Saturday, March 31, 2007

Suku Dayak Terancam Luar-Dalam, Jasmani-Rohani.

Awal Juli 2006 lalu, untuk pertama kalinya saya dan beberapa rekan mengikuti suatu misi pengInjilan ke pedalaman Kalimantan Barat. Team kami adalah salah satu dari sekitar 12 team yang mengunjungi cabang gereja-gereja suatu denominasi yang berjumlah sekitar 50 gereja. Misi ini dilakukan setiap tahun dan telah berjalan selama 5 tahun tanpa terputus.
Saudara, 50 buah gereja dalam satu sinode hanya di pedalaman Kalimantan Barat adalah suatu jumlah yang fantastis bukan?. Bukankah kita patut bersyukur kepada Allah dan ikut mendukung misi-misi semacam ini?. Saya meng-amin-kan pertanyaan di atas, hanya saja ada beberapa sisi lain kehidupan suku Dayak yang terlepas dari perhatian dari kebanyakan kita. Jadi tulisan ini tidak membahas bagaimana kesulitan perjalanan kami tetapi ada beberapa fakta yang menyedihkan yang dialami oleh saudara-saudara kita, suku Dayak. Saya berani mengatakan fakta karena semuanya saya dapatkan dari hasil pembicaraan saya dengan beberapa penduduk dan hamba-hamba Tuhan yang melayani di sana.

Terancam Luar-Dalam, Jasmani-Rohani
Secara jasmani.
Maraknya perkebunan kelapa sawit membawa dampak serius terhadap tanah milik suku dayak. Dalam beberapa tahun ini ternyata banyak perusahaan dari malaysia yang “berinvestasi” di Kalbar. Entah bagaimana caranya, dalam investasinya mereka “bekerja-sama” dengan penduduk lokal sebagai pemilik tanah sbb: Tanah pribadi rakyat seluas 7-10 hektar dibagi dengan pembagian, 2 hektar dikuasai pemilik tanah dan sisanya dikuasai oleh perusahaan malysia. Lebih sedihnya, untuk menanami tanahnya yang tinggal 2 hektar itu, pemilik tanah harus membayar bibit secara kredit ke perusahaan malaysia dan bila pada saatnya mereka gagal membayar kredit maka tanah yang tinggal 2 hektar tersebut akan disita pula.
Bila hal ini berlanjut terus, sulit untuk dibayangkan dampaknya bagi suku dayak. Dalam beberapa tahun mendatang, dalam pikiran saya akan banyak tenaga-tenaga dari malaysia masuk ke pedalaman Kalbar, berbaur dan terjadi kawin campur sehingga akibatnya terhadap perkembangan iman kristen dapat anda pikirkan sendiri.
Pada saat ini telah terjadi beberapa kasus perselisihan intern keluarga akibat seorang anak menolak bekerja-sama (menyerahkan tanahnya) dengan perusahaan malaysia sedangkan saudaranya menerima. Pihak mana yang menang? Coba kita pikirkan dan renungkan sendiri.

Secara rohani.
Saat ini tidak banyak gereja-gereja yang “membuka cabang” di pedalaman Kalbar. Jelas secara finansial ini adalah proyek rugi, proyek subsidi. Dalam satu gereja saya mendapati persembahan dalam ibadah hari minggu berkisar 10-20 ribu. Sang hamba Tuhan sendiri hanya mendapatkan gaji bulanan yang nilainya setara dengan harga 25 Kg gula pasir!! (Maaf, berapakah gaji pembantu di rumah kita?). Masih untung hamba Tuhan tersebut masih single. (Harga 1 Kg gula pasir adalah Rp. 10.000). Sebagai informasi, harga bahan kebutuhan pokok di pedalaman Kalbar selain beras, jauh lebih mahal dibandingkan dengan pulau jawa. Harga sayur 2-3 kali lebih mahal. Harga 1 liter bensin Rp. 7.000. Listrik belum ada kecuali melalui gen-set yang biasanya menyala hanya antara jam 18.00-21.00.
Ditempat lain seorang hamba Tuhan mendapatkan gaji setara dengan 35 Kg gula pasir. Padahal dia mempunyai seorang istri (yg lulusan seminari Teologi) dan 2 orang anak. Lebih sedihnya, fakta bahwa anak pertamanya yang berusia 13 tahun masih berada di kelas 3 SD. Mengapa? Apakah anak tersebut bodoh? Jawabnya TIDAK. Sang anak tiga kali tinggal kelas karena 2 kali gagal mengikuti ujian karena pas menjelang ujian, sang bapak dimutasikan ke tempat lain. Satu kali sang anak tinggal kelas karena jarak sekolah dan pastori sangat jauh sehingga sulit untuk dijangkau.
Ditempat lain, seorang hamba Tuhan yang menikah dengan hamba Tuhan lainnya mempunyai seorang anak yang terpaksa dilahirkan secara operasi dengan menghabiskan biaya Rp. 7.000.000. Terus terang saya tidak berani menanyakan kepada sang hamba Tuhan dari mana uang yang dibayarkan ke pihak rumah sakit.
Dengan keadaan kehidupan hamba Tuhan yang seperti itu, dapatkah kita menuntut banyak dari pelayanan mereka? Pada siang hari banyak hamba Tuhan yang bekerja di ladang untuk menunjang kehidupan mereka. Dengan kehidupan yang “keras” seperti itu, dapatkah pelayanan mereka maksimal? Dengan keterbatasan informasi dan sarana, dapatkah mereka meningkatkan mutu pelayanan mereka?. Saudara, ini bukanlah lagu Kisah sedih di hari minggu-nya koes plus, tetapi realita yang dialami oleh saudara-saudara kita hamba Tuhan yang menyerahkan hidupnya secara luar biasa tanpa pamrih. Pertanyaan saya hanya satu: apakah yang dapat saya perbuat untuk mereka, apakah yang saudara dapat lakukan untuk mereka?
Tulisan ini bukanlah bermaksud mem-provokasi atau dengan sengaja mendeskreditkan pihak-pihak tertentu sehingga bila ada pihak yang merasa dirugikan, dengan segala kerendahan hati saya memohon maaf yang sebesar-besarnya. Tulisan ini hanyalah bentuk keprihatinan saya akan nasib saudara-saudara kita di pedalamanan Kalbar. God Bless You….

