Monday, April 30, 2007

Inikah saatnya bagi Samaria Modern??

Suatu hari (260407) saya dan keluarga pergi ke Semarang dan mampir di sebuah Mall. Di dalam Mall saya mendengar tiga hal yang mengejutkan:

Di sebuah toko mainan anak-anak sewaktu mengantar anak bermain, saya mendengar sebuah lagu yang diputar dan dinyanyikan oleh seorang anak (kan memang toko mainan anak). Sekilas saya merasa lagu dalam irama rock tersebut adalah lagu yang saya kenal karena dahulu saya gemari. Setelah menyimak lebih lanjut, betapa terkejut dan lemasnya saya mendapati ternyata lagu tersebut adalah lagu dari grup AC/DC (Anti Christ/Devil Child) yang berjudul highway to hell.
Rupa-rupanya setan terus bekerja dengan keras dan mulai melakukan re-organisasi dan membidik ‘target potensialnya’ yang baru dari hulu (daripada dari hilirnya saja). Bagaimana dengan gereja? Apakah kita akan bekerja lebih keras lagi dan melindungi ‘aset potensial’ kita yaitu anak-anak sekolah minggu, remaja dan pemuda? Inikah waktunya bagi kita untuk mulai mengkonsep suatu pola pelayanan yang terpadu?
Agar anak-anak dan orang tuanya tahu dan mengakui kalau kita mengasihi anak-anak mereka seperti kita mengasihi anak-anak kita pribadi.

Melalui channel star world, saya mendengar American idol edisi terakhir mendapat 70 juta SMS dan telepon masuk untuk mendukung idol masing-masing. Saya melihat selama beberapa menit acara tersebut dan dengan berat hati harus mengakui bahwa acara tersebut dikemas dengan sangat baik, profesional dan megah. Sekilas saya menyadari ironi dari dunia ini yaitu manusia “duniawi” begitu suka menikmati entertainment (dan memang mau membayar harganya) lebih dari menikmati dan memuliakan Allah. Sementara, cukup banyak anak Tuhan yang mengaku mencintai Allahnya tetapi begitu sedikit yang concern terhadap kehidupan pelayanan, begitu sedikit yang bersungguh-sungguh berjuang untuk berjuang mendapatkan karakter Kristus yang berimplikasi terhadap perubahan hidupnya secara nyata dan menjadi kesaksian hidup tanpa berkata-kata bagi sesama. Inikah saatnya bagi saya untuk meninggalkan comfort zone dan membayar harganya?
Agar Allah tersenyum dan berkata: “engkau memang hamba yang baik”.

Istri saya menceritakan suatu talk show yang didengarnya di TV. Oprah Winfrey mewancarai dua orang janda yang suaminya menjadi korban teroris di WTC. Mereka membentuk sebuah yayasan yang membantu para janda di Afganistan yang suaminya mati dalam menjalankan profesinya. Apa profesi suami-suami janda Afganistan itu? Jawabannya sangat mengejutkan saya: Teroris, mereka-mereka yang membunuh orang-orang yang bahkan tidak mereka kenal apalagi bersalah kepada mereka. Dua orang janda korban WTC mengatakan bahwa dengan membantu para janda teroris ternyata membantu mereka untuk membebat luka mereka sendiri (dan tentunya mengampuni pembunuh suami mereka). Apakah mereka berdua adalah orang kristen? Saya tidak tahu, yang saya tahu mereka adalah orang Samaria modern dan sudah seharusnya kita sebagai orang kristen meneladani mereka...........Inikah saatnya saya berhenti berkata-kata dan membuktikannya dengan perbuatan? Agar jemaat tidak mengatakan kita munafik, hanya bisa berkata tanpa bisa melakukan apa yang kita katakan sendiri.

Lewat tiga peristiwa di atas kembali saya dingatkan akan kompleksitas dan beratnya pelayanan gereja dalam jaman ini. Sampai di sini saya jadi ingat tulisan C.S Lewis (Screwtape Letter) yang bunyinya kira-kira seperti ini: ‘musuh’ orang kristen seringkali tidak berada di luar gereja, melainkan di dalam gereja sendiri. setan tidak perlu berusaha keras menjatuhkan orang kristen di luar gereja, cukup membuat anggota gereja saling bertengkar sendiri.

