saya tidak melayani seperti bagaimana saya melayani tahun lalu. Saya bergumul dan akhirnya sadar bahwa waktu untuk perubahan adalah waktunya Tuhan dan saat ini tugas saya adalah belajar dan berdiam diri.
Dalam YLM 2007, saya menilai (ini pendapat pribadi lho!) perubahan dalam cara dan metode pelayanan itu sudah dimulai dari beberapa pembicara, di antaranya dosen SAAT sendiri sehingga saya pribadi percaya hal ini akan menghasilkan lulusan hamba-hamba Tuhan yang mempunyai visi dan misi (atau ‘tradisi?’) yang selaras dengan visi dan misi seminari tsb. Tentu saja ini bukan suatu hal yang mutlak dan takes time. Sebenarnya angin perubahan tidak dimulai dari YLM karena dalam SAAT Preaching Conference tahun lalupun angin perubahan sudah ditiupkan.

Saya mengakui bahwa topik perubahan dalam pelayanan gerejawi memang sangat menarik hati. Dasar pemikiran saya adalah dari pengamatan bahwa disadari atau tidak disadari, setiap denominasi atau gereja lokal mempunyai gaya dan ciri khas masing-masing di mana style tersebut akan ‘diwariskan’ kepada generasi penerus sehingga akhirnya menjadi tradisi. Hal ini OK saja sampai suatu saat menjadi tidak OK lagi ketika suatu perubahan jaman yang wajar terjadi di mana hal ini bersinggungan/bertentangan dengan tradisi gereja tsb. Ketika pergesekan antar generasi terjadi, biasanya golongan senior akan semerta-meta mempertahankan tradisi dan menolak perubahan yang diusung generasi muda. Sedihnya, legalisme seperti ini adalah hal yang biasa terjadi dalam berbagai gereja masa kini. Kita bisa begitu keras kepala dan mengkritik semua orang yang sedikit berbeda dengan kita tanpa mau melihat kelebihan mereka.
Sebagai orang kristen memang kita tidak berasal dari dunia ini, tetapi kan kita masih hidup di dunia?. Bagaimanakah cara terbaik untuk ‘menantang jaman?’. Apakah dengan frontal, maju tak gentar menabrak semua rintangan? Atau dengan hidup bergaul dengan mereka sehingga kita dapat diterima dan ada peluang untuk memberitakan doktrin yang benar? Bagaimana pendapat saudara?

Hendra, 180507

Thursday, May 3, 2007

Reverend, Can I “Study Abroad”??

Mohon maaf terlebih dahulu jika tulisan ini mengganggu comfort zone saudara. Tulisan ini hanya sekedar curahan hati yang jujur tanpa maksud mengkritik pihak-pihak tertentu. Ingat, ini tidak wajib untuk dibaca, pilihan ada ditangan kita!! Tulisan ini sengaja saya biarkan mengalir begitu saja sehingga mungkin pembaca akan agak kesulitan menangkap alurnya, jadi sorry ya....

Kemarin sore istri saya melihat tayangan indovision channel 69 dan kemudian menceritakannya kepada saya. Kebetulan yang sedang disiarkan adalah kotbah Joel Olsten, seorang gembala dari suatu gereja karismatik di Amerika. Sepanjang yang saya pernah saya dengar sebelumnya tentang Mr. Joel adalah: ayahnya seorang pendeta yang kemudian meninggal dunia dan ‘mewariskan’ gerejanya kepada anaknya. Akhirnya Joel Olsten berganti profesi dan menjadi pendeta. Saya pribadi beberapa kali sempat mendengarkan kotbahnya secara sebentar-sebentar karena saya kurang tertarik dan tahu doktrinnya kurang beres walau mengakui keahlian ‘ilmu homiletiknya’, bahasa tubuh dan wajahnya yang selalu tersenyum dan selalu memberitakan hal-hal yang penuh pengharapan dan positif.