Himne vs Kontemporer?, Piano vs Band? Bagaimana Konsep Alkitab?

Teologi penyembahan atau secara praktis dapat dikatakan sebagai pola ibadah dan musik gerejawi adalah suatu topic yang ‘cukup berbahaya’ untuk ditulis karena merupakan hal yang sensitive, yang gampang memicu perdebatan, baik debat kusir maupun debat secara intelek. Tulisan ini dibuat karena rasa penasaran penulis atas ke-absahan tata cara ibadah dan musik yang sesuai dan bertitik tolak dari kebenaran mutlak Alkitab. Rasa penasaran ini timbul setelah penulis membaca tulisan skripsi Ev. Fri Suhandy: Teologi penyembahan dan signifikansinya dalam ibadah raya.

Pokok Pemasalahan:
Liturgi (pola ibadah) termasuk penyembahan seperti apa yang Alkitabiah?
Musik dan alat musik yang seperti apa yang baik, yang seharusnya dimainkan di gereja?

Pola Ibadah
Perdebatan pola ibadah dapat mengakibatkan pertentangan dalam jemaat local. Ada sebagian yang berpendapat bahwa gaya kontemporer membawa pembaharuan yang segar, yang mampu menampung ekspresi dan aktualisasi jemaat sehingga menciptakan ibadah yang berjalan penuh dinamika penyembahan. Sementara itu sebagian berpendapat bahwa gaya tradisional adalah pola yang lebih sopan dan telah terbukti manfaatnya turun menurun sehingga merupakan pola penyembahan yang benar.
Untuk mendapatkan pola yang benar, acuan yang Alkitabiah haruslah menjadi penentu kebenaran. Ada dua acuan penting yang harus kita pahami sbb:
· Pusat dari penyembahan.
Pusat dari penyembahan adalah Allah sendiri karena Allah adalah subyek sekaligus obyek dari penyembahan kita. Allah adalah subyek karena tanpa anugerahNya kita tidak mungkin mengenal dan menyembah Dia; sebagai obyek karena penyembahan adalah respon kita terhadap Allah.
· Esensi dari penyembahan.
Alkitab tidak pernah mewajibkan jenis musik tertentu, karenanya kita harus mengerti apa esensi dari penyembahan. Esensi dari penyembahan dalam Alkitab hanyalah menyembah dalam roh dan kebenaran. (Ev. Fri Suhandy, Teologi penyembahan dan signifikansinya dalam ibadah raya)

Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa sesungguhnya pertentangan pahit gaya tradisional dan kontemporer ternyata telah keluar dari isu yang sebenarnya. Mempertahankan sebuah gaya atau pola dapat dengan mudah terjebak dalam pem-berhalaan suatu pola. Penyembahan yang benar tidak berdasarkan pola melainkan dari pusat penyembahan yang benar serta esensi dari penyembahan itu sendiri. Pola ibadah (dan juga musik) adalah suatu hal yang sekunder, suatu sarana yang mencoba mengatur agar suatu ibadah berjalan dengan sopan dan teratur.


Musik

Gaya Musik
Bagaimana pentingnya peran musik dalam suatu ibadah tidak perlu diragukan lagi; hanya sayangnya lagi-lagi pertentangan antara gaya tradisional dan kontemporer timbul dimana masing-masing pihak mempertahankan argument masing-masing.
Disatu pihak mengatakan bahwa musik yang baik adalah musik yang telah teruji selama berabad-abad, yang dimainkan hanya dengan piano dan organ. Musik jenis ini telah teruji memiliki kualitas yang tinggi, unggul serta sesuai dengan Firman Allah. Sementara pihak lain meng-klaim bahwa musik tradisional telah ketinggalan jaman dan tidak mampu mengekspresikan kebutuhan manusia modern. Mereka menggunakan segala macam alat musik untuk memainkan jenis musik kontemporer.
Jadi, sebenarnya jenis musik mana yang seharusnya dimainkan di gereja?
Saya pribadi percaya bahwa kedua macam musik di atas memenuhi syarat untuk dimainkan di gereja. Segala macam perdebatan sebenarnya hanyalah masalah selera saja dimana sebagian orang menyukai musik tertentu dan lainnya menyukai musik lainnya. Untuk membahas masalah ini lebih lanjut, kita harus sekali lagi menjadikan Alkitab sebagai acuan. Alkitab sendiri tidak pernah memberikan suatu perintah untuk hanya memainkan satu jenis musik tertentu. Bahkan bila kita ingin melakukan hanya yang tertulis di Alkitab tanpa melihat konteksnya maka kita hanya bisa menggunakan rebana, kecapi dan suling seperti yang ditulis dalam kitab mazmur atau mempergunakan lagu dan alat musik dari abad pertama daripada lagu himne yang umumnya dari abad ke 15-19. Sebenarnya lagu-lagu himne-pun tidak harus dimainkan dengan hanya piano karena sesungguhnya piano sendiri baru ditemukan pada tahun sekitar 1.700 dan baru sekitar tahun 1.800 piano berkembang. Hal ini membuktikan bahwa alat musik yang digunakan untuk mengiringi lagu himne sebelum tahun 1.800 adalah bukan piano. Sedangkan alat musik yang mirip dengan gitar telah populer selama 5.000 tahun ini dan drum yang paing kuno berasal dari tahun 3.000 sebelum masehi (sumber: Wikipedia).