Inikah saatnya saya berubah dengan mempersilahkan Yesus mengambil alih hidup saya?
Inikah saatnya kita sadar bahwa kita tidak sedang bersaing memperebutkan posisi dan membuat jejaring karena sebenarnya kita berada dalam team yang sama?
Inikah saatnya kita dapat bekerja sama dan saling mendukung, saling mendoakan, saling mengampuni?
Inikah saatnya kita membuang ego kita, me-review pelayanan dan minta ampun kepada Yesus sekali lagi?
Inikah saatnya kita, hamba Tuhan, majelis dan aktivis bergandeng tangan dalam melayani?

Agar darah yang dicurahkanNya di Kayu Salib tidak sia-sia.......Salvation is free, it’s cost of............(isi sendiri)


Bagaikan Bejana

Bagaikan bejana, siap dibentuk
Demikian hidupku ditanganMu
Dengan urapan kuasa RohMu
Ku dibaharui selalu

Jadikanku alat dalam rumahMu
Inilah hidupku ditanganMu
Bentuklah s’luruh kehendakMu
Pakailah sesuai rencanaMu

**
Ku mau s’pertiMu Yesus
Disempurnakan s’lalu
Dalam s’gnap jalanku
Memuliakan namaMu


Hendra, 26-29 April ‘07

Thursday, April 12, 2007

“Pelayanan Dunia Mengalahkan Pelayanan Gereja?”

Dalam beberapa bulan terakhir ini di kota saya yang kecil berturut-turut dibuka dua buah bank swasta nasional yang baru. Di tengah-tengah kelesuan ekonomi yang terus membelit ‘mesra’ bangsa kita ternyata tidak mengurangi laju ekspansi sektor perbankan dan sektor-sektor ekonomi yang lain. Sebagai akibat langsung dari keadaan ini, pertempuran habis-habisan memperebutkan kue yang semakin kecil oleh pemain lama plus pemain baru menjadi semakin nyata dan sengit hingga ‘mencucurkan air mata dan darah’. Bajak membajak karyawan menjadi hal yang biasa dan adu kekuatan dan adu program serta pelayanan menjadi hukum wajib bagi sektor perbankan.
Dampak langsung yang saya pribadi alami adalah perubahan dalam pelayanan bank terhadap nasabahnya, termasuk saya. Masih segar dalam ingatan jika kita pergi ke sebuah bank dua tahun atau tiga tahun yang lalu, saya harus membuka sendiri pintu bank tersebut di bawah tatapan mata sang satpam yang kurang bersahabat. Ucapan selamat datang? Boro-boro mendapatkan ucapan selamat datang, wong kasirnya aja rata-rata mahal senyum, mungkin karena harga odol ikut-ikutan mahal.
Bagaimana dengan hari ini? Wah, rasanya kita menjadi raja yang tak bermahkota jika masuk ke bank. Pintu dibukakan disertai senyum dan ucapan selamat datang plus ditanya apa yang bisa dibantu. Baru mengambil formulir, belum menulis apa-apa sebuah suara ramah mengatakan tanggal berapa hari ini dsb...dsb....
Terus terang pertama kali dan berkali-kali setelah itu saya selalu merasa rish diperlakukan sedemikian terhormat. Hari ini rasa itu mulai berkurang karena hal itu sudah menjadi SOP atau standart operation procedures setiap bank sehingga nasabah menjadi terbiasa menerima perlakuan istimewa.
Fenomena pelayanan istimewa sebenarnya bukan monopoli perbankan saja tetapi sudah menjadi kecenderungan yang menjurus kepada keharusan yang dilakukan oleh setiap sektor bidang usaha jasa dan industri dalam mempertahankan eksistensi mereka. Saya percaya semakin hari, fenomena ini akan terus berlanjut dengan inovasi-inovasi yang baru dan segar.

Saudara, dengan hati yang gentar dan sebenarnya sudah cukup lama saya menahan diri untuk tidak menulis tentang hal ini karena lagi-lagi apa yang saya tulis dapat disalah mengerti, menimbulkan kontroversi dan menyinggung hati yang membaca. Hari ini saya tidak dapat lagi menahannya karena cinta saya pada gereja Tuhan bukan karena ingin mengkritik.