Sore itu dia berbicara tentang suatu topik yang menarik yaitu tentang habit. Dia berkata bad habit sangat mudah untuk dimulai tetapi sangat sukar untuk dihentikan. Bad habit yang dilakukan terus menerus akhirnya akan membentuk karakter buruk seseorang dengan mengikis karakter baiknya. Sebaliknya good habit sangat sulit untuk dimulai walau akan berdampak baik untuk kita. Jadi yang perlu kita lakukan adalah bergerak maju dalam good habit walaupun sulit dengan minta pertolongan Tuhan.

Ini adalah sebuah renungan yang sangat baik bukan?

Malam harinya sambil melihat tayangan Arsenal vs Fulham, saya ingat ada kotbah di channel 69 oleh seorang pendeta dari Semarang. Lagi-lagi dari gereja karismatik ceritanya........ (kapan ya giliran pak Tong, pak Benny Solihin, pak Yohan, pak Robby Chandra). Jadi akhirnya saya pindah channel dan pas si pendeta berkata bahwa perasaan minder adalah sebuah belenggu dalam hidup manusia. Ada perasaan minder yang ‘baik’, yang hanya diam atau menghindar bila diganggu orang lain. Sampai di sini, saya sudah mau pindah channel lagi ketika perkataan si pendeta berikutnya mengejutkan saya: perasaan minder yang buruk diwujutkan dengan menekan, menghalangi orang yang mempunyai kemampuan di atas kita. Sebagai ilustrasi dia mencontohkan Pol Pot yang membantai orang-orang pandai (sarjana, profesor dll) karena dia sendiri tidak pernah sekolah, jadi dia tidak mau ada yang lebih pintar dari dirinya sendiri. Contoh kedua adalah kolonel Khadaffy. Perbuatan yang dilakukannya pertama kali sewaktu berkuasa adalah menurunkan pangkat semua jendral-jendral karena dirinya hanya seorang kolonel. Sampai di sini dengan hati yang kacau, saya mengganti channel.......karena saya sadar, memang semakin masuk ke dalam pelayanan, semakin saya melihat sendiri ‘sisi-sisi’ gelap para pelayan seperti misalnya kagak mau dengar pendapat orang lain, kita ngomong apa saja dibilang tukang kritik dll. (seperti yang dikatakan oleh pak Jeffry dalam “dosa dan pelayanan”). Tapi memang semakin lama melayani semakin saya didewasakan. Ternyata setelah direnungkan, apa yang telah saya keluarkan dalam pelayanan, Tuhan telah kembalikan lebih lagi (penekanannya bukan pada materi lho, walau Tuhan selalu memberkati dan mencukupkan saya) melalui wawasan berpikir, perubahan karakter, kesabaran dll. Jadi kesimpulannya: melayani ternyata mendapatkan!!.

Siang hari ini sambil menuliskan tulisan ini saya merenungkan dua kilasan kotbah yang saya dengar semalam. Ada beberapa poin yang memang kurang terorganisasi penulisannya:

  • Kelemahan dari karismatik adalah sedikitnya (atau nggak ada) hamba Tuhannya yang jebolan seminary yang sungguh-sungguh ketat seperti SAAT, Reformed, ITA, AA dll. Hal ini membawa konsekuensi Firman yang disampaikan tercampur-baur antara amanat teks (hasil eksegesis yang ketat) dan amanat diri sendiri. Hal ini umum terjadi dengan mencomot ayat-ayat dari sana-sini yang dapat mendukung tema yang akan dikotbahkan.
  • Harus diakui ke-lihaian (di luar faktor motivasi) mereka-mereka ‘meramu’ Firman dengan pergumulan jemaat masa kini sehingga dengan mudah jemaat akan berkata: Firman ini memang cocok dengan keadaan saya sekarang, kok bisa pas dengan pergumulan saya dll. Sampai akhirnya jemaat akan merasa Tuhan menjawab langsung melalui penyampaian Firman tsb.
  • Harus diakui mereka memang pandai memanfaatkan semua sarana yang ada untuk membuat jemaat merasa nyaman, merasa ini adalah komunitas saya yang cocok. Sarana ini dapat berupa tempat yang nyaman, penyambutan yang super ramah, musik yang membius kesadaran, pelayan-pelayan dan hamba Tuhan yang selalu tersenyum ramah dll.
  • Untuk saya pribadi contoh dua buah kilasan kotbah di atas dapat diterima dan bahkan memang harus disampakan oleh gereja. OK, sebelum diprotes, saya klarifikasikan: Jenis kotbah atau lebih baik disebut renungan yang semacam itu (yang berkaitan dengan hidup nyata jemaat) sebaiknya disampaikan gereja bukan melalui ibadah umum melainkan pada sesi pembinaan-pembinaan kaum awam. Maksud saya, gereja masa kini mempunyai ‘hutang’ atau kewajiban untuk memberikan lebih dari penguraian Firman Tuhan karena pada dasarnya pengetahuan tanpa implementasi adalah sia-sia. Hal ini seperti iman tanpa perbuatan yang mati adanya.
  • Karismatik bisanya lemah dalam pengetahuan tentang Firman tetapi kuat dalam ilustrasi dan implementasi. Sedangkan Injili kuat dalam Firman (ini juga nggak semua lho!), tetapi kadang lemah dalam ilustrasi dan implementasinya. Juga kurang menunjukkan rasa empatinya sementara banyak hamba Tuhan karismatik yang menunjukkan rasa empatinya. (seorang pendeta yang ketika berkotbah sangat kuat memancarkan empatinya sampai saya merasa tidak sedang mendengar kotbah melainkan seorang konselor berbicara adalah Pdt. Benny Solihin, dosen homiletik SAAT, tentunya juga pak Yakub dan pak Paul yang memang seorang konselor). Pak Benny pernah berkata: hamba Tuhan yang setelah lulus dari seminary kemudian tidak rajin belajar maka biasanya kotbahnyapun akan seperti itu-itu saja. Maksudnya (contoh) bila berkotbah tentang Roh Kudus maka, apapun temanya, akan selalu membicarakan Roh Kudus dari satu sisi yang dia ketahui walau sebenarnya nggak cocok dengan temanya.
  • Sedihnya, saya mendapati kenyataan, para aktivis di lingkungan saya, yang puluhan tahun melayani ternyata pengetahuan doktrinnya amburadul seperti cap cay, mungkin karena campur baur dengan karismatik? Apakah mereka selama ini tidak kenyang makan di rumah sendiri? Siapa yang bertanggung jawab? Saya nggak berani jawab deh..... Kalo di dunia tentara sih yang bertanggung jawab ya pemimpinnya. Itu di militer lho..... Tapi, jangan salahkan jemaat kalo jajan (study abroad) karena nggak kenyang makan di rumah sendiri.

Sampai di sini saya berpikir kenapa cukup banyak gereja karismatik bertumbuh sangat pesat? Atau yang Injili (walau dapat banyak kritik juga) misalnya Saddleback Church yang digembalakan oleh Rick Warren. Apakah pertumbuhan mereka itu wajar atau tidak? Adakah yang dapat kita pelajari dari Rick Warren? Saya setuju memang ajaran Rick Warren ada yang ‘miring-miring’, tapi mari kita geser fokus kita pada kebaikan dan kelebihannya yang dapat kita adopsi daripada hanya sekedar mengkritisinya. Udah capek mengkritisi, nggak dapat manfaat apa-apa. Rugi dobel kan?.

Yang jelas sebagai penganut Calvinis saya percaya Allah mengijinkan mereka bertumbuh luar biasa atau dengan kata lain semua ini sudah ditetapkan Allah dalam kekekalan. Pertanyaannya mengapa, mengapa gereja kita tidak seperti itu?

Apakah dengan pengajaran yang ketat berarti akan menghasilkan hanya (relatif) sedikit pertumbuhan? Saya pikir Tuhan sangat baik dengan terus memberi kesempatan bagi karismatik kesempatan untuk memperbaiki diri. Sebaliknya saya pikir Tuhan juga mau menunjukkan kepada kita pola, metode, sarana pelayanan yang baru melalui gereja karismatik. (dan juga Tuhan menegur kita yang keras kepala melalui pertumbuhan gereja karismatik). Mari kita berhenti sejenak mengkritisi gerakan karismatik, kita ambil pelajaran dari sana dan perbaiki diri sendiri.