Fungsi Musik Dalam Ibadah
Bila permasalahan ini kita tarik ke belakang secara histories maka kita akan terkejut mendapati bahwa puji-pujian himne yang kita agungkan ternyata merupakan pujian kontemporer pada saat pujian tersebut ditulis dan menuai badai kecaman keras dari kaum ‘tradisionalist’ pada masa itu.
Rick Warren dalam bukunya “Pertumbuhan Gereja Masa Kini” halaman 289 mengatakan: Lagu Martin Luther “Sebuah Kota Allah itu” menggunakan nyanyian popular pada jamannya. Charles Wesley menggunakan beberapa lagu dari rumah opera dan kedai minuman. Sementara John Calvin menyewa dua penulis lagu secular untuk melagukan teologinya. Ratu Inggris begitu marah sehingga dengan sinis menyebut lagu-lagu itu sebagai “lagu-lagu irama cepat Jenewa” dari John Calvin!!. Lagu Malam Kudus pernah dikritik oleh pemimpin musik di Katedral Mainz sebagai ‘ sesuatu yang hampa segala perasaan keagamaan dan kristiani’. Charles Spurgeon-pun memandang rendah lagu-lagu penyembahan kontemporer pada masanya – yaitu lagu yang sangat kita hormati sekarang. Pujian ‘Messiah’ yang digubah Handel dicap sebagai teater duniawi oleh tokoh-tokoh gereja pada jamannya.
John Frame menulis bahwa kecaman-kecaman ini terus berkembang sehingga nama-nama besar yang kita kenal sekarang seperti Fanny Crosby, Frances Havergal, Phillip Bliss, Ira Sankey dll mendapat kecaman karena gaya musik merekapun merupakan gaya kontemporer pada masa itu. Kritikan yang mereka terima adalah: terlalu popular, terlalu subyektif, tidak tepat secara doktrin, menjadi miskin atau jelek.

Jadi, apakah sebenarnya fungsi musik dalam ibadah? Menurut pemikiran saya musik adalah pengiring pujian sehingga musik tidak boleh lebih menonjol dan lebih keras daripada puji-pujiannya.
Rick Warren pernah menulis bahwa perbedaan yang timbul dari perbedaan budaya, karakter, kebiasaan akan menimbulkan pebedaan dalam mengapresiasi jenis musik tertentu. Walaupun demikian saya percaya bahwa musik adalah ‘bahasa universal’ sehingga pasti ada sedikit banyak kesamaan selera musik. Misalnya kita setuju bahwa musik rock bukanlah musik yang cocok untuk ibadah.

Syair
Tentu saja kita menyadari bahwa ada bahkan sangat banyak lagu kontemporer yang syairnya ‘ancur-ancuran’, yang bersifat antroposentris, yang berpusat pada diri manusia dan memberitakan sukses dan sukses yang instant tanpa mengisahkan proses dibalik sukses tersebut yang seharusnya menjadi hal yang terpenting. Banyak juga musik kontemporer yang cenderung ‘cengeng’ dan membuat pendengar untuk merasa ‘trenyuh’ dan mengasihani diri sendiri. Biasanya lagu seperti ini menulis Yesus pasti menolong, membuat kita kaya dsb tanpa menulis semua itu tergantung dari kehendak, cara dan waktu Allah yang berdaulat. Bukankah Allah kadang memakai segala kesulitan hidup kita untuk membentuk karakter kita??. Bukankah banyak sekali para nabi dan rasul yang hidup dalam kesulitan yang besar secara manusia waktu di dunia dan Allah membentuk mereka melalui kesulitan tsb. Apakah kita mengatahui bagaimana cara meninggalnya Petrus, Paulus dan para rasul lainnya? Apakah Allah tidak mengasihi mereka?
Di pihak lain kitapun harus jujur mengakui ada musik kontemporer yang baik, yang menyentuh pikiran dan hati. Jangan sampai kita menjadi munafik dengan melarang musik kontemporer yang baik dimainkan di gereja tetapi kita putar di mobil atau di rumah kita sambil bersenandung.
Jangan sampai selera musik yang berbeda menjadi batu sandungan untuk, katakan saja bagi para remaja dan pemuda sehingga gara-gara musik mereka undur dari Firman; jangan sampai setan menggunakan perbedaan selera musik untuk menggoda para remaja kita meninggalkan Firman Allah yang benar demi kepuasan selera musik belaka. Bukankah sudah ada banyak contoh dimana remaja dan pemuda rela meninggalkan ajaran yang benar demi kepuasaan selera musik mereka? Bukankah seharusnya kita merangkul dan membina pengertian mereka bukannya membiarkan mereka pergi karena mempertahankan selera kita?
Jiwa-jiwa muda yang belum mantap untuk mengerti dan membedakan berbagai ajaran Firman Tuhan sehingga mereka mengejar hal-hal yang sekunder seperti musik dan liturgy dan melupakan hal yang primer yaitu Firman Allah itu sendiri, selalu lebih mudah untuk diselewengkan oleh ajaran-ajaran yang tidak bertanggung-jawab, yang bersifat antroposentris. Saudara, jangan sampai bila nanti di surga kita ditanya Tuhan mengapa banyak pemuda remaja kok pengertian doktrinnya pada ngawur (karena lari ke gereja yang pengajarannya kurang ketat tapi bisa mengakomodasi selera musik mereka) gara-gara kita bersikukuh dengan gaya musik tradisional, gara-gara kita mengorbankan hal yang primer demi mempertahankan hal yang sekunder……….

Jadi, jenis musik apa yang harus kita mainkan di gereja?
Saya berpendapat bahwa konsep konstektual bisa menjadi jawabannya, artinya kita menempatkan musik itu sendiri sesuai dengan cara dan konteks musik itu sendiri.
Jadi jika kita memainkan lagu himne, mainkan dan nyanyikan sesuai dengan semangat yang sesuai, dengan alat musik yang mampu mengiringi dan men-jembatani (men-transformasi) semangat penulisnya kepada jemaat. Janganlah pujian “It is Well with My Soul”nya George Spafford dimainkan dengan irama rock seperti yang pernah saya dengar. Tahukah kita kisah tragis dibalik pujian itu dan bagaimana sang penulis mampu mengatasi kepedihannya dengan bergantung pada Allah?
Di pihak lain bila memainkan musik kontemporer yang dirancang untuk dimainkan dengan band, mainkan lagu itu dengan band, jangan hanya dengan piano saja. Jangan sampai kita memainkan lagu himne dengan irama katakan rock atau dangdut; demikian pula misalnya lagu kontemporer ‘Tetap Setia”-nya Sari Simorangkir atau Allah perduli-nya Jonatan Prawira sebaiknya dinyanyikan dengan penuh perasaan dan dengan tekanan-tekanan tertentu yang mengekspresikan perasaan dan jangan dinyanyikan dengan datar-datar saja tanpa kedalaman ekspresi yang kuat.
Akhir kata, semua yang kita nyanyikan adalah untuk kemuliaan Allah, baik menggunakan piano atau band, baik lagu himne maupun lagu kontemporer…… Alangkah indahnya bila ‘penggemar’ musik kontemporer mau belajar untuk mengerti betapa indah dan bermutunya lagu-lagu himne serta arti dan kisah luar biasa di balik penulisan lagu tersebut. Di sisi lain, alangkah bijaknya bila kitapun mau mencoba untuk mengerti selera musik yang berkembang saat ini dan tidak memaksakan selera kita. Alangkah lebih indahnya bila kita menulis lagu dengan syair yang doctrinal menggunakan alat musik masa kini. Bukankah pada akhirnya waktulah yang menguji karya-karya tersebut? Akankah bertahan melewati abad demi abad? Apakah karya tersebut terbuat dari jerami, kayu, atau emas murni? Bukankah penyembahan kita tidak tergantung pada musik dan kitapun dapat menyembah tanpa musik (bila terpaksa)? Bukankah kita menyembah dengan segenap hati dan pikiran kita di dalam roh dan kebenaran?

Sola Scriptura, Sola Gratia, Sola Fide, Soli Deo Gloria.

Mike Tyson vs Yao Ming

Tanggal 20 Februari 07 yang lalu saya menonton dua buah film secara berurutan di indovision. Film pertama berjudul Tyson yang mengisahkan perjalanan karier mantan juara dunia tinju Mike Tyson. Film yang kedua berjudul The year of the Yao yang mengisahkan satu tahun pertama karier basket Yao Ming bermain di laga NBA.
Setelah selesai menonton, saya berpikir dalam hati betapa hidup manusia bisa berbeda sedemikian besar walau berangkat dari titik tolak yang hampir sama sebagai atlet kelas dunia yang sukses. Mike Tyson besar dalam lingkungan ‘genk’ dan sejak kecil sudah terlibat dalam berbagai pelanggaran hukum sebelum akhirnya belajar bertinju dan kemudian menjadi juara dunia termuda dalam usia 20 tahun. Saat ini Tyson hidup dalam keadaan bangkrut dan uang ratusan juta dolar yang didapatnya sewaktu bertinju telah lenyap.
Yao Ming tumbuh dalam keluarga atlet yang cukup harmonis, memasuki sekolah atlet pada usia 9 tahun dan akhirnya menjadi orang China pertama yang bermain di NBA pada usia 22 tahun. Saat ini Yao Ming adalah ‘seorang pahlawan’ bagi rakyat China dan mempunyai karier yang cemerlang dalam NBA.
Adakah pelajaran yang dapat kita pelajari dari kisah nyata kedua atlet itu yang nota bene bukanlah orang percaya? Saya mencatat paling tidak ada tiga hal sbb:
Lingkungan keluarga dan lingkungan hidup sangat berpengaruh dalam hidup seorang anak. Tyson hidup dalam lingkungan yang buruk sedang Yao Ming mendapatkan lingkungan yang kondusif.
Pendidikan. Tyson yang hidup liar akhirnya putus sekolah karena pelatihnya menganggap yang paling penting dalam hidupnya adalah menjadi juara dunia. Yao Ming mendapat didikan yang baik sepanjang kariernya.
Kepribadian, karakter dan tempramen. Jelas kedua orang ini mempunyai perbedaan yang besar.

Dari ketiga hal di atas, apakah ada pelajaran yang kita dapat bila dikaitkan dengan hidup kita, fungsi gereja dan pelayanan? Jelas ada beberapa hal yang harus kita pikirkan sebagai orang kristen, walau saya yakin semua pasti sudah kita ketahui:
Sekali lagi kita diingatkan akan mandat budaya.
Pelaksanaan mandat budaya bagi gereja salah satunya adalah dengan melakukan pemuridan yang meliputi pembinaan, pengajaran, coaching dll secara holistik dan ter-integrasi dalam bidang teologi ke dalam bidang non-teologi. Gereja harus memperlengkapi aspek hidup setiap jemaat dengan tuntas dan menyeluruh sehingga jemaat mendapat bekal yang cukup untuk menjalani panggilan hidup orang kristen yang ‘ditarik keluar dari dunia ini’. Saat ini beberapa gereja sudah mulai melaksanakan mandat budaya secara serius dengan mengirim para hamba Tuhannya untuk mengikuti program pelatihan leadership, coaching dll untuk semakin menunjang pelayanan mereka dan meneruskan pengetahuan mereka kepada jemaatnya. Ingatlah bahwa Tuhan memberikan mandat budaya (Kej 1: 27-28) mendahului mandat pengInjilan.
Saya berpikir bahwa sebenarnya melaksanakan mandat budaya dapat menjadi suatu kesulitan yang melebihi daripada melakukan mandat pengInjilan. Mengapa demikian? Karena untuk melaksanakan mandat budaya berarti gereja (hamba Tuhan) harus mampu mengintegrasikan dasar teologi, prinsip-prinsip Aolkitab ke dalam kehidupan ‘duniawi’ jemaatnya. Untuk itu sang hamba Tuhan dituntut untuk mengerti segala macam pergulatan hidup dunia dan kemudian membangun ‘jembatan’ antara ‘dunia Alkitab’ dan ‘dunia awam’.
Program-program SM, remaja dan pemuda.
Pertama, sering-kali tanpa kita sadari program-program SM sampai pemuda dilakukan tanpa suatu koordinasi dan kesatuan sehingga setiap komisi mempunyai program sendiri-sendiri (fragmental) yang tidak ‘connect’ dengan komisi-komisi lainnya. Maksud saya, misalnya komisi SM menjalankan programnya sendiri sehingga sewaktu sang anak naik ke kelas tunas/pra-remaja/remaja, dia akan dibina lagi dari mula karena tidak ada koordinasi program yang jelas antara kelas SM dan kelas remaja. Alangkah baiknya bila sang anak SM naik kelas dengan membawa suatu output yang berisi data-data pribadinya yang berisi paling tidak perkembangan pribadi, hal yang perlu mendapat perhatian, talentanya, sifatnya, kesulitan dan pergumulan dll.
Kedua, sangatlah mendesak untuk melaksanakan pembinaan guru-guru SM secara ‘profesional’. Di tempat saya bergereja, satu-satunya tempat dimana orang awam boleh mengajar adalah di kelas-kelas SM. Hal ini sangat ironis mengingat justru dalam kelas SM-lah sebenarnya suatu fondasi diletakkan. Bukankah sangat mengerikan bila kita menanamkan suatu fondasi yang keliru kepada anak-anak kecil itu?. Bukankah jauh lebih sulit untuk merobohkan suatu fondasi yang sudah jadi dan kemudian membangun fondasi yang baru daripada membangun suatu fondasi yang benar dan kokoh?.
Tantangan menjadi guru SM menjadi sangat kompleks saat ini. Di tengah arus perubahan yang sedemikian cepat kita harus menyadari dimana posisi kita dan apa yang kita hadapi. Bagi saya pribadi menjadi seorang guru SM sangatlah berat dan ‘agak mengerikan’. Mengapa demikian? Karena dalam satu minggu kita hanya bertemu dengan mereka satu kali selama 90 menit. Dalam waktu yang sesingkat itu, kita dituntut untuk menanamkan fondasi ke-Kristenan dengan merobohkan fondasi yang mereka punyai, yaitu pengaruh-pengaruh duniawi di luar 90 menit tsb. Misalnya, kita hitung dalam satu minggu mereka beraktifitas selama kira-kira 100 jam, berarti kita dituntut menggunakan 90 menit untuk menguasai atau mempengaruhi kehidupan mereka yang 100 jam. Di luar SM mungkin mereka menonton TV selama 20 jam, sekolah dan les 55 jam, bermain 15 jam dan sisanya 10 jam untuk dihabiskan untuk membuat PR.
Memang tugas kita hanyalah menaburkan benih itu, tetapi bagaimana cara kita menabur? Akankah kita menabur dengan sembarangan atau dengan hati yang gentar, hati yang merasa tidak layak sehingga kita menuntut diri untuk belajar dan terus belajar dalam melayani Tuhan?
Awal bulan ini saya mendengar teman saya, seorang hamba Tuhan yang selain melayani di gereja juga diperbantukan untuk mengajar di sebuah SMP Kristen terbaik di kota itu berkata bahwa suatu hari dia meminta murid-muridnya untuk menuliskan kesan mereka terhadap keluarga mereka tanpa disertai nama. Hasilnya sangat mengejutkan karena 80% mengaku kurang atau tidak mendapat perhatian yang cukup dari ortu mereka. Sang ortu tidak mempunyai waktu bagi mereka, apalagi membantu persoalan mereka karena sibuk bekerja. Ada dua murid (pria) yang menolak untuk menulis bahkan mereka menangis. Akhirnya melalui pendekatan pribadi diketahui bahwa sang ayah sering memukuli istrinya dan baik ayah maupun ibunya sama-sama selingkuh. Sampai di sini saya penasaran bagaimana sang anak tahu? Ternyata sang anak tahu karena sang ortu selingkuh dengan tetangga sebelah. Jika peristiwa ini terjadi di kota metropolitan mungkin saya tidak begitu heran, tetapi peristiwa ini terjadi di sebuah kota di Jateng!!.
Saya percaya salah satu penyebab sulitnya membina anak remaja dan pemuda adalah karena mereka tidak mendapatkan fondasi yang baik semasa menjadi anak SM, tidak mendapat lingkungan keluarga dan sekolah yang baik.
Saya mempunyai seorang keponakan perempuan kelas satu di sebuah SMP Katolik terbaik di kota tempat tinggal saya, yang suka memaki ibu saya. Ketika ditanya kenapa, dia menjawab bahwa sesungguhnya dia tidak ingin melakukan hal itu, tetapi pergaulan di sekolah dimana (hampir) semua murid suka berkata-kata kotor akhirnya mempengaruhinya.
Saya pribadi sangat ngeri membayangkan generasi anak-anak saat ini yang penuh dengan luka-luka batin suatu saat 10-15 tahun lagi akan menjadi para pemimpin, penerus generasi yang sekarang. Jika mereka tidak mengerti, tidak mengalami rasanya disayangi, diperhatikan, mempunyai empati, diajarkan nilai-nilai ke-kristenan, moral dll bagimana mereka akan menyanyangi, mempunyai empati dan melakukan hal yang baik? Inikah dunia yang kita inginkan?
Pentingnya pembinaan kepribadian, karakter dan tempramen.
Jika semua masalah di atas kita tarik ke akar masalahnya, kita memang akan mendapati bahwa natur manusia berdosa sebagai penyebabnya. Tetapi, setelah kita mendapat anugerah keselamatan bukankah natur kita telah kembali ke-aslinya? Jadi sudah menjadi tugas kita untuk menjalani proses penyucian bersama Roh Kudus untuk menjadi semakin mirip dengan Kristus. Salah satu tanda kedewasaan rohani seseorang adalah dengan perubahan hidup dan karakternya. Di sini kita harus membedakan antara kepribadian, karakter dan tempramen. Menurut sebuah pembinaan yang pernah saya dapat:
Kepribadian (personality) adalah ekspresi luar yang nampak dari kita dan belum tentu menunjukkan karakter yang sesungguhnya. Personality ini hanya menunjukkan 5% dari diri kita sebenarnya, jadi seperti pucuk sebuah gunung es.
Karakter adalah menunjukkan siapa diri kita sebenarnya di dalam gelap ketika kita berada dalam tempat nyaman kita, ketika kita tidak berhubungan dengan lingkungan kita atau dengan orang yang kita kenal. Faktor pembentuk karakter adalah kombinasi dari temperamen alamiah, pengalaman masa kecil, pendidikan, kepercayaan, motivasi dll.
Temperamen adalah kombinasi faktor kelahiran yang secara tidak sadar mempengaruhi perilaku kita.
Faktor karakter dan temperamen menunjukkan 95% diri kita, hanya hal ini sulit diketahui orang termasuk pasangan kita karena kita hidup dengan menggunakan berbagai macam lapisan topeng dalam hidup bermasyarakat. Faktor ini adalah sebuah gunung es yang telah menyebabkan Titanic tenggelam karena sang kapten hanya melihat pucuknya saja yang sebesar 5%.
Pada dasarnya manusia pasti bersifat aktif atau pasif dan berorientasi pada tugas atau pada manusia. Temperaman manusia dibagi dalam 4 golongan yaitu Dominan, Cermat, Intim, dan Stabil (DCIS). Berdasar tes kita akan mendapati kita masuk dalam golongan mana. Setiap golongan mempunyai kekuatan dan kelemahan dan melalui hasil tes kita dapat belajar untuk memperbaiki diri.
Saya merasa pembinaan ini sangat berguna untuk belajar lebih mengenali diri sendiri dan orang lain sehingga mengurangi konflik antar pribadi. Tentu saja pengetahuan psikologi tidak dimaksudkan untuk ‘mengkotak-kotakkan’ atau membatasi kemampuan seseorang dalam pelayanan melainkan hanya menjadi sebuah bahan pertimbangan. Selain DCIS juga ada berbagai macam tes lainnya.

Akhir kata, saya percaya setiap orang kristen harus mengalami proses perubahan karakter secara pribadi mulai dari sang hamba Tuhan, majelis, aktivis sampai jemaat sehingga orang dunia dapat menilai bahwa orang Kristen memang berbeda dengan orang dunia. Anugerah keselamatan haruslah kita tanggapi dengan ‘mengerjakan keselamatan kita’ sebaik-baiknya sehingga rasa kita menjadi asin karena kitalah garam- garam dalam dunia. Ingatlah kita mendapat anugerah keselamatan untuk ikut berbagian dalam pekerjaan Tuhan, untuk melaksanakan kehendak-Nya bukan untuk hanya sekedar mendapat berkat.


Hendra, 210207

Segala kebenaran adalah kebenaran Tuhan, apa implikasinya bagi gereja dan kita?

Tulisan ini adalah hasil perenungan saya pribadi atas buku Arthur Holmes “All Truth is God’s Truth” dikaitkan dengan realita dalam kehidupan saat ini. Tulisan ini tidak dimaksudkan atau ditekankan sebagai tulisan yang membahas doctrin melainkan sebuah hasil perenungan pribadi.

Seorang Filsuf Kristen terkemuka Arthur F. Holmes dalam bukunya “All Truth is God’s Truth” (Momentum, 2000) mengemukakan beberapa pemikiran yang sangat penting, yaitu:
Bahwa segala kebenaran yang ditemukan adalah kebenaran Tuhan, kapanpun, dimanapun dan siapapun ‘penemu’nya. Jadi manusia berdosa masih mampu untuk merefleksikan wahyu umum Allah dan melakukan/mendapatkan beberapa kebenaran; tentu saja kebenaran di sini adalah kebenaran yang tidak bersifat fundamental dan tidak dapat menyelamatkan diri. Kebenaran di sini misalnya adalah science, seni, matematika (1+1=2) dll. Alkitab (wahyu khusus) bukanlah sebuah buku sihir yang memberikan semua tuntunan hidup secara mendetail, melainkan Alkitab memberikan tuntunan secara sufisien (cukup) bagi iman dan perilaku umat Allah. Saya percaya Alkitab memberikan semua prinsip-prinsip kehidupan yang diperlukan manusia di dunia.
Selama ini ada sebuah dikotomi yang salah namun dipercaya atau diterima sebagai kebenaran yaitu pembedaan antara ‘spiritual/sakral/religius/rohani’ dan ‘sekuler’. Istilah spiritual sering dimengerti sebagai hal-hal yang bersifat rohani yang terpisah dari keduniawian; sedangkan sekuler dimengerti sebagai hal-hal yang bersifat keduniawian. Sebenarnya ajaran Reformasi memberikan tuntutan yang sama bagi setiap orang percaya dalam hal iman dan devosi (kesalehan) apapun pekerjaan kita, baik pedagang, dokter, atau hamba Tuhan. Kehidupan beragama setiap orang tidak terbatas hanya pada aktivitas gerejawi atau kehidupan batiniah saja karena agama adalah sesuatu yang ter-integrasi dalam hidup orang percaya. Jadi setiap kegiatan dalam hidup kita baik bekerja maupun bermain, sains atau seni, semuanya adalah sakral sehingga pembedaan antara sakral dan sekuler adalah sikap yang keliru. (Holmes, hal. 34-35)
Secara sadar maupun tidak sadar kita cenderung untuk mengutamakan mandat penginjilan di atas mandat budaya. Ada dua hal yang harus kita perhatikan yaitu pertama, sebenarnya Allah memberikan mandat budaya mendahului mandat penginjilan. Kej 1: 27-28 menugaskan manusia untuk menginvestasikan hidup dan pekerjaan mereka bagi tugas-tugas ciptaan (budaya), yaitu memelihara dan memanfaatkan seluruh sumber alam dengan bijaksana. Kedua, Amanat Agung memerintahkan kepada kita semua untuk memuridkan (menjadikan semua suku bangsa murid Kristus). Kata kerja lain (pergi, baptis dan mengajar) menjelaskan bagaimana memuridkan itu dilaksanakan. Dengan demikian pemuridan mempunyai arti membawa seluruh pribadi dengan seluruh aspek hidupnya temasuk aktifitas social, seni dan intelektual kepada kehendak Allah (Holmes, hal. 46-47).

Pernyataan-pernyataan di atas jelas membawa suatu implikasi yang tidak main-main besarnya bagi gereja pada umumnya, bagi orang Kristen pada khususnya dan bagi para hamba Tuhan secara lebih khusus dan lebih lagi tuntutannya. Mengapa demikian?
Bagi gereja secara institusi (majelis dan aktifis) dituntut untuk kembali memikirkan apakah benar gereja kita sudah melaksanakan baik mandat budaya maupun mandat penginjilan secara bersama dan berimbang?, atau kita hanya melakukan salah satunya atau bahkan tidak melakukan apa-apa?. Berapa banyak yang sudah kita berikan untuk memikirkan dan bertindak bagi kepentingan gereja?. Saya rasa tolok ukurnya mudah saja: apakah kita memikirkan gereja seperti kita memikirkan keluarga, anak atau bisnis kita? Ataukah kita melarang hamba Tuhan untuk study lanjut (tapi menuntut kualitas yang tinggi) tapi mendorong anak kita untuk study se-tinggi-tingginya?
Bagi sinode, haruslah intropeksi diri apakah sudah melaksanakan apa yang seharusnya dilakukan untuk membantu ‘anak-anak-nya’ (gereja) dengan memberikan bantuan pelatihan, program, coaching dll dalam rangka melaksanakan mandat budaya dan mandat penginjilan.
Bagi orang Kristen, kita harus sadar bahwa ternyata tuntutan Allah sama terhadap kita semua untuk hidup secara terintegrasi dalam iman dan pekerjaan. Misalnya sebagai seorang dokter, kita harus berperilaku, berkarakter dan bertempramen seperti seorang dokter dan seorang yang beriman kristiani. Mari kita semua belajar teologi dengan baik karena itulah dasar dari kehidupan kita di dunia ini.
Bagi hamba Tuhan, jelas saya percaya tuntutan sebagai seorang hamba Tuhan pada saat ini (Februari 2007) jauh lebih kompleks dari pada waktu-waktu sebelumnya. Karena semua kebenaran adalah kebenaran Tuhan maka seyogyanya seorang hamba Tuhan tidak membatasi diri hanya mempelajari bidang teologi melainkan juga harus mempelajari ilmu management, organisasi dan kepemimpinan terutama bagi sang pemimpin atau gembala sidang.
Saya melihat kecenderungan beberapa hamba Tuhan yang agak alergi terhadap ilmu-ilmu yang salah kaprah mendapat cap sebagai ilmu sekuler. Memang gereja tidak tidak berasal dari dunia, tetapi bukankah gereja ditempatkan oleh Allah di dunia? Hal ini memberikan implikasi adanya interaksi dengan ‘dunia sekulerpun’ tidak terelakkan. Mengapa seringkali kita alergi pada ilmu yang bukan berasal dari bidang teologi? Dapatkah kita lepas darinya? Sadarkah kita setiap hari mempergunakan matematika, science, seni dll dalam hidup, dalam kehidupan gerejawi?. Secara ekstrim saya memikirkan bahwa betapa salahnya kita bila mengundang seorang awam untuk berkotbah dalam ibadah umum, tetapi sebaliknya berapa kurang tepat pula bila seorang hamba Tuhan yang mungkin tidak pernah belajar dan mempunyai pengalaman di luar bidang teologi diharapkan untuk memimpin ratusan jemaat, membuat system management organisasi, membuat dan melaksanakan program-program gerejawi dan menjadi ketua majelis tanpa mendapat pelatihan yang memadai. Yang terjadi adalah sang pemimpin memimpin dengan segala kekurangannya dan berdasarkan pengalaman saja. Tidaklah mengherankan bila organisasi gereja pada umumnya berjalan seadanya saja dan hanya berdasarkan kemauan sang pemimpin yang mana akan berubah bila ada pergantian pemimpin. Dengan berjalannya waktu suatu gereja bisa-bisa mandeg dalam kenyamanan hidupnya sendiri dan akan bereaksi keras terhadap pembaharuan-pembaharuan seperti tata kelola gereja dengan management organisasi yang modern. Kata-kata penolakan klise akan terdengar ‘kita tidak ada SDM-nya, kita tidak perlu itu karena sudah mempunyai visi dan cara sendiri, kita nggak ada dana untuk beli computer, majelisnya sulit dll’ atau dapat juga melaksanakan pembaharuan dengan setengah hati seperti dengan menyusun program-program dengan mencontoh/mengubah program gereja lain tanpa mengerti dari esensi atau filosofi atau tanpa mengerti dengan mendalam metode pelaksanaannya. Terus terang saya sangat heran dengan perilaku beberapa hamba Tuhan (gereja) yang menolak untuk belajar dari hamba Tuhan atau gereja yang lain misalnya dengan melakukan pembinaan secara tuntas dan study banding. Bukankah dalam hidup nyata di dunia sangat sedikit orang yang mau berbagi resep-resep ‘sukses’nya? Di dalam Tuhan, saya yakin semua hamba Tuhan atau gereja pasti mau saling membantu koleganya dengan gratis, lalu mengapa yang ‘perlu dibantu’ kadang justru tidak mau dan tidak merasa perlu?.

Saya percaya seorang hamba Tuhan harus terus menerus di’up-grade’ pengetahuannya baik secara teologi maupun yang di luar teologi dalam rangka ‘memberi makan’ jemaatnya sesuai dengan mandat budaya dan mandat penginjilan. Bila hanya belajar teologi saja, maka bagaimana caranya menjebatani Firman Tuhan kepada pendengarnya? Bila seorang dokter berbicara dengan pasiennya, misalnya seorang musisi dengan hanya mempergunakan istilah-istilah kedokteran, maka dapat dipastikan pembicaraan mereka tidak nyambung. Lain halnya bila sang dokter berbicara dengan koleganya, maka pembicaraan mereka akan nyambung. Jadi bila hamba Tuhan tidak mengerti pemikiran dan kehidupan nyata jemaatnya dan hanya hidup dalam ‘dunia’nya sendiri, bagaimana mungkin pembicaraan mereka nyambung?

Lalu bagaimana pemecahannya? Saya memikirkan beberapa alternative:
Seminary memberikan satu mata kuliah terpadu tentang managemen, organisasi dan kepemimpinan.
Seleksi calon mahasiswa dengan melakukan tes kepribadian, karakter dan temperamen. Demikian juga gereja agar tidak menerima hamba Tuhan hanya berdasarkan kemampuan kotbah tetapi juga harus dilihat dahulu karakternya.
Sinode menyediakan pusat pelatihan yang terpadu bagi hamba Tuhan junior maupun senior.
Melibatkan kaum awam untuk membantu organisasi gereja.
Kerja sama antar gereja yang se-azaz dalam pengembangan diri. Misalnya dengan mendirikan suatu center pelatihan bagi kaum awam untuk belajar teologi dan hamba Tuhan untuk belajar tentang coaching, kepemimpinan dll.
Kerja sama untuk saling mengirim hamba Tuhan junior untuk tukar mimbar pada persekutuan remaja dan pemuda.

Akhir kata, sebagai orang kristen kita harus menjalani proses hidup sesuai dengan profesi dan panggilan hidup masing-masing. Mari kita berlomba-lomba dalam ketekunan di dalam Tuhan dan menjalani proses penyucian bersama Roh Kudus sehingga pada akhirnya perbuatan dan karakter kita-pun menunjukkan identitas diri sebagai orang kristen yang semakin mirip dengan Kristus. Mari kita menjadi garam bagi dunia yang telah jatuh dalam dosa, mari kita melaksanakan mandat budaya dan mandat penginjilan sesuai dengan perintahNya. Bersatulah orang kristen!!!.
Soli Deo Gloria