Secara jujur saya harus mengatakan bahwa ‘pelayanan’ yang dunia tawarkan telah mengalahkan ‘pelayanan’ yang gereja berikan pada jemaatnya. Pelayanan yang saya maksud adalah cara dunia memperlakukan konsumennya dibandingkan dengan bagaimana gereja memperlakukan jemaatnya. Tentu saja jemaat bukanlah konsumen dan sebaliknya konsumen bukanlah jemaat. Dunia bertujuan mencari profit sedangkan gereja bertujuan mencari jiwa-jiwa yang terhilang. Perbedaan ini dapat diteruskan sampai panjang tetapi maksud saya adalah: bila dunia yang bertujuan kepada kesementaraan saja dapat ber-evolusi atau ber-revolusi dalam memperbaiki dirinya, apakah hari ini ada semangat yang minimal sama dalam gereja yang bertujuan kepada kekekalan? Bukankah sudah sewajarnya kita yang terus berproses secara progresif bersama Roh Kudus dalam proses penyucian menunjukkan buah-buah yang nyata?. Buah-buah pelayanan yang baik tentunya timbul dari pohon hati yang memproduk buah-buah tersebut sehingga bila pohon hati kita baik tentunya akan menghasilkan buah yang baik pula.

Kembali ke lap top, eh kembali ke pelayanan gereja, berapa banyak gereja-gereja Injili yang mengadopsi kemajuan jaman dengan melakukan pembaharuan-pembaharuan dalam cara, sistem, metode dan management modern? (tanpa mengkompromikan berita Injil) Terus terang saya tidak tahu, hanya dugaan saya jumlahnya kurang dari 15%. Berapa banyak yang hatinya terus berkobar dengan semangat reformasi yang dimulai/dipicu oleh Luther?, yang mau mengorbankan kenyamanan diri demi kemajuan?
Saya berharap pengalaman yang saya alami di lingkungan saya ini dibantah dan dimentahkan oleh saudara-saudara sekalian dengan memberi masukan: gereja kita progresif kok! Kagak status quo, gereja kita maju, pelayanan tambah bagus dll. Mudah-mudahan.......dan lebih senang lagi bila saudara-saudara mau sharing bagaimana proses perubahan berlangsung, apa hambatannya, bagaimana cara mengalahkan kenyamanan diri, bagaimana perbandingannya dibandingkan dahulu dll

Sampai di sini saya jadi ingat kotbah Pdt. Effendi S atau pak Tong (kalo ndak salah) yang menceritakan suatu hari ada seorang penginjil bertanya kepada Mahatma Gandhi: apa yang harus dilakukan agar ke-kristenan diterima oleh rakyat India? Gandhi menjawab: mudah sekali, jika semua orang kristen berperi-laku seperti ajaran Yesus. Gandhi sendiri batal menjadi orang kristen karena mendapat perlakukan yang rasialis pada hari dimana seharusnya ia mau menyerahkan diri kepada Kristus. Entah, sudah berapa banyak Gandhi-Gandhi yang telah saya kecewakan dengan perilaku dan ucapan saya selama ini, sementara sedikit sekali yang sudah saya lakukan bagi Yesus. Semoga Allah terus mengkoreksi motivasi pelayanan saya.

Hendra, 120407

Monday, April 2, 2007

Ini Aku, Utuslah Aku

Oleh: Pdt. Yohan Candawasa, 040207 di GKKK Solo

Mat 9: 35-38
Ada beberapa hal yang (mulai) menghilang dalam gereja:
1. Cara pandang/cara berpikir/cara ber-respon seseorang terhadap suatu masalah dapat berbeda sekali dengan cara pandang orang yang lain. Jadi untuk suatu hal yang sama, manusia bisa ber-respon dengan cara yang berbeda. Hal ini terjadi karena manusia melihat suatu hal berdasarkan tujuan tertentu, apakah untuk kepentingan yang melihat atau untuk kepentingan yang dilihat. Misalnya waktu akan menyebrang kita melihat mobil-mobil di kanan-kiri untuk kepentingan kita yang melihat (kita yang mendapat manfaat), bukan untuk kepentingan/kebutuhan yang dilihat. Sering kali cara pandang kita dalam segala hal hanya untuk kepentingan kita pribadi. Hal ini berbeda dengan cara pandang Yesus dalam Mat 9: 35-38 dimana Ia melihat orang banyak dan hati-Nya tergerak untuk berbelas kasih kepada mereka, untuk kepentingan orang banyak yang bagaikan domba tanpa gembala. Kita dapat melihat suatu hal yang sama tetapi dengan respon yang sama sekali berbeda dibandingkan dengan Tuhan Yesus. Yesus selalu melihat dalam konteks kebutuhan orang lain bukan kebutuhan diri-Nya sendiri. Kita harus belajar untuk melihat untuk kepentingan yang dilihat, mengikis egoisme kita.
2. Belas kasih bukan sekedar kasihan menjadi langka di dunia bahkan di gereja karena:
· Sibuk sehingga tidak punya waktu buat diri sendiri apalagi untuk orang lain. Jaman ini telah mengikis rasa belas kasihan kita kepada sesama.
· Harga belas kasih mahal. Contoh kisah orang Samaria yang menolong orang yang dirampok. Kita lihat dalam Luk 10: 33-35 berapa harga belas kasih orang Samaria. Saat ini rasa belas kasih telah menghilang bahkan di dalam gereja karena kita telah ‘membunuh’ belas kasih itu.
· Sejak kecil banyak anak-anak tidak dididik dengan belas kasih atau dikasihi sehingga mereka tumbuh dengan penuh luka jiwa dan kekosongan jiwa. Jaman ini adalah jaman Narcis dimana anak-anak bertumbuh dengan tidak mendapat hal-hal yang seharusnya didapatnya dan mendapat hal-hal yang tidak seharusnya ditanggungnya. Sebuah survey di sebuah sekolah Kristen di Solo mengatakan 80% remaja merasa keluarganya tidak memberi perhatian kepadanya. Orang tumbuh tanpa belas kasih akan sangat sukar untuk mengasihi orang lain. Kita lihat banyak orang datang ke gereja untuk memenuhi kebutuhan narcisnya untuk mendapatkan berkat dan berkat saja bukannya untuk pikul Salib dan berkorban. Berapa banyak kita mendengar kotbah yang menantang untuk berbelas kasih dan berkorban? Hari ini banyak gereja meneriakkan kita akan mendapat dan mendapat segala kebutuhan kita (egosentris), maka mana bisa kita memikirkan kepentingan orang lain. Kita diajar untuk mengejar dunia bukannya mengejar sifat-sifat Allah.

Ada sebuah kisah nyata tentang seorang hamba Tuhan di Taiwan yang secara berkala datang ke sebuah kuil. Ada kalanya dia cepat pulang tetapi ada kalanya pula dia tidak pulang sampai hari malam. Apakah yang dilakukan sang hamba Tuhan itu?
Ternyata dia hanya melihat orang-orang yang berlalu-lalang keluar masuk ke kuil tsb dan menggumulkan hatinya dihadapan Tuhan. Bila hatinya telah tersentuh dengan belas kasih hingga menangisi orang-orang berdosa tsb barulah dia pulang.............

3. Mat 9:35-38 menunjukkan sikap Yesus yaitu:
· Melihat orang banyak (melihat dengan mata)
· Ber-belas kasih kepada mereka (belas kasih dengan hati)
· Mengajak murid-muridnya berdoa untuk meminta penuai-penuai bagi domba-domba yang tak bergembala. Kita baca bahwa murid-murid-Nya setuju dengan-Nya, berarti mereka melihat sama dengan cara Yesus melihat dan berbelas kasih seperti Yesus berbelas kasih. Kita membaca dalam pasal 10 Allah menjawab doa murid-murid dengan mengutus mereka sebagai penuai. Jadi yang berdoa adalah sekaligus sebagai jawaban doanya. Siapkah kita diutus oleh Allah? Atau kita berdoa dan berharap orang lainlah yang diutus?

Hari ini apakah kita berdoa meminta karakter Yesus, meminta mata seperti mata Yesus, hati seperti hati Yesus, merelakan diri untuk melaksanakan jawaban doa atau apakah kita berdoa hanya untuk masalah pribadi kita? Tuhan rindu kita untuk meminta karakter yang serupa dengan karakter Yesus.

Brikanku Hati
Brikanku hati, sperti hatiMu
Yang penuh dengan belas kasihan
Brikanku mata, sperti mataMu
Memandang tuaian di sekelilingku
Brikanku tanganMu ‘tuk melakukan tugasMu
Brikanku kakiMu melangkah dalam rencanaMu
Brikanku, brikanku, brikanku hatiMu

Kotbah di atas diringkas oleh Hendra dan belum diperiksa oleh pengkotbah