Saya percaya 100% kita dapat mendapat pengajaran yang Injili dan ketat dan gereja akan bertumbuh dengan pesat bila kita mau membuka diri terhadap perubahan jaman. Kenapa saya yakin? Karena dalam Youth Leader Meeting yang diadakan oleh SAAT pertengahan April lalu saya mendengar sendiri sharing dari beberapa gereja yang tradisionalnya tradisional. Ternyata setelah mengadopsi beberapa metode pelayanan yang baru, gereja mereka bertumbuh pesat. Pengajarannya? Jangan ragu, Reformed Injili abis. Contoh metode yang dipakai adalah dengan membentuk komunitas daripada komisi, (lagi-lagi) musik kontemporer yang bermutu, aransemen yang baru dll. Memang ada orang yang fanatik hymn mengatakan: hymn sudah terbukti bertahan berabad-abad, lihat kontemporer setelah beberapa bulan kemana?. Ya jawabnya mudah: hymn terus dinyanyikan karena dibukukan dan tiap minggu kita nyanyinya pakai buku hymn tsb. Sementara kontemporer selalu berganti. Kalo mau kumpulin lagu kontemporer yang bermutu dan dibukukan dan dipakai tiap minggu, maka 100 tahun lagi ya masih terus dinyanyiin!!.

Tentu saja untuk berubah harga yang harus dibayar sangat mahal karena pada dasarnya semua manusia suka pada kenyamanan, sehingga ketika perubahan terjadi, akan sangat sakit bagi kita untuk mengikutinya. Pada waktu itu saya bertanya faktor apa yang menjadi pendorongnya (agent of change). Di jawab: diperlukan seorang pemimpin yang kuat, yang mempunyai visi dan dapat mengkomunikasikan visi tsb kepada majelis dan aktivis. Jadi jelasnya seorang pemimpin yang mau bekerja keras, yang mau membayar harganya. Sampai di kamar, saya berbincang-bincang dengan teman saya seorang hamba Tuhan. Saya mengemukakan kekaguman saya kepada sang pemimpin yang kuat tsb dan di jawab teman saya: pak ...... itu sebenarnya seorang phlegmatik lho!! Puji Tuhan, memang Allah berkuasa untuk memproses seorang phlegmatik menjadi seorang pemimpin yang kuat. Tinggal maukah kita bayar harganya?

Saya ingat tulisan dari ahli manajemen, Rhenald Kasali Phd diharian kompas bulan lalu sbb: Untuk melakukan perubahan, ada dua macam manusia: yang pertama, yang dengan dipaparkan akibatnya bila tidak berubah, menjadi takut dan kemudian didorong oleh rasa takutnya mampu mendorong dirinya untuk berubah. Jenis manusia yang kedua adalah manusia yang tidak mempan hanya dengan rasa takut. Jenis manusia ini baru akan berubah ketika rasa sakit datang menimpanya karena tidak mau berubah sebelumnya. Mudah-mudahan tidak ada jenis yang ketiga: yang tetap tidak mau berubah walau rasa sakit sudah dideritanya, karena bagi orang seperti ini mungkin hanya ada satu kemungkinan: mati seperti dinosaurus.

Saya berharap, kita semua termasuk jenis manusia pertama, yang mau berubah dengan melihat keadaan dunia masa kini, yang tidak menunggu tangan Tuhan turun atas diri kita............Mari kita bersama berlutut dan mohon Roh Kudus untuk merubah karakter kita.

Tuhan inilah hidupku

Tuhan inilah hidupku kuserahkan padaMU

Segala cita-citaku masa depanku menjadi milikMu

Jadikan api terangMu di tengah keg’lapan dunia

Membawa bangsa-bangsa kepadaMu

Tuhan ini kerinduanku

***

Bagimu Tuhan seluruh hidupku

Pakailah Tuhan bagi kemuliaanMu

Genapi seluruh rencanaMu

Sampai bumi penuh kemulianMu

Hendra, 